‘There is no private domain of a person’s life that is not political and there’s no political issue that is not personal. The old barrier has fallen.’
(Charlotte Bunch)
TELAH berabad-abad lamanya perempuan dikonstruksikan secara sosial sebagai manusia kelas dua di bawah laki-laki. Konsekuensinya, perempuan selalu menjadi ‘kelas tertindas’ dalam struktur masyarakat. Ketertindasan itu kelak melahirkan perlawanan di berbagai lokalitas, wilayah, maupun negara. Dari perjuangan yang terpisah-pisah hingga yang berusaha membangun perjuangan perempuan secara bersama-sama. Dimulai dengan perjuangan pembebasan perempuan dari kungkungan domestik yang dikonstruksikan sebagai satu-satunya wilayah yang kodrati bagi perempuan. Adalah Marry Wolstoncraft, perempuan warga negara Amerika Serikat, yang mempertanyakan pembagian peran laki-laki sebagai the breadwiner atau pencari nafkah. Perjuangan tersebut kemudian terus mengalami kemajuan dan menjadi perjuangan untuk memperoleh hak suara (women’s suffrage) di AS, hingga perjuangan perempuan dalam hal mothering dan labouring yang digagas seorang feminis sosialis Rusia, Alexandra Kollontai. Kini, perjuangan pembebasan perempuan pun telah dilakukan pula oleh kaum feminis di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia.
Berkembangnya berbagai women’s interest dalam perjuangan pembebasan perempuan; adanya upaya teoritis untuk menempatkan perempuan sebagai subjek dan pengalaman perempuan sebagai dasar pengetahuan, merupakan terobosan atas positivisme patriarkis yang selama ini mendominasi dunia ilmu pengetahuan. Seiring dengannya, terjadi kategorisasi feminisme, diantaranya feminisme radikal, liberal, Marxis, dan sebagainya, yang mana sebenarnya hanya berbeda dalam menggunakan strategi berjuang.
Namun, pembebasan perempuan tak kunjung datang. Kekerasan terhadap perempuan kian marak terjadi, berbagai peraturan patriarkis yang mengekang perempuan, seperti Perda-Perda syari’ah, juga tak berhenti bermunculan, dan sebagainya. Lantas muncul pertanyaan: apa yang menyebabkan gerakan pembebasan perempuan belum juga menemui kemenangan sejatinya? Apakah dengan keluar dari ranah domestik lantas perempuan terbebas dari penindasannya?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, pada edisi kali ini Fathimah Fildzah Izzati dari Left Book Review (LBR) Indoprogress, melakukan perbincangan dengan Ruth Indiah Rahayu, aktivis perempuan dan peneliti feminis di Institut Kajian Krisis & Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) serta peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Saat ini, Ruth juga aktif sebagai Ketua Departemen Pendidikan Komite Pusat Partai Rakyat Pekerja (PRP), dan sedang melaksanakan studi filsafat untuk program pasca-sarjana pada sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Publikasi tulisan-tulisannya berfokus pada feminisme, sejarah dan politik, khususnya menekuni studi gerakan-gerakan perempuan di Indonesia. Berikut petikannya:
Bagaimana pendapat Anda mengenai kian maraknya kekerasan yang menimpa perempuan di seluruh dunia?
Dasar masalahnya ada pada patriarki. Kita tahu, menurut arti harfiahnya, patriarki berasal dari kata ‘bapak,’ yang sejak kita dilahirkan di dunia diperkenalkan sebagai kepala rumah tangga yang mempunyai otoritas mengontrol anggota keluarga. Kate Millet[1] mengatakan, patriarki membentuk diri sebagai sistem, dimana dominasi laki-laki terhadap perempuan terbangun dalam sosialisasi, diabadikan melalui ideologi, dan dipelihara oleh institusi-institusi. Saya memperhatikan bahwa patriarki hidup abadi dalam berbagai ideologi di dunia, dalam kapitalisme, fasisme, militerisme, ideologi agama, bahkan sosialisme. Kata Juliet Mitchell,[2] dari sudut pandang psikoanalisa, patriarki memiliki watak agresif (brutal adalah manifestasinya) untuk mengontrol dan menaklukkan perempuan.
Saya ingin mengambil contoh dunia binatang. Kata Darwin,[3] agresi diperlukan untuk survival dan kelangsungan hidup spesies. Anda tahu bagaimana monyet jantan berkuasa? Pertama, dia harus berkelahi dengan sesama monyet jantan; kedua, mengawini sekian banyak betina untuk reproduksi; dan terakhir, menentukan batas teritorial. Jadi, saya mempunyai imaginasi agresi patriarki sama halnya dengan kekuasaan monyet jantan tersebut.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi agresi patriarki yang khas, karena menyasar tubuh perempuan. Tubuh perempuan adalah lokus, sedangkan fokusnya bisa pada seksualitas, reproduksi biologis, tenaga kerja, yang dihubungkan dengan kepentingan ekonomi, politik, kultural bahkan kepercayaan religi. Oleh sebab itu, kekerasan terhadap perempuan memiliki dimensi yang luas, tergantung pada pelaku patriarkalnya, apakah individu, institusi atau ideologi kolektif. Sebenarnya, kekerasan terhadap perempuan tidak hanya marak dewasa ini, tapi sudah berlangsung sepanjang sejarah perkembangan masyarakat. Jangan-jangan itulah paradoksnya, peradaban manusia dibangun di atas agresi patriarki, karena sebagaimana dunia binatang, melalui agresi itu, patriarki dapat survive dan melangsungkan kebudayaan patriarkalnya.
Dewasa ini, terkhusus di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan di area urban seolah-olah meningkat, padahal yang meningkat adalah pemberitaannya di media massa dan media sosial. Tetapi, yang menjadi pertanyaan, apakah dengan kemarakan pemberitaan di berbagai media itu dapat mengontrol agresi dan kebrutalan patriarki? Ternyata sama sekali tidak.
Bagaimana pandangan Anda mengenai perkembangan gerakan perempuan saat ini?
