“Setelah tragedi 1965, ratusan orang yang sedang ditugaskan pemerintah Sukarno untuk sekolah, bekerja maupun melakukan lawatan dinas di luar negeri terhalang pulang. Paspor mereka dicabut dan akses komunikasi ke dalam negeri, bahkan untuk berhubungan dengan keluarga pun, diputus. Melalui wawancara dengan Agam Wispi, seorang penyair terkemuka, para pembaca diajak menelusuri sejarah tragedi ’65, bukan dari angka dan fakta-fakta besar, tetapi dari pengalaman pribadi yang sarat rasa dan asa. Bagaimana bentuk pencarian identitas sebagai “eksil” setelah tercerabut dari ‘akar’? Bagaimana pengalaman ini dituangkan dalam karya sastra, terutama “karya sastra eksil”, dan apa pengaruhnya dalam eksperimen bentuk dan isi? Juga, bagaimana imajinasi, frustrasi, dan harapan seorang eksil tentang “Indonesia”, “tanah air”, “masa lalu”, dan “kekinian”?”
[1]
Daya Kreatif Daya Tahan Hidup
Saya mau tanya, Gam. Dengan terjadinya peristiwa akhir September ‘65, tentu akhirnya kau sadar, bahwa kau tidak akan dengan mudah dan dalam waktu cepat bisa kembali ke tanah air, untuk bertemu keluarga, bertemu teman-teman, kampung halaman, dan sebagainya. Bagaimana perasaanmu ketika itu?
Sebenarnya masalah perasaan ke tanah air ini, bisa pulang atau tidak, itu mengalami tingkat-tingkat atau periode-periode. Sampai tahun ‘67 saya masih punya harapan untuk pulang. Jadi masih. Dan itu memang dikobarkan harapan untuk pulang itu. Mungkin ada keinginan untuk menyalahgunakan. Itu lain soalnya. Tapi pokoknya secara pribadi, saya ada harapan untuk pulang. Sebab, pertama tidak mengetahui persis apa yang terjadi di tanah air, dan kita selalu dipompa “kita akan pulang dengan segera ke tanah air”. Dan saya juga yakin itu. Kapan itu berakhir? Bagi saya, Blitar[i] sangat menentukan. Kekalahan Blitar Selatan buat saya sudah selesai. Saya tidak akan bisa pulang lagi. Dan pulang pun untuk apa lagi?
Apa dasar alasanmu?
Kekuatan sudah tidak ada lagi. Kedua, makin terasa bahwa kami itu sudah makin ditipu sebenarnya. Tertipulah. Dengan keterangan-keterangan, harapan-harapan pulang selama ini. Tapi sebenarnya tidak ada itu. Kemudian yang membikin saya kecewa, dan saya pikir saya tidak akan bisa pulang lagi, ialah konflik yang terjadi sesudah berkumpul semua di Nanching. Hilangnya kepercayaan pada kawan-kawan sendiri yang berkumpul itu. Konflik dan pertentangan-pertentangan yang terjadi yang sebenarnya mematahkan. Mematahkan semangat. Mematahkan. Di sini nanti kembali kita kepada… apakah saya tahu bahwa saya tidak akan pulang atau tidak. Voorgevoel [firasat] ini ada. Itu bisa dilihat dalam sajak saya, yang saya tulis bulan Mei ketika di Hongkong.
Tahun?
Tahun ‘65. Jadi, waktu pergi meninggalkan Indonesia menuju Vietnam, Mei ‘65, saya menulis sajak “Hongkong” itu. Pada bagian terakhir saya katakan, rasanya seperti suatu firasat begitulah ya. Suatu ramalan: “tanah airku, betapa aku rindu”. Nah ini juga, teman penerjemah juga mempersoalkan ini. Kenapa ini, ada voorgevoel ini? Apa memang betul saya ada voorgevoel? Tapi voorgevoel yang lain! Voorgevoel saya pada waktu itu, saya ditugaskan pergi ke Vietnam untuk melaporkan pemboman Amerika, dan jelas di tanah air sudah dianggap saya mati. Saya akan pergi untuk mati. Termasuk Halyani[ii]. Jadi saya sudah siap pergi untuk mati. Di samping keinginan avontuur [petualangan] ya. Semangat mudalah sehingga saya membawa semua foto anak-anak saya. Aduh! Semua foto anak-anak saya bawa. Dan waktu sampai di Beijing, saya perlihatkan foto ini kepada si Kamaludin Rangkuti[iii]: “Wah! Kau ini sudah siap untuk jangka lama?” katanya. Padahal waktu saya perlihatkan foto itu sudah tahun ‘66. Inilah barangkali yang bisa dikatakan voorgevoel itu. Supaya saya bisa punya sesuatu, kalau saya rindu tanah air, kerinduan itu tetap. Bahkan besar.
Tapi sesudah ada kesadaran, atau bahwa voorgevoel itu ternyata memang menjadi kenyataan, kau menulis atau tidak?
O, iya!
Perasaanmu bagaimana ketika itu? Menulis, menulis tentang apa dan mau ke mana?
Yang saya tulis terutama tentang realitas kami terkurung di Tiongkok itu. Dalam sajak saya catatan tentang Nanching, tempat itu bahkan saya sebut semacam kurungan. Karena… itu memang met prikkeldraad, dengan kawat berduri dan tembok dan dikawal militer. Rasa terkurung itu semacam protes. Kemudian ada lagi sajak saya tentang tahun baru di luar negeri. Di situ saya memperlihatkan, bagaimana mereka ini merayakan tahun baru, bersenang-senang, minum-minum, mabuk-mabuk, berdandan. Jadi, sudah sejak itu saya selalu ada semacam pandangan sinisme.
Terhadap?
Termasuk terhadap kawan-kawan sendiri. Ya mereka tidak tahu, bahwa kawan-kawan sekarang disembelih. Padahal mereka sendiri meninggalkan istri dan anaknya, bagaimana hidup mereka, tapi mereka di sini mabuk-mabuk, bersenang-senang.
Menurutmu, apa sebab mereka bersenang-senang dan mabuk-mabuk? Apa karena tidak peduli dengan suasana atau problem di tanah air, atau karena takut menghadapi kenyataan?
