APAKAH Suriah akan menjadi Iraq jilid dua? Terlepas dari berbagai perbedaannya, skenario Iraq dan Suriah memiliki beberapa kemiripan: seorang despot (Saddam Hussein di Iraq, Bashar al-Assad di Suriah) melakukan penindasan secara sistematis atas rakyatnya sendiri mengakibatkan komunitas internasional, terutama Barat, ‘kebakaran jenggot’ atas nama ‘intervensi kemanusiaan’ (humanitarian intervention). Kali ini, dalih yang digunakan adalah kemungkinan penggunaan senjata kimiawi rejim Assad terhadap pihak oposisi dan warga sipil di Suriah. Namun, belajar dari pengalaman Iraq dan sejarah intervensi politik Barat, terutama AS di Timur Tengah, maka kita akan segera menyadari bahwa ada yang janggal dan berbahaya dari rencana serangan ini.
Kebobrokan Moralitas ‘Intervensi Kemanusiaan’
Michael Ignatieff, tokoh Liberal asal Kanada, dalam bukunya The Lesser Evil berujar bahwa ‘Perang pre-emptif akan sangat jarang muncul, namun setidaknya itu adalah kejahatan yang lebih kecil (a lesser evil).’ Dalam tarikan nafas yang sama, Kanan Makiya, seorang apologis Perang Iraq, juga menyatakan bahwa pasca invasi, tentara Amerika akan disambut dengan ‘manisan dan bunga-bunga’ di Iraq – sampai kemudian Ignatieff dan Makiya menyadari bahwa jumlah korban jiwa di Iraq setelah invasi hampir mencapai jumlah korban jiwa di bawah rejim Saddam Hussein. Dan alih-alih disambut dengan ‘manisan dan bunga-bunga,’ pasukan Amerika di Iraq disambut dengan darah dan bibit-bibit kebencian.
Agar makin jelas siapa lagi yang bergabung dalam barisan pendukung invasi, baca berita ini: baru-baru ini, Tony Blair, yang kita tahu adalah seorang politisi apologis invasi Iraq dan Afghanistan serta kudeta militer di Mesir, juga mendukung penyerangan atas Suriah.
Inilah kebobrokan moralitas ‘intervensi kemanusiaan’ ala imperium, baik dalam varian Neokon, Liberal, ‘Kiri-tengah,’ maupun ‘Islam-progresif’-nya. Masih segar dalam ingatan kita – setidaknya, ingatan saya – bagaimana berbagai intelektual dan tokoh publik mendadak menjadi segerombolan pandir, mendukung invasi atas Iraq atas nama ‘kemanusiaan’ dan ‘pembebasan’ yang bersifat semu jikalau bukan omong kosong sama sekali. Hasilnya? Kemelut yang tak kunjung reda di Afghanistan, Iraq dan kemudian Libya – semuanya diproyeksikan menjadi ‘model demokrasi’ di Timur Tengah. Daftar target ini rupa-rupanya belum cukup memuaskan panjangnya, sampai-sampai humanitarianisme gadungan ala imperium ini juga disinyalir akan mampir ke Suriah
Dari amatan saya, setidaknya ada sejumlah kontradiksi yang luput dari pembahasan wacana serangan atas Suriah kali ini. Pertama-tama, menjadikan penggunaan senjata kimia sebagai dalih untuk menyerang Suriah terasa absurd, mengingat bahwa penindasan yang dilakukan oleh rejim Assad sesungguhnya telah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum konflik politik berkembang menjadi perang sipil. Pertanyaannya, adakah ‘batas-batas’ yang menjadi patokan bagi negara lain atau komunitas internasional untuk mengintervensi sebuah konflik internal dan perang sipil yang makin memanas? Lalu, akan seperti apakah bentuk intervensi itu? Adakah bentuk-bentuk intervensi yang mungkin di luar serangan militer? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak publik dan pihak lainnya terkait dengan rencana serangan terhadap Suriah. Kemudian, terlepas dari berbagai perdebatan dan definisi soal apa yang dapat dikategorikan sebagai senjata kimiawi, Barat terutama Amerika Serikat sendiri telah memakai berbagai versi senjata kimiawi seperti Napalm dan Agen Oranye dalam jingoisme politik luar negerinya. Argumen lain, yang membuat perumpamaan serangan ke Suriah sama dengan atau setidaknya mirip dengan keharusan Amerika Serikat bergabung dalam Perang Dunia ke-II (PD II), juga terdengar absurd – poros Fasis dalam PD II melakukan aksi-aksi militer yang bersifat ekspansionis dan irredentis. Ini tentu sangat berbeda dengan kondisi Suriah sekarang. Dengan kata lain, ada semacam kemunafikan par excellence ala imperium di sini.