Saya harus memperjelas konteks saat ini adalah akhir abad 20 dan awal abad 21. Saya tidak berani membuat hitungan waktu dan tempat secara serampangan, karena gerakan perempuan sejak kemunculannya pada abad 18 di Eropa sampai sekarang, seperti dalam hukum termodinamika. Hukum termodinamika mempunyai tiga prinsip: tekanan, temperatur dan volume. Faktor temperatur saya analogikan dengan revolusi-revolusi. Faktor tekanan dapat kita ibaratkan dengan gerakan perempuan, sedangkan volume dapat dinyatakan sebagai problem perempuan. Jika temperaturnya tinggi, tekanan itu akan menguat dan terjadi perubahan pada volume, seperti halnya ketika kita memanaskan air pada temperatur yang tinggi. Terdapat banyak revolusi dalam sejarah manusia, tetapi yang terpenting dalam mempengaruhi bangkitnya gerakan perempuan ialah revolusi pemikiran (Aufklärung), revolusi industri dan teknologi, serta revolusi kemerdekaan nasional (lahirnya negara baru).
Gerakan perempuan setelah revolusi-revolusi berlalu mengartikulasikan tujuan politik pada keadilan gender. Konsep keadilan gender tentu saja baru dikenal awal dekade 1970an, sebagai kategori analitik yang dipopulerkan dalam studi antropologi feminis. Di zaman Clara Zetkin dan ibu-ibu kita yang berkongres pada 22 Desember 1928, istilah ini belum dikenal. Tujuan politik keadilan gender dikonsolidasikan melalui Konferensi Perempuan sedunia sejak pertama kali di Kopenhagen pada 1975, sampai dengan yang keempat di Beijing pada 1994. Tujuannya untuk menerobos situasi Perang Dingin dengan kemenangan gerakan liberal pendukung kapitalisme. Pada saat Konferensi yang pertama, dunia dibagi ke dalam tiga analisis geopolitik, yakni negara dunia pertama (negara maju-kapitalis), dunia kedua (negara-negara sosialis), dan negara dunia ketiga (negara mantan jajahan atau miskin). Tujuan politik keadilan gender seperti mengakomodasi seluruh perbedaan pandangan ideologi-politik dan historis masing-masing negara. Kemudian, gerakan-gerakan perempuan di seluruh dunia pada akhir abad 20, berkembang pada tujuan yang sama. Tuntutan ini ditambahkan (subsidiary) pada gerakan hak asasi manusia dan demokrasi.
Di Indonesia, jika Anda merekoleksi ingatan pada kebangkitan gerakan perempuan dekade 1980an sampai dengan dekade 1990an, tujuan keadilan gender sangat menguat pada kedua agenda perjuangan hak asasi manusia dan demokrasi. Itu sangat relevan ketika menghadapi otoritarianisme Orde Baru, dimana kaum perempuan mengalami berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, dan tiadanya ruang demokrasi untuk mengartikulasikan kepentingan perempuan, bahkan untuk berorganisasi. Keadaan berubah ketika memasuki dekade 2000an, setelah masa yang disebut ‘reformasi politik,’ gerakan perempuan menguat di jalur demokrasi elektoral. Sebagaimana mandat dari Konferensi Perempuan di Beijing, salah satunya adalah affirmative action untuk sistem kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen atau lembaga politik negara lainnya. Kita berada satu jalur dengan gerakan perempuan di Asia Tenggara, yang mengalami perubahan politik untuk keluar dari krisis ekonomi pertengahan 1990an. Menurut saya, kebijakan affirmative action untuk sistem kuota bagi keterwakilan perempuan hanya merupakan metode yang diperbarui dari gerakan women’s suffrage awal abad 20 di negara-negara Asia Tenggara tersebut. Tetapi bagi perempuan, katakanlah di Indonesia saat ini, sistem kuota untuk keterwakilan perempuan membuka cara pandang baru untuk berkompetisi politik melalui proses elektoral. Sampai di sini, gerakan perempuan di Indonesia setelah perubahan politik 1998 memperoleh capaiannya.
Tetapi, barangkali hanya sedikit aktivis atau politisi perempuan yang mempertanyakan dengan cara apa keadilan gender itu dicapai? Apakah cukup dicapai dengan sistem kuota keterwakilan perempuan di parlemen atau lembaga politik negara lainnya? Apakah cukup dijamin dengan adanya undang-undang? Karena kita telah dibuat lupa terhadap sejarah revolusi-revolusi dunia, dan yang membuat dunia berkembang adalah revolusi, maka cara pandang baru itu sekaligus mereduksi gagasan pokok dari gerakan perempuan, yakni untuk pembebasan perempuan. Gagasan pembebasan perempuan lenyap dalam ingatan kolektif gerakan perempuan secara umum di seluruh dunia akhir abad 20 dan awal abad 21. Gerakan perempuan mengimani keadilan gender sebagai tujuan akhir, tetapi ada missing link dalam ingatan historisnya, bahwa hal itu harus dicapai melalui revolusi yang meniscayakan pembebasan perempuan. Tetapi, barangkali karena ada missing link, maka gerakan perempuan dewasa ini lebih disibukkan pada urusan problem perempuan ketimbang berpikir untuk mencari solusi yang mendasar.
….hanya sedikit aktivis atau politisi perempuan yang mempertanyakan dengan cara apa keadilan gender itu dicapai? Apakah cukup dicapai dengan sistem kuota keterwakilan perempuan di parlemen atau lembaga politik negara lainnya? Apakah cukup dijamin dengan adanya undang-undang?
Bagaimana pandangan Anda mengenai fragmentasi yang ada dalam gerakan perempuan saat ini?
Pendapat mengenai fragmentasi musti kita perjelas. Jika adanya fragmentasi sebagai pengejawantahan dari keadaan psikologis, saya tidak tertarik membahasnya, karena itu bukan problem pokok. Tetapi, jika adanya fragmentasi karena perwujudan dari perbedaan ideologi-politik, itu merupakan konsekuensi yang menarik dan pertanda kemajuan pemikiran dari gerakan perempuan. Dalam konteks Indonesia, gerakan perempuan sejak Orde Baru (setelah Tragedi 1965) dan saat ini telah diperdamaikan dalam kesamaan capaian mewujudkan keadilan gender. Gerakan perempuan seperti diwajibkan mempunyai tujuan yang sama, meskipun entitas perempuan itu berasal dari isteri pejabat, fundamentalis agama, pengusaha, buruh, tani, miskin kota dan nelayan. Rantai persamaannya adalah kita menuntut kesetaraan gender dan partisipasi perempuan dalam politik. Tapi, bagaimana mungkin tuntutan isteri pejabat dapat disamakan dengan isteri petani atau buruh? Ini persoalan ketika gerakan perempuan di Indonesia tidak berani secara tegas mengartikulasikan perbedaan kepentingan politik perempuannya (women’s interest) dan kepentingan kelasnya. Memang saya tidak menolak bahwa sebagai perempuan kita menghadapi problem yang sama dan lintas kelas, seperti kekerasan seksual, diskriminasi oleh tafsir religi, dll., tetapi persamaan ini akan berbeda analisis dan solusinya berdasarkan kelas sosial. Contohnya, jika ada seorang keluarga dinasti politik mengalami perkosaan, dan pada saat yang sama, hal serupa menimpa buruh perempuan di Majalaya, siapakah yang akan memperoleh perlindungan dan pelayanan lebih utama? Secara konstitusi, sebagai warga negara, isteri pejabat dan buruh manufaktur memperoleh hak yang sama untuk memperoleh perlindungan dan pelayanan negara/masyarakat. Tetapi perbedaan kelasnya tidak memungkinkan buruh manufaktur tersebut mendapat hak yang setara dengan isteri pejabat.