Frustrasi. Pertama, kalau menurut saya frustrasi, dan mereka mencoba menghilangkan frustrasi itu. Karena situasi terkurung itu juga, ya, saya ketemu dengan umpamanya seorang wanita yang saya tulis juga di dalam sajak saya itu, salah satu sajak, dia menangis di depan tungku teringat kepada anaknya yang di rumah. Bagaimana nasib anaknya? Dia tahu suaminya di penjara. Siapa yang mengurus anaknya? Nah dia seorang wanita. Kalau dia seorang laki-laki, bagaimana? Wanita malah yang harus tinggal mengurus anak-anaknya. Atau wanitanya pula ditangkap, kan? Bagaimana anaknya?
Jadi, menurut saya memang ada frustrasi. Dan mulai ada keyakinan pada mereka, nampak-nampaknya kita ini tidak bisa pulang. Itu sudah mulai nampak dan terjadi sekitar tahun ‘67. Apalagi sesudah Blitar. Sudah, Blitar itu jelas sekali. Buat saya pun tampak jelas.
Lalu sesudah menjadi jelas, bahwa dengan Blitar Selatan kemungkinan pulang tidak ada lagi, terus bagaimana kau melihat masa depan?
Saya melihatnya begini. Barangkali ini ada persamaannya dengan Pram. Saya harus hidup terus. Mau melihat bagaimana jadinya semuanya ini. ‘Kan itu ‘kan? Saya pikir situasinya sama. Bagaimana semuanya ini terjadi. Jadinya ini nanti. Dan saya mau hidup terus. Bagaimana saya harus hidup? Bagaimana saya harus bisa hidup? Inilah puisi itu. Menurut saya, puisi itu memberi saya daya hidup. Saya terus menulis. Dan banyak yang tak terbawa [tertinggal] di Tiongkok. Banyak itu sebenarnya yang saya tulis.
Lalu, dalam menulis itu apa yang terpikir ketika itu?
Dalam menulis itu.
Maksud saya, misalnya, hubungan dengan, atau ya, karena berdarah berdaging Indonesia ya? Bagaimana ini? Bagaimana? Sesudah ternyata darah-dagingnya itu harus di, apa namanya ya? Tidak bisa dipupuk kembali dengan kembali ke tanah air?
O, begini, pada waktu itu, saya menganggap, yang penting ‘kan saya hanya menulis perasaan saya dengan bahasa Indonesia yang saya kuasai, dengan materi kehidupan saya yang konflik di luar negeri itu. Jadi, tidak ada hubungannya dengan tanah air. Paling-paling tanah air itu hanya suatu kerinduan. Itulah! Kerinduan saja yang saya coba tumpahkan di dalam sajak-sajak itu. Hanya sampai pada kerinduan, baik konkret terhadap keluarga, maupun terhadap tanah air keseluruhannya.
Tetapi saya merasa, ada sesuatu di dalam diri saya yang membuat saya bisa bertahan. Karena saya melihat bagaimana kawan-kawan lain kerjanya hanya main kartu, atau segala macam untuk menghilangkan frustrasi dan tidak kreatif. Merasa bahwa diri ini kreatif,saya pikir, penting sekali. Untuk daya tahan hidup. Kalau itu sudah tidak lagi bisa dirasakan ya, berakhirlah. Sebagai penyair, berarti mati. Sudah mati. Dan saya tidak mau mati. Itulah!
[2]
Tantangan Identitas dan Bayangan Ketakutan
Tadi sudah disebut bahwa kreativiteit [kreativitas] itu yang memberi daya hidup. Lalu, karena terpisah dengan tanah air dan dengan rakyatnya, artinya terpisah dengan pembacanya sebenarnya, bagaimana, apakah Bung berpikir tentang bagaimana uitvoering [implementasi] dari kreativiteit itu?
Ya, pada waktu itu masih ada yang disebut kording, yaitu koran dinding. Saya menyiarkan sajak-sajak saya di situ. Atau saya simpan, dan saya baca sendiri atau dibacakan di depan kawan-kawan. Tapi yang penting menurut saya begini, ya, antara lain, saya mulai merasakan di situ kehilangan tanah air. Ada akibatnya di dalam puisi. Ada akibatnya. Akibatnya aku kehilangan nafas Indonesia itu. Nafas itu, mungkin juga dalam bentuk ungkapan yang hidup. Itu sudah mulai terasa sangat mencari-cari. Itu mulai terasa. Sebab, bagaimana pun rakyat itu ‘kan mempunyai ungkapannya sendiri. Kehidupan lingkungan Indonesia itu mempunyai ungkapan sendiri terhadap suatu gejala. Dan ini tidak ada lagi. Yang ada itu hanya yang didapat dari koran, ya? Itu tidak cukup sebenarnya dan bukan itu maksudnya. Dan sekarang juga itu terasa. Sekarang lebih-lebih lagi terasa dengan berkembangnya kehidupan di Indonesia. Inilah yang sangat mengerikan sebenarnya bagi penyair.
Tapi massa pembaca Bung sekarang ‘kan lain dengan massa pembaca yang ungkapannya berkembang yang di tanah air?
Ya!
Apakah menjadi sangat penting, tentang ungkapan yang tertinggal dengan ungkapan tanah air?
O, ini nanti kita sampai pada kesimpulan, akan menyinggung, untuk siapa aku menulis sekarang itu? Aku sekarang hanya sampai pada kesimpulan: untuk manusia! Apakah itu manusia Indonesia atau manusia Eropa. Dan tidak peduli apakah itu tentang Indonesia atau bukan tentang Indonesia. Kehidupan sebagai manusia, manusia Indonesia tentu. Nah, di sinilah. Jadi ini, apa namanya, inilah satu perubahan penting pada masa eksil ini, yaitu apa yang disebut sastra untuk… hasil sastra saya untuk rakyat. Rakyatnya yang mana, yang bagaimana? Jadi, saya sampai kepada sastra hanya untuk manusia.
Di mana saja?
Di mana saja!
Tapi bahasanya?
Saya hanya bisa bahasa Indonesia. Dan hanya itu yang saya anggap saya mampu. Kalau tidak, nanti saya palsu, toh? Artinya, mencoba-coba dengan bahasa asing, dan menjadi dibuat-buat, ditertawakan orang: “Ini sudah ketinggalan pemakaian kata-kata ini”. Dalam bahasa Belanda saja tidak mungkin, kalau Jerman masih mungkin tapi tidak berani saya. Nah, satu segi lain, yang ikut menolong ini adalah perkayaan pandangan saya dengan sastra dunia.
Maksud Bung segi positif dari kehidupan eksil?
