Daftar Isi Edisi Ini:
- Fiksi Ilmiah dan Fiksi Indonesia
- Amba Ingin Pulang tapi Takut Jadi Komunis
- Konsep-konsep Seni S. Sudjojono
- Porong Hancur
- Remeh-Temeh Rimbaud
- Catastrophe – Elegi Untuk Pramudya Ananta Toer
Ketika isu-isu kekerasan ’65 semakin diangkat ke permukaan, suara anti-komunisme pun semakin keras. Dari jenderal hingga politisi sipil sudah mulai angkat bicara tentang ‘kebangkitan PKI’ atau menebar ancaman agar ajaran ‘Marxisme/Komunisme’ tidak disebarluaskan. Seorang pemuka agama yang rajin memberikan kuliah di hadapan tentara pun mengibas-ngibas rumor baru: ‘Awas, KGB (Komunisme Gaya Baru)!’ Orang tentunya bisa tertawa miris. Ini lelucon yang jauh dari lucu, sebab yang ia maksud ‘KGB’ adalah (bekas) aktivis kiri yang masuk pemerintahan atau partai-partai tertentu.
Sementara itu, tak terhitung banyaknya produk-produk kebudayaan kontemporer yang menuturkan penderitaan korban tragedi ’65. Perlu dicermati pula bahwa isu “korban” pun semakin menjadi ranah yang paling seksi, sekaligus aman, untuk membahas ’65. Pembantaian dan pemenjaraan massal semena-mena itu memang sebejat-bejatnya pelecehan atas kemanusiaan. Sayangnya, dalam sebagian narasi, terjadi sejenis “pengkastaan” korban: korban yang “tak tahu apa-apa” adalah yang paling tinggi derajatnya; “orang kecil yang polos” dan tiba-tiba diganyang karena tuduhan “terlibat Gestapu”, misalnya. Adapun korban yang paling rendah adalah orang PKI yang “mengekspoloitasi kemiskinan warga kampung” supaya ikut aksi sepihak, lantas lebih jauh menyeret mereka ke dalam tragedi di tahun itu. Dalam rubrik “Kritik” kali ini, Alwi A. Ardhana dengan sigap menyergap ekor dua novel kontemporer, Amba (Laksmi Pamuntjak) dan Pulang (Leila S. Chudori), kemudian menunjukkan bahwa simpati terhadap korban itu tak lebih dari pulasan bibir semata.
Oscar Wilde benar: lebih mudah bersimpati atas penderitaan orang lain ketimbang gagasan. ’65 memang meninggalkan korban yang jumlahnya jutaan. Tapi yang juga tak kalah gawat, ’65 menghancurkan kemampuan masyarakat pekerja untuk berorganisasi. ’65 membuat analisis kelas di Indonesia ditinggalkan (dengan alasan “kaku”, “deterministik”, dan seterusnya). Pasca ’65, kebanyakan aktivis perempuan paling jauh hanya mampu bicara tentang “politik tubuh”. Seorang sejarawan pernah mengatakan, apapun yang berbau komunis di Indonesia dibunuh dua kali: di tahun 1965 dan setelahnya melalui pelarangan literatur Marxisme. Mungkin kini tiga kali–dan yang ketiga hadir sebagai ironi: oleh sebagian narasi korban ’65.
Namun demikian, dengan ataupun tanpa kehadiran Marxisme, perlawanan rakyat masih tetap berjalan. Tak terkecuali dalam bidang seni. OM Monata, sebuah orkes dangdut koplo dari Jawa Timur, menggoyang pinggul kita sambil menyanggah anggapan umum bahwa dangdut adalah musik dekaden yang melenakan rakyat. Malah sebaliknya: kita bisa berjoged ria sambil menghujamkan kritik sosial. Simak saja lagu Porong Ajur yang kami sajikan dalam rubrik “Apresiasi”. Dari aras yang berbeda, Amien Kamil dan kawan-kawan mengajak kita untuk terjun ke arena mosh pit dengan diiringi lagu Katastrophe – Elegi Untuk Pramoedya Ananta Toer, sebuah kisah tentang pembantaian anggota/tertuduh anggota PKI sejak tahun ’65 itu.
Kritik sosial dari rakyat ini tentunya perlu diolah lebih lanjut untuk menghasilkan perlawanan revolusioner. Sayangnya, artikulasi seni Indonesia dewasa ini masih belum mampu menjadi wadah bagi pembentukan “jiwa-jiwa revolusioner”. Duet maut Berto Tukan dan Yovantra Arief berusaha mengupas problem ini dalam rubrik “Essay”. Dalam bidang sastra, keduanya menyodorkan sebuah tesis bahwa kebanyakan sastrawan kiri (atau yang sedang belajar menjadi kiri) kurang update soal teknologi dan referensi. Barangkali karena sudah kebelet revolusi.
Demi mengupayakan terbentuknya seni perlawanan baru sekaligus tetap menyejarah, Anasasia Jessica Adinda S. memaparkan konsep-konsep seni Soedjojono dalam rubrik “Teori”. Tulisan ini, kami harap, bisa membuka diskusi baru (atau lebih tepatnya, melanjutkan diskusi lama yang diintervensi oleh Orba) mengenai kesenian rakyat progresif.
Dalam rubrik “Kliping” kami kembali menghadirkan puisi-puisi penyair Perancis yang “nggak kiri-kiri amat”. Kali ini, pilihan kami jatuh pada penyair Arthur Rimbaud yang diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Nosa Normanda. Saduran-saduran ini sengaja kami tawarkan bagi para penyair muda, kiri dan berbahaya Indonesia yang–siapa tahu–berminat untuk mencari referensi lain di luar realisme sosialis a la Gorky. Tak perlu repot-repot menunjuk Rimbaud sebagai borjuis; toh dia sudah tergabung dalam gerakan dekaden (decadent movement) pada abad ke-18.
Demikianlah delapan paragraf pengantar ini kami haturkan. Kami berharap dalam sekhusyuk-khusyuknya doa bahwa September tahun ini–dan tahun-tahun setelahnya–kita bisa mengenang tahun ’65 tanpa menitikkan air mata. Lebih lanjut lagi, kami juga berharap kita bisa mengenang setiap nyawa yang melayang bukan “sekadar” korban kekerasan, melainkan juga sebagai subjek sejarah yang bekerja demi gemilangnya masa depan–meskipun masa depan itu akhirnya digasak oleh tentara. Sebab, hanya dengan cara itulah kita bisa mengambil hikmat dan semangat dari para pendahulu kita.
Selamat menikmati.