Jadi, fragmentasi gerakan perempuan untuk mempertajam analisa dan rumusannya terhadap kepentingan perempuan dan kelasnya merupakan keharusaan saat ini. Berbeda dengan saat gerakan perempuan melawan otoritarianisme Orde Baru, dimana gerakan perempuan memiliki kepentingan yang sama: untuk membuka ruang politik negara bagi artikulasi perempuan. Saat ini, ketika ruang politik negara telah terbuka, gerakan perempuan harus lebih berani mempertegas artikulasi kepentingannya. Tak perlu malu untuk berbeda dan terfragmentasi, karena perbedaan tersebut dapat diperdebatkan secara ilmiah.
Apa yang menjadi kepentingan perempuan (women’s interest) dari gerakan perempuan saat ini?
Di Indonesia awal abad 21 ini, sekalipun tidak terlalu tajam, women’s interest gerakan perempuan mengarah pada tiga artikulasi. Saya menyebut tidak terlalu tajam, karena artikulasinya satu sama lain seringkali tumpang tindih. Saya menyebutnya artikulasi, berdasarkan analisa terhadap tuntutan yang dinyatakan/disuarakan, terlepas apakah hal itu disuarakan oleh kelompok yang sama dengan satu suara yang sama, atau kelompok yang sama dengan berbagai macam suara tuntutan yang berbeda. Pertama, gerakan perempuan yang terus menerus menyuarakan tuntutan reformasi politik melalui revisi undang-undang untuk meningkatkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen. Sejalan dengan ini, ialah tuntutan terhadap gender budgeting, penyusunan perundangan atau peraturan daerah yang melindungi keadaan perempuan (seksualitas, kesehatan, pendidikan). Kedua, kepentingan perempuan terhadap problem kesejahteraan dan alat produksi. Tuntutan ini banyak disuarakan oleh kelompok perempuan atau serikat buruh, serikat tani, serikat miskin kota, serikat buruh migran, meski kepentingan perempuannya masih tersembunyi, sedangkan kepentingan kelasnya lebih manifes. Ketiga, kepentingan perempuan pada isu identitas. Dimensi identitas mencakup seksualitas (lesbian, gay, biseksual, transeksual), religi, adat, dan bertujuan pluralisme sebagai basis kepentingan warga negara.
Ketika gagasan revolusi telah lenyap dalam ingatan kolektif dan pengetahuan generasi baru gerakan perempuan, tujuan politik pembebasan perempuan melalui revolusi juga sirna.
Bagaimana Anda melihat kecenderungan meluasnya diskursus ‘politik tubuh’ dalam posisi epistemik feminisme sekarang? Bagaimana hal tersebut berimplikasi pada gerakan perempuan itu sendiri, khususnya perempuan kelas pekerja?
Ketika kita masuk ke dalam diskursus ‘tubuh,’ kita musti berpaling kepada filsafat manusia.[4] Jika pergumulan mencari kekhasan manusia (untuk membedakan dengan binatang) diawali dengan pertanyaan apakah yang khas dari manusia, maka pergumulan mencari kekhasan perempuan (untuk membedakan dengan laki-laki) juga dimulai dari pertanyaan yang sama. Teori naturalis menjawab bahwa kekhasan perempuan (untuk membedakan dengan laki-laki) ada pada perbedaan seks dan tubuh biologisnya. Determinisme biologis ini ditolak oleh teori feminis, sebab apa persoalannya dengan fisiologis perempuan sehingga harus mengalami penindasan? Teori ini mengabaikan faktor historis, struktural, dan kultural yang menciptakan penindasan perempuan. Teori feminis sepakat pada teori konstruksionis bahwa kekhasan ‘tubuh perempuan’ merupakan akibat pemaknaan manusia/masyarakat terhadap fisiologis perempuan. Maka ‘tubuh perempuan’ tak lebih dari sebuah konstruksi yang memiliki dimensi waktu, tempat, dan kepentingan masyarakat. Mari kita runut pengetahuan yang bertolak dari pengalaman menubuh perempuan!
Gagasan mengenai ‘tubuh perempuan’ saat ini menjadi arena perdebatan feminis mengenai gender dan seksualitas. Konsep gender digunakan pada awal dekade 1970an, pertama kali dikemukakan oleh Ann Oakley[5] dan diulas lebih tajam oleh Gayle Rubin,[6] untuk menyatakan tentang feminitas dan maskulinitas yang dibentuk oleh budaya terhadap seks ‘perempuan’ dan seks ‘laki-laki.’ Istilah seks seringkali membingungkan karena dapat berarti jenis kelamin, dan yang lainnya, aktivitas erotis (melakukan hubungan seks). Ini karena konsep seksualitas, yakni hasrat, identitas, dan aktivitas erotis juga menggunakan istilah seks. Apa problem kedua konsep tersebut di arena ‘tubuh perempuan?’ Oakley dan Rubin menyatakan bahwa konsep gender dibentuk oleh budaya, yang berlandaskan pada biologis seperti adanya anatomi jenis kelamin dan kegiatan seksual prokreatif. Di sini, muncul pertanyaan, apakah gender dan seksualitas mempunyai hubungan yang saling terkait? Bagaimana gender yang bersifat sosial membentuk kesadaran manusia ke dalam kategori ‘perempuan’ dan ‘laki,’ dan bagaimana terdapat kategori seksualitas ‘heteroseksualitas’ dan ‘homoseksualitas?’
