Kenangan Punne

Print Friendly, PDF & Email

Militerisme, gerakan mahasiswa dan kehancuran Partai Komunis Thailand.

 

MALAM itu, 13 Oktober 2013, Universitas Thammasat menggelar opera Cina di aulanya. Para pemain berbicara dalam bahasa yang tak saya pahami, tetapi gerak-gerik mereka di panggung menyuguhkan adegan yang menarik dan penuh konflik. Kursi-kursi terisi penuh. Saya terpaksa duduk di kursi cadangan, di lorong belakang yang gelap. ‘Ini mengisahkan tentang apa yang terjadi dulu. Di sini dulu mahasiswa lari, dikejar-kejar dan dibunuh. Banyak yang meninggal dalam gedung ini,’ kata Punne Suangsatapananon, yang duduk di sebelah saya. Perempuan ini berusia sekitar 50-an, berambut pendek, berkacamata minus.  Kulitnya putih. Ia masih melajang. ‘Dulu saya punya pacar,’ katanya, seraya tersenyum. Tetapi pacarnya, Subhap, hilang 31 tahun lalu.

Opera tersebut merupakan rangkaian peringatan 40 tahun kekuatan rakyat mengakhiri kekuasaan diktator militer dalam pemerintahan Thailand. Di luar aula, buku-buku tentang peristiwa tadi ditata rapi untuk dijual,  di meja-meja pajang. Semuanya dalam bahasa Thai.  Penjual makanan dan minuman juga ramai.  Para pengunjung memadati halaman dan pelataran aula. Ada yang saling menyapa lalu bersalaman atau berpelukan: teman-teman lama membuat masa lalu menyatu dalam cerita-cerita hari ini.

Pada 14 Oktober 1973, mahasiswa di Thailand berdemonstrasi dan menuntut tiga perwira militer yang dijuluki ‘tiga tiran’ mengundurkan diri dari pemerintahan. Mereka adalah Thanom Kittikachorn, Praphat Charusathien,  dan Narong Kittikachorn. Thanom melarikan diri ke luar negeri. Namun, situasi dalam negeri Thailand tidak sepenuhnya tenang sesudah ia hengkang. Sejumlah pendukung Thanom bahkan berencana membawanya kembali ke Thailand.

Di luar urusan Thanom, pemerintah dan militer juga mulai khawatir kaum komunis mengambil alih kekuasaan. Kekhawatiran ini dipicu oleh kemenangan partai komunis di Laos, tetangga dekat Thailand. Propaganda antikomunis pun digencarkan. Kelompok-kelompok milisi bersenjata dibentuk dan dilatih militer.

Pada 19 September 1976, Thanom kembali ke Thailand dengan alasan menengok ayahnya dan menyatakan bahwa kepulangannya tidak mengandung agenda politik. Ia ditahbiskan sebagai pendeta Buddha di sebuah kuil untuk meneguhkan alasannya itu. Protes mahasiswa, para buruh dan rakyat terhadap kepulangannya merebak di Sanam Luang, lapangan terbuka di muka istana raja, pada 30 September 1976. Mereka menolak kedatangan sang tiran.  Di Universitas Thammasat kemudian berdiri posko pengunjuk rasa dan dapur umum. Mahasiswa dari berbagai universitas dan pelajar dari berbagai sekolah yang terlibat dalam aksi protes tersebut memusatkan diri di kampus Thammasat.

‘Waktu itu saya mahasiswa tahun kedua di Fakultas Sains di Universitas Chulalongkorn,’ kenang Punne.

Di muka kampus Thammasat mengalir sungai Chao Phraya dan di seberangnya hotel tempat saya menginap berada. Perahu-perahu mesin hilir-mudik di situ, membawa orang-orang menyeberang ke sisi lain sungai atau sekadar bertamasya mengarungi sungai.

‘Dulu mahasiswa-mahasiswa terjun ke sungai itu,’ tutur Subhatra Bhumiprabhas kepada saya, di waktu lain. Ia adalah veteran jurnalis dan aktivis di Thailand.  Di masa tersebut, Subhatra masih belajar di kelas dua sekolah menengah dan berusia 14 tahun. Ia bergabung dengan para mahasiswa dan membantu di dapur umum.

