Sesudah Sekolah Minggu, Datanglah Sekolah Mingguan

Print Friendly, PDF & Email

TULISAN ini adalah pelengkap dari tulisan Prathiwi1 dan tulisan dari Berto Tukan2 sebelumnya, tentang bagaimana pendidikan seharusnya berperan dalam memanusiakan manusia. Berto Tukan mengritik tentang pendidikan yang menciptakan manusia-manusia ambtenaar, sedangkan Prathiwi melengkapinya dengan gagasan untuk meneladani apa yang dilakukan di Brazil sana, solidaritas kaum sekolahan dengan Rakyat yang terpinggirkan.

Sementara itu, tulisan Prathiwi sebelumnya3 menyoroti keterlibatan arsitektur dalam proyek perumahan Rakyat di Brazil disertai cerita tentang solidaritas kaum profesional untuk berkolaborasi dengan masyarakat miskin dan kelas pekerja. Ada apa dengan Brazil? Mari kita perhatikan gerakan Pelajar Brazil, yang dalam sejarahnya melakukan hal yang serupa dengan kawan-kawan mereka di Prancis dan di belahan dunia lainnya pada tahun 1968.4 Solidaritas itu tidak muncul begitu saja di Brazil, melainkan lewat sebuah proses di mana gerakan pelajar bersatu dengan gerakan Rakyat, sebuah proses yang panjang dan tak jarang memakan korban. Pembangkangan anak muda ini terpelihara dari masa ke masa dan berasal dari Rakyat.[5]

Lalu bagaimana di Indonesia? Adakah pembangkangan yang cukup berarti di kalangan anak muda dan pelajar di Indonesia hari ini? Berita sehari-hari mengenai para pelajar hari ini masih seputar sosok pemenang olimpiade sains, penerima beasiswa, entrepreneur pelajar, anak muda penggagas perubahan; tak lupa juga, tawuran dan demonstrasi yang melibatkan organ-organ kemahasiswaan. Kisruh Kepemimpinan UI,6 pada akhirnya tidak melahirkan sebuah kampus dengan manajemen swa-kelola yang digerakkan oleh mahasiwa, dosen dan para pekerja kampus lainnya. Alih-alih, kasus ini berakhir dengan diserahkannya kepemimpinan kampus kepada Majelis Wali Amanat.7 Inilah gambaran sebuah ‘pembangkangan anak muda’ yang umum terjadi. Layaknya pembangkangan anak muda berskala nasional pada 1966 ataupun 1998,8 episode pembangkangan anak-anak sekolahan ini berakhir pada penggulingan kekuasaan pemimpin tua serta penyerahan kekuasaan kembali ke elit-elit masyarakat dengan restorasi ‘adat dan paham tua’.

Sejak masuk ke jenjang SMA ataupun Perguruan Tinggi, sekolah telah berhasil menciptakan dan mewariskan mental pengecut berjamaah. Hukum ‘satu salah maka semua salah’ jadi aturan main. Perorangan yang didakwa bersalah seringkali dianggap oleh kelompoknya sebagai pengkhianat atau egois. Ospek menciptakan satu angkatan pelajar yang terpaksa tunduk dan mengulangi kebodohan yang serupa ke generasi berikutnya di tahun depan. Ospek juga menyuburkan perilaku kekuasaan terpusat dan berjenjang, yang melahirkan kelas elit organisasi mahasiswa yang gandrung untuk tampil dengan gaya militeristik dalam proses kaderisasinya. Kita semua tentu ingat akan dogma Ospek yang terkenal:

Pasal 1. Senior tidak pernah salah

Pasal 2. Jika senior salah, kembali ke pasal 1.

Proses belajar di kelas juga sama buruknya. Atas nama akreditasi, dosen mengajar mahasiswa tak ubahnya pekerja pabrik, dimana mahasiswa menjadi bahan mentah siap olah. Silabus pengajaran dipasrahkan ke Dewan Akademik yang mengabdi kepentingan Kapital. Tujuannya: mahasiswa laku diperdagangkan sehingga akan menyumbang angka statistik untuk kebutuhan jualan bangku kuliah di tahun berikutnya. Mahasiswa yang telah laku diperdagangkan (baca: alumni) dan jadi ambtenaar tadi diharapkan bisa menjadi teladan bagi mahasiswa lainnya, sekaligus memberikan donasi bagi alamamater tercinta.

Hal diatas, telah Fredy Perlman9 katakan dalam tulisannya: ‘Para budak, melalui aktivitas hariannya, juga telah mereproduksi perbudakan’. Sama halnya dengan sekolah yang terus menerus menghasilkan budak yang patuh dan terjangkit waham bahwa dirinya adalah generasi penerus bangsa yang berhak lebih berkuasa serta memiliki kecakapan khusus dibandingkan budak-budak lainnya. Bercerita tentang sejarah pendidikan, Everett Reimer[10] berujar: ‘Pendidikan muncul dari kegiatan pemujaan dan pemerintahan. Bangunan asalnya ialah serambi kuil dan para pelaku awalnya ialah para pendeta-pendeta khusus’. Maka orang-orang terdidik dan kaum sekolahan tidak jauh berbeda dengan Imam Agung Taliban, Mullah Muhammad Omar, menolak segala kemajuan dan lebih condong kepada barbarisme. Merasa dirinya lebih benar dan berhak untuk memberikan kebenaran kepada mereka yang dianggap kurang beruntung. Jangan heran apabila kaum terpelajar yang berusaha membangkang disini bahkan mabuk oleh ide ‘menyuntikkan kesadaran terhadap kelas pekerja.’ Kuil suci dan citra diri sebagai orang terpilih yang menyandang tugas moral menghantui kesadaran sehari-hari mereka. Mahasiswa dan pelajar, yang selama ini tunduk kepada senior, tunduk oleh silabus kuliah, oleh elit organisasi mahasiswa, oleh peraturan-peraturan kampus, hanya akan melahirkan hal yang sama: ketertundukan.

Lalu muncullah pertanyaan: Jika mahasiswa dan pelajar disini pernah bergabung ke dalam gerakan Rakyat sebagaimana di Brazil, lantas apa yang menyebabkan mereka nampak berjarak dengan Rakyat?***

Gilang Pandeka, pekerja kantoran biasa di Jakarta

Kepustakaan:

1. Prathiwi, ‘Sesudah Sekolah Minggu’, 6/11/2013, https://indoprogress.com/sesudah-sekolah-minggu/#_ftn1, diakses 6 November 2013

2. Berto Tukan, ‘Sekolah Minggu’, 2/11/2013, https://indoprogress.com/sekolah-minggu/, diakses 6 November 2013

3. Prathiwi, ‘Berhimpun Berkarya dan Berhuni Bersama-Pengalaman Rakyat Brazil’05/06/2013, LKIP Edisi 06, https://indoprogress.com/lkip/?p=826, diakses 6 November 2013

4.  Peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Polisi Militer Rio de Janeiro terhadap Edson Luis de Lima Souto, seorang pelajar SMA,  pada 28 Maret 1968  ketika sedang memprotes kualitas makanan yang buruk dan harga makanan yang tinggi di restoran yang menjual makanan kepada pelajar dari kelas bawah, memicu gelombang protes besar-besaran dikalangan pemuda dan pelajar.

5. “Restless Youth”: The 1968 Brazilian Student Movement as seen from Washington, James N. Green, Brown University dapat diakses di http://http:/sitemason.vanderbilt.edu/files/iZnisU/Green.doc, diakses 6 November 2013

6. “Dilarang Demo Saat Upacara HUT RI, Mahasiswa UI & Satpam Adu Jotos” 17/08/2011, http://news.detik.com/read/2011/08/17/215012/1705539/10/dilarang-demo-saat-upacara-hut-ri-mahasiswa-ui-satpam-adu-joto, diakses 6 November 2013

7. “Lika-liku Kisruh Kepemimpinan di UI”, 08/09/2012, http://kampus.okezone.com/read/2012/08/09/417/675747/lika-liku-kisruh-kepemimpinan-di-ui, diakses 6 November 2013.

8. Tidak semua mahasiswa dan pelajar menolak pembangkangan total, banyak juga yang menjadi menjadi martir dalam gerakan perlawanan (bukan sebuah daftar lengkap, dihimpun dari peristiwa menjelang dan sesudah Reformasi berlangsung):

a. Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998:
Petrus Bima Anugerah, Herman Hendrawan, Suyat, Hendra Hambali (pelajar SMA), Ucok M. Siahaan

b. Tragedi Gejayan 1998:
Moses Gatutkaca

c. Penembakan di Trisakti:
Elang Surya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Hery Hertanto

d. Tragedi Semanggi I dan II:
Teddy Wardhani Kusuma,  Bernardus Realino Norma Irmawan, Sigit Prasetyo, Engkus Kusnadi, Heru Sudibyo, Muzamil Joko Purwanto,  Agus Setiana (pelajar SMA),  Lukman Firdaus (pelajar SMA), Yun Hap (Semanggi II)

e. Tragedi Lampung dan Palembang 99:
Muhammad Yusuf Rizal (Lampung), Saidatul Fitriah (Lampung), Meyer Ardiansyah (Palembang)

f. Protes Mahasiswa IKIP Mataram 2006:
M. Ridwan

g.  Peristiwa Bakar Diri di depan Istana Negara 2011:
Sondang Hutagalung

9. Fredy Perlman, The Reproduction of Daily Life, https://www.marxists.org/reference/archive/perlman-fredy/1969/misc/reproduction-daily-life.htm, diakses 6 November 2013.

10. Everett Reimer, School Is Dead, http://gyanpedia.in/Portals/0/Toys%20from%20Trash/Resources/books/dead.pdf, diakses 6 November 2013.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.