Perlambatan Ekonomi dan Perjuangan Buruh Indonesia

Print Friendly, PDF & Email

PERLAMBATAN ekonomi Indonesia menghadirkan sekelumit pertanyaan yang harus bisa dijawab oleh gerakan buruh. Setelah mengalami pertumbuhan pesat beberapa tahun terakhir, sejumlah indikator telah menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia sedang memasuki fase perlambatan. Pada kuartal ketiga 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat angka terendah semenjak 2009. Ekonom bank Credit Suisse, Robert Prior-Wandersforde, mengatakan: ‘Kami sangat meragukan kalau pertumbuhan GDP sudah mencapai titik terendahnya’ (6/11). Sementara Sri Soelistyowati, Direktur Neraca Pengeluaran Badan Pusat Statistik (BPS), mengatakan bahwa pertumbuhan kemungkinan besar akan melambat pada kuartal keempat (6/11). Menteri Keuangan Chatib Basri juga menyampaikan hal yang serupa, bahwa perekonomian tahun ini mungkin hanya akan tumbuh 5,8 persen, di bawah angka prediksi anggaran negara, yakni 6,2 persen.

Lantas, bagaimana imbas perlambatan ekonomi ini pada perjuangan buruh Indonesia yang dalam dua tahun terakhir telah tumbuh dalam lompatan-lompatan?

Lebih dari seratus lima puluh tahun yang lalu, Marx mengatakan, ‘Kapital (modal), oleh karenanya, mensyaratkan kerja-upahan, kerja-upahan mensyaratkan kapital. Mereka saling mengondisikan satu sama lain; mereka saling melahirkan satu sama lain … Oleh karenanya, bertambahnya kapital berarti bertambahnya proletariat, yaitu bertambahnya kelas buruh.’ Inilah potret ekonomi dan perburuhan di Indonesia hari ini, di mana selama dua atau tiga tahun terakhir telah terjadi investasi kapital yang besar dan sebagai hasilnya pertumbuhan kelas buruh.

Investasi asing (Foreign Direct Investment) ke Indonesia telah meningkat drastis dalam 5 tahun terakhir, dari $4,9 miliar pada 2009, ke $19,9 miliar pada 2012. Pada 9 bulan pertama tahun 2013, investasi asing sudah mencapai $21,2 miliar. Pada 2012, tujuan investasi asing yang terutama adalah sektor pertambangan ($4,3 miliar), yang diikuti lalu oleh sektor industri kimia dan farmasi ($2,8 miliar), industri metal, permesinan, dan elektronik ($2,5 miliar), industri otomotif dan suku cadang ($1,8 miliar). Mayoritas investasi asing masuk ke industri-industri manufaktur besar. Ini bisa dilihat dari berdirinya pabrik-pabrik besar yang ramai dan sibuk di kawasan-kawasan industri seperti Bekasi.

Misalnya, pada Mei tahun ini, General Motor membuka pabrik baru senilai Rp. 2 triliun di Bekasi yang akan mempekerjakan 700 buruh. Pada bulan Agustus, Royal Dutch Shell memulai pembangunan pabrik pelumas di Merunda, Bekasi, yang akan mulai beroperasi penuh dalam 2 tahun. Perusahaan ban, Hankook Tire, membuka pabrik baru di Bekasi pada September tahun ini, sebuah proyek senilai $350 juta yang mempekerjakan 1400 buruh, dan akan meningkat menjadi 4300 buruh pada 2018. Secara umum, investasi ke sektor manufaktur telah meningkat pesat pada 2013. Bila antara tahun 2010 sampai 2012, rata-rata 35 persen investasi asing masuk ke sektor manufaktur, maka pada 2013 ini meningkat pesat sampai 56 persen.

Di tengah lesunya ekonomi dunia, Indonesia beserta sejumlah emerging economies lainnya seperti Brasil, India, Afrika Selatan dan Turki mengalami pertumbuhan yang relatif pesat. Ini disebabkan oleh membanjirnya investasi asing ke negeri-negeri tersebut, di mana para investor mencari tingkat laba yang lebih tinggi. Modal ini sebagian besar datang dari kebijakan ‘quantitative easing’ dari Amerika Serikat.

