Sebuah ulasan mengenai tayangan Inspirasi Iman di TVRI
BARANGKALI kita tercenung begitu mendapati Felix Siauw, seorang pendakwah Islam yang sedang naik daun, lebih memilih dipanggil sebagai ‘motivator’ ketimbang ‘ustad.’ Felix memang tidak punya ‘setelan’ ustad. Wajahnya bersih tanpa kumis atau pun jenggot lebat. Ia tidak pernah menggunakan peci atau sorban, sehingga kepalanya yang hanya ditutupi rambut cepak dapat menghirup udara bebas . Alih-alih berbusana gamis atau baju muslim, ia justru lebih sering memakai kemeja batik. Dalam ceramah-ceramahnya, Felix selalu gencar mempropagandakan ‘hidup sukses dengan syar’i.’ Maka, wajarlah bila ia memilih gelar ‘motivator.’
Gimmick segar inilah yang ditawarkan oleh Inspirasi Iman, talkshow yang menampilkan Felix sebagai narasumber tetap dan Oki Setiana Dewi sebagai pemandu acara. Acara ini tayang di TVRI setiap hari Kamis pukul 23.00. Tayangan ini biasanya dibuka dengan penampilan sebuah band yang memainkan musik lirih namun ampuh untuk mengukuhkan suasana yang sedang dibangun (dalam salah satu episodenya, seorang kibordis memainkan sebuah nomor dari Led Zeppelin, Stairway to Heaven, lagu yang kerap diasosiasikan dengan satanisme). Selepas band bermain, Felix mulai berceramah. Cara bertuturnya berapi-api, penuh dengan bunga kata yang membesarkan hati.
Berbeda dari ustad-ustad pada umumnya yang tidak telaten bercerita dan menutupinya dengan eksploitasi seruan-seruan moral secara banal, Felix tahu benar bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pencerita. Ia pandai mengelaborasikan pesan-pesan motivasional di dalam cerita, sehingga pemirsa tidak merasa digurui, namun malah terpikat dalam suasana haru dari adegan-adegan peristiwa yang ia lukiskan dengan kata-kata.
Tapi Plato pun tahu, salah satu jenis orang yang patut dicurigai adalah orang yang mahir bermain dengan kata-kata. Di balik ceramah-ceramahnya yang mempesona, Felix mengidap kesesatan berpikir akut. Seruannya pun sering bertumpu pada asumsi tanpa dasar. Simak saja ceramah Felix dalam Inspirasi Iman episode ‘Sudah, Putusin Aja!’ (21 Maret 2013):
Sialnya, kita hidup dalam era kapitalisme yang mengajarkan laki-laki dan wanita masa kini untuk memperhatikan fisik, bukan isi. Perhatikan badan, bukan iman. Kapitalisme sukses menjadikan kebahagiaan materialistis sebagai tujuan tertinggi. Lelaki yang tidak lulus ujian tanggung jawab dan komitmenlah yang akhirnya masuk dalam jurusan pacaran. Cinta disempitkan dalam arti pacaran. Terbatas pada rayuan palsu dan gandengan tangan. Padahal pendamping yang saleh tidak pernah didapatkan dari proses pacaran, karena kesalehan dan kebatilan jelas bertentangan.
Argumentasi Felix bisa diringkas dalam tiga poin. Pertama, kapitalisme membuat manusia menilai segala sesuatu berdasarkan kebahagiaan material, bukan iman. Kedua, lelaki yang tidak bisa berkomitmen mereduksi cinta menjadi pacaran. Ketiga, pacaran adalah batil, oleh karena itu tidak mungkin kita mendapat pendamping soleh/soleha darinya.
Secara formal, tidak ada, dan Felix tidak memberikan, keterhubungan logis dari ketiga premis tersebut. Apakah kapitalisme membuat laki-laki tidak bisa berkomitmen dan malah berpacaran? Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Kenapa pacaran adalah batil? Apakah tidak mungkin dua orang saleh berpacaran? Dalam logika material, paragraf tersebut lebih bermasalah lagi. Kita bisa bertanya: apakah pacaran adalah fenomena spesifik kapitalisme—apakah dalam negara sosialis, fasis, atau zaman pra-kolonial Indonesia, misalnya, tidak ada relasi interpersonal yang serupa dengan pacaran? Apakah benar pacaran adalah aktivitas laki-laki yang tidak bisa berkomitmen, sementara perempuan atau orang yang berkomitmen tidak berpacaran? Bukankah pacaran adalah salah satu bentuk komitmen?
Cacat logika ini sebenarnya merupakan gejala dari cacat ideologi yang dibangun dalam Inspirasi Iman. Cacat ini, seperti umumnya diidap oleh kaum sofis, merupakan oksimoron. Setidaknya terdapat dua hal yang bisa kita bicarakan di sini: Inspirasi Iman adalah tayangan seksis yang menyerukan untuk menghormati perempuan, dan adalah corong propaganda kapitalisme yang mengutuki kapitalisme. Kedua hal ini bahkan muncul secara beriringan dalam salah satu episode bertajuk ‘Sepasang Bidadari Kunci Menggapai Kesuksesan’ (20 Juni 2013). Dalam satu kesempatan, Felix melontarkan sebuah ungkapan yang, meskipun diutarakan secara guyon, tetap mengungkapkan cara pandangnya dengan gemilang: ‘di belakang lelaki sukses selalu ada perempuan sakit hati.’
Ungkapan tersebut, seperti kita tahu, adalah plesetan dari ungkapan tersohor: ‘di belakang lelaki besar selalu ada perempuan hebat.’ Dalam ungkapan aslinya pun kita bisa mencium bahaya laten seksisme. Apabila disandingkan dengan episode lainnya, ‘Hijab, I’m In Love‘ (16 Mei 2013), kita akan menemukan salah satu medan makna dari frasa ‘di belakang,’ yakni bahwa ‘pekerjaan dan karier perempuan yang paling mulia adalah merawat anak.’ Tanpa maksud mengkerdilkan pentingnya perawatan dan pendidikan anak, dari sini kita bisa lihat bagaimana Inspirasi Iman menempatkan dan mengunci perempuan dalam wilayah domestik saja. Perempuan terlahir untuk menggunakan hijab, mampu ‘membedakan mana lengkuas mana jahe,’ ‘coba masak air dulu,’ ‘di dapur dulu’ (episode ‘Sudah, Putusin Aja’) sebelum nantinya, menjadi istri, kemudian menjadi ibu.
Perempuan yang memiliki profesi di luar jalur domestik dinilai sebagai sesuatu yang langka, bahkan heroik. Dalam episode ‘Sepasang Bidadari,’ misalnya, Sulis—penyanyi cilik yang melantunkan lagu ‘Umi’ bersama dengan Hadad Alwi pada awal 2000an—harus tersedak tangis saat menjadi bintang tamu Inspirasi Iman, yakni ketika ia menceritakan sosok ibunya yang bekerja keras. Bukan karena kerasnya pekerjaan itu, tapi terlebih karena ibunya adalah perempuan yang harus bekerja keras demi keluarga. Tangis Sulis muncul karena asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah; yang harusnya diberi nafkah, bukan menafkahi.
Menurut Inspirasi Iman, tampil di ruang publik, bagi perempuan, berarti juga potensi untuk mencederai keutuhan iman. Dalam episode ‘Hijab, I’m In Love,’ dihadirkan tiga perempuan sebagai bintang tamu (Cece Kirani, Oki Setiana Dewi, dan Nuri Maulida), yang mengisahkan betapa sulitnya menjadi figur publik sambil mempertahankan hijab. Memang benar, dalam konfigurasi masyarakat kita sekarang ini, mengenakan hijab membuat ruang gerak perempuan di ruang publik menjadi terbatas, dan ini adalah satu bentuk diskriminasi tersendiri. Namun demikian, problem yang muncul dalam episode ini bukanlah terjadinya diskriminasi tersebut, melainkan pernyataan Felix yang menyatakan bahwa hijab bukan pilihan.
Sekali lagi, Felix setengah benar dengan mengatakan bahwa bagi perempuan yang memilih dan istiqomah berhijab, begitu bertemu dengan situasi ‘atau-atau’ yang membuatnya harus memilih antara satu hal atau melepaskan hijab, hijab memang bukan pilihan. Namun, keputusan untuk mengenakan hijab itu sendiri adalah sebuah pilihan. Klaim ‘bukan pilihan’ hanya mungkin benar apabila suatu pandangan atau interpretasi adalah monolitik, apabila tidak ada interpretasi lain selain interpretasi tersebut. Namun, pada nyatanya, terdapat pandangan-pandangan yang berlainan mengenai hijab, dan mengatakan bahwa satu pandangan tertentu adalah yang paling benar adalah salah satu bentuk kecerobohan yang paling banal.
Inspirasi Iman mengudara melalui frekuensi yang juga dipinjamkan oleh muslimah-muslimah yang memilih untuk tidak memakai hijab, oleh pengikut Nabi Muhammad yang berpikir bahwa perempuan mampu dan telah mandiri, bahwa ‘menjinakkan’ perempuan dalam wilayah domestik di bawah kepemimpinan laki-laki adalah sebuah pengkhianatan terhadap potensi besar yang dimiliki perempuan. Namun, TVRI, sebagai lembaga penyiaran publik yang berdiri atas asumsi bahwa frekuensi adalah milik publik, malah membiarkan tayangan tidak toleran dan tidak sensitif gender dengan bebas menyelinap ke dalam kamar-kamar dan ruang keluarga, lalu menusuk publik tepat di ulu hati.
Kapitalisme religius
Sebagaimana motivator pada umumnya, sebagian besar ceramah Felix Siauw berkisar pada ‘kiat menjadi sukses.’ Yang membedakannya secara radikal adalah keberaniannya secara terang-terangan mengutuki kapitalisme serta mengkampanyekan sistem sosial-politik syariah. Bagaimana mungkin Inspirasi Iman bisa menjual kiat-kiat sukses sambil mengutuki kapitalisme, sistem yang menjadi landasan bagi segala jenis kesuksesan dewasa ini?
Sebelum kita jawab pertanyaan tersebut, mari kita menengok sejarah. Pada awal abad 20, gerakan Islam Politik mulai bersikap kritis terhadap kapitalisme yang kawin silang dengan kolonialisme. Pada masa itu, muncul golongan ‘Islam Merah’ dalam tubuh Serikat Islam (SI), dengan tokoh-tokoh seperti Semaun, Musso, dan Haji Misbach—yang nantinya menjadi punggawa awal Partai Komunis Indonesia (PKI). Di tangan mereka, kritik atas kapitalisme/kolonialisme adalah kritik yang cukup substansial. Haji Misbach, misalnya, menulis beberapa risalah penting (yang sayangnya sangat sulit untuk dijumpai) mengenai kritik atas kapitalisme serta mensintesiskan Islam dengan sosialisme.
Sialnya, tradisi berpikir kritis atas kapitalisme itu menjadi tumpul. Kritik-kritik yang beredar dalam Inspirasi Iman hanya sebatas kritik atas ekses-ekses kapitalisme, tanpa menyentuh jantung permasalahan dalam diri kapitalisme itu sendiri. Inspirasi Iman mencukupkan diri dengan menyesalkan kapitalisme yang membuat manusia terobsesi pada hal-hal material, bukan iman; sekadar cibiran jijik pada manusia-manusia yang tak habisnya mengeruk laba sampai lupa solat subuh dan memakai hijab. Barangkali, Inspirasi Iman tidak akan punya masalah dengan kapitalisme apabila kapitalisme dimulai dengan basmalah kemudian diakhiri dengan hamdallah, dan tidak lupa bersedekah. Kritik paling radikal yang mungkin ia lontarkan adalah ‘kapitalisme sistem kafir.’ Sayangnya, tak ada masalah di sana. Televisi, tempat Felix menyebarkan ceramah-ceramah syar’i-nya itu, juga diciptakan oleh orang ‘kafir’ dengan tujuan-tujuan yang tidak menyertakan Tuhan. Tak ayal lagi, kritik-kritik dalam Inspirasi Iman tak lebih dari moralisme belaka.
Dangkalnya kritik ini bisa dijelaskan oleh dinamika kapitalisme itu sendiri. Islam syar’i (atau apa pun genre pemikiran yang dikampanyekan Inspirasi Iman), yang (niatnya) dijagokan sebagai ideologi alternatif, justru diinternalisasikan oleh sistem yang ia lawan. Di layar kaca, Inspirasi Iman harus bersaing dengan sinetron, tayangan memancing, kuliner, atau gosip, untuk menjaring umat (baca: penonton setia), yang nantinya diakumulasikan dalam bentuk rating. Menyitir dan memelintir Pink Floyd, agama dalam layar kaca telah direduksi menjadi just another commodity on the market.
Barangkali inilah alasan Inspirasi Iman memilih untuk mengritik kapitalisme. Dalam persaingan antarkomoditas, komoditas yang memiliki ‘nilai lebih’ akan lebih disukai calon pembeli. Tapi, sikap kritis atas kapitalisme pun tak lebih dari itu: sekadar ‘pakaian seksi’ yang dipakai untuk menarik penonton muda yang kebetulan jengah dengan pola hidup materialistik kapitalisme.
Apabila ‘busana seksi’ itu ia tanggalkan, maka konten tayangan Inspirasi Iman pun tidak jauh berbeda dari ceramah-ceramah motivasi pada umumnya. Lihat saja episode ‘Sepasang Bidadari Kunci Sukses,’ yang sama sekali tidak istiqomah dengan sikap kritis atas kapitalisme. Dalam episode tersebut, Ippho Right, seorang motivator sekaligus pebisnis (yang tidak jelas apa persisnya bisnis yang dijalankan), yang hadir sebagai narasumber, sama sekali tidak memberikan definisi ‘sukses’ yang non-kapitalistik semacam ‘sukses adalah turut serta menumpas tujuh setan desa,’ atau ‘sukses adalah pemberlakuan land reform demi petani miskin.’ Definisi ‘sukses’ Ippho tidak jauh berbeda dari definisi ala kapitalisme (tentunya, dengan imbuhan syar’i). Baginya, sukses adalah, ‘menjadi kaya, tapi tetap syar’i.’
Motivasi-motivasi menuju sukses yang diserukan dalam tayangan ini jatuh pada lubang yang sama dengan motivasi sukses pada umumnya: mimpi kosong. Narasumber-narasumber yang diundang selalu memberi formula sederhana: ‘menikahlah, maka kau akan sukses,’ ‘niat dan keyakinan punya hubungan dekat dengan kesuksesan,’ ‘hidup harus punya visi dunia dan visi akhirat,’ atau ‘no pain, no gain.’ Ketika Ippho Right ditanya bagaimana ia bisa membiayai ibunya naik haji padahal ia tidak punya uang, jawabannya enigmatik: itu rezeki Allah. Anas Urbaningrum juga bisa bilang, ketika ditanya dari mana datangnya bermilyar-milyar uang di rekeningnya, bahwa itu adalah karunia dari Yang Maha Kuasa. Kata-kata itu hanya bermakna jika hidup semudah cocoté Mario Teguh.
Yang lebih teruk lagi, pola pikir ‘mengejar kesuksesan’ itu juga diaplikasikan dalam kehidupan religius. Marx dari jauh-jauh hari telah mengindikasikan bahwa ‘basis menentukan suprastruktur.’ Aktivitas produksi dan reproduksi kehidupan manusia menentukan bagaimana manusia berpikir. Ketika tayangan hanya menjadi komoditas yang diakumulasi untuk keuntungan, maka logika internal dalam tayangan tersebut pun tak jauh dari logika akumulasi. Pemahaman religius pun gagal luput dari hal itu.
Simak saja episode ‘Hidup Selalu ON’ (13 Juni 2013), untuk menemukan bagaimana televisi menjadi ruang serba guna bagi pemahaman agama praktis melalui ‘kiat-kiat masuk surga.’ Jamil Azzaini, salah seorang narasumber yang juga seorang motivator-cum pebisnis, bicara soal perilaku beragama seperti sedang bicara soal akumulasi modal. Ia membuat langkah-langkah strategis masuk surga seperti seorang pengusaha membuat roadmap bisnis. Ia menghitung pengeluaran untuk makan dan sedekah, seperti pedagang memperhitungkan pengeluaran belanja dan kemungkinan laba; ia membayangkan memeluk Nabi Muhammad di surga seperti perintis wirausaha membayangkan tinggal di rumah gedongan dengan teras depan seluas stadion Gelora Bung Karno.
Dalam panggung televisi, agama dan dunia jadi tukar guling: agama menjadi profan dan dunia menjadi mistik. Dengan pola pikir seperti ini, berdoa pada Tuhan pun bakal terasa sia-sia. Karena untuk setiap doa yang dipanjatkan, Ia akan balik bertanya:
‘Wani piro?‘***
Yovantra Arief, Mahasiswa hampir S1 di jurusan Filsafat, STF Driyarkara, Jakarta
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Remotivi. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.