Pembentukan teori gender dan seksualitas kontemporer, dapat dirunut berdasarkan perspektif materialis dan posmodern. Stevi Jackson[7] menulis dengan gamblang kedua pendekatan tersebut, yang sama-sama mempertanyakan, namun terdapat perbedaan penjelasan. Perspektif materialis searah dengan Marxisme berpendapat, jenis kelamin ‘perempuan’ dan ‘laki’ sebagaimana borjuis dan proletar, merupakan kategori sosial yang penting karena hubungan eksploitatif berada di dalamnya. ‘Tidak ada budak bila tidak ada tuan, tidak ada perempuan bila tak ada laki-laki,’ kata Monique Wittig.[8] Maka proyek politik pembebasan dari pandangan materialis ini ialah penghapusan jenis kelamin, sebagaimana perjuangan kelas bertujuan untuk penghapusan kelas. Hal ini tidak berarti perempuan seperti laki-laki, melainkan, seperti kata Christine Dhelpy,[9] kategori seks menjadi langgeng karena adanya eksistensi gender dan bahwa jenis kelamin merupakan kosntruksi sosial. Perspektif posmodern yang diserukan Judith Buttler,[10] menekankan bahwa kategori ‘laki’ dan ‘perempuan’ merupakan hasil dari pembentukan wacana, seperti halnya jenis kelamin. Maka, tubuh tidak memiliki jenis kelamin esensial yang telah ada sebelumnya, dan sebaliknya, tubuh dipahami melalui gender dan tidak memiliki eksistensi sebelum ditentukan oleh gendernya. Dengan kata lain, tubuh digenderkan melalui perlakuan gender (sosialisasi) yang terus menerus. Pendapar Buttler diteruskan oleh Denise Riley,[11] yang mengatakan bahwa kategori ‘perempuan’ tidak bersifat tetap, berubah-ubah, atau tidak menentu. Implikasinya, kategori perempuan yang disuarakan oleh feminis selama ini hanya mewakili sebagian perempuan: yang kulit putih, borjuasi, dan menafikan yang ‘kulit hitam’ dan ‘lesbian.’
Perspektif materialis dan posmodern juga serupa dalam memandang seksualitas, bahwa munculnya kategori ‘hetero’ dan ‘homo’ harus dipertanyakan. Perspektif materialis berpendapat bahwa hubungan heteroseksual antara jantan dan betina selama ini dinyatakan alamiah, dan gender dibentuk di atas pandangan ini. Tujuan heteroseksualitas adalah untuk reproduksi biologis, untuk kelangsungan hidup spesies manusia. Kritik mereka bahwa kelangsungan hidup spesies tidak perlu melibatkan diri manusia dalam seks untuk prokreasi, sebab seksualitas itu sendiri telah ada sejak lahir yang kemudian dikontrol oleh kepentingan kekuatan sosial.
‘Politik Tubuh Perempuan’ ini berpengaruh sangat kuat terhadap gerakan perempuan yang mengartikulasikan problem identitas. Di Indonesia, diskursus ‘politik tubuh’ menjadi landasan gerakan LGBT untuk memahami mengapa identitas seksualitas seperti mereka ada dalam realitas sosial. Tuntutan gerakan LGBT terutama adalah untuk memperoleh pengakuan identitas yang sama sebagai warga negara. Di kalangan kelas pekerja, problem identitas ini bukan tidak ada, melainkan tidak memperoleh ruangnya dalam gerakan kelas. Saya kira, tidaklah relevan untuk mempertanyakan masalah politik tubuh perempuan, apakah merupakan keharusan di dalam perjuangan kelas, tetapi yang harus dinyatakan adalah masalah identitas seksual merupakan masalah yang riil ada dalam kelas pekerja. Di kawasan industri manufaktur, problem identitas ini ada. Di kalangan buruh migran juga sangat nyata. Tantangannya adalah perjuangan kelas itu harus kita diskusikan secara lebih produktif untuk menarik hubungan antara kontradiksi pokok dan kontradiksi dasar.
Kepemilikan pribadi menjadi dasar dari kapitalisme, sedangkan hubungan seksual monogamis untuk perempuan merupakan dasar dari patriarki, dan pada akhirnya perempuan menjadi bagian dari hak milik pribadi laki-laki. Dari sini, Engels telah meletakkan dasar argumen tentang persenyawaan patriarki dan kapitalisme, sekalipun teori ini akan dikembangkan oleh feminis sosialis di kemudian waktu.
Salah satu hal yang dipropagandakan oleh para apologis kapitalisme sekarang adalah kapitalisme justru memberikan kesempatan luas bagi partisipasi perempuan dengan apa yang mereka sebut sebagai “feminisasi dunia kerja” (feminization of work), dimana perempuan semakin keluar dari batas ranah privat mereka. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini?
Jika kita menoleh pada sejarah industrialisasi, apologi kapitalis itu benar sebagai fakta sejarah. Sejak abad 18 di Eropa dan diikuti oleh Amerika, mobilisasi perempuan ke domain publik didasarkan pada kepentingan perempuan sebagai tenaga kerja upahan di pabrik-pabrik manufaktur. Pola serupa diberlakukan kepada kaum perempuan negeri jajahan, dimana kapitalisme memulai usaha membuka industri perkebunan tanaman non-pangan. Pola ini hampir serempak terjadi di Asia Tenggara pada pertengahan abad 19. Di Indonesia, mobilisasi perempuan juga pernah terjadi dalam sejarah kita. Kaum perempuan Jawa, misalnya, dikeluarkan dari domain privat di desanya lalu dikirim ke Deli, Sumatra Utara, bahkan sampai Suriname untuk dipekerjakan sebagai kuli kontrak perkebunan. Ya, bahwa jika diamati lebih detil, pola feminisasi dunia kerja bagi perempuan di Eropa dan Amerika kemudian berbeda dengan di negeri jajahan karena karakter kerja kapitalisme yang berbeda. Tetapi secara prinsip, kapitalisme memang membuka dunia publik, dalam hal ini kerja upahan, kepada perempuan. Tapi tidak berarti dunia publik tidak menindas perempuan, sebagaimana yang secara salah kaprah dipahami kebanyakan orang. Sebagian besar orang berasumsi bahwa dunia privat menindas perempuan, dan dunia publik membebaskan perempuan dari kungkungan patriarki-privat. Domain privat-publik juga bukan dikotomi, melainkan saya sepakat dengan pendapat Sylvia Walbi maupun Maria Mies,[12] bahwa domain privat-publik adalah kontinum patriarki. Faktanya, begitu perempuan dimobilisasi ke domain publik, struktur domain tersebut telah disegregasi berdasarkan struktur gender. Inilah problemnya. Kapitalisme bukan tanpa sengaja menciptakan perempuan harus memikul beban kerja ganda pada domain privat dan publik. Sejak awal, Fridriech Engels[13] telah memberikan tesis penting bahwa penindasan perempuan terjadi ketika terbentuk keluarga patriarki, yakni dikenalinya konsep ‘kepemilikan pribadi’ dan perkawinan ‘monogami’ (bukan lawan dari poligami, yang dimaksud di sini adalah hubungan seksual seorang perempuan hanya dengan seorang laki-laki, ‘patriakhnya,’ tetapi tidak berlaku sebaliknya). Kepemilikan pribadi menjadi dasar dari kapitalisme, sedangkan hubungan seksual monogamis untuk perempuan merupakan dasar dari patriarki, dan pada akhirnya perempuan menjadi bagian dari hak milik pribadi laki-laki. Dari sini, Engels telah meletakkan dasar argumen tentang persenyawaan patriarki dan kapitalisme, sekalipun teori ini akan dikembangkan oleh feminis sosialis di kemudian waktu.
Jadi, feminisasi dunia kerja menguntungkan kapitalisme, karena di satu pihak perempuan merupakan tenaga kerja upahan yang bisa dibayar murah, dan di lain pihak, keberlangsungan reproduksi sosial di domain privat tetap menjadi tanggungjawab perempuan atau di luar tanggung jawab kapitalisme. Tak mengherankan jika dinyatakan bahwa sebesar 70 persen akumulasi ekonomi global disumbang oleh kerja reproduksi perempuan. Fakta ini belum dihitung sebagai nilai lebih (surplus value) oleh teori Marxis tradisional.
Saya mengambil contoh mutakhir buruh perempuan yang tersegegrasi pada industri manufaktur. Komposisi kenaikan UMR (Upah Minimum Regional) di kawasan Karawang pada pertengahan tahun ini, yang tertinggi adalah untuk sektor metal dan otomotif, sedangkan terendah untuk sektor manufaktur. Dalam komposisi UMR, tak ada hitungan biaya perempuan sebagai ibu yang melahirkan dan membesarkan anak. Labouring dan mothering menjadi suatu konsep yang terpisah berdasarkan dikotomi privat dan publik oleh patriarki dan kapitalisme. Tetapi sebagai catatan, konsep untuk mempolitikkan mothering dalam relasi produksi masih dipandang mengakui domestikasi perempuan oleh kebanyakan aktivis perempuan di Indonesia. Jadi pandangan ini sama sekali tidak populer di kalangan gerakan perempuan Indonesia dewasa ini.
Di mana letak partisipasinya? Menurut saya ‘partisipasi’ itu merupakan istilah kapitalisme untuk memerangkap perempuan ke dalam kontradiksi privat-publik tersebut. Toh, sampai awal abad 21, dunia kerja di domain publik tetap segregatif bagi perempuan, dan rasanya tidak cukup hanya dengan mengatakan ini soal diskriminasi terhadap perempuan.
…hal pertama yang saya tegaskan adalah Marxisme membutuhkan feminisme sebagai counterpart teori, karena cita-cita Marx mengenai pembebasan manusia tidak ada artinya jika tidak disertai pembebasan perempuan. Feminisme juga membutuhkan Marxisme untuk memproduksi pengetahuan mengenai penindasan perempuan.
Bagaimana Anda memahami hubungan antara Marxisme dengan Feminisme? Di mana titik bertemu dan titik lepasnya?
Ini dapat menjadi bahan diskusi yang panjang. Di sini, berpikir sebagai feminis sangat menggairahkan karena tantangannya terus berkembang dan mengajak kita untuk menelusuri rute sejarah pemikiran manusia, bahkan apa yang disebut human history mengenai kemanusiaan perempuan. Maka hal pertama yang saya tegaskan adalah Marxisme membutuhkan feminisme sebagai counterpart teori, karena cita-cita Marx mengenai pembebasan manusia tidak ada artinya jika tidak disertai pembebasan perempuan. Feminisme juga membutuhkan Marxisme untuk memproduksi pengetahuan mengenai penindasan perempuan. Tetapi bagaimana hubungan saling membutuhkan itu mempunyai titik temu dan titik lepas, perdebatan pokoknya terletak pada konsep kapitalisme dan patriarki, perjuangan kelas dan pembebasan perempuan.
Ketika teori feminis pada dekade 1970an-1980an berupaya untuk menjawab pertanyaan tentang penindasan perempuan, Marxisme berjasa dalam membantu menganalisanya. Adalah Marx yang memperkenalkan konsep penindasan dalam struktur masyarakat sebagai sesuatu yang sistematis bahkan historis. Ini sangat luar biasa untuk menghancurkan pandangan bahwa subordinasi atau penindasan perempuan merupakan sesuatu yang alamiah. Konsep alienasi kelas pekerja yang dinyatakan Marx, sebagai contoh, sangat membantu analisa hubungan produksi dan perempuan di domain publik. Bahkan, pada perkembangannya sekarang, konsep alienasi juga terjadi di domain privat, ketika proses produksi masuk ke dalam rumah tangga (home based worker) atau sebaliknya proses reproduksi dalam artian biologis dan sosial dikomodifikasikan (penyewaan rahim atau kerja untuk mengurus rumah tangga orang lain). Tetapi untuk perkembangan lebih jauh, berkenaan dengan patriarki dan relasi gender, teori Marx belum memadai dalam mengakomodasinya. Saat itu, Marx lebih memaknai secara filosofis hubungan laki kepada perempuan sebagai hubungan alamiah antara manusia dan kemanusiaannya. Marx menitikberatkan pada relasi-kelas dalam kapitalisme, di mana cara produksi menjadi dasarnya. Sesudah kematian Marx, tulisan Engels sangat membantu teori feminis untuk memperoleh penjelasan mengenai kepemilikan pribadi sebagai penyebab dasar penindasan perempuan.
Pada perkembangannya, teori feminis berupaya merumuskan ulang teori Marxis, tetapi di kalangan feminis juga muncul perdebatan.[14] Pokok perdebatannya berkisar pada pertanyaan tentang hubungan antara kapitalisme dan patriarki. Manakah unsur terpokok penindasan perempuan: kapitalisme atau patriarki? Perdebatan ini juga merambah ke lapangan gerakan perempuan. Sampai sekarang, aktivis laki-laki kiri di Indonesia bahkan masih memperdebatkan: manakah yang pokok, perjuangan kelas atau pembebasan perempuan? Bahkan muncul juga pendapat bahwa pembebasan perempuan telah membelokkan perjuangan kelas.
Perdebatan itu menguat di kelompok teori feminis radikal, marxis dan sosialis. Feminis marxis tetap memeluk erat tesis Marxisme tradisional mengenai relasi kapitalisme yang menekankan penjelasan produksi sebagai penyebab penidasan perempuan. Feminis radikal berpendapat, patriarki merupakan dasar penindasan perempuan, dengan penekanan penjelasan pada produksi, seksualitas dan reproduksi. Feminis sosialis mengajukan tesis tentang persenyawaan kapitalisme dan patriarki sebagai dasar penindasan perempuan, dengan penekanan pada kajian produksi, reproduksi maupun seksualitas. Terdapat juga kelompok interseksi antara feminis radikal dan sosialis yang menekankan pada kajian ideologi, yang disebut feminis marxis psikoanalitis. Tetapi pengelompokkan pemikiran ini pada perkembangannya tidak hitam putih. Hanya feminis liberal yang tidak mempunyai persentuhan sama sekali dengan Marxisme.
Perdebatan kedua mengenai solusi atas penindasan. Feminis radikal menekankan pada solusi gerakan pembebasan perempuan. Sementara feminis sosialis mempunyai dua agenda, yakni pembebasan perempuan dan perjuangan kelas, meski terdapat banyak varian, dan yang kini mengemuka adalah tuntutan program sosialis untuk kepentingan perempuan. Apa yang pernah dilakukan Aleksandra Kollontai (dibantu pula oleh Clara Zetkin) pada Revolusi Oktober 1917 di Rusia, dan perwujudan agenda pembebasan perempuan melalui program negara, merupakan pengalaman yang belum utuh bagi feminis sosialis. Lalu pemikiran feminis sosialis pada awal 1980an untuk membayar ibu rumah tangga sebagai tenaga kerja upahan yang dibayar negara, juga merupakan gagasan yang tidak berkembang dalam praktik politik.
Dengan melihat pengalaman sejarah, titik temu Marxisme dan Feminisme ada pada analisa kapitalisme, tetapi seringkali terjadi titik lepas pada analisa patriarki terhadap reproduksi dan seksualitas. Meski di dalam agenda sosialisme disepakati untuk menghancurkan patriarki, tetapi bahkan di dalam pengalaman negara sosialis, gerakan dan partai kelas pekerja yang mendambakan sosialisme, patriarki hidup di dalam kesadaran dan tindakannya. Kekecewaan ini pernah menghantui Aleksandra Kollontai, atau aktivis perempuan sosialis awal abad 20, termasuk di negara-negara mantan jajahan di Amerika Latin, Asia dan Afrika sampai dewasa ini. Cerita di Indonesia dapat ditulis secara khusus mengenai hal ini. Maka saya tegaskan, persoalan patriarki inilah yang menjadi ancaman keterpecahan gerakan perempuan dan gerakan kelas pekerja, atau antara perjuangan kelas dan pembebasan perempuan.
Bagaimana perkembangan gerakan perempuan dan kaitannya dengan perjuangan kelas saat ini?
Ketika gagasan revolusi telah lenyap dalam ingatan kolektif dan pengetahuan generasi baru gerakan perempuan, tujuan politik pembebasan perempuan melalui revolusi juga sirna. Gagasan perubahan sosial dewasa ini dikuasai oleh perebutan kekuasaan negara melalui jalan elektoral dan parlementer. Tujuan politik keadilan gender dilakukan melalui pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) kebijakan negara ke dalam institusi sosial, tetapi hanya menyentuh domain publik. Sementara, domain privat dalam bentuk institusi keluarga tempat reproduksi patriarki bersemayam tidak tersentuh sama sekali. Ini membuktikan bahwa pengarusutamaan gender mengontradiksikan domain privat dengan publik, juga mereduksi kebijakan negara dengan kapitalisme.
Kita merasakan pengalaman yang berlaku di Indonesia, setidaknya pula di Asia Tenggara. Sekalipun perjuangan gerakan perempuan cukup produktif frekuensinya, tetapi sebenarnya mengalami kebuntuan epistemik. Ilusi yang cukup fatal adalah membenarkan politik perempuan seperti politik laki-laki, sehingga bukannya tanggap terhadap patriarki yang bersembunyi di balik reformasi politik Indonesia. Pengalaman perempuan sebagai ladang epistemik dikesampingkan demi logika politik laki-laki yang dipandang ‘rasional’ tetapi sebenarnya brutal.
Di negara penganut negara kesejahteraan, keadilan gender diakomodasi oleh negara dalam wujud program perlindungan sosial untuk pelayanan kebutuhan mothering. Kaum sosialis kontemporer, kritik Juliet Mitchell, juga tidak mengindahkan peringatan August Bebel[15] pada abad 19, bahwa kaum sosialis hanya sibuk mempersoalkan kelas pekerja dengan kapitalisme, tetapi menafikan hubungan sesama kelas pekerja (laki dan perempuan) dan pengikatan perempuan dalam landasan cinta kasih dengan laki-laki di dalam rumah tangga.
Tetapi gagasan perjuangan kelas itu sendiri hidup samar-samar pada abad ini dan pembebasan perempuan mencari jalannya sendiri. Feminisme pun mengalami krisis pada pertengahan dekade 1980an, setelah mendapat kritik dari dalam yang menggugat dominasi pengetahuan perempuan kulih putih, diskursus perempuan kelas menengah terpelajar, barat-sentris, maka jalan pembebasan semakin kultural dan beragam coraknya.[16] Meski krisis kapitalisme belakangan ini mendorong sebagian kecil gerakan perempuan untuk mengkaji kembali sosialisme, tetapi apakah harus dilalui lewat perjuangan kelas atau reformasi ekonomi-politik, tampaknya masih diwarnai keraguan. Meskipun demikian, di Indonesia mulai tumbuh kesadaran sebagian kecil feminis yang mencoba mengintegrasikan gerakan perempuan dengan serikat buruh dan petani atau membangun gerakan perempuan di dalam serikat-serikat kelas pekerja dengan kepemimpinan sebuah partai kelas pekerja. Saya pribadi berada dalam koridor ini, dan dalam pergumulan teori serta praktik yang terus menerus untuk mensenyawakan konsepsi revolusioner perjuangan kelas dan pembebasan perempuan.