Kedua, serangan atas Suriah berpotensi tidak hanya meningkatkan suhu politik domestik Suriah, namun juga kondisi geopolitik regional yang sudah memanas akhir-akhir ini. Tidak hanya itu, penyerangan atas Suriah juga berpotensi memperpanjang dan mentransformasikan bentuk-bentuk konflik bersenjata dan kekerasan politik di Suriah dan Timur Tengah – lagi-lagi, kasus Afghanistan dan Iraq adalah contoh dan pengalaman dari kemungkinan itu.
Ketiga, apa yang disebut sebagai kelompok ‘oposisi Suriah’ sesungguhnya terdiri dari berbagai faksi dan kelompok yang tidak hanya memiliki kepentingan yang berbeda, namun juga ideologi yang berbeda dan bahkan saling bertikai satu sama lain. Beberapa laporan dan reportase yang diterbitkan oleh sejumlah media menyebutkan bahwa beberapa kelompok dan milisi Islamis yang memiliki koneksi dengan al-Qaeda sempat menyerang sejumlah anggota dan pemimpin dari Tentara Pembebasan Suriah (Free Syrian Army) yang berhaluan nasionalis-sekuler. Bukan tidak mungkin kalau kejadian ini akan berulang di kemudian hari. Oleh karana itu, dalam kaitannya dengan hubungan antar berbagai elemen dalam pihak oposisi di Suriah yang saya sebutkan, prospek demokratisasi dan konsolidasi demokrasi di Suriah pasca-Assad bisa jadi amatlah suram karena kurangnya, jikalau bukan ketiadaan, titik temu di antara berbagai elemen dalam kelompok oposisi.
Keempat, terdapat oposisi domestik yang cukup besar terhadap rencana serangan atas Suriah di beberapa negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Publik dan parlemen Inggris baru-baru ini mengeluarkan sebuah keputusan yang tepat sasaran, yaitu tidak bergabung dalam operasi militer atas Suriah. Di Amerika Serikat sendiri, beberapa hasil jajak pendapat opini publik dan anggota kongres juga menunjukkan ketidaksetujuan mereka atas rencana serangan ke Suriah. Rupa-rupanya mereka yang belajar dari katastrofi di Afghanistan dan Iraq tidak sedikit jumlahnya. Serangan atas Suriah adalah pengkhianatan atas aspirasi publik.
Kelima, dan mungkin yang paling penting, meskipun serangan atas Suriah boleh jadi berhasil menggulingkan Assad, korban dari warga sipil dipastikan akan meningkat sebagai akibat dari serangan tersebut. Tidak hanya itu, lagi-lagi berkaca dari pengalaman Afghanistan dan Iraq, korban jiwa bahkan bisa jadi terus bertambah bahkan setelah Assad tumbang. Sejauh manakah Barat dapat mengurangi korban jiwa, menjamin stabilitas politik pasca-Assad dan menjaga prospek dan proses transisi rejim di Suriah? Saya sangsi Barat bisa berbuat banyak dalam menjawab empat tantangan ini.
Ilustrasi oleh Nobodycorp.Internationale Unlimited, @nobodycorp
Dari segi wacana, kontradiksi-kontradiksi ini menunjukkan keterbatasan humanisme gadungan ala panji-panji intervensi humanitarian yang sedang bergema akhir-akhir ini. Dari segi pertarungan politik dan kekuasaan, berbagai kontradiksi ini merupakan ekses dari politik luar negeri Barat yang mempromosikan ‘pembangunan imperium’ (empire building), mendukung para despot yang disebut sebagai ‘para rekan’ atau kelompok fundamentalis bersenjata yang disebut sebagai ‘pejuang pembebasan’ – untuk kemudian diperangi kembali sembari memakan korban jiwa penduduk sipil yang tidak sedikit. Kontradiksi politik ‘pembangunan imperium’ juga merembet ke dalam ranah politik domestik di negara-negara Barat: kasus invasi Afghanistan dan Iraq menunjukkan bahwa bersamaan dengan berlangsungnya dua perang tersebut, hak-hak sipil dan politik serta kesejahteraan dari warga negara di Barat semakin termarginalkan, sebagaimana dapat kita lihat dari kasus penjara Guantanamo, dan invasi pemerintah terhadap kebebasan sipil dan privasi warga negara dan politik ‘sekuritisasi’ yang cenderung diskriminatif terhadap kelompok-kelompok minoritas atas nama perang terhadap ‘terorisme domestik.’
