Zely Ariane: “Kita Seharusnya Bisa Melakukan lebih, Melawan Lebih!”

Print Friendly, PDF & Email

PEMBANGUNAN kembali gerakan perempuan adalah salah satu agenda politik yang krusial dalam perjuangan politik rakyat pekerja Indonesia. Walau dapat dikatakan bahwa secara relatif terdapat beberapa kemajuan dalam beberapa sektor kehidupan perempuan pasca-reformasi 1998, seperti pemberlakukan affirmative action 30 persen dalam ranah parlementer, disahkannya UU anti-KDRT (Kekerasan dalam Rumah tangga), dan sebagainya, namun kemajuan-kemajuan ini hanya berlaku bagi sebagian kehidupan perempuan Indonesia. Kemajuan itu baru dapat dinikmati oleh segelintir perempuan. Sebagai contoh, dapat kita temukan dalam pengalaman keseharian kita, bagaimana capaian-capaian tersebut tetap dihadang oleh masih maraknya tindakan kekerasan terhadap perempuan di ranah privat maupun publik, masih kuatnya kecenderungan politik represi terhadap tubuh perempuan melalui peraturan daerah (Perda) syariat, masih sulitnya pekerja perempuan mendapatkan konsesi maternal untuk mengasuh anak pasca-melahirkan, dan masih banyak lagi. Di sinilah kita dapat menemukan apa yang diskriminatif, bahkan seringkali bias kelas, dalam capaian politik perempuan pasca reformasi 1998.

Ambiguitas, jika tidak ingin dikatakan diskriminasi, dalam capaian politik perempuan menjadi penanda penting bahwa gerakan perempuan harus dibangun kembali dengan fondasi politik yang lebih kuat serta mengakar (baca: radikal). Hal ini menjadi penting untuk memastikan bahwa perempuan Indonesia tidak lagi ditempatkan sebagai warga negara kelas dua yang hanya mengikuti ‘apa kata suami,’ namun lebih daripada itu, perempuan Indonesia menjadi subjek warga negara yang aktif agar dapat menempatkan kepentingan mereka dalam menentukan kehidupan yang lebih baik bagi perempuan itu sendiri dan rakyat secara keseluruhan. Dalam latar belakang seperti inilah, Muhammad Ridha dari Left Book Review (LBR) Indoprogress, berbincang dengan Zely Ariane, aktivis Perempuan Mahardhika, salah seorang penggagas Sekolah Feminis, dan juga salah seorang anggota Politik Rakyat, salah satu organisasi politik sosialis yang ada di Indonesia. Berikut petikannya:

 

Bagaimana pendapat Anda mengenai perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sekarang ini?

Kita seharusnya bisa melakukan lebih, melawan lebih. Tetapi, hingga saat ini kita hampir-hampir tidak memiliki terobosan politik yang penting terkait meningkatnya kekerasan, khususnya kekerasan seksual, terhadap perempuan. Rata-rata 20 orang perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya, dari tahun 1998-2010 (Komnas Perempuan); sehari-hari kita bahkan membacanya (dan mengutukinya) di media massa.

Era kemenangan UU PKDRT (2004) sudah lama berlalu. Kekalahan gerakan perempuan melawan UU Pornografi (2008), adalah kenyataan menyakitkan yang hasilnya kita rasakan sekarang. Perempuan diserang balik bertubi-tubi oleh kebijakan di berbagai lini, baik menyerang dirinya sebagai perempuan—seperti berbagai paket peraturan daerah yang mengatur moralitas dan tubuh perempuan—maupun yang menyerang hajat hidupnya sebagai warga negara yang berhak atas kesejahteraan dan kesetaraan—perjuangan peningkatan upah yang begitu sulit, hak kesehatan, reproduksi, perumahan, perlindungan kerja, dan sebagainya.

Hal ini bukan disebabkan karena sedikitnya  laporan, atau orang-orang yang tidak banyak peduli, tetapi karena perlawanannya belum masif dalam wujud pergerakan. Perjuangan yang ada masih bersifat defensif, mengandalkan advokasi kebijakan lewat lobi, di tengah posisi tawar gerakan perempuan tak lagi sebesar perlawanan terhadap RUU Pornografi. Ketika perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan tidak berwujud gerakan, maka inisiatif-inisiatif yang baik dari berbagai kelompok perempuan, khususnya dalam mendokumentasi dan memberi peringatan serta masukan kepada pemerintah atas ketiadaan perlindungan terhadap perempuan, seperti menerjang ruang hampa. Kita melawan tanpa kekuatan. Padahal kita tahu, begitu kecilnya keberpihakan negara untuk menyelesaikan persoalan perempuan.

 

 

Menurut Anda kenapa bisa begitu keadaannya?

Ada dua hal, menurut saya, yang menjadi penyebabnya: pertama, kelompok-kelompok perempuan di Indonesia, yang dominan berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), semakin sedikit yang menggunakan, atau setidaknya, mendukung dan mempromosikan metode ‘pergerakan massa’ sebagai cara berjuang. Kebanyakan di antara kelompok tersebut telah menjadi semacam lembaga-lembaga ‘profesional’ dan tak lagi memiliki kaitan dengan akar rumput atau basis massa. Kebanyakan pekerjanya hanya bekerja ‘profesional’ upahan berbasis proyek atau program tertentu sesuai dengan kesepakatan dengan donor yang membantu proyek/program tersebut. Contoh yang sangat menyedihkan adalah ketidakmampuan kelompok-kelompok perempuan mengadvokasi RUU Kesetaraan Gender dengan lebih masif melawan serangan konservatif anti-kesetaraan perempuan. Penyebabnya karena dua ‘front’ proyek advokasi RUU ini tidak bisa ketemu, dan sampai saat ini tidak jelas sebabnya kenapa.

Masalahnya dengan ‘profesionalisme proyek’ semacam ini, para pekerja LSM perempuan tersita perhatiannya pada detil-detil  proyek/program yang bersifat teknis dan administratif, ketimbang esensi dan tujuan dari program/proyek tersebut, yakni meningkatkan kesadaran dan politisasi perempuan dalam wujud aksi-aksi langsung. Tidak mengherankan sebetulnya, karena memang demikian politik NGOism yang diperkenalkan oleh neoliberalisme—menahan dan mengkanalisasi politisasi rakyat. Tentu tidak semua LSM berwatak seperti ini, karena beberapa praktek LSM/NGO di banyak negeri di Amerika Latin, juga Filipina, menunjukkan tipe yang berbeda, dimana mereka masih percaya dan mempromosikan pergerakan massa.

Apa dampaknya bagi daya pukul untuk melawan kekerasan seksual? Tumpul. Cara kerja semacam tadi menumpulkan keberanian dan meminimalisir politisasi perempuan. Saya tidak mengatakan bahwa apa yang dikerjakan teman-teman di LSM perempuan terkait kekerasan perempuan tidak penting, tetapi saya berani katakan, dengan cara seperti yang sekarang  sedang dijalankan, selamanya kekerasan perempuan hanya akan menjadi data tanpa kekuatan perlawanan.

Ketika kita sampai pada kesimpulan bahwa situasi saat ini adalah Darurat Kekerasan Seksual, maka ritme kerja kita pun harus darurat, seperti para perawat dan dokter di ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat) RS. Kita harus bergerak menunjukkan kemarahan kita pada ketiadaan solusi negara atas pemerkosaan bayi 8 bulan hingga nenek 81 tahun! Tunjukkan ke publik melalui protes, karena akan banyak sekali yang akan mendukung kemarahan kita. Tidak ada manusia beradab yang mendukung kekerasan seksual.

Saya, dan organisasi Perempuan Mahardhika, tempat saya belajar perjuangan perempuan, percaya bahwa dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, hanya korban yang bangkit serta solidaritas korban yang marah sajalah yang mampu menjadi kekuatan kunci dalam mendobrak politik pro-kekerasan terhadap perempuan di berbagai lini negara. Bangkitnya gerakan melawan perkosaan di India, mengajarkan kita akan pentingnya menunjukkan kemarahan itu di hadapan publik, dan melawan dengan keras ketiadaan solusi negara terhadap kekerasan perempuan. Kemarahan ini tidak saja bersifat politis terhadap negara, namun juga bermanfaat dalam mengubah kesadaran masyarakat: bahwa kekerasan seksual tidak boleh didiamkan, tidak boleh dibiarkan, dan kita harus dan bisa bertindak. Siapa kita? Semua manusia beradab, tak perduli jenis kelamin dan gendernya.

Sebab kedua lemahnya kekuatan perlawanan, karena kekerasan terhadap perempuan tidak dianggap persoalan politik mendesak. Semua gerakan sosial di Indonesia, minus gerakan perempuan, tidak menganggap dan atau tidak mengerti bahwa persoalan ini juga merupakan persoalan penegakan HAM, dan tak kalah mendesaknya dengan perjuangan menuntut kesejahteraan, anti-korupsi, dan sebagainya. Tidak banyak gerakan sosial dan politik peduli dan mendukung aksi perempuan yang marah pada pernyataan Fauzi Bowo soal perempuan yang pakai rok mini memancing perkosaan, atau pernyataan calon Hakim Agung soal perkosaan itu bisa saja suka sama suka. Padahal pernyataan publik semacam ini, oleh pejabat publik, adalah cermin politik negara yang bila dibiarkan, akan terus menjadi kesadaran masyarakat yang juga masih patriarkis.

Nah, kalau ini soalnya, maka penyebabnya memang historis. Di satu sisi, karena perempuan sudah diposisikan sebagai makhluk nomor dua yang aseksual sejak masyarakat berkelas, sebagai objek seksual dan sarana reproduksi semata, maka kekerasan terhadap perempuan berhadapan dengan banyak tantangan untuk bisa dianggap sebagai persoalan seluruh kemanusiaan. Di sisi lain, karena lemahnya gerakan kiri—yang bertujuan membebaskan manusia dari penindasan manusia lainnya. Dari yang lemah inipun, celakanya, lebih sedikit lagi yang menganggap persoalan penindasan perempuan—dalam hal ini kekerasan seksual—sebagai persoalan yang secara simultan harus kita perjuangkan penyelesaiannya bersama dengan perjuangan hak-hak rakyat lainnya. Bahwa kekerasan terhadap perempuan tak akan hilang dengan sendirinya, sekalipun orientasi ekonomi berubah menjadi lebih pro-rakyat; menjadi lebih pro-sosialisme. Gerakan perempuan di Kuba dan Venezuela mengajarkan kita banyak hal terkait ini.

Di sinilah peran kunci organisasi perempuan, khususnya organisasi perempuan yang melawan kapitalisme dan patriarki, dan gerakan perempuan yang hidup, yang harus memastikan seluruh lini masyarakat membantu bebasnya perempuan dari kekerasan. Ini sebetulnya yang disebut oleh banyak LSM sebagai strategi gender mainstreaming yang padahal hanya bisa terwujud kalau gerakan perempuan inklusif dan siap bertarung untuk isu-isu perempuan, sekaligus siap bersolidaritas untuk isu-isu warga secara umum bersama gerakan sosial lainnya yang sedang berjuang.

Perjuangan melawan kekerasan, khususnya kekerasan terhadap perempuan, hanya bisa berhasil melalui aksi-aksi langsung secara kolektif. Aksi-aksi ini akan memicu atmosfir kepedulian dan keberanian korban untuk melawan, sekaligus usaha pencegahan. Semangat inilah yang sedang dikongkritkan oleh Perempuan Mahardhika melalui Konferensi Perempuan Jakarta melawan kekerasan seksual pada Oktober lalu. Misi utama dari konferensi tersebut adalah bersama-sama kita bangkit dari korban menjadi pejuang, dan melahirkan relawan-relawan anti-kekerasan seksual dari RT sampai nasional.

…kelompok-kelompok perempuan di Indonesia, yang dominan berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), semakin sedikit yang menggunakan, atau setidaknya, mendukung dan mempromosikan metode ‘pergerakan massa’ sebagai cara berjuang. Kebanyakan di antara kelompok tersebut telah menjadi semacam lembaga-lembaga ‘profesional’ dan tak lagi memiliki kaitan dengan akar rumput atau basis massa.

 

Bagaimana pendapat Anda mengenai perkembangan gerakan perempuan saat ini?

Stagnan. Tujuh atau lima tahun lalu membuat aksi dan konsolidasi perempuan bisa melibatkan lebih banyak orang dibanding sekarang.

Sebab utamanya sudah saya sebutkan di atas. Sebab lainnya, saya pikir, berkaitan erat dengan kemunduran gerakan kiri secara umum di negeri kita. Gerakan kiri harus diakui memiliki sumbangan besar pada radikalisasi gerakan perempuan di dunia, demikian pula sebalikanya, gerakan perempuan mentransformasi gerakan kiri di dunia. Dan di sini, gerakan kiri masih muda usianya dibandingkan gerakan kiri di banyak belahan dunia yang tidak mengalami era penggelapan sejarah, seperti yang kita alami di bawah Soeharto.

Orde Baru Soeharto tak saja berdiri di atas nyawa ratusan ribu orang-orang kiri yang dibunuh, tetapi juga perempuan-perempuan yang bangkit dan bergerak secara politik. Soeharto tak saja menghancurkan kiri, tetapi juga menghancurkan politik pembebasan perempuan. Bukannya tanpa alasan Harian Berita Yudha, milik angkatan bersenjata, terus menerus memberitakan tarian telanjang yang dilakukan para aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan penyiksaan seksual terhadap para Jenderal yang dibunuh di awal Oktober 1965.

Itulah tonggak politik pertama ‘penghantuan’ terhadap perempuan yang bangkit melawan, dan ‘pemalaikatan’ terhadap perempuan yang tunduk dan takluk. Diorama di Monumen Pancasila Sakti menunjukkannya—perempuan Gerwani digambarkan berpakaian seksi dengan mata menantang berani, dan perempuan Orde Baru berpakaian kebaya dengan mata menunduk sambil menggendong bayi. Walaupun sudah lama terbukti bahwa penyiksaan terhadap para Jenderal tidak pernah terjadi, dan semua mayat para Jenderal utuh, juga tidak ada tarian telanjang yang dilakukan para aktivis Gerwani, namun citra ‘sundal’ bagi Gerwani, dan ‘Ibu baik-baik’ bagi Dharma Wanita, terus melekat sampai sekarang. Penghancuran dan depolitisasi perempuan dan rakyat secara umum sukses dilakukan oleh Orde Baru-Soeharto.

Oleh karena itu, momen penjatuhan Soeharto dan era reformasi sesudahnya adalah jembatan emas bagi bangkitnya keberanian, suara-suara, organisasi dan tuntutan-tuntutan perempuan. Dan memang terbukti demikian: organisasi perempuan tumbuh laksana jamur di musim hujan. Kita harus berterima kasih pada gerakan politik, dimana perempuan termasuk di dalamnya, yang menjatuhkan Soeharto waktu itu, karena telah membuka jalan bagi artikulasi politik perempuan menjadi lebih luas.

Namun, yang  kembali pada memori perempuan saat ini barulah hak berpolitik, itupun masih sebatas berpolitik di parlemen dan melakukan advokasi kebijakan lewat lobi, serta mengampanyekan politik ‘perempuan pilih perempuan.’ Padahal di saat yang sama, ketika semakin berkembang organisasi/wadah perempuan, semakin luas media penyadaran hak perempuan, semakin tampak bahwa pemerintah dan berbagai kebijakan dari parlemen lebih banyak merugikan perempuan.  Seharusnya semakin rugi bagi kita untuk sekadar mengkanalisasi perjuangan perempuan melalui ‘harapan’ dari parlemen.

Semakin banyak perempuan di parlemen, tidak menjamin kebijakan lebih pro-perempuan. Kalau saya tidak salah, perempuan legislator lebih banyak di era Soeharto ketimbang sekarang, tetapi toh perempuan tetap dirugikan? Walaupun saya mendukung politik kuota untuk perempuan di berbagai jabatan publik, tapi dukungan itu tidak bermakna buta terhadap platform dan track record partai politik, sehingga perempuan pilih perempuan adalah kampanye yang menyesatkan. Saya mendukung persaudarian perempuan dalam melawan kapitalisme dan patriarki, tapi tidak persaudarian perempuan untuk sekadar duduk di parlemen atau jadi presiden.

Sebagai contoh Megawati, mantan Presiden Indonesia, boleh jadi adalah korban kekerasan dalam rumah tangga dan sempat dilarang menjadi Presiden karena ia perempuan. Kita sebagai perempuan tentu membelanya. Tetapi, kita sebagai perempuan juga melawan Megawati yang menjadi pimpinan politik kelas berkuasa Indonesia, ketika ia menyetujui privatisasi perusahaan negara yang berkonsekuensi langsung pada turunnya akses perempuan terhadap kebutuhan hidup, sehingga menjadi korban terbesar dari pemiskinan (feminisasi kemiskinan). Perempuan Mahardhika melawan pendapat yang mengatakan Megawati (perempuan) tidak boleh jadi presiden, tetapi sekaligus menolak memilih Megawati jadi presiden.

Saya pikir ini problem akut tambahan dari gerakan perempuan saat ini: terlalu berharap pada advokasi kebijakan, tanpa gerakan massa perempuan dan aksi-aksi langsung perempuan. Masih lebih banyak perempuan yang belum sadar dirinya tertindas, kalaupun sadar tetapi tidak berani melawan. Kita harus belajar dari gerakan buruh dalam soal ini: melalui serikat membina anggota agar menjadi pemimpin perlawanan dan menjangkau yang belum berani melawan.

Kita lupa bahwa ketika kita mendukung prinsip ‘personal is political‘ maka ranah perjuangan perempuan tak saja secara formal mengubah kebijakan, tetapi sekaligus mentransformasi dirinya sendiri menjadi pejuang: untuk tak sudi lagi menjadi objek kekerasan. Itulah pemberdayaan politik sejati: menjadi subjek politik dalam melawan berbagai  penindasan yang dialaminya, dari tempat tidur sampai parlemen dan istana negara.  Bila semakin banyak perempuan seperti ini yang kita hasilkan dari aktivitas penyadaran kita sehari-hari di berbagai organisasi/komunitas/LSM perempuan, maka perjuangan legislasi akan jauh lebih mudah. Dan yang belum banyak disadari oleh kawan-kawan gerakan kiri yang berjuang, justru akan melipatgandakan kekuatan perjuangan rakyat untuk perubahan, bukan menjadi ancaman perubahan.

Walaupun saya mendukung politik kuota untuk perempuan di berbagai jabatan publik, tapi dukungan itu tidak bermakna buta terhadap platform dan track record partai politik, sehingga perempuan pilih perempuan adalah kampanye yang menyesatkan. Saya mendukung persaudarian perempuan dalam melawan kapitalisme dan patriarki, tapi tidak persaudarian perempuan untuk sekadar duduk di parlemen atau jadi presiden.

 

Aktivis PRP (Partai Rakyat Pekerja), Ruth Indiah Rahayu, berpendapat pentingnya ‘fragmentasi gerakan perempuan untuk mempertajam analisa dan rumusannya terhadap kepentingan perempuan dan kelasnya.’ Bagaimana menurut Anda pendapat ini?

Saya tidak mengerti makna fragmentasi dalam pengertian Ruth di atas. Sekarang gerakan perempuan sudah terfragmentasi oleh isu-isu yang berbasis proyek belaka. Memfragmentasikan perjuangan dengan berjuang untuk isu spesifik adalah dua hal yang berbeda. Perjuangan spesifik berbasis isu tertentu adalah kebutuhan dan keharusan. Tetapi memisah-misahkan isu-isu tersebut menjadi tak memiliki kaitan antara satu dengan yang lain, adalah kesalahan dan kerugian. Itu yang diinginkan kapitalisme: memfragmentasi perlawanan rakyat agar sebab sistemiknya tidak tampak. Fragmentasi tidak bisa membantu mempertajam analisa dan rumusan kepentingan perempuan, penyatuan yang bisa.

Tapi bila pendapat itu bermaksud bahwa gerakan perempuan harus masuk ke semua lini gerakan sosial dan politik, atau yang saya sebut sebelumnya sebagai strategi pengarusutamaan gender yang sebenarnya, saya setuju. Itulah inklusivitas gerakan perempuan. Lapangan pertarungan yang sebenarnya, ada di dalam perjuangan bersama gerakan sosial dan politik lainnya. Sama-sama berjuang untuk politik dan sistem yang lebih baik dengan menyertakan tuntutan-tuntutan perempuan di dalamnya. Namun ini tidak bisa terjadi bila tidak ada organisasi dan gerakan perempuan yang hidup dan mengembangkan perjuangannya sendiri. Organisasi perempuan adalah ruang artikulasi kesadaran perempuan, dan organisasi sosial politik adalah ruang artikulasi politik pembebasan perempuan. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Dan keduanya dibutuhkan untuk revolusi.

 

 

Apa yang sebenarnya menjadi kepentingan perempuan (women’s interest) sekarang ini?

Kepentingan perempuan dari dulu sampai sekarang sama, yakni pembebasan perempuan. Pembebasan dari pemiskinan material (feminisasi kemiskinan) dan mental, kekerasan, stereotip, diskriminasi, pengobjekkan dan penindasan seksual, serta beban ganda. Tapi itu masih bersifat objektif sebagai sesuatu yang seharusnya dicapai, namun belum menjadi kesadaran semua orang secara subjektif. Semua manusia di dalam kapitalisme dicacah-cacah jiwa raganya sehingga hanya tahu (kalaupun ia tahu) penindasan yang langsung dialaminya saja: buruh perempuan hanya dan lebih tahu penindasannya sebagai pekerja upahan di pabrik ketimbang penindasan kerjanya di dalam rumah tangga, perempuan Papua lebih peka terhadap penindasan militeristik tentara Indonesia ketimbang kekerasan di dalam rumah tangga oleh orang-orang terdekatnya, dan seterusnya. Pengalaman perjuanganlah, dengan berbagai isu dan upaya persatuan pergerakannya, yang akan membantu sekaligus mempercepat menyatunya serpihan-serpihan kesadaran ini menjadi satu: melawan masyarakat berkelas.

Dulu, gagasan pembebasan perempuan dianggap ‘gagasan gila’ ketika pertama kali dicetuskan di abad 18. Tapi oleh perjuangan perempuan dan perjuangan pembebasan secara umum, gagasan ini dibuat tidak gila lagi. Karena perempuan ditindas berkali-kali: sebagai perempuan dan sebagai rakyat/warga, maka pembebasan perempuan pun tidak bisa terlepas dari pembebasan rakyat. Rakyat hanya bisa bebas dari ketertindasan ketika perempuannya tidak lagi ditindas, demikian pula perempuan hanya bisa bebas dari ketertindasannya ketika rakyat tidak lagi ditindas. Itulah aspek simultan perjuangan perempuan. Dan itulah kepentingan perempuan.

Penindasan perempuan itu lintas kelas: semua perempuan dinomorduakan, rentan kekerasan, sasaran stereotip dan beban ganda. Namun level dan keluasan penindasan tersebut sangat erat kaitannya dengan posisi kelasnya di masyarakat, selain juga berkaitan dengan ras/suku bangsa, agama, dan kebangsaan. Perempuan buruh yang difabel berkulit hitam mengalami penindasan sebagai perempuan, sebagai difabel, dan sebagai buruh; namun perempuan komisaris perusahaan yang difabel dan berkulit putih akan mengalami lebih sedikit penindasan karena sarana dan prasarana yang sanggup ia beli. Tapi tentu saja, setiap penindasan adalah penindasan, tidak bisa diukur dengan derajat rasa sakit seperti mengukur berat badan.

Wujud spesifik penindasan ini dalam setiap aspeknya harus dikenali, tidak boleh diabaikan. Khususnya bagi gerakan kiri Indonesia, yang masih sangat awam terhadap persoalan spesifik penindasan perempuan, pemahaman ini penting agar tujuan kita membangun sosialisme tidak disederhanakan sebagai perjuangan untuk keadilan dan pemerataan ekonomi belaka. Memang, kelas adalah kategori historis paling luas melampaui ras, agama, suku bangsa dan jenis kelamin, namun jangan lupa bahwa kelas menyimpan di dalamnya semua prasangka-prasangka penindasan berbasis gender, ras, kemampuan tubuh, agama, dan seterusnya, karena prasangka tersebut membantu dominasi kelas berkuasa.

Kapitalisme adalah sistem masyarakat berkelas yang paling modern dan satu-satunya yang dengan gamblang menunjukkan betapa penindasan terhadap perempuan ada di dalam jantung sistem ini. Kapitalisme menggunakan dengan efektif semua aspek-aspek penindasan, khususnya penindasan terhadap perempuan, yang diwariskan corak produksi sebelumnya untuk dua kepentingan: profit dan mempertahankan eksploitasi tenaga kerja murah.

Sebagai tenaga kerja murah kita saksikan bahwa perempuan mendominasi sektor kerja paling rentan kekerasan dan berupah murah: industri padat karya dan pekerjaan rumah tangga. Dan disanalah ranah eksploitasi paling herbat terhadap perempuan. Ini belum lagi mempersoalkan bagaimana kerja dan ‘pengabdian’ perempuan di rumah tangga (yang gratis) telah berhasil menekan turun upah buruh laki-laki, membebaskan kapitalis dari tanggung jawab membiayai perawatan dan pemeliharaan anak. Semua itu dilakukan perempuan dengan sukarela atas nama ‘tanggung jawab domestik,’ yang padahal bermakna beban ganda yang ditimpakan lebih banyak padanya, sehingga seumur hidupnya ia hanya bekerja dan melayani orang lain selain dirinya. Dan jangan lupa, sekeras apapun perempuan bekerja, sehebat apapun kemampuannya, ia tetap dianggap pekerja tambahan oleh sistem ini, karenanya perempuan pula yang lebih dulu di-PHK jika terjadi krisis ekonomi (baca: jatuhnya keuntungan kapitalis).

Tak cukup sampai di sana, seluruh inci tubuh perempuan adalah ladang komodifikasi bagi sistem ini. Setelah tenaga kerjanya, kini wajahnya, bibirnya, kakinya, dadanya, pantatnya, goyangan pinggulnya, bahkan kerlingan mata dan desahan nafasnya adalah sumber profit bagi industri fashion, kecantikan, entertainment, film, dan pornografi. Apakah untuk kesejahteraan perempuan? Tidak. Perempuan, setelah 200 tahun kapitalisme masih saja minoritas yang duduk di level manajemen, minoritas CEO, apalagi orang terkaya di dunia. Apakah untuk kepentingan dan kebahagiaan perempuan yang oleh banyak feminis liberal dirayakan sebagai ‘kebebasan individu?’ Tidak. Apakah perasaan bahagia yang didapat perempuan ketika kakinya rusak karena seumur hidup menggunakan high-heel, menderita bulimia, anoreksia, penyalahan diri karena kurang cantik dan kaki besar, atau mata tidak besar dan dagu kurang lancip sehingga harus operasi plastik? Apakah harus kita rayakan sebagai pembebasan ketika ‘bebas merusak’ tubuh kita sendiri demi memenuhi tuntutan pasar komoditas manusia? Tentu tidak. Pembebasan yang kita inginkan bukan sekadar ‘bebas’ jadi tenaga kerja yang dieksploitasi dan diperjualbelikan di pasar—itupun dengan pasar yang masih terbatas, karena kita tidak bisa bebas menjual tenaga kerja di negeri-negeri kapitalis maju karena UU imigrasi mereka. Pembebasan yang kita inginkan adalah bebas mendapatkan seluruh kebutuhan agar kita dapat berkembang menjadi manusia yang maju.

Sampai detik ini, saya masih terus merinding memikirkan betapa luasnya areal perjuangan perempuan melawan sistem tidak berperikemanusiaan ini, sekaligus betapa potensial kekuatan perlawanannya.

Semua manusia di dalam kapitalisme dicacah-cacah jiwa raganya sehingga hanya tahu (kalaupun ia tahu) penindasan yang langsung dialaminya saja: buruh perempuan hanya dan lebih tahu penindasannya sebagai pekerja upahan di pabrik ketimbang penindasan kerjanya di dalam rumah tangga, perempuan Papua lebih peka terhadap penindasan militeristik tentara Indonesia ketimbang kekerasan di dalam rumah tangga oleh orang-orang terdekatnya, dan seterusnya.

 

Anda, dan organisasi politik Anda, Politik Rakyat, adalah salah satu elemen yang terlibat aktif dalam proses Mogok Nasional tahun ini. Bagaimana anda melihat signifikansi penguatan gerakan buruh terhadap gerakan perempuan secara luas?

Belajar dari pengorganisasian dan militansi serikat buruh yang sedang melawan saat ini. Itu refleksi pertama saya terhadap pembangunan gerakan perempuan.

Gerakan buruh itu penting, tidak saja karena mayoritas perempuan adalah buruh, namun karena secara strategi politik, sangat menentukan. Sebagai seorang sosialis, saya tahu bahwa tidak bisa revolusi bila gerakan buruh tidak bergerak. Sementara revolusi itu adalah syarat bagi perubahan radikal nasib perempuan. Dengan hidupnya gerakan buruh, gerakan perempuan memiliki sekutu raksasa untuk mencapai perubahan, dan dengan hidupnya gerakan perempuan, gerakan buruh akan semakin tajam dan maju ke depan untuk membela hak-hak buruh perempuannya. Mungkin belum banyak anggota KSPI sendiri yang sadar, bahwa ketika KSPI memperjuangkan disahkannya RUU PRT, itu sekaligus membantu perubahan nasib banyak perempuan pekerja rumah tangga. Seperti halnya ketika berjuang untuk kenaikan upah 50 persen, persatuan serikat buruh di dalam Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh (KNGB) sedang membantu buruh-buruh perempuan yang mendominasi sektor garmen, tekstil dan padat karya lain yang upahnya masih ditangguhkan.

Namun demikian, ada pekerjaan rumah yang masih besar menanti: membuat gerakan buruh turut bersuara terhadap kekerasan seksual dan diskriminasi di tempat kerja. Kawan-kawan buruh perempuan dan LGBT dalam Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), sudah memulainya dengan membentuk Barisan Maju Buruh Perempuan (BAMBU) melawan kekerasan seksual, membangun wadah perempuan LBT Pelangi Mahardhika, melakukan advokasi langsung terhadap anggota yang menjadi korban KDRT dan KS (kekerasan seksual), dan membangun radio komunitas perempuan Marsinah FM. Tapi upaya itu masih kurang, karena ada banyak perempuan di dalam serikat-serikat buruh besar yang sekarang ada dalam KNGB, belum bicara itu. Bila bercermin pada banyak organisasi buruh dan gerakan buruh di negeri kapitalis maju, kita bisa lihat bagaimana di dalam satu serikat buruh, terdapat divisi/seksi perempuan dan seksi LGBT. Dan itu bisa terjadi karena perjuangan panjang pengarusutamaan gender.

 

Apa yang membuat gerakan buruh sekarang harus memiliki sensitivitas gender dalam logika perjuangannya?

Yang pertama, sederhana saja: karena masih banyak perempuan buruh yang menjadi korban kekerasan oleh kawan-kawan di dalam serikatnya sendiri, oleh para bos, manajer, mandor, satpam yang ada di lingkungan pabrik/tempat kerja. Ada banyak perempuan buruh yang belum menjadi pemimpin di dalam serikatnya, bahkan belum berani bicara. Masih sedikit—kalaupun ada—tuntutan khusus perempuan dimasukkan ke dalam KKB dengan perusahaan—misalnya pojok ASI, cuti HAID dan melahirkan, unit pengaduan dan tindakan kekerasan terhadap perempuan di pabrik, pemeriksaan kesehatan reproduksi rutin, dan sebagainya.

Kedua, gerakan buruh akan semakin hebat jika perempuan-perempuan buruhnya bangkit membela harkat dan martabatnya sebagai perempuan. Daya juang gerakan akan semakin kuat, dan peluang memenangkan tuntutan juga akan semakin besar. Ada ketakutan, yang juga bersifat historis/diwariskan, bahwa kesadaran atas kepentingan perempuan di kalangan buruh perempuan akan memecah kesadaran kelas pekerja. Ketakutan ini sudah saatnya kita hentikan. Kelas pekerja sudah lebih dulu dipecah-belah dengan sukses oleh kapitalisme melalui sistem kerja kontrak dan outsourcing, pembedaan upah buruh kerah putih dengan kerah biru. Apakah itu menghentikan kita dari mengajak mereka untuk bergabung dalam perjuangan? Tidak. Demikian pula ketika perempuan pekerja yang mengadukan suaminya, yang kebetulan juga satu serikat dengannya, agar dihukum karena perbuatan KDRT, maka serikat harus mendukung, jangan menutupi.

Kenapa? Karena lebih baik memiliki anggota serikat yang berani melawan penindasan ketimbang melindungi anggota serikat yang melakukan penindasan. Bukankah begitu? Film Made in Dagenham tentang perjuangan buruh perempuan di Dagenham menuntut kesetaraan upah, dan North Country, film perjuangan buruh tambang perempuan melawan kekerasan seksual di tempat kerja, adalah dua contoh film yang inspiratif terkait dinamika ini.

 

Bagaimana pendapat Anda mengenai hubungan antara Marxisme dan feminisme?

Saya sangat menyarankan para pembaca LBR membaca beberapa terjemahan yang saya buat atas topik ini di www.kamisundal.blogspot.com. Hanya karena kemampuan dan waktu yang terbatas, saya belum bisa membuat tinjauan teoritis terhadap ini lebih jauh lagi. Tapi melalui blog itu, saya ingin memperkenalkan pada aktivis-aktivis Marxis/sosialis Indonesia, tentang polemik di tataran praksis antara Marxisme dan feminisme yang masih terjadi hingga saat ini.

Perjuangan perempuan adalah hal baru bagi Marxis Indonesia setelah era Gerwani. Mungkin di era ’80-90-an polemik ini sudah ada, tetapi saya tidak tahu apa yang persis menjadi jantung perdebatan saat itu. Yang pasti, di masa ketika saya masih di Partai Rakyat Demokratik (PRD), isu perempuan adalah sesuatu yang bersifat tambahan, bukan pokok, sehingga pembentukan organisasi perempuan pun masih banyak yang menentang dan diperdebatkan dengan sengit. Dan saya pikir, sampai sekarang ini, masih terjadi di kalangan kiri Indonesia. Untungnya di kalangan kami, di Politik Rakyat saat ini, melalui perjuangan cukup sengit sebelumnya—dari privat sampai publik—mudah-mudahan jadi lebih berhasil meneguhkan komitmen terhadap kebutuhan membangun organisasi perempuan dan gerakan perempuan sebagai syarat bagi pembebasan perempuan.

Saya seorang Marxis, seorang sosialis, dan juga seorang feminis, yang di dalam perjuangan, menjadi semakin sadar bahwa Marxisme yang saya pahami, dan yang saya lihat dan rasakan melalui praktek teman-teman seperjuangan saya, belum cukup mewadahi perjuangan feminisme. Karena itu saya belajar, dan bersama teman-teman perempuan lainnya terus mempertajam landasan kenapa mesti ada feminisme sosialis sebagai sebuah strategi perjuangan pembebasan perempuan. Toh, kami semua tetap senang dan butuh menjadi seorang Marxis, bahkan semakin tertantang memberikan kaitan Marxisme, secara rinci, pada perjuangan pembebasan perempuan. Dan saya pikir inti-inti dari posisi kongkrit saya terkait feminisme sosialis sudah saya jabarkan di atas.

Saya tidak mau membahas perdebatan teoritis antara Marxisme dan feminisme di sini. Selain karena akan panjang lebar, dan belum tentu berguna, juga karena perdebatan ini seringkali hanya diliputi kepuasan intelektual borjuis kecil belaka (yang macho) ketimbang empati mendalam terhadap nasib perempuan. Apalagi, bagi banyak orang—juga kalangan kiri—feminisme terus dianggap hantu. Bayangkan saja, ketika Marxisme juga masih dianggap hantu di negeri ini, feminisme lebih hantu lagi—karena yang takut terhadapnya bukan saja kaum kanan tapi juga kaum kiri. Sebagian Marxis yang menuduh bahwa feminisme memecah perjuangan kelas, saya pikir adalah para Marxis yang tidak pernah terlibat langsung dalam perjuangan riil persoalan perempuan.

Maka lebih baik saya ajukan pertanyaan reflektif pada kita semua terkait feminisme: sudah berapa banyak anggota perempuan masuk dalam organisasi kita? Sudah berapa banyak di antara mereka yang lantang bicara? Sejauh mana kita tahu latar belakang anggota-anggota perempuan serikat buruh kita: berapa anaknya? Jam berapa ia bangun pagi hari? Kenapa ia diam saja ketika dihajar oleh suaminya? Mengapa ia mau jadi istri ketiga atau istri simpanan? Mengapa ia tidak berani bilang tidak dan melawan ketika pimpinan organisasinya melecehkannya? Kenapa pembagian kerja ‘domestik’ tetap tidak setara antara perempuan dan laki-laki di dalam organisasi perjuangan? Mengapa gerakan perempuan, khususnya setelah berakhirnya Internationalisme Ketiga, berkembang ‘di luar’ pengaruh gerakan kiri/Marxis?

Dan akhirnya, bagi saya, pertanyaan yang penting dan memancing kontroversi adalah: kenapa tidak cukup hanya menjadi seorang Marxis tanpa menjadi seorang feminis? Jawaban saya adalah: karena menjadi Marxis tidak serta-merta membuatmu bebas dari prasangka gender, ras, suku bangsa dan agama; karena menjadi Marxis di dalam dunia yang kapitalis dan patriarkis membuatmu tanpa sadar meneruskan sedikit atau banyak budaya penomorduaan dan pengobjekkan perempuan. Feminisme memberikanmu sensitivitas menjadi orang yang adil sejak dalam pikiran, dan Marxisme memberikanmu ketajaman politik untuk mengubah keadaan. Apa jasa feminisme terhadap Marxisme? Membuat kita sadar bahwa tujuan pembebasan manusia yang dikehendaki Marxisme (yaitu sosialisme/komunisme) mensyaratkan kita mengenali dan menangani langsung  aspek-aspek penindasan terhadap perempuan sejak sekarang. Dan apa jasa Marxisme terhadap feminisme? Membuat kita punya memori historis dan senjata politik bahwa berjuang untuk pembebasan perempuan hanya mungkin tercapai dengan menumbangkan kapitalisme dan membangun sosialisme.

Saya tidak bilang bahwa semua feminisme itu benar, karena feminisme tidak satu; tapi saya juga tidak bilang bahwa ketika Anda Marxis, maka selesai urusan. Tidak. Di dalam perjuangan sajalah, friksi-friksi teoritik ini dapat kita terjemahkan, di dalam pergerakan yang riil, friksi-friksi ini dapat kita definisikan. Saat ini gerakan yang tumbuh di Indonesia, tak seperti historis gerakan di negeri kapitalis maju, tidak banyak dipengaruhi oleh perbedaan ideologi. Massa buruh, petani, perempuan dan warga yang melawan tidak digerakkan oleh ideologi Marxis atau feminis, tapi oleh realitas penindasan. Maka adalah tanggung jawab semua Marxis untuk mewadahi perlawanan terhadap berbagai penindasan ini agar menjadi kekuatan politik perubahan menumbangkan sistem.

 

Apa yang harus dilakukan gerakan perempuan sekarang, dan berbagai gerakan massa berbasis seksualitas lainnya (Lesbian, Gay, Biseksual, Trasngender/Transeksual), untuk dapat memunculkan tuntutannya secara lebih luas dalam ranah politik nasional?

Saat ini, wadah-wadah/organisasi perempuan dan LGBT sudah semakin banyak, dan sudah punya agenda perjuangan politiknya. Dalam Mayday 2011, untuk pertama kalinya kita berhasil melibatkan organisasi perempuan dan LGBT dalam rally Mayday. Organisasi perempuan dan LGBT juga ada di barisan depan melawan pengesahan UU Ormas. Itu semua tuntutan di ranah politik nasional. Kampanye dan advokasi melawan RUU KUHP juga menjadi bagian perjuangan perempuan dan LGBT. Bagi teman-teman LGBT, sejauh yang saya tahu, tampaknya belum merumuskan tuntutan nasional yang spesifik bagi gerakan LGBT selain isu-isu di atas dan HAM secara umum. Tetapi ada ataupun tidak ada tuntutan nasional, gerakan itu ada, walau tak muncul di publik sebesar gerakan sosial lainnya.

Maka, pertanyaan yang sama juga perlu diajukan kepada gerakan kiri: apa yang sudah kita pahami dari gerakan melawan penindasan seksual tersebut? Bila kita tidak tahu apa-apa, maka mulailah mempelajarinya, mulailah membangun kontak agar kita memahaminya. Itulah yang kami lakukan ketika pertama kali memulai pekerjaan mewadahi perjuangan LGBT: membuka pikiran, belajar dan berjuang bersama.

Perjuangan melawan kekerasan seksual bisa menjadi titik konvergensi gerakan kita, karena kita semua mengalaminya, menyaksikannya, mengetahuinya, tapi belum melakukan apa-apa. Mari kita bangun kekuatan  melawan kekerasan seksual dan memperbesar solidaritas perlawanannya. Masak solusi mendesak kekerasan seksual harus menunggu sosialisme datang? Menunggu orang-orang tercinta kita jadi korban? Itu namanya kebodohan. Pemerintah borjuis kapitalis saja sudah menyediakan saluran solusi secara parsial dan tidak serius, masa gerakan kiri lebih rendah dari itu? Tentu kita tidak mau; tentu kita harus menuntut dan melawan lebih.

Saya tidak bilang bahwa semua feminisme itu benar, karena feminisme tidak satu; tapi saya juga tidak bilang bahwa ketika Anda Marxis, maka selesai urusan. Tidak. Di dalam perjuangan sajalah, friksi-friksi teoritik ini dapat kita terjemahkan, di dalam pergerakan yang riil, friksi-friksi ini dapat kita definisikan.

 

Mengenai Pemilu 2014, sikap apa yang harus diambil oleh kaum perempuan?

Yang pasti bukan memilih partai-partai dan politisinya yang sudah terbukti penipu dan anti-kesetaraan perempuan, bukan juga sekadar perempuan pilih perempuan. Secara pasti saya tahu bahwa tak satupun partai sekarang pantas kita pilih. Tapi saya juga tahu menjadi golput tanpa melakukan apapun juga tidak banyak manfaat. Saya juga tahu ada individu calon-calon legislatif 2014 yang lumayan bersih dibanding yang lain, tetapi karena saya sudah tahu bahwa berjuang sendiri di dalam partai politik  busuk dan parlemen busuk, sama seperti menggarami laut, maka saya kira pekerjaan mereka sia-sia.

Saya masih yakin pada perjuangan di luar arena parlemen sebagai yang pokok, dan di dalam sebagai yang sekunder. Namun, sayangnya, daya serap politik parlementer sekarang jauh lebih kuat ketimbang berjuang di luar. Macam-macam motivasinya, dari yang mulia sampai oportunis. Ketika seluruh prosedur pemilu saat ini menghendaki oportunisme yang luar biasa dan biaya yang luar biasa agar dapat dipilih, maka saya sungguh menyangsikan taktik ini bisa memberi manfaat bagi perjuangan perempuan.

Dua pemilu sudah (tahun 2004 dan 2009) aktivis-aktivis perempuan mengkonsentrasikan taktik mengadu peruntungan di parlemen dan mendukung calon-calon perempuan di parlemen, hasilnya lebih dari 250 perda moralitas tidak bisa dibendung. Kenapa masih berpikir ada peluang perubahan di parlemen di tahun 2014 ketika situasi justru semakin memburuk?

Terus sikap apa yg harus kita ambil mengenai pemilu 2014? Secara pribadi saya tak pernah berpartisipasi dalam pemilu, kecuali pemilu 1999. Dan saya tidak ambil pusing pikiran politik liberal yang menganggap ketika kita tidak memilih, maka kita tidak berhak menuntut. Semua keputusan pemerintah dan parlemen tidak menyertakan kita, kita tidak ikut memilih, tapi siapa yang bisa melarang kita protes? Itu hak demokrasi rakyat, yang kalau di Venezuela disebut sebagai pilar kelima demokrasi (selain trias politica) yaitu partisipasi langsung rakyat. Membatasi partisipasi langsung rakyat hanya pada pemilu adalah kejahatan terhadap demokrasi.

Lalu, apakah saya menyarankan perempuan tidak usah berpartisipasi dalam pemilu 2014 nanti? Saya tidak bisa katakan itu, karena sejauh ini tidak satupun alternatif kekuatan politik bisa kita sandingkan untuk melawan partai-partai busuk itu. Sehingga ketika golput pun kita tidak punya kekuatan politik. Saya tidak punya jawaban hitam putih. Yang pasti bisa dan harus kita lakukan sekarang terkait persoalan spesifik perempuan adalah membangun kekuatan untuk mempopulerkan, mempromosikan, meluaskan tuntutan dan dukungan kongkrit melawan kekerasan seksual. Bukan lewat janji politisi dan meja-meja negosiasi, tetapi lewat petisi dan aksi.***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.