Tragedi berdarah  terjadi pada 6 Oktober 1976.

‘Mahasiswa dan pengunjuk rasa diserang militer dengan tembakan senjata pelontar granat M 79, baik mereka yang berada di kampus Thammasat maupun di Sanam Luang,’ kata Punne, yang sekarang  mengelola sebuah lembaga pemantau media bersama Subhatra.

Milisi turut membunuh, menggantung dan menyeret tubuh-tubuh korban mereka. Siapa pun yang terjun ke sungai ditembak dan menemui ajal sebelum mencapai seberang sungai.

Seorang mahasiswa menyelamatkan Subhatra, dengan menyuruhnya lari menjauhi militer dan milisi yang sudah menguasai kampus. Pada tanggal itu, Punne kebetulan pulang ke rumah.

Sehari sebelum serangan brutal di Thammasat,  beredar foto mahasiswa sedang menggantung orang-orangan mirip putra mahkota Vajiralongkorn di suratkabar Bangkok Post. Mereka melakukan protes terhadap buruh pabrik yang dibunuh polisi pasca kepulangan Thanom. Tindakan mereka dianggap menghina keluarga kerajaan. Memicu isu baru. Menyulut api yang lebih besar. Radio-radio menyiarkan hujatan dan kebencian terhadap para pelaku protes, termasuk radio militer.

Penjelasan resmi menyatakan bahwa 46 orang meninggal dunia dan ratusan orang luka akibat serangan di Thammasat.  Sekitar seribuan aktivis ditangkap dan ditahan.

‘Saya ditangkap dan ditahan selama satu bulan,’ kata Subhatra.  Ia masih ingat seorang mahasiswa bernama Thongchai Winichakul merupakan orang terakhir yang berdiri di panggung dan berorasi ketika militer dan milisi menyerbu kampus.  Thongchai, salah seorang pemimpin mahasiswa. Ia ditahan selama dua tahun. Kini Thongchai bekerja sebagai profesor sejarah Asia Tenggara di Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat.

Di suratkabar The Nation, edisi 6 Oktober 2006, Subhatra memuat pernyataan-pernyataan Thongchai dalam artikelnya yang berjudul ‘Hard to Remember, yet Difficult to Forget’.

Awalnya, Thongchai menganggap generasinya perlu merekonstruksi ingatan atas kejadian itu. Namun, ia kemudian mengubah pendapatnya. Mengingat tidak akan menciptakan bagian yang positif dalam sejarah Thailand, sehingga lebih baik melupakan, katanya. Tetapi ia kemudian mengakui babak kelam itu sebagai masa lalu yang berat untuk diingat sekaligus sulit untuk dilupakan.

Di tepi jalan dalam kampus, dekat aula, potret-potret mahasiswa yang menjadi korban kebrutalan itu dipasang. Acara peringatan ini juga menjadi ajang reuni para aktivis di masa lalu yang sekarang rata-rata berusia 50-an. Generasi yang lebih muda turut berpartisipasi dalam menyiapkan acara.

 

MALAM itu Punne mengemudikan mobilnya, menyusuri jalanan kota Bangkok. Saya duduk di sebelahnya. Ia akan mengantar saya ke hotel. Kami bercakap-cakap sepanjang perjalanan, sementara tatapannya tak beralih dari jalan di depan.

‘Banyak mahasiswa yang selamat kemudian memutuskan bergabung dengan Partai Komunis Thailand (PKT) di hutan. Di masa itu, Vietnam baru saja menang perang melawan Amerika, sedangkan partai komunis di Laos dan Kamboja mengambil alih kekuasaan,’ ujarnya.

‘Berakhirnya kekuasaan Thanom oleh kekuatan rakyat pada 14 Oktober 1973 ternyata mengubah dan mempengaruhi sistem politik di Thailand. Mahasiswa-mahasiswa tertarik kepada politik. Saya ikut serta di dalamnya dan bergabung dalam demonstrasi menentang kepulangan Thanom,’ lanjut Punne.

Dua bulan sesudah peristiwa Thammasat,  ia dan banyak mahasiswa meninggalkan Bangkok dengan naik bus ke provinsi Udonthani di timur laut Thailand.  Ketika mereka tiba di Udonthani, seorang utusan PKT menjemput  mereka untuk pergi ke sebuah desa kecil dekat hutan yang ditempuh selama dua hari berjalan kaki. Dari sana, mereka mendaki gunung untuk mencapai basis PKT di hutan. Punne tinggal di situ selama setahun, lalu dipindahkan ke Laos, dan tinggal di basis partai yang berada di perbatasan Laos dan Tiongkok, sejak Tiongkok dan negara-negara komunis lainnya mendukung perjuangan PKT melawan pemerintah Thailand. Di Laos, Punne dilatih menjadi perawat profesional.

Selama menjalankan tugas sebagai perawat partai, ia pernah mengalami satu kejadian yang tak terlupakan. Di tengah malam, ia dibangunkan oleh pemimpin unit Tentara Pembebasan Rakyat Thailand, yang mengatakan kepadanya bahwa salah seorang kawan mereka terkena ranjau darat. Mereka melewati ladang jagung di kaki bukit dalam kegelapan, menuruni gunung dan mengikuti aliran sungai, lalu berjalan di sepanjang tebing untuk menemui kawan tersebut. Ia menyaksikan dua orang  terluka. Salah satunya mengalami luka serius. Kedua tangannya putus dan perutnya membengkak. Mereka mencoba membawanya ke rumah sakit di basis PKT dengan mendaki dan menuruni gunung. Namun, lelaki itu tak bisa diselamatkan akibat kehilangan banyak darah.  Punne cukup terpukul. Dulu mereka pernah bersama-sama menyusuri perbatasan Laos menuju provinsi Nan. Ia kehilangan seorang kawan dari masa sulit.

 

linda2

Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp International Ultd)

 

Dukungan terhadap PKT waktu itu meluas di seluruh Thailand, dari utara hingga selatan. Empat tahun silam, saya bertemu penyair Kaseem Jantam di desa Pomkiri, Nakhon Si Thammarat, Thailand Selatan.  Jarak Bangkok ke Nakhon sepanjang 784, 8 kilometer atau dapat ditempuh dalam 9 jam 50 menit dengan mobil.

Pi Kaseem berambut panjang sebahu dan sebagian telah memutih. Kulitnya coklat. Kemejanya merah cerah, bermotif kelopak-kelopak bunga putih. ‘Dulu bibi saya ikut masuk hutan, bergabung dengan PKT,’ katanya. Ia sendiri tidak ikut politik. Ia lebih senang menulis sajak-sajak. Katanya, sekarang PKT bukan lagi kekuatan politik yang dapat diperhitungkan. Sejumlah pemimpin pentingnya kemudian bekerja di institusi pemerintah.

Kekuatan militer dan propaganda pemerintah Thailand berupaya melemahkan partai tersebut, termasuk menyebarkan pamflet melalui helikopter di hutan-hutan. Penembakan dan pengeboman oleh pasukan pemerintah terjadi di basis-basis PKT.

Perubahan politik berlangsung pada 1979. Perang perbatasan antara Tiongkok dan Vietnam berkobar akibat invasi Vietnam di Kamboja. Dua blok negara komunis berseteru. Soviet mendukung Vietnam.  Pemerintah Laos memaksa PKT yang didukung Tiongkok kembali ke basis di wilayah Thailand.

‘Saya dan anggota-anggota partai harus berjalan kaki meninggalkan perbatasan Laos ke provinsi Nan di Thailand utara dan tinggal di sana selama lima tahun,’ kisah Punne.

‘Seberapa besar dukungan Tiongkok terhadap PKT?’ tanya saya.