Agaknya imperium tetaplah imperium; mau Bush, Obama, atau siapapun yang berkuasa, nafsu ekspansi dari imperium gak ada matinya. Tak heran apabila Tariq Ali menyebut strategi politik seperti ini sebagai ‘neoliberalisme di dalam negeri dan perang di luar negeri’ (neoliberalism at home and wars abroad).
Musim Semi yang telah menjadi Musim Gugur
Alain Badiou dalam The Rebirth of History menyatakan bahwa yang membedakan momen historis Musim Semi Arab (Arab Spring) dengan momen sejarah lain adalah kemampuannya untuk merumuskan ide politik emansipasi yang terbebaskan dari ‘hasrat untuk menjadi Barat’ (desire for the West). Meskipun saya mengamini pernyataan Badiou, semakin lama saya semakin sadar bahwa musim semi gerakan rakyat, apabila tidak dipertahankan dan diorganisir, dapat berubah menjadi musim gugur.
Mari kita ambil kasus Libya sebagai contoh. Saya tidak tahu persis apa yang dipikirkan oleh para pemberontak dan oposan kediktatoran Khadafi. Yang pasti, terlepas dari penghormatan saya atas perlawanan mereka, pihak pemberontak dan oposisi sepertinya belum mampu melampaui ‘hasrat untuk menjadi Barat,’ yang mendorong mereka untuk melempengkan jalan bagi masuknya ekspansi imperium dan kapital global di Libya. Hasilnya adalah proyek pembangunan negara post-kolonial, post-authoritarian yang tak kunjung selesai dan terus bergejolak. Baru-baru ini terdapat pertikaian mengenai pengelolaan minyak antara pihak pemerintah, berbagai kelompok milisi, korporasi internasional dan entah siapa lagi – yang pasti, rakyat Libya sendiri tidak dapat bagian dalam pertarungan atas minyak itu.
Musim Gugur Arab juga mengingatkan saya atas apa yang terjadi pasca demonstrasi dan aksi massa besar-besaran dari para pelajar dan pekerja di Paris tahun 1968. Setelah aksi-aksi yang menciptakan momen politik yang nyaris revolusioner itu, aksi-aksi massa kemudian mulai meredup, politik massa pelan-pelan berganti menjadi negosiasi di antara para elit, yang berujung dengan kemenangan politik Charles de Gaulle dan Partai Gaullis-nya menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Inilah tantangan terbesar yang kerapkali dihadapi oleh gerakan rakyat: setelah militansi massa, selanjutnya apa? Karenanya, Lacan, dalam tantangannya terhadap eksponen gerakan massa di Prancis pernah berujar, ‘Sebagai sekelompok revolusioner, kalian hanyalah sekedar orang-orang histeris yang meminta Tuan baru. Kalian akan mendapatkannya.’ Apakah berbagai kelompok oposisi dan revolusioner di jazirah Arab diam-diam mendambakan Tuan baru?
Saya khawatir, jangan-jangan inilah potret gerakan rakyat di jazirah Arab akhir-akhir ini. Di Mesir, gerakan rakyat tercerai berai, pendukung Ikhwanul Muslim dibredel peluru dan militer sebagai kekuatan parasitik kembali berkuasa, melempar kembali pendulum sejarah ke arah masa lalu yang kelam. Di Libya, gerakan rakyat justru memberi jalan atas ekspansi imperium dan kapital global, mengakibatkan pertikaian yang tak kunjung usai soal minyak dan politik. Suriah adalah kontradiksi terbesar: rakyat seakan-akan hanya punya pilihan antara menjadi mainan Assad, kelompok-kelompok politik dan milisi dengan kepentingan tersembunyi, atau para elit Barat – dengan kata lain, pilihan yang bukan pilihan.
Adakah masa depan bagi rakyat jelata di Suriah? Entah kenapa, saya pesimis. Lagi-lagi rakyat jelata hanya menjadi debu yang tertutupi oleh keset sejarah, terinjak-injak oleh kaki-kaki para despot yang paling keji.***
Penulis berterima kasih atas masukan dari rekan Afrimadona dan Coen Husain Pontoh
Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc