Daftar Isi Edisi Ini:
- Makin Terbatas, Makin Luhung: Surat untuk Samin tentang Musik Non-Arus-Utama di Jakarta
- Banyak Orang Menebang Hutan
- Persetan Media
- Asolole: Antara Rhoma dan Irama
Phytagoras pernah berujar dahulu sekali, “musik adalah penyembuh jiwa.” Tentu ada sesuatu yang lain dan pemikiran tertentu yang melatarbelakangi apa yang dikatakannya itu. Tetapi cukuplah untuk pengantar ini kita mengutip sepenggal kalimatnya tersebut dan membiarkan ide lain di baliknya diam dulu. Dengan demikian, kita tentu bisa dengan mudah setuju dengan hal itu. Hampir setiap kita di zaman ini punya lagu-lagu favorit, punya musisi kesayangan, dan juga mendengarkan musik dengan cara apa pun dan melalui media mana pun. Apalagi dengan teknologi informasi yang memudahkan begitu rupa, kita lantas bebas dan terbuka untuk memilih dan memiliki musik-musik seperti apa pun juga. Di sisi lain, teknologi rekaman dan produksi musik yang dibantu komputer yang semakin maju memungkinkan musik diciptakan bahkan dengan seorang diri di kamar; hanya bersenjatakan sebuah gitar dan program fruity loop.
Dewasa ini, kita seakan memiliki kebebasan absolut untuk mendengarkan musik dan memproduksi musik. Namun, benarkah kita sebebas-bebasnya dan tanpa sekat bisa menjangkau musik mana saja dan musik apa saja? Sebuah esai dari Mochamad Abdul Manan Rasudi rupanya menunda kesimpulan itu. Tulisan tersebut mengamati tiga gigs di Jakarta yang mununjukkan adanya ‘strata’ dalam menikmati musik. Selera musik, tempat di mana ia dinikmati, dan bagaimana ia diapresiasi, menunjukkan strata tersebut.
Tulisan Irfan Rizki Darajat dalam rubrik Kritik mengamati evolusi genre musik dangdut semenjak zaman Rhoma Irama hingga apa yang kini disebut-sebut sebagai dangdut koplo. Sentral dalam argumen penulis bahwa teknologi tidak saja memainkan peranan penting dalam laboratorium si musisi, namun juga berpengaruh besar pada distribusi dan, akhirnya, pada pemasukan si musisi.
Pada rubrik Apresiasi kali ini, kami menghadirkan dua buah karya seni audio; masing-masing dari band Ilalang Zaman serta deklamasi puisi Saut Situmorang. Lagu bertajuk ‘Persetan Media’ milik Ilalang Zaman mengetengahkan kritik atas korporasi media mainstream yang gencar memanipulasi kesadaran masyarakat melalui berita. Sementara itu, beruntung sekali kami bisa menghadirkan ke hadapan sidang pembaca sekalian, Saut Situmorang yang membacakan puisi “banyak orang menebang hutan” dengan diiringi musik ciamik. Melalui puisi ini, kesadaran kita digiring masuk dalam belantara Sumatera-Kalimantan untuk menyaksikan pohon-pohon bertumbangan dan burung-burung enggang yang beterbangan resah.
Akhirul kalam, setelah kita semua terbebas dari mitos 1 april, redaksi mengucapkan selamat membaca.