Untuk terus mempertahankan laju ekonomi, pemerintahan AS selama 5 tahun terakhir telah memompa uang dalam jumlah yang besar ke dalam perekonomian lewat kebijakan ‘quantitative easing.’ Kebijakan yang juga dikenal dengan “easy money” (uang gampang) ini diperkenalkan di AS pada 2008 setelah meledaknya krisis finansial, di mana pemerintahan AS mencetak uang guna membeli surat-surat hutang dan obligasi dari pasar obligasi. Lewat kebijakan ini, pemerintahan AS memasok uang murah ke dalam sistem finansial.

Setelah meledaknya krisis finansial pada 2008, perputaran modal mengalami kemacetan. Ini adalah akibat dari krisis over-produksi. Konsumen, yakni rakyat pekerja, tidak mampu lagi membeli produk-produk di pasar. Oleh karenanya kaum kapitalis tidak lagi melakukan investasi. Siapa yang akan melakukan investasi modal untuk membangun pabrik ketika tidak ada lagi konsumen yang punya daya beli? Kaum kapitalis secara umum mulai menutup pabrik-pabrik, yang mengakibatkan kenaikan dalam tingkat pengangguran, dan lalu, pada gilirannya, semakin menurunkan daya beli masyarakat. Inilah siklus jahat dari krisis overproduksi.

Untuk menanggulangi stagnasi modal ini, pemerintahan negeri-negeri maju, terutama AS, melakukan dua hal: Pertama, menurunkan suku bunga; dan kedua, memompa uang murah ke dalam perekonomian. Suku bunga yang rendah bertujuan menstimulasi perputaran modal, di mana bank-bank dan institusi-institusi finansial dapat meminjam uang dengan sangat murah. Di AS, tingkat suku bunga federal hampir nol persen. Di Kanada, Bank Sentral Kanada telah mematok suku bunga sebesar 1 persen semenjak 2010. Uni Eropa baru-baru ini memotong suku bunganya ke 0,25 persen. Kebijakan kedua adalah memompa uang lewat program-program stimulus dan pembelian surat-surat hutang dan obligasi, yang dikenal sebagai ‘quantitative easing.’ Pemerintah AS memompa $85 miliar setiap bulannya untuk membeli surat-surat hutang, dan sampai hari ini telah memompa lebih dari $3,6 triliun. Negeri-negeri kapitalis maju lainnya juga melakukan kebijakan ‘uang murah’ yang serupa. Uang murah ini lalu digunakan oleh bank-bank dan institusi-institusi finansial untuk melakukan investasi ke negeri-negeri seperti Indonesia, yang dapat memberikan tingkat laba tinggi.

Maka dari itu, tidaklah mengherankan ketika pada pertengahan tahun ini ada pembicaraan bahwa pemerintahan AS akan mengurangi program quantitative easing, perekonomian Indonesia segera terkena imbas. Para investor segera menarik modal-modal mereka dari emerging economies seperti Indonesia untuk mengantisipasi berakhirnya era ‘uang murah.’ Investasi asing ke Indonesia pada periode Juli-September mengalami penurunan menjadi $6,9 miliar, dari $7,2 miliar pada kuartal sebelumnya. Secara global terjadi kepanikan. Bursa-bursa saham emerging economies jatuh 17 persen, dan nilai mata uang mereka jatuh 20 persen. Melihat respons negatif dari pasar dunia, Pemerintahan AS pada pertengahan September membatalkan rencananya untuk mengurangi program ‘quantitative easing,’ dan investasi asing sepertinya kembali mengalir.

Ini menunjukkan betapa rapuhnya basis perekonomian Indonesia, yang bersandar pada ‘uang murah’ dari pemerintahan AS, ‘uang murah’ yang nantinya harus dibayar oleh rakyat pekerja Amerika Serikat lewat program-program penghematan dan pemotongan anggaran sosial. Ini adalah resep untuk ledakan sosial dan perjuangan kelas di benteng utama kapitalisme dunia. AS tidak akan bisa terus menerus menyediakan ‘uang murah’ ini, karena jumlah hutang pemerintahan AS telah mencapai $17,2 trilyun, yang berarti setiap penduduk Amerika, dari yang baru lahir sampai yang sudah mendekati liang kubur, punya hutang sebesar 54 ribu dolar Amerika. Kita hanya perlu diingatkan bahwa belum lama ini, karena masalah defisit anggaran, AS harus menutup hampir seluruh pemerintah selama 17 hari.

Pada saat yang sama, jatuhnya harga komoditas seperti minyak kelapa sawit dan batu bara, sebesar 30 persen dan 18 persen dalam satu tahun terakhir, akibat turunnya permintaan dunia terutama dari China dan India, telah menghasilkan defisit neraca perdagangan yang besar tahun ini, yang pada 2013 diperkirakan akan tembus $8 miliar. Ini mengakibatkan melemahnya mata uang Rupiah yang telah kehilangan nilai sebesar 13 persen dalam satu tahun terakhir,  dan inflasi yang mencapai 8 persen tahun ini. Kedua faktor ini membuat semakin rapuhnya fondasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Merespons inflasi yang semakin tak terkendali ini, Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga sebesar 1,5 persen menjadi 7,5 persen yang akan semakin menekan laju pertumbuhan ekonom.

Pada akhirnya, semua ini menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia terikat kaki dan tangannya oleh perekonomian dunia. Semua faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia – yakni kebijakan ‘uang murah’ dan stimulus di AS dan negeri-negeri maju lainnya – telah mulai berubah menjadi kebalikannya. Krisis defisit di AS dan Eropa telah menciptakan kontradiksi ekonomi yang teramat akut, dan di dalam ranah politik telah menyebabkan gejolak-gejolak besar yang tak pernah terlihat sebelumnya. Semua kebijakan yang digunakan oleh kapitalis dunia hanya menunda apa yang telah menjadi sebuah keniscayaan, dan bahkan memperburuknya di kemudian hari.

Kebijakan ‘uang murah’ telah menciptakan di Indonesia batalion proletar yang besar dan kuat dalam 2 tahun terakhir ini. Seperti kata Karl Marx, ‘Bertambahnya kapital berarti bertambahnya proletariat, yaitu bertambahnya kelas buruh.’  Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam 2 tahun terakhir ini gerakan buruh Indonesia telah mengalami loncatan kualitatif. Terpusat di kawasan-kawasan industri yang menjadi sasaran dari ‘uang murah’ ini adalah para buruh pabrik yang telah berperan sebagai garda depan pergerakan.

Selama 2 tahun ini, buruh dengan penuh kepercayaan diri telah melakukan aksi-aksi massa yang militan dan berhasil memenangkan kenaikan upah yang tidak sedikit serta tuntutan-tuntutan kesejahteraan lainnya. Ancaman kapitalis untuk angkat kaki dari Indonesia atau untuk boikot kapital sampai hari ini belum terbukti. Sebaliknya, buruh melihat semakin banyak pabrik-pabrik baru yang dibangun. Ini menguatkan posisi tawar buruh secara umum. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang pesat, buruh memiliki posisi tawar yang lebih kuat, walaupun ini bukan berarti kemenangan-kemenangan yang mereka raih tidak memerlukan pengorbanan yang besar.

Para pemimpin serikat bisa berargumen bahwa ada pertumbuhan ekonomi pesat di mana buruh layak mendapatkan perbaikan kondisi kerja mereka, di mana buruh layak mendapatkan bagian mereka dari pertumbuhan ini. Masalahnya, menjadi berbeda ketika tidak ada lagi pertumbuhan ekonomi, ketika ekonomi mengalami kemandekan atau bahkan kemunduran.

Para pemimpin serikat yang hanya mengandalkan argumen pertumbuhan ekonomi – di dalam kerangka kapitalisme – dalam memperjuangkan kepentingan buruh, pada akhirnya akan terbentur pada tembok yang besar ketika kondisi ekonomi mengalami perubahan. Kita bisa belajar dari sejarah pergerakan buruh di belahan bumi lainnya. Pasca Perang Dunia Kedua, ekonomi AS dan Eropa mengalami pertumbuhan yang teramat pesat. Pertumbuhan ekonomi ini memungkinkan kapitalis untuk memberikan remah-remah atau konsesi-konsesi kepada buruh. Para pemimpin serikat AS dan Eropa, dalam perjuangan mereka, cukup mengandalkan argumen bahwa buruh layak mendapatkan bagian dari pertumbuhan ekonomi kapitalis. Mereka tidak perlu menyerang dasar dari sistem kapitalisme itu sendiri untuk bisa meraih sejumlah reforma.

Namun ketika kapitalisme memasuki krisis, maka argumen yang sama menjadi kebalikannya. Kemunduran ekonomi berarti buruh harus menerima kehilangan pekerjaan dan pemotongan gaji. Dihadapi oleh kenyataan ini, para pemimpin serikat yang tidak bisa berpikir di luar kerangka kapitalisme lantas menjadi mitra kaum kapitalis dalam memangkas standar hidup buruh. Di AS, Kanada, dan Eropa, ketika terancam oleh penutupan pabrik akibat krisis, para pemimpin serikat ‘terpaksa’ menerima pemotongan gaji dan penghapusan jaminan-jaminan lainnya agar pabrik bisa terus jalan. Mereka menjadi bagian dari personalia, yang meyakinkan para buruh anggotanya bahwa tidak ada jalan lain kecuali menerima pemotongan gaji, bahwa pada krisis ini buruh harus bekerja sama dengan pemilik modal untuk menyelamatkan pabrik. Para pemimpin reformis ini menerima takdir yang disuratkan oleh kapitalisme.

Inilah batas dari jalan pemikiran reformisme, yang tajam ketika ekonomi sedang mengalami pertumbuhan, tetapi tumpul – dan menjadi senjata makan tuan – ketika ekonomi mandek atau mengalami kemunduran. Lantas, apa perspektif ekonomi dunia untuk ke depannya? Apakah krisis ini hanyalah sebuah episode singkat yang lalu akan diikuti oleh periode pertumbuhan? Tampaknya pertanyaan ini telah dijawab oleh ekonom peraih Nobel, Paul Krugman, dalam artikelnya baru-baru ini yang bertajuk A Permanent Slump? (17/11):

‘Tetapi, bagaimana jika kondisi 5 tahun terakhir adalah normalitas yang baru? Bagaimana jika kondisi-kondisi yang menyerupai depresi akan tetap tinggal, tidak untuk satu atau dua tahun, tapi selama berpuluh-puluh tahun?

‘… Sekali lagi, bukti telah mengindikasikan bahwa kita telah menjadi sebuah ekonomi di mana kondisi yang normal adalah kondisi depresi ringan, di mana kemakmuran adalah episode singkat yang terjadi karena gelembung dan kredit yang tidak dapat berkelanjutan.”

Tidak akan ada lagi periode pertumbuhan pesat yang panjang. Normalitas yang baru adalah periode depresi ringan, yang diselingi dengan episode pertumbuhan yang singkat sebagai hasil dari spekulasi dan kredit. Pencapaian-pencapaian yang telah dimenangkan buruh (terutama di negeri-negeri kapitalis maju) di masa lalu– yang kerap disebut negara kesejahteraan atau welfare state – akan terus dipangkas. Generasi buruh yang baru tidak akan menikmati kondisi kerja yang serupa atau lebih baik dari orang tuanya.