‘Pemerintah Tiongkok tidak hanya memasok pakaian, obat-obatan dan senjata, tapi juga memberi PKT sebuah stasiun radio yang dinamai Suara Rakyat Thailand dan berlokasi di Yunnan, di selatan Tiongkok. Tetapi sesudah hubungan diplomatik dan perdagangan antara pemerintah Thailand dan Tiongkok terjalin, dukungan logistik dari Tiongkok merosot tajam dan akhirnya siaran radio berhenti pada tahun 1979, ‘ jawabnya.

Punne mengenang masa itu sebagai masa sulit bagi PKT, tanpa dukungan Tiongkok dan Vietnam. Namun, bukan hal itu yang menentukan kemenangan atau kekalahan partainya.  Petani, buruh dan orang-orang Thailand masih banyak yang mendukung kebutuhan sehari-hari dan menyumbangkan uang mereka bagi perjuangan PKT.

‘Jadi apa penyebab kekalahan PKT?’ tanya saya, lagi.

‘Merosotnya dukungan terhadap PKT terjadi sesudah pemerintah Thailand  mendorong kader-kader partai untuk menyerah. Sampai akhirnya pemerintah memberi amnesti kepada kader-kader partai, sementara di partai sendiri terjadi konflik internal.’

Pada 1980, amnesti diberlakukan. Kader-kader PKT meninggalkan hutan, termasuk para mahasiswa, untuk kembali ke rumah. Tetapi Punne tidak melakukannya. Ia dan sejumlah teman masih bergabung dengan PKT di provinsi Nan.

Di bulan Desember 1982, pemerintah Thailand mengirim pasukan untuk merebut basis-basis PKT.

‘Banyak kawan yang bergabung dengan Tentara Pembebasan Rakyat Thailand, sayap bersenjata partai, berjuang sampai tentara pemerintah menguasai basis-basis. Banyak kawan yang mendedikasikan hidupnya gugur dalam operasi militer ini. Perempuan dan anak-anak menyerah.’

Punne dan sejumlah teman menyelamatkan diri. ‘Kami menempuh jalan kaki selama dua minggu tanpa makanan dan apa pun ke selatan provinsi Nan.’

Ketika itu Subhap, pacarnya, pulang ke Bangkok untuk mengunjungi ayah yang sakit. Punne mengenang, ‘Dia ditangkap bersama tujuh kawan dan mereka semua dibunuh oleh tentara pemerintah.’

Bersama sejumlah teman, Punne memutuskan meninggalkan hutan pada bulan Januari 1984. PKT menugaskan sejumlah tentaranya untuk mengawal perjalanan mereka keluar dari hutan sampai naik bus ke kota Nan. Saat mereka sedang membeli tiket bus tujuan Bangkok di Nan, mereka ditangkap aparat pemerintah Thailand dari Komando Operasi Keamanan Internal (KOKI). Mereka dibawa ke kantor KOKI dan ditempatkan di sebuah ruangan yang dilengkapi kamar tidur, toilet dan dapur. Mereka kemudian diinterogasi. Tetapi tidak ada penyiksaan. Di tempat itu, Punne diizinkan menghubungi keluarganya. Ia pun bertemu ibu dan saudara-saudaranya untuk pertama kali setelah meninggalkan rumah hampir delapan tahun. Setelah 10 hari ditahan, ia dan teman-temannya diantar oleh seorang tentara ke Bangkok, yang juga membayar tiket bus mereka.

‘Waktu saya sampai di Bangkok, mereka (militer) membantu kami untuk menghubungi universitas untuk mendaftarkan kami kembali, sehingga kami dapat melanjutkan kuliah,’ ujarnya.

Masa-masanya bersama partai komunis tak pernah disesali Punne, kecuali satu hal: ketika ia kuliah untuk menyelesaikan S1, teman-temannya sudah menyelesaikan S2. Di kampus, ia tidak mengalami diskriminasi akibat pengalaman politiknya di masa lalu.

Pengalamannya sangat menarik dibandingkan dengan apa yang terjadi pada orang-orang komunis di Indonesia. Setelah Suharto melakukan kudeta terhadap Soekarno, orang-orang komunis dan kaum nasionalis pendukung Soekarno ditangkap, dipenjarakan ataupun dibunuh.  Sekitar setengah juta orang dibantai militer dan milisi pendukungnya. Ribuan orang dijebloskan ke kamp-kamp tahanan di Pulau Buru. Sebagian dari mereka adalah para intelektual, seniman, dan insinyur terbaik di bidangnya.  Mereka disiksa dan dibunuh, sedangkan yang selamat tak diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup sebagai manusia. Indonesia kehilangan satu generasi, yang di Thailand hal itu tidak terjadi. Pemerintah Thailand yang cerdik mengembalikan  para mahasiswa itu ke kampus dan sumber daya manusia dalam satu generasi ikut menyokong negeri itu hari ini.

 

IA  tidak bisa melupakan Subhap, pacarnya. Subhap adalah nama alias. Setiap kader partai tidak pernah menggunakan nama asli untuk alasan keamanan.

‘Ketika bergabung dengan Partai Komunis, dia masih kuliah di tahun kedua di Fakultas Farmasi, Universitas Chiang Mai. Dia suka menyanyi, menggambar dan membaca buku. Kami bertemu di hutan,’ tutur Punne.

Subhap berusia 26 tahun di awal Juni  1983, waktu meninggalkan basis PKT di provinsi Nan bersama tujuh orang kawan. Sesuai kesepakatan, mereka harus menemui dua kawan lain yang mengendarai mobil pikap untuk membawa mereka ke Bangkok. Sayang sekali mobil mereka dihentikan oleh tentara di pos pemeriksaan. Sesudah itu mobil dan mereka semua hilang. Tidak seorang pun pernah melihat mereka lagi.

Keluarga Subhap mendatangi pos militer untuk meminta penjelasan. Tetapi pihak militer tidak bersedia memberi penjelasan apa pun.

Punne menghela napas, ‘Kami tidak dapat menemukan jasad mereka. Salah seorang teman yang hilang bersama Subhap, istrinya baru saja melahirkan bayi laki-laki saat itu.’

Bagi Punne, PKT melawan pemerintahan tirani. Partai itu mendeklarasikan perjuangan bersenjata sejak 7 Agustus 1964 setelah banyak kadernya ditangkap dan dibunuh.

PKT menghilang dari konstelasi politik Thailand di awal tahun 1990-an, ketika dua pemimpin utamanya ditangkap.

‘Ironisnya, anggota-anggota partai dan banyak kawan terpecah dalam dua kelompok sekarang, kaos merah dan kaos kuning. Seperti kamu tahu, dalam situasi politik sekarang ini di Thailand, grup kaos kuning aktif mendukung demonstrasi anti pemerintah Yin Luck.’ Ia tertawa.

Kaos merah identik dengan masyarakat kelas bawah, orang-orang yang kritis dan mendukung demokrasi. Kaos kuning terdiri dari kelas menengah, para elite kekuasaan dan pendukung monarki.

Belum lama ini Mahkamah Konstitusi di Thailand membatalkan hasil Pemilu pada 2 Februari 2014 lalu akibat kekisruhan politik di negeri itu. Parlemen sudah tidak bekerja lagi. Perdana menteri Yin Luck menjadi pejabat sementara sampai terselenggara pemerintahan baru. ‘Entah sampai kapan keadaan ini berlangsung,’ kata Punne, kelak dalam surat elektroniknya untuk saya.

Pada 2003, ia dan banyak kawan yang dulu menghuni basis PKT di provinsi Nan, membangun sebuah monumen peringatan untuk mereka yang telah tiada.  Sebagian besar  gugur di medan perang. Sebagian lagi sakit dan meninggal di hutan. Pada 6 sampai 10 Desember setiap tahun, peringatan itu dilakukan.

‘Kalau ada waktu, saya hadir dalam upacara itu. Bertemu kawan-kawan lama,’ katanya.***

 

Penulis adalah Sastrawan yang memenangi beberapa penghargaan sastra tingkat nasional maupun internasional, seperti Southeast Asian Writers Award (S. E. A. Write Award) 2013.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.