MENGHADANG Fasisme mungkin terdengar berlebihan, seperti menghadang musuh yang tidak jelas ada. Lagipula, adakah benih-benih Fasisme di Indonesia? Lebih gamblang lagi, kita bisa bertanya: apakah calon presiden (capres) semacam Prabowo Subianto seorang fasis?
Menjawab dua pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Karenanya, sejenak mari kita menengok ke sebuah negeri nun jauh di sana: Italia. Di sana, ada sosok yang di kemudian hari mengubah jalan politik Italia: Benito Mussolini. Kita bisa lihat, sejauh apa kemiripan antara fasis nusantara dan fasis bule. Awalnya, Mussolini adalah seorang sosialis. Sebelum menjadi seorang diktator fasis, profesinya macam-macam. Di satu waktu, ia sempat menjadi tentara sekitar tahun 1905-1906 (kemiripan #1). Kemudian, ia aktif sebagai jurnalis politik dan penulis untuk Partai Sosialis Italia, dan selama periode 1911-1914 menjadi editor untuk koran resmi partai, Avanti. Namun, pecahnya Perang Dunia Pertama kemudian mengubah pandangan politik Mussolini. Dari seorang sosialis yang berorientasi internasionalis, Mussolini melakukan ‘lompatan iman,’ atau mungkin lebih tepatnya kesambit, menjadi seorang fasis yang khaffah, lengkap dengan panji-panji dan slogan-slogan mengenai kemurnian dan kejayaan Bangsa (dengan ‘B’ besar), kebutuhan untuk ekspansi demi memperluas ‘ruang vital’ (spazio vitale) (kemiripan #2), rasisme (kemiripan #3 – masih ingat kan kelakukan Orde Baru dan antek-anteknya, termasuk Prabowo, di Timor Leste?), promosi negara polisi bertangan besi yang dimulai di tahun 1925 (kemiripan #4 – apa masih perlu penjelasan untuk bagian ini?), dan kultus individual (kemiripan #5 – yang parahnya didukung oleh sejumlah faksi intelektual dan kelas menengah dengan alasan ‘kita perlu pemimpin yang kuat!’)
Dan ingat, Mussolini melakukannya dengan jalan parlementer. Masa awal pemerintahan Mussolini adalah koalisi sayap-kanan yang didukung bukan hanya oleh kaum fasis tetapi juga elemen-elemen reaksioner dari kaum liberal, nasionalis, dan Katolik. Awalnya, Mussolini hanyalah sekedar perdana menteri, sebelum menjadi seorang diktator fasis yang seutuhnya.
Mungkin saya berlebihan. Tentu saja, Prabowo dan Mussolini tidak 100 persen sama. Tetapi mengatakan bahwa seorang Prabowo adalah seorang ‘demokrat’ tulen yang berjuang di laga elektoral dengan mendirikan partai politik ‘modern’ dan juga seorang ‘populis’ yang memperjuangkan program-program ‘anti-neoliberal,’ jelas-jelas membohongi diri sendiri. Fasisme tak ubahnya api dalam sekam, yang meskipun kecil ada baiknya lekas (di)padam(kan).
Kita kembali ke Italia. Segera setelah naik ke tampuk kekuasaan, api fasisme yang dibawa Mussolini dan para pendukungnya segera menjalar. Dan kita tahu, siapa yang paling menderita dari wabah ini: rakyat pekerja. Dalam tata kenegaraan korporatis otoritarian, semua hal dipersembahkan untuk keagungan Il Duce, Sang Pemimpin. Ongkosnya mahal. Antonio Gramsci, pentolan Partai Komunis Italia dan salah satu teoretikus Marxis paling terkemuka itu, dijebloskan ke penjara. Tidak hanya itu, Giacomo Matteoti, seorang politisi dari kubu sosialis, diculik dan dibunuh oleh kaum fasis setelah mengritik mereka secara terbuka di parlemen.
Tapi tiap-tiap perjuangan, meskipun terlihat berserakan, kelak akan menemui kemenangannya. Dan ternyata, harapan itu akhirnya terwujud. Kaum partisan Italia, yang terdiri dari berbagai kelompok perlawanan anti-fasis, pelan-pelan bisa memukul mundur hegemoni fasis. Akhirnya, pada 27 April 1945, Mussolini dan kekasinya, Clara Petacci, ditangkap oleh faksi komunis dari kaum partisan. Keesokan harinya, Mussolini dan Petacci dieksekusi oleh Walter Audisio, seorang komunis. Mayatnya digantung terbalik dan dijejerkan bersama dengan sejumlah fasis lainnya, sebagai pengingat: kelak, mereka yang ditindas akan melawan balik, dan para penindas akan mendapat hukuman yang setimpal atas kejahatan mereka.