Namun demikian, yang terpenting menurut saya adalah menetapkan standpoint untuk berpikir sebagai feminis dengan mengolah pengalaman menjadi perempuan, di dalam penubuhan perempuan. Hal ini seharusnya menjadi landasan epistemik dalam bersikap revolusioner terhadap pembebasan kelas dan manusia. Tanpa standpoint ini, gerakan perempuan akan tersubordinasi ketika bersenyawa dengan patriarki yang tersembunyi di dalam perjuangan kelas.
Bagaimana pendapat Anda terhadap wacana yang mengemuka belakangan ini bahwa perempuan perlu membangun partai politiknya sendiri?
Sebagai gagasan liberal hal itu dimungkinkan. Meski sebagai praktik politik, partai politik perempuan justru lebih banyak menuai counter-productive ketimbang memajukan gagasan pembebasan perempuan. Pertama, adalah pertanyaan apakah partai politik perempuan hanya menerima anggota perempuan? Jika ya, partai tersebut melakukan tindakan politik yang diskriminatif terhadap gender yang lain. Jika tidak, apa kekhasannya sebagai partai politik perempuan? Kedua, Indonesia mempunyai pengalaman adanya partai politik perempuan yang didirikan Ibu Sri Mangunsarkoro pada 1947, tetapi bubar sebelum berkembang. Ketiga, saya penganut pandangan bahwa problem gender tidak berdiri sendiri, melainkan berelasi dengan problem kelas, karena itu partai politik perempuan justru akan mereduksi faktor kelas dalam relasi gender.
Bagaimana seharusnya kaum perempuan bersikap terhadap Pemilu 2014 nanti?
Dalam konteks women’s suffrage, konteks hak yang merupakan bahasa pokok feminis liberal, saya kira kaum perempuan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2014 sebagai warga negara. Problemnya, dalam proses elektoral sejak 2004 adalah tidak ada pembelajaran politik bagi perempuan untuk mengajukan program yang menghapuskan beban labouring dan mothering terhadap partai politik dan kandidat yang dipilihnya. Tuntutan yang diajukan malah kuota politik kepada partai-partai politik. Ini diakibatkan oleh adanya ‘kekosongan’ gerakan perempuan kiri yang belum pernah solid setelah penghancuran Gerwani dalam Tragedi 1965, dan prejudice gerakan kelas pekerja terhadap gerakan perempuan. Sudah pasti wakil yang terpilih dalam proses elektoral selalu tidak peduli dengan kepentingan perempuan, lagipula berasal dari partai politik warisan Orde Baru yang tidak berakar pada gerakan massa, dihuni oleh borjuasi atau dinasti politik yang hendak mengamankan privilese kelompoknya. Aktivis perempuan yang didorong masuk ke dalam partai politik untuk mengikuti proses elektoral, lalu hanya menjadi semacam pelengkap administratif dari sistem kuota 30 persen yang dibiarkan kalah dalam Pemilu. Pengalaman tiga kali Pemilu membuktikan, pola kemenangan yang sama dari perempuan dinasti politik, isteri pejabat dan perempuan kaya yang tidak berurusan dengan keadilan gender. Sementara sampai Pemilu 2014, belum ada partai alternatif yang didirikan oleh mereka yang mem-buruh dan meng-ibu atau kelas buruh-petani dan perempuan di dalamnya. Akibatnya, tidak ada pilihan progresif dalam Pemilu yang akan datang, selain menggunakan hak pilih belaka. Apabila menjumpai kandidat yang teruji kehendaknya untuk menata masyarakat dan penyelenggaraan negara yang lebih memihak rakyat miskin, saya kira konstituen perempuan boleh memilihnya.
Menurut laporan Komnas Perempuan yang dilansir pada April 2009, sejak 1999-2009 terdapat 154 Perda syari’ah yang diskriminatif terhadap perempuan, dengan rincian: 19 Perda terbit di 21 provinsi, 134 Perda terbit di 69 kabupaten, dan 1 Perda terbit di tingkat desa. Provinsi yang dimaksud adalah Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, hal ini belum termasuk Aceh setelah masa ‘perdamaian.
Bagaimana sebaiknya gerakan perempuan menghadapi maraknya Perda-Perda syari’ah?
Munculnya Perda-Perda syari’ah pasca-otoritarianisme Orde Baru terkesan paradoks dengan reformasi 5 paket UU Politik dan pelaksanaan UU tentang Otonomi Daerah. (Umumnya orang berpandangan bahwa 1998 merupakan titik tolak dari otoritarianisme menuju demokrasi). Tetapi, apabila kita menggunakan analisa patriarki, ternyata tidak ada yang paradoks. Patriarki yang hidup di dalam institusi negara tetap mengejawantahkan dirinya dalam bentuk perundang-undangan ataupun peraturan daerah. Bedanya, pada masa Orde Baru patriarki militer dikendalikan oleh Pusat, sekarang ini patriarki bisa dikendalikan oleh Daerah. Makanya lahir patriarki atas dalih syari’ah yang berupaya mengontrol perempuan, tetapi alasan pengontrolannya sungguh tidak menggunakan nalar.
Komnas Perempuan merupakan insitusi negara yang kesepian ketika melawan patriarki di dalam institusi negara lainnya. Untuk itu, Komnas Perempuan menggandeng gerakan perempuan untuk melawan patriarki negara ini. Menurut laporan Komnas Perempuan yang dilansir pada April 2009, selama 1999-2009 terdapat 154 Perda syari’ah yang diskriminatif terhadap perempuan, dengan rincian: 19 Perda terbit di 21 provinsi, 134 Perda terbit di 69 kabupaten, dan 1 Perda terbit di tingkat desa. Provinsi yang dimaksud adalah Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, hal ini belum termasuk Aceh setelah masa ‘perdamaian.’ Perda itu pada garis besarnya mengontrol kebebasan perempuan (termasuk pengaturan pakaian dan pembatasan pulang malam), kriminalisasi perempuan yang dipandang melanggar pengontrolan, dan pemberantasan prostitusi. Ada pula Perda yang diskriminatif terhadap buruh migran perempuan. Uniknya, sebanyak 80 Perda atau kebijakan (yang berarti lebih dari 50 persen) terbit antara 2003-2005, di tengah Pemilu langsung diadakan, dan seperti merupakan sebuah ‘proyek syari’ah’ dari suatu konsorsium donatur internasional. Sayang sekali, Komnas Perempuan tidak mendalami data ini pada studi gerakan-gerakan lokal dan antropologi massa di provinsi tersebut, sehingga tidak terlalu jelas mengapa Perda syari’ah terbit di provinsi tersebut.
Saya kira gerakan perempuan selalu bereaksi terhadap penerbitan Perda tersebut, terutama yang berhubungan dengan pembatasan kebebasan berekspresi, seperti larangan perempuan pulang malam dan pengaturan pakaian muslim. Tetapi, gerakan tersebut hanya temporer dan spontan. Contohnya, ketika bereaksi terhadap Perda larangan pulang malam untuk perempuan di Tangerang, dan beberapa waktu lalu tentang larangan bagi perempuan untuk bonceng sepeda motor secara mengangkang: di Jakarta ada sejumlah demo yang dilakukan gerakan perempuan, media sosial juga ikut ramai mengolok-olok Perda seperti itu. Setelah itu gerakannya tidak berkelanjutan dan Perdanya juga tidak jelas sebagai peraturan. Tetapi patriarki negara ini kan tidak hanya beroperasi secara formal, tapi juga bekerja melalui institusi kultural seperti pendidikan, agama dan keluarga. Gerakan perempuan hanya ramai memprotes peraturan negara yang formal, tetapi menutup mata terhadap proses kerja patriarki yang non-peraturan negara. Tengok saja, dalam waktu 10 tahun sesudah reformasi, busana dengan identitas ‘muslim’ sudah menginternalisasi di kalangan perempuan Indonesia. Boleh saja, mulanya gerakan perempuan melawan Perda pengaturan pakaian untuk perempuan, tetapi siapa sekarang yang akan menentang pengaturan pakaian dengan identitas ‘muslim’ ketika dirinya adalah muslim dan sebagian besar aktivis juga mengenakan pakaian tersebut? Siapa yang berani mengritik Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) negeri, yang notabene sekolah umum (bukan sekolah agama) ketika mewajibkan murid perempuan mengenakan rok sebatas mata kaki, tanpa pandang bulu apapun agamanya? Siapa yang berani memprotes aturan di dalam UU Perkawinan yang mewajibkan pernikahan satu agama?
Jadi, suara menggugat dari gerakan perempuan yang hanya timbul-tenggelam itu pasti tidak ada apa-apanya dibanding gerakan syariatisasi yang berjalan secara kultural, terutama dalam hal pakaian identitas. Saat ini, adakah pakaian identitas itu mengatur, mengontrol atau membebaskan perempuan? Apalagi soal pakaian identitas ini dianggap problem perempuan muslim, sedangkan perempuan lain yang bukan muslim tidak merasa memiliki problem pengaturan pakaian. Nah, ketika dari perempuan muslim sendiri tidak mempersoalkan pengaturan pakaian sebagai problem, tentu saja perlawanan terhadap Perda syari’ah mengenai pengaturan pakaian juga reda. Pun ada yang luput dari analisa sebagian gerakan perempuan, bahwa pewajiban pakaian identitas muslim itu telah menjadi gaya hidup yang didukung oleh pasar.
¶
[1] Kate Millet, Sexual Politics (First Illionis Paperback, 2000, bersumber dari versi asli yang diterbitkan, New York, Doubleday, 1970 dan Simon & Schuster, 1990)
[2] Juliet Mitchell, Women’s Estate (Harmondsworth: Penguin, 1971)
[3] Charles Darwin, The Origin of Species (New York: The New American Library-Mentor Book, 1958)
[4] Cara pandang penjelasan ini diambil dari M, Sastrapratedja, SJ, Filsafat Manusia (Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Manusia, 2010)
[5] Ann Oakley, The Ann Oakley Reader: Gender, Women and Social Science (UK: The Policy Press-University of Bristol, 2005)
[6] Gayle S. Rubin, Deviation: A Gayle Rubin Reader (Dicetak di AS dengan kertas bebas-asam, 2011)
[7] Stevi Jackson, Theorising Gender and Sexuality dalam Contemporary Feminist Theory, diedit oleh Stevi Jackson & Jackie Jones (New York University Press, 1998)
[8] Di dalam Stevi Jackson, ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid. Juga merujuk pada Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (New York: Routledge, 1990).
[11] Ibid. Tentang Denise Riley ini juga merujuk pada Joan Wallach Scott, Feminism and History (Oxford University Press, 1996).
[12] Baca Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a World Scale: Women in the International Division of Labour (London & New York: Zed Books, 1986)
[13] Fridriech Engels, The Origin of the Family, Private Property and the State, editor terjemahan Joesoef Isak (Jakarta: Kalyanamitra, 2004). Baca juga karya yang melanjutkan studi Engels yang menjelaskan proses evolusi melalui “perkawinan” oleh Evelyn Reed, Evolusi Perempuan dari Klan Matriarkal Menuju KeluargaPatriarkal, edisi terjemahan (Jakarta: Kalyanamitra, 2011)
[14] Baca tulisan Stevi Jackson dan Jacki Jones mengenai pengantar teorisasi feminis, op cit, juga tulisan Juliet Mitchell, op. cit, juga tulisan Imelda Whelehan tentang Marxist/Socialist Feminism: Recosntructing Male Radicalism, dalam Imelda Whelehan, Modern Feminist Thought: From The Second Wave to Post-Feminism (Edinburgh University Press, 1995)
[15] August Bebel, Women and Socialism (Bibliobazaar, 2011).
[16] Salah satu kritik dari ‘dunia ketiga’ dilontarkan oleh Chandra Talpade Mohanty, Under Western Eyes, edisi tinjauan ulang: Feminist Solidarity through Anticapitalist Struggles, dalam Sign, Journal of Women in Cultural and Society , 2002, Volume 28, Nomor 2.