Ya! Dari kehidupan eksil. Saya ambil satu umpama, Goethe. Saya baru mempelajari ketika di Jerman. Baru kenal itu di Jerman. Tapi memang Goethe sudah berpuluh tahun ada di Indonesia. Bukan tidak dikenal. Dia sudah menulis “Faust” segala macam. Ya, toh? Dengan membaca itu, saya mendapat satu pengalaman baru. Kehidupan baru. Artinya, ada yang disebut, dan ini istilahnya datangnya dari Goethe juga, “sastra dunia”. Istilah ini, Sastra Dunia. Wereld literatuur. Weltliteratur. Waktu itu, Goethe sudah sampai ke India, mencakup India segala macam. Dan dia sebutlah Weltliteratur itu. Istilahnya lahir dari dialah! Dan di DDR[iv] umpamanya, saya mendapat kesempatan berkenalan, bahwa yang disebut wereld literatuur itu bukan saja Eropa, tetapi juga Amerika Latin. Bahkan ada analisis tentang roman-roman Amerika Latin yang sama sekali lain dari roman-roman Eropa. Mereka mempunyai identitas sendiri padahal roman datangnya dari Eropa. Coba bayangkan ini! Juga Indonesia ‘kan? Apakah dia menyatakan identitasnya sendiri? Sekarang saya tidak tahu sampai di mana perkembangannya. Tapi roman juga datangnya dari Eropa buat mereka sama dengan di Amerika Latin. Kalau kita baca umpamanya, siapa nama pengarang yang menulis “seratus tahun eenzaamheid kesunyian”?
O, Garcia Marquez.
Garcia Marques umpamanya. Bagaimana ia mengambil pemikiran-pemikiran fantasi dan kepercayaan rakyat, yang tidak mungkin ada di Eropa? Itu ‘kan satu perkayaan dunia sebetulnya. Apakah Indonesia bisa bikin begitu? Kalau saya sudah terang tidak mungkin. Mestinya yang di Indonesia yang melakukan itu. Tapi apakah mereka sampai pada pemikiran taraf Sastra Dunia? Tidak tahu, bagaimana perkembangannya di sana. Tapi saya pikir, ini satu keharusan sebenarnya buat mereka. Mungkin sekarang sudah ada usaha-usaha dengan masalah terjemahan, tapi itu saja tidak cukup sebenarnya.
Tapi itu problem orang yang di tanah air?
Yang di tanah air, ya. Sebenarnya orang-orang eksil bisa membuat tema orang eksil, baik roman ataupun puisi.
Dengan bahasa mereka sendiri?
Bahasa mereka sendiri! Ambillah umpamanya, kita ambil Jerman. Jerman punya pengalaman banyak dalam sastra eksil ini. Misalnya, Anna Seghers, sebagai pengarang wanita. Dia menulis tentang, roman yang pertama itu tentang eksil. Namanya [judulnya] pun kalau saya tidak salah “Exil” juga. Roman ini mengisahkan tentang bagaimana seorang wanita dalam menunggu mendapatkan paspor untuk mendarat ke Amerika, menanti di Spanyol. Di situ, menunggu di suatu warung kopi dengan segala macam perasaan kegelisahan. Bisa dibayangkan itu, bagaimana gelisahnya. Ada kemungkinan ditangkap, dan dikembalikan ke Jerman yang berarti mati atau konsentrasi kamp sampai dia menulis tentang banyak hasil-hasil sastra selama eksil di Amerika Latin. Bagaimana dengan Brecht, misalnya, juga Thomas Mann.
Di antara sastrawan yang “tereksilkan” ada di Eropa atau di mana, apakah Bung kenal? Ada yang mulai menulis begitu; menulis pengalamannya sebagai eksil? Sebab di dalam seni lukis, misalnya, saya pernah ngobrol sama Bung Resobowo[v], ia bilang tidak ada tema yang bisa dilukis. Saya bilang tidak betul. Di sepanjang sungai Amstel itu tema…
Tidak betul! Tidak betul! Nah, karena itu ini sebenarnya terutama bisa didapatkan pada puisi. Mungkin kalau roman, mereka tidak mampu mengerjakannya, atau belum tahu bagaimana mengerjakannya, itu juga mungkin. Atau kita belum membuka persoalan ini pada mereka supaya ditulis sebagai roman, juga mungkin. Cobalah ambil cerita pendek, umpamanya. Prosa. Di samping itu, ada problem mengambil jarak tentu saja. Itu minta waktu, ‘kan? Ada waktu. Oleh karena itu, saya melihat mungkin umpamanya di dalam puisi saja yang baru ada. Tapi itu pun nampaknya onbewust [tidak sadar]; tidak menyebutkan eksil. Seperti saya sebutkan pada beberapa sajak saya, nyata-nyata eksil. Jadi, mereka masih belum merasakan betul, kawan-kawan luar negeri, perlunya ada sastra eksil. Ambillah umpamanya cerita-cerita pendek yang terbit sekarang yang dibukukan oleh Kohar[vi] itu, ‘kan kembali pada zaman dulu.
Itulah! Itulah maka saya tanya…
‘Kan aneh itu?! Itu tidak betul. Tidak betul sebenarnya. Tidak betul bahwa di sini tidak ada. Semua! Hasil sastra ‘kan hasil kehidupan konkret dirinya? Tapi mungkin juga sebenarnya ia bisa, katakanlah ia belum berintegrasi dengan masyarakat Belanda, ‘kan dia bisa tulis tentang belum berintegrasinya dengan masyarakat Belanda sebagai orang eksil?
Apa sebabnya?
Apa sebabnya!
Dan bagaimana melihat tanah air sekarang …
Nah! Tapi juga ada ketakutan saya kira.
Oo…
Ketakutan ini saya pernah tanya pada seorang kawan, umpamanya. “Bagaimana kalau Bung menulis memoar?”. Bagaimana jawabannya? “Ah, kalau saya menulis memoar nanti saya terpaksa mengungkit-ungkit soal partai, ini-itu, nanti saya menyebut nama seseorang ini-itu.” Nah, jadi rasa ketakutan ini ada. Walaupun saya tahu dia bukan penulis, ya, tapi saya katakan, “Bung ‘kan punya pengalaman banyak sekali yang diperlukan oleh teman-teman untuk membacanya.”
[3]
Sastra awang-awang
Karena tadi sudah bicara banyak tentang tanah air dan luar tanah air, dan Agam sudah bilang sekarang menulis untuk manusia, jadi bagaimana sekarang gambaran Agam tentang “tanah air”? Kalau kau mendengar kata “Indonesia”, apa itu? Apa yang masih tersisa sekarang?
Yang ada hanya kebanggaan saja, kebanggaan bahwa tanah air saya itu indah, ada kelebihannya ini itu. Hanya tinggal kebanggaan, tapi tidak ada…
Keterikatan?
Ya. Keterikatan sudah tidak ada lagi. Saya ini barangkali, Bung, kalau bisa dirumuskan, saya ini sudah jadi orang Indo. Indo (tertawa) yang di Belanda. Indo Indonesia yang ada di Belanda. Ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar.
Nah, ini ‘kan problem sebagai seniman, terus bagaimana?
Ya, artinya saya hidup di awang-awang. Ya, hasil saya hasil awang-awang itulah!
Bung tidak merasa punya akar?
Tidak. Sekarang tidak merasa integrasi betul dengan masyarakat Belanda ini. Katakanlah belum. Yang berakar itu ‘kan artinya saya bisa betul-betul mencerminkan perasaan saya sebagai orang yang tinggal di Belanda. Tapi kan saya masih juga cinta, ada rasa kepada Indonesia itu. Alat saya, bahasa saya, Indonesia. Inilah ikatan yang satu-satunya. Tinggal bahasa Indonesia itu saja.
Tapi kau masih mimpi dalam bahasa Indonesia?
O ya! Ya, ya. Jelas!
Jadi, bawah sadar Bung masih Indonesia?
Masih. Masih itu tetap cuma ‘kan tidak berpucuk dia. Tidak berpucuk itu karena tidak menghirup udara Indonesia. Udara Indonesianya ini yang hilang. Jadi, kalau saya ditanya sekarang, saya mau pulang, untuk apa? Untuk menghidupkan pucuk-pucuk ini, yang lain tidak karena akarnya sudah ada. Tapi saya berada di negeri Belanda. Dia tidak berakar di sini. Berpucuk pun kurus.
Jadi, apakah pada suatu ketika yang namanya sastra eksil selalu sastra awang-awang?
Rasa awang-awang dilihat dari bahwa dia hidup di dua dunia. Itu. Dua dunia. Maka itu, tadi saya bilang jadi Indo, bukan? Dua dunia. Satu dunia Indonesia, satu dunia luar negeri. Ini sastra awang-awang tapi sebagai sastra tentu dia konkret dengan kehidupan eksil. Kehidupan eksil itu ‘kan konkret. Itulah sebenarnya sumbangan kepada sastra Indonesia kalau dia mau tulis kedudukannya sebagai orang yang hidup di awang-awang. Saya tidak akan menyanyi “Wilhelmus”, saya akan tetap menyanyi “Indonesia Raya”. Begitulah umpamanya, ya toh? Tapi saya tidak akan menyanyikan “Indonesia Raya” di sini. Nah, itu juga ‘kan?
Tidak ada gunanya.
Tidak ada gunanya. Tidak ada fundamennya. Ya tidak bisa melahirkan nyanyi itu. Tapi kalau saya mendengar kroncong, ‘kan tetap saya merasa bisa “kembali Indonesia itu.” Atau saya baca sastra-sastra, hasil sastra Indis umpamanya. Timbul itu,kembali itu, apa itu namanya, melankoli, atau, atau kerinduan kepada Indonesia zaman mereka itu hidup yang saya juga pernah hidup pada zaman itu.
Karena tadi sudah bicara soal menulis untuk manusia. Siapa saja, di mana saja, terus bagaimana Agam melihat Indonesia sekarang? Apakah sistem politiknya, dinamika masyarakatnya, dan apa masih merasa ada komitmen dengan apa yang terjadi di Indonesia?
Barangkali sudah tidak ada. Saya harus bisa melihat apa yang terjadi di Indonesia itu dari sudut manusianya tadi. Jadi, ambillah umpamanya masalah Wiji Thukul. Konkret. Saya ‘kan melihat manusianya. Manusia Wiji Thukul. Jadi, umpamanya, waktu begitu dapat kabar tentang Wiji Thukul, pikiran yang terutama timbul pada saya bagaimana nasib anak-istrinya. Bahwa ada soal rezim, itu jelas. Itu tidak perlu lagi dibicarakan sama saya. Itu sudah soal yang jelas. Tapi bagaimana Wiji Thukul sebagai seorang penyair muda yang sedang tumbuh dalam dunianya sendiri? Jadi timbul protes yang bersifat kemanusiaan. Kalau kita bicara soal kemanusiaan, ya sebenarnya melihat dari sudut manusia. Jadi, reaksi yang pertama pada waktu saya mendengar kabar dari Bung tentang Wiji Thukul itu adalah bagaimana anak-istrinya. Ini sebenarnya manusia saja ‘kan? Tidak soal rezim tidak soal apa. Itu sudah diketahui dunia. Sudah jelas.
Bagaimana sikap Agam dalam melihat rezim di Indonesia, bekas tanah air Bung?
Sekarang…
Apakah juga masih ada rasa committed dengan perkembangan situasi di Indonesia seandainya nanti menjadi baik? Apa ada harapan begitu, atau, ya, biarlah itu berjalan dengan waktu?
Yang terakhir itu yang ada pada saya sebab itu tidak bisa dipaksa. Saya pikir hampir persis seperti pendapat Pram sekarang, revolusi itu hanya suatu yang dibikin-bikin bukan lahir dari bawah. Hanya dibikin-bikin. Dan apa yang hanya dibikin-bikin, ya, pada akhirnya gagal. Tapi akan ada perkembangan toh? Cuma saya melihat Indonesia itu sudah mencapai suatu taraf perkembangan baru. Dan taraf perkembangan baru ini lama tentu.
Apa yang dimakud dengan perkembangan baru?
Artinya, kalau kita lihat kegiatan sastranya, kegiatan kebudayaannya sudah lebih dari yang dulu. Indonesia lebih meluas dan mulai mencakup banyak hal, tidak sempit. Walaupun Indonesia belum seperti yang kita inginkan. Itu saja.
Belum seperti yang kita inginkan itu, yang kita inginkan sekarang atau kita inginkan dulu?
Yang kita inginkan sekarang. Yang dulu sudah tidak ada. Nonsens itu! Sudah omong kosong, buat saya sudah berakhir. Jadi, buat saya, yang dulu itu sudah selesai. Oleh karena itu, kalau ada orang mau kembali mengungkit-ungkit apa yang kita lakukan dulu, buat saya sudah ketinggalan, ketinggalan zaman, termasuk ide-ide soal “Seni untuk Rakyat”, “Politik adalah Panglima”, semua sudah ketinggalan. Sekarang harus lebih daripada itu. Nah, rezim ini ‘kan rezim yang antimanusia sebenarnya. Ini yang harus kita lihat. Bagaimana mengangkat manusia. Jadi, penglihatan pada rezim itu harus dilihat juga dari sudut ini; dari sudut bagaimana penilaian rezim ini dalam nilai-nilai manusia.
Tapi tentang rezim-rezim yang antimanusia itu, bagaimana menurut Bung, dalam hubungannya dengan kreativitas sastra atau seni lainnya? Apakah tidak perlu dipikirkan?
O ya, o ya! Saya ambil satu contoh saja. Untuk pertama kalinya, saya datang di Belanda ini, baru saya tahu kejahatan terhadap penyair Mandelstam umpamanya. Di situ baru, kalau dulu orang bicara soal Stalin pernah membunuh sekian ribu orang, masi ya, saya belum terbuka. Mengerti maksudku? Dalam arti, yah, mungkin disebut propaganda, atau, ya, belum dibuktikan. Segala macam alasan bisa dicari. Tapi sesudah saya membaca tulisan Mandelstam, dan karena itu dia dibuang sampai mati di Siberia, dan tidak pernah lagi ketemu istrinya seumur hidup, kuburannya pun tidak diketahui, saya luka. Nah, ini. Rasa luka ini rasa manusia. Jadi, tidak peduli kalau umpamanya, ambil saja masalah hukuman mati atau kekejaman-kekejaman yang bersifat teror, ‘kan tidak peduli? Di mana saja harus kita lawan? Apakah di Indonesia, ataukah yang namanya di negeri sosialis yang pernah kita puja? Itu juga harus dilawan. Sama saja. Kalau di negeri-negeri demokrasi terjadi, ternyata, ya, rakyat di sini ‘kan juga bangkit? Tidak akan mau mereka diperlakukan begitu. Nah, di situ kita menemui salurannya. Oleh karena itu, pada mula saya datang ke mari sikap saya berhubungan dengan gerakan-gerakan yang ada di sini, termasuk gerakan Belanda sendiri, karena mereka sebenarnya berjuang untuk mempertinggi tingkat manusia itu; mempertinggi, apa namanya, nilai manusia!
Harkat manusia.
Harkat. Mempertahankan nilai manusia itu. Kalau saya mendengar umpamanya perjuangan untuk milieu sekarang. Bagaimana dengan perjuangan milieu di Indonesia? ‘Kan itu hancur! Kita kan pernah bicara soal haiku[vii]. Haiku itu betul-betul memberi saya satu senjata. Artinya, kepada saya diajarkan, bahwa pohon itu juga bernyawa, yang dulu tidak pernah saya pikir. Batu juga berhak untuk hidup. Nah, sekarang? Hutan-hutan ditebas seenaknya di Indonesia? Sedang orang sudah bicara tentang ozon yang bolong segala macam , tidak ada perlawanan! Di sini segera muncul Green Peace atau segala macam, ‘kan kita bisa ikut serta. Dengan ini sebenarnya kalau mau dikatakan dengan komitmen seperti tadi itu. Komitmen manusia dan alam. Jadi, sekarang saya lebih melihat manusia dan alam, bukan lagi Indonesia. Akar Indonesia itu sudah hilang kalau dilihat dari sudut ini.
Suatu ketika, apakah tidak akan timbul problem dalam masalah cara berekspresi, atau alat berekpresi? Karena alat ekspresi sastrawan bahasa, dan dalam hal ini bahasa Indonesia. Tapi Bung mau menjadi juru bicara manusia yang menjadi nonbahasa. Apa suatu ketika tidak akan timbul problem?
Saya kira problem itu sudah saya lewati. Di dalam gaya, gaya puisi, ada periode sampai tahun ‘55 di Indonesia. Semua “Gaya Dharta”[viii]. Yang begini-begini,pelan-pelan itu surut. Dan masing-masing mencari, menemui dirinya sendiri. Saya kembali, saya lepas dari problem ini, terutama sesudah di Angkatan Laut, karena saya bisa melihat Indonesia seluruhnya, dan jauh dari afstand [jarak] kegiatan politik sehari-hari di Jakarta sehingga saya berdekatan dengan alam. Jadi, kembali lagi pada haiku tadi. Saya pikir begitu, tidak akan merusak puisi. Puisi akan mendapatkan ekspresinya sendiri. Menemukan ekspresinya sendiri di dalam problem manusia ini, bahkan sekarang saya kira belum cukup. Belum. Menurut saya, belum menemukan sebenarnya. Belum betul-betul menemukan. Ini yang masih saya cari. Haiku itu ‘kan salah satu usaha pencarian, ya toh? Dan kita teruskan dengan “sasafas”[ix]. Itu sebenarnya satu usaha pencarian.
Pencarian bentuk atau pencarian apa yang dimaksud?
Pencarian nafas. Nafas baru. Pengucapan baru. Ungkapan baru. Itu yang saya cari. Jadi umpamanya, katakanlah, seperti, apa ya, ungkapan baru contoh-contohnya agak rumit juga dicari itu dalam hasil-hasil saya. Tapi ada itu. Yang saya pikir, sudah sama sekali, yang penting sudah mulai hapus bombasme itu. Pada saya sudah hapus…
[4]
Apa Itu “tanah air”?
“Hidup tidak berguna kalau tidak kreatif.”
Saya sudah hapus bombasme itu. Tapi kita tidak usah menolak mengakui, bahwa bombasme itu satu periode dari perkembangan, juga di Indonesia pada waktu itu. Pada akhirnya, toh sajak-sajak Dharta dirasakan sekali sebagai bombastis dan semua kita ikut begitu. Tentu ada kesalahan-kesalahan tertentu dari kita, dari sudut kultur politik yang membikin itu juga menjurus ke sana yang mencoba mempertahankan itu, bertahan dari gaya ini. Tapi pada akhirnya kalau kita bicara soal manusia, kita ‘kan mau lebih tinggi dari bombasme itu, yaitu, apa namanya, kita bisa menyampaikan, perasaan?
Pendalaman?
Pendalaman tentang manusia dan perasaan-perasaan manusia yang di luar segi-segi buatan, pemikiran, politik apa lagi!
Sekarang , terakhir saya kepengin tahu. Sebagai seniman eksil, apa yang Bung rasakan sebagai masalah yang problematis?
Yang paling problematis adalah hilangnya, saya merasa kehilangan sesuatu yang penting dari tanah air.
Yaitu?
Itulah yang paling terasa.
Apa itu?
Itu suasana, ungkapan, bahasa, manusianya bagaimana?
Tapi Agam mau menulis manusia pada umumnya, apa itu perlu?
Iya! O! Karena saya menulis dalam bahasa Indonesia. Saya perlu mengungkapkannya di dalam bahasa Indonesia. Yang sekarang tidak yang ketinggalan. Nah, inilah yang sangat dirugikan. Umpamanya saya bilang pada wartawan radio kemarin yang menjemput saya[x], “Saya ingin melihat pohon kelapa bukan dari film. Dari pohon kelapa di pantai itu, saya ingin mencium bau pohon nyiur itu.” Itu yang tidak bisa di dalam film. Nah ini hilang, Bung! Debur laut itu mungkin bisa orang bilang sama. Tapi mungkin tidak. Debur laut di Scheveningen[xi] mungkin lain dari yang di orang yang berjalan-jalan di pantai.
Jadi, apa boleh dibilang, bahwa sekarang sebenarnya perkataan “cinta” dan lain-lain menjadi abstrak?
O, ya.
Ya?!
Abstrak dan konkret juga. Konkret dan saya harus… benda-benda kongkret itu harus saya bisa dijamah. Saya toh ingin menjamah pasir Indonesia (diam beberapa jurus). Durian di sini ada. Apa yang tidak ada? Buah-buahan segala macam, makanan di Indonesia, apa yang tidak ada di sini? Semua ada. Tetapi tetap lain. Sama seperti beras Garut[xii] harus dimakan di Garut! (Tertawa bersama, Wispi sambil terus bicara). Kalau sudah dimakan di Jakarta tidak enak. Airnya lain kok!
Ya betul!
Nah itu. (Kembali diam agak lama; di latar belakang ada suara Ken, ketika itu umur 11 tahun) Apa lagi ada keluarga. Aku toh ingin mendengar, melihat cucu bagaimana ? Bagaimana mereka hidup? Bagaimana cara berpikir mereka sekarang? Ini ‘kan sama saja dengan waktu kami di Bijlmer[xiii] kedatangan pemuda dari Indonesia yang saya bilang umur 25 tahun. Cara berpikir dia yang umur 25 tahun, saya dulu tidak sampai sebegitu jauh. Dia memandang strategi dan taktik politik yang konkret. Hebat anak umur 25 tahun! Dulu saya masih bodoh tidak akan bisa berpikir begitu. Artinya apa? Ini ‘kan juga semacam komitmen? Tapi kalau komitmen dalam sastra, itu lain. Kalau saya tidak rasakan betul arti manusia, dalam satu peristiwa di Indonesia, mungkin saya tidak akan menulis sajak. Tidak tergerak lagi seperti dulu! Di sinilah bedanya. Jadi bedanya, kalau dulu Latini[xiv] mati, saya terus menulis sajak. Sekarang ada pembunuhan tidak lagi langsung. Tapi saya bisa menangis melihat anak Afrika, Somali, di film yang lalat berkerubutan di mukanya. Ini manusia! Tidak peduli apa dia orang Afrika atau orang apa! Jadi problem-problem manusia yang menyentuh perasaan manusia pada umumnya. Cobalah. Waktu saya melihat burung-burung di Teluk Persi menggelepar tidak bisa terbang karena di dalam minyak, itu pedih sekali! Kasihan sekali. Saya berterima kasih betul pada orang-orang yang menyelamatkannya dan memandikannya. Kemanusiaan yang tinggi pada mereka itu, kalau bicara soal,apa namanya, kemanusiaan atau kebinatangan (tertawa pada istilahnya sendiri). Kebinatangan yang tinggilah! Tetapi sekarang umpamanya orang di Dili itu, tidak tergerak perasaan saya, kecuali karena penyair Da Costa itu. Dia terbunuh, nah, di situ saya tergerak. Itulah yang saya tulis karena hubungan penyair ini.
Solidariteit sebagai sastrawan?
Sebagai sastrawan. Itu juga sebenarnya termasuk Wiji Thukul, ‘kan? Solidariteit sastrawan sebenarnya di situ. Jadi, bukan politik. Bukan politik. Manusia Wiji Thukul sebagai penyair muda yang berhak hidup. Nah, itu. Itu. Di situ. Hak hidupnya! Hak hidup manusia sebenarnya.
Oke. Apa yang Bung anggap penting lagi dalam soal…
Dimatikan saja [alat perekamnya] …
Tidak! Terus saja…
Masih mikir dulu… (tertawa kecil, lalu diam agak lama). Jadi, dalam salah satu pertemuan pengarang-pengarang di DDR timbul persoalan karena mereka hidup dalam dua negara. Jerman ini. Dua bangsa. Jadi pengarang-pengarang di DDR ini timbul persoalan, apa itu tanah air? Ya, apa dalam batas-batas negara ini? Negara Jerman Timur dan Jerman Barat? Sedangkan mereka punya negara, dua negeri. Tapi satu bangsa. Dan mereka satu bangsa ini merasa satu tanah air. Kemudian ada satu orang bilang begini. Pengarang dia. Bagi saya tanah air itu adalah sungai di mana tempat saya mandi. Tidak peduli di mana saja. Itulah tanah air saya! Pohon tempat yang saya kenal dari kecil, sampai tempat saya bermain-main,ladang-ladang tempat saya berlari-lari waktu saya masih anak-anak sampai besar, itulah tanah air. Jadi, “tanah air” dalam pengertian abstrak ini sebenarnya pengertian konkret. Maka itu, sekarang saya bertanya pada diri sendiri: Mana tanah air saya? Bahasa saya bahasa Indonesia, jiwa saya jiwa Indonesia,saya menulis dalam bahasa Indonesia, tapi saya hidup di Belanda.
Kata Sabar[xv] “yang bertanah air tak bertanah”, dan saya akan tambah “dan juga tak berair”, ya?
Ya! Padahal airnya banyak di sini. Malah dari air jadi tanah! (Derai tawa bersama) Di Belanda, ya? (Masih tertawa) Tapi ya, ‘kan ada kemungkinan nanti saya lebih merindukan pohon-pohon cemara ini dan salju daripada hujan di Indonesia. Walaupun kadang-kadang saya terpikir kalau ada hujan, wah di Indonesia ini hujan bisa berarti mandi toh? Mandi, main-main bola waktu masih kecil di bawah hujan. Dan di sini tidak mungkin. Jadi, bagi orang yang seperti saya sekarang, separuh hidup sudah di tanah air tapi masa kecil di tanah air, separuh hidup dewasa di luar negeri, tanah air ini menjadi lebih abstrak. Oleh karena itu, kalau mau merasakan tanah air kembali, memang harus melihatnya kembali. Dalam hubungan itu, hanya kunjungan. Untuk hidup, saya pikir tidak mudah.
Tanah air tidak berfungsi lagi?
Iya! Jadi, dia paling-paling hanya untuk menghidupkan puisi saya kembali. Yang saya mungkin merasa kering. Menemukan sesuatu yang baru kembali dari nafas Indonesia itu. Itu saja. Jadi, saya hanya hidup untuk puisi saja tapi saya juga merasa dihidupkan oleh puisi itu. O, kata-kata besar “revolusi”, “perjuangan… berkobar-kobar… di kalangan rakyat” itu sudah tidak hidup lagi pada saya. Saya tidak dihidupkan oleh itu. Saya merasa hidup kalau saya kreatif. Kalau tidak kreatif tidak ada gunanya hidup ini sebenarnya, ya toh? Justru di sini saya merasa kreatif dibanding dengan di luar negeri yang lain. Itu ‘kan satu keberuntungan sebenarnya? Kalau saya bandingkan dengan, mengapa saya meninggalkan DDR, itu karena saya frustrasi, tidak bisa menulis di sana. Di samping frustrasi politis juga. Di samping tidak ada kebolehan, tidak ada keizinan untuk mengecap literatur dunia. Tidak diizinkan. Kekangan informasi. Itu semua mematikan daya kreativiteit. Dan di sini ada kebebasan itu. Itu satu perbandingan besar. Perbedaan besar sebenarnya. Tapi, ya, untuk apa menulis itu? Nah, ini bisa timbul problem. Ya, mudah-mudahan dia merupakan sumbangan bagi Sastra Indonesia pada masa yang akan datang. Itu saja. Bahwa dengan sastra itu, sajak saya akan mengubah situasi politik Indonesia… itu ilusi!
Tapi kalau bicara Sastra Indonesia dan peranan Agam Wispi sebagai sastrawan, Bung mau apakan Sastra Indonesia itu? Hendak Bung bawa ke mana Sastra Indonesia? Jika saya pinjam ungkapan Sudjojono[xvi].
Biar dia mengabdi manusia betul. Betul-betul mengabdi manusia dan harga manusia. Ke sana mau saya. Dan di bawah rezim sekarang ini saya tidak percaya itu. Karena mereka (maksudnya, “Sastra”) tidak bebas berbicara. Jadi, harus ada kebebasan juga, ‘kan? Sampai kepada menaikkan nilai manusia di dalam sastra. Mana, Indonesia sekarang? Apa yang dilakukan Wiji Thukul yang sederhana itu ‘kan sebenarnya meningkatkan harga manusia? Tapi toh dia dilarang, dikejar-kejar, ditekan. Ya, kecuali kalau mereka hanya mau menulis sastra hiburan, atau melarikan diri dari… (tertawa sinis)dari tuntutan sesungguhnya daripada Sastra, ya.
Jadi, mereka yang dulu bicara soal humanisme universal pun tidak melaksanakan apa yang sebetulnya itu humanisme universal. Kalau mereka laksanakan ‘kan mereka mesti lawan rezim yang sekarang? Kenapa diam? Seperti Teeuw-lah[xvii], ‘kan dia tidak konsekuen sebenarnya, ‘kan mesti ia kritik juga dong. Padahal ia yang mula-mula memasukkan, mempropagandakan humanisme universal itu. Tapi pembunuhan terhadap ratusan seniman, ia diam saja. Dalam bukunya itu, dia hanya terlalu halus. Terlalu halus dia. Terlalu menghindari. Di sini saya melihat ketidakkonsekuenan itu.
(Wawancara berakhir, lalu dilanjutkan dengan “wawancara imajiner” di bawah ini.)
Terima kasih, Bung Agam. Untuk menutup kongkow kita, saya ingin membaca salah satu sajak Bung dari tahun 60-an. Bukan “Demokrasi” tapi. Walaupun sajak ini boleh dibilang menjadi “tanda selar” Agam Wispi. Seperti Dharta dengan “Rukmanda” atau Banda dengan “Tak Seorang Berniat Pulang”. Dulu, saya juga menyukai “Demokrasi” itu karena sederhana, pendek, dan punya daya bangkit yang besar. Tapi dari segi “sajak sebagai sajak”, saya lebih menyukai “Matinya Seorang Petani” yang kaya dengan ungkapan dan simbol-simbol segar yang tadi Bung banyak bicarakan itu. Lalu dari segi pesan, boleh saya ajukan kritik?
Katakan saja!
“Demokrasi” itu sebuah sajak buih wacana revolusi politik di DPR-GR dan MPRS atau koran-koran saja. Saya lalu teringat pada lukisan Marah Djibal[xviii] “Pemain Topeng, kira-kira dari tahun yang sama dengan “Demokrasi”, yang jelas lukisan wajah Nasution berwarna ganda: sebelah merah, sebelah putih. Sedangkan “Matinya Seorang Petani” sebuah sajak bukan buih wacana, tapi mudigah gejala revolusi sosial dan kultural di tanah air konkret. Juga yang Bung tadi banyak sebut-sebut, tanah air abstrak dan tanah air konkret. Coba dengarkan baik-baik, baris-baris sajak Bung sendiri.
Matinya Seorang Petani
I
depan kantor tuan bupati
tersungkur seorang petani
karena tanah
karena tanah
dalam kantor barisan tani
silapar marah
karena darah
karena darah
tanah dan darah
memutar sejarah
dari sini nyala api
dari sini damai abadi
II
dia jatuh
rubuh
satu peluru
dalam kepala
ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa cuma
dapat bangkainya
ingatannya ke jaman-muda
dan anaknya yang jadi tentera
– ah, siapa kasi makan mereka? –
isteriku, siangi padi
biar mengamuk pada tangkainya
kasihi mereka
kasihi mereka
kawan-kawan kita
beri aku air, aku haus
dengan lapar tubuh lemas
aku datang pada mereka
aku pulang padamu
sedang tanah kering di kulit
kita makan sama-sama
kudian suram
suram
padam
dan hitam
seperti malam
III
mereka berkata
yang berkuasa
tapi membunuh rakyatnya
mesti turun tahta
IV
padi bunting bertahan
dalam angin
suara loliok di sayup gubuk
menghirup hidup
padi bunting
menari dengan angin
ala, wanita berani jalan telanjang
di sicanggang, di sicanggang
di mana cangkol dan padi dimusnahkan
mereka yang berumah penjara
bayi di gendongan
juga tahu arti siksa
mereka berkata
yang berkuasa
tapi merampas rakyat
mesti turun tahta
sebelum dipaksa
jika datang traktor
bikin gubuk hancur
tiap pintu kita gedor
kita gedor
(Yang Tak Terbungkamkan, Jakarta 1960)
Kockengen, Belanda
22 November 1992
Hersri Setiawan adalah seorang eks-tapol Pulau Buru. Ia tinggal di Belanda untuk mengikut istrinya yang sakit kanker, tapi kemudian isterinya meninggal di Belanda. Ia kembali delapan belas tahun kemudian, dengan istri barunya, Ita Fatia Nadia. Mereka menikah tahun 2004.
Catatan Kaki
[i] Blitar atau Blitar Selatan ialah tempat perlawanan sisa-sisa kekuatan bersenjata G30S dan PKI di Blitar Selatan, 1966-1968, yang ditumpas oleh operasi “Trisula” TNI/Angkatan Darat.
[ii] Nama istri Agam Wispi.
[iii] Salah seorang pimpinan Lekra Sumatera Utara. Ia menjadi dosen bahasa Indonesia di Beijing dan kemudian bermukim dan meninggal di Amsterdam (1994). Sebagai penulis eksil, ia menggunakan nama alias Alan Hogeland.
[iv] DDR singkatan dari Deutsche Demokratische Republik, Republik Demokrasi Jerman adalah sebutan awam Jerman Timur atau “Blok Timur” karena ada Jerman Barat atau “Blok Barat”. Istilah-istilah “timur” dan “barat” dalam kerangka berpikir Perang Dingin juga ditandai dengan batas teritorial dan politik yang berupa “Tembok Berlin”.
[v] Basuki Resobowo, pelukis ekspresionis, seangkatan S.Sudjojono, anggota pimpinan pusat Lekra. Basuki meninggal 4 Januari 1999 di Amsterdam.
[vi] Abdul Kohar Ibrahim, pelukis anggota Lekra Jakarta Raya, hidup sebagai eksil di Belgia. Abdul juga penerbit berbagai majalah dan buku kumpulan karya-karya sesama eksil. Ia meninggal tahun 2013.
[vii] “Haiku” ialah puisi Jepang kuno yang menggunakan khayal dan perbandingan yang diambil dari alam, terdiri dari 17 sukukata dalam tiga baris. Baris pertama dan ketiga masing-masing 5 suku kata, dan baris kedua 7 suku kata. Sekitar tahun 1962, “Iramani”, nama pena Njoto, telah menulis (di koran Harian Rakjat) puisi-puisi pendek demikian yang dinamainya “haiku modern”. Agam Wispi sendiri akhirnya mengembangkan puisi tiga baris, bukan “haiku”, tapi “terzina”.
[viii] Dharta, yaitu A. S.Dharta, juga dikenal dengan nama pena Klara Akustia. Dharta adalah penyair dan juga sekretaris umum Pimpinan Pusat “Lekra” periode pertama, sebelum digantikan oleh Joebaar Ajoeb (1958).
[ix] “Sasafas” singkatan dari “sajak satu nafas”. Eksperimen bentuk Agam Wispi, yaitu sajak-sajak “satu kali tarikan nafas”, terkadang berupa satu kalimat panjang, terkadang dua baris. Contoh:
“pohon-pohon tak berdaun di akhir tahun, apa kalian tak kedinginan?”
atau:
“lapangan-rumput berselimut embun beku putih pagi hari
dibangunkan matahari.”
(dari “detik-detik waktu, detak-detak jantung” dalam kumpulan “dokumentasi hersri”)
[x] Wartawan radio yang dimaksud L. Murbandhono Hs dari “Ranesi”, Radio Nederland Seksi Indonesia di Hilversum.
[xi] Pantai Scheveningen termasuk bilangan kota Den Haag, salah satu tempat rekreasi di musim panas. Lautnya boleh dibilang “tidak berombak”.
[xii] Beras Garut, beras bibit lokal, yang sejak zaman Orba tidak boleh dibudidayakan lagi, seperti bibit lokal lain-lainnya (Cianjur, Rajalele, Genjahrante dsb), digantikan dengan “bibit unggul” monopoli negara, mulai dari jenis “PB”, sekarang “IR”.
[xiii] Bijlmer, daerah “suburb”, terletak di Amsterdam Tenggara, di sini tinggal banyak (kalau tidak sebagian besar) keluarga/masyarakat eksil Indonesia.
[xiv] Latini, nama perempuan muda petani yang tewas dalam mempertahankan tanah garapan, di tanah-tanah bekas perkebunan di Desa Jengkol Kediri, bulan November 1961. Peristiwa itu dikenal sebagai “Peristiwa Jengkol”.
[xv] Sabar Santoso atau S. Anantaguna, penyair dan anggota Dewan Harian dan Sekretariat Pimpinan Pusat Lekra. Salah satu sajaknya berjudul “Yang Bertanah Air Tak Bertanah”.
[xvi] S.Sudjojono, pelukis Indonesia, pendiri “Persagi” (Persatuan Ahli Gambar, 1936), kemudian “SIM” (Seniman Indonesia Muda, 1946). Ia juga banyak menulis karangan tentang seni lukis, antara lain berupa sebuah brosur berjudul Kami Tahu Ke Mana Seni lukis Indonesia Hendak Kami Bawa (1953)
[xvii] A. Teeuw, di Indonesia dipandang oleh banyak dari kalangan sastrawan dan budayawan sebagai “Paus Sastra Indonesia Modern” dari Belanda. Tentu saja dipandang lebih “berpamor” ketimbang “Paus Sastra” Indonesia sendiri, yaitu alm. H. B. Jassin.
[xviii] Marah Djibal, sekarang bernama Moh. Djufri, pelukis anggota sanggar
“SIM”, pernah memimpin Lekra Daerah Jawa Timur, kemudian sampai akhir 1965 memimpin sanggar pelukis di Jalan Mangga Besar, Jakarta.