Begitupun di sejumlah tempat lain. Di Portugal, Revolusi Anyelir yang menumbangkan kediktatoran militer, dirayakan setiap tahunnya. Di Chile dan Argentina, para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggar HAM diadili di hadapan khalayak ramai. Di negeri-negeri di mana akal sehat dan hati nurani masih berkuasa, para penindas dipermalukan dan para pejuang dikenang.
Tetapi tidak di Indonesia. Yang ada, setelah 16 tahun reformasi, kita menyaksikan suatu kemungkinan yang mengerikan dihadapan kita: perkawinan antara oligarki neoliberal dan fasisme gaya baru, yang anehnya dilegitimasi oleh sejumlah ‘aktivis’ yang terkena Stockholm Syndrome, sejumlah intektual dan tokoh publik (misal, sebut saja nama sebenarnya: Bondan Winarno), sejumlah faksi kelas menengah ibukota (yang juga nyinyir terhadap demo kawan-kawan buruh tahun lalu – tentu kami tidak akan lupa itu), dan lain-lain – pendeknya, aliansi yang dibikin absah oleh mereka yang melacurkan dirinya.
Sejarah, katanya, adalah milik mereka yang menang. Tapi kita tahu, sebagaimana dikatakan mereka yang tidak tertulis sejarah, atau tidak memiliki sejarah, bukanlah sekedar orang-orang yang kalah. Ada perlawanan di situ. Saya jadi teringat sebuah puisi dari Wiji Thukul, Bunga dan Tembok:
jika kami bunga
engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami
di mana pun –tirani harus tumbang!
Mungkin, gugusan perlawanan ini terlihat seakan-akan tidak mengubah keadaan, setidaknya untuk sekarang. Namun, sebagaimana bunga-nya Thukul, kita tahu, kerja-kerja kolektif yang terlihat kecil ini suatu saat akan membuahkan hasil. Mungkin hasilnya tidak akan segera terlihat. Mungkin, ketika hasilnya muncul, kelak kita sudah tidak ada di dunia ini. Tetapi sejarah akan mencatat, mana yang melawan dan mana yang tidak. Dan kelak, generasi di masa depan akan menilai, siapa yang melawan dan siapa yang berkhianat.
Oleh karena itu, seborjuis-borjuis dan seoligarkis-oligarkisnya demokrasi Indonesia, ia perlu dipertahankan dari rongrongan kapitalisme neoliberal dan fasisme gaya baru. Sebagaimana dituliskan oleh kawan Lilik baru-baru ini, tentu ada sebabnya Herman, Bimo, Thukul, Suyat, dan Gilang dihilangkan tanpa kabar. Ada sebabnya Munir disunyikan. Ada sebabnya Sondang – yang umurnya tidak berbeda jauh dengan saya dan banyak kawan muda pembaca IndoProgress lainnya – menjemput takdirnya. Ada sebabnya protes-protes rakyat terus berkumandang pasca-reformasi.
Saya teringat kata-kata Sudisman, seorang pemimpin PKI, dalam Uraian Tanggung-Jawab[1] yang ia bacakan di depan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Sudisman, alih-alih memilih ‘jalan justisi’ justru memilih ‘jalan mati.’ Pilihan Sudisman adalah pilihan yang sah dan terhormat, bukan hanya karena solidaritas yang ditunjukkannya (‘Mereka berempat adalah saya, dan saya adalah mereka berempat, sehingga solidaritas Komunis mengharuskan saya untuk menunggalkan sikap saya dengan mereka berempat dan memilih “jalan mati”’), tetapi juga karena keyakinan dan harapannya untuk masa depan, karena ‘Hukum perjuangan menentukan: berjuang gagal, berjuang lagi, gagal lagi, berjuang, gagal…akhirnya menang.’
Jalan mereka adalah jalan pendekar, bukan jalan perjuangan nanggung yang menye-menye.
Tentu, zaman telah banyak berubah. Oleh karena itu, taktik dan strategi musti sesuai dengan konteks zaman. Mungkin, kita tidak perlu ‘anak-anak muda hebat’, Munir, Sondang, ataupun Sudisman yang baru. Sudah cukup, dan mungkin terlalu banyak, mereka yang harus hilang dan mati karena perjuangan. Lebih baik kita tetap hidup dan terus berjuang.
Dan perjuangan itu kini berada persis di depan mata kita: mempertahankan demokrasi dan agenda-agenda progresif kerakyatan serta menghadang fasisme. Bukan, ini bukan perjuangan yang mengada-ada, hanya saja siasatnya yang berbeda. Kali ini, kita akan menempuh perjuangan melalui jalur elektoral. Marilah bersama-sama kita menendang fasisme keluar dari kotak suara di bumi Indonesia.***
Penulis adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Beredar di twitterland dengan id @libloc