Periode pertumbuhan ekonomi di Indonesia, terutama dalam sektor manufaktur, adalah episode singkat yang bersandar pada spekulasi dari kebijakan ‘uang murah’ atau ‘quantitative easing.’ Perlambatan ekonomi sudah mulai menjelang, dan konsekuensinya sudah bisa terlihat. Tuntutan-tuntutan buruh yang sebelumnya relatif mudah dimenangkan akan semakin sulit diraih karena semakin sempit ruang bagi pemilik modal dan pemerintah untuk memberikan konsesi. Ini sudah mulai dirasakan oleh para buruh dalam beberapa bulan terakhir. Metode-metode perjuangan yang sama sudah tidak lagi membuahkan hasil yang sama.

Perlambatan ekonomi yang menjelang di Indonesia, juga akan membawa polarisasi ideologi yang semakin tajam di dalam gerakan buruh; di satu pihak adalah elemen-elemen reformis konservatif yang siap berkolaborasi dengan kapitalis dan memberikan konsesi kepada pemilik modal, di pihak yang lain adalah elemen-elemen buruh yang radikal yang dalam 2 tahun terakhir telah tertempa dalam perjuangan kelas dan mulai mempertanyakan batasan-batasan kapitalisme. Pertanyaan yang tajam akan terkedepankan: apa yang harus dilakukan oleh gerakan buruh ketika ekonomi melambat? Tunduk menyerah dan menerima takdir kapitalisme, atau berdiri mendobrak keluar dari kerangka kapitalisme?

Selama kita menerima hukum kapitalisme, maka kita akan didikte oleh logika kapitalisme. Pemimpin buruh reformis yang menerima logika kapitalisme niscaya akan melayani kepentingan kapitalisme, terlepas dari maksud dan kehendak luhur mereka dalam melayani buruh.

Kapitalisme sudah memasuki jalan buntu. Ini bukan kesimpulan sembarang dari kaum Marxis, tetapi juga telah disuarakan oleh ekonom-ekonom borjuis besar  seperti Paul Krugman dan Larry Summers. Kalau kita menerima logika kapitalisme, yakni logika kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan logika pasar, maka perjuangan buruh juga akan dituntun oleh logika ini ke jalan buntu.

Perjuangan buruh harus melepaskan dirinya dari kerangka kapitalisme, dari paham reformisme yang membatasi dirinya pada kemakmuran buruh di bawah sistem kapitalisme. Gagasan bahwa buruh bisa makmur sejahtera di bawah kapitalisme, bahwa buruh bisa mendapatkan upah layak sementara memastikan kalau kapitalis juga bisa mendapatkan laba layak, sudah terbukti idealis, utopis, dan bahkan reaksioner.

Perlambatan ekonomi Indonesia – dan krisis ekonomi dunia yang tak tampak ujung akhirnya – sudah menunjukkan kejenuhan historis kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi. Karena posisi ekonominya, yakni sebagai pencipta kekayaan yang sesungguhnya menggerakkan modal, dan posisi politiknya, yakni sebagai satu kekuatan politik yang terorganisir dan sadar, buruh adalah satu-satunya kelas yang bisa menuntun masyarakat ini keluar dari jalan buntu kapitalisme. Perlambatan ekonomi ini akan menjadi satu peluang besar bagi buruh untuk mulai mengambil satu lagi lompatan kualitatif, yakni mengadopsi program sosialis: nasionalisasi tuas-tuas ekonomi di bawah kontrol demokratis buruh dan pembangunan perekonomian terencana. Kalau gerakan buruh tidak mengambil lompatan ini, maka hanya ada satu alternatif lainnya: menerima logika kapitalisme beserta konsekuensi-konsekuensi buruhnya: upah rendah, ketidakamanan kerja, jam kerja yang panjang, hilangnya pensiun, dsb. Tidak ada lagi jalan tengah. Mereka-mereka yang menjanjikan jalan tengah kepada buruh, entah dia naif atau sedang berbohong.***

Ted Sprague, pengelola koran online Militan Indonesia

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.