DALAM setiap aksi Kamisan di depan istana negara, Jakarta, Suciwati, istri almarhum Munir, selalu meneriakan slogan ‘Jangan diam!’ Teriakan Suciwati ini spontan disambut peserta aksi dengan kata ‘Lawan!’ Bukan kebetulan pula bila Cak Munir mengatakan bahwa obat ketakutan paling mujarab adalah ‘melawan ketakutan itu sendiri.’
Pernyataan Suciwati dan Munir, sejalan dengan apa yang dilakukan keduanya dalam kehidupan nyata: kesesuaian antara kata dan perbuatan. Sebuah sikap yang makin sulit kita temui di kalangan pemimpin sekarang. Seorang seniman kerakyatan, yang juga dikagumi Munir, Wiji Thukul, sudah pula meneriakkan slogan itu dengan lantang sejak otoriterianisme Soeharto. Satu bait puisinya yang sudah melegenda: ‘Hanya ada satu kata,lawan!’
Sejak awal dekade 90an, keterbukaan politik dilakukan oleh rezim orde baru sebagai konsesi, karena mulai kencangnya tuntutan reformasi politik. Keterbukaan politik itu, tak lain merupakan reaksi terhadap arus perlawanan yang mulai membesar atas kekuasaan negara dan modal. Dalam arus perlawanan atas otoriterianisme orba tersebut, Munir tumbuh dan menjadi bagian di dalamnya. Pembangunan yang kapitalistik dan politik stabilitas yang sarat kekerasan, merupakan dua sisi mata uang yang menjadi pondasi kelahiran dan kemapanan orba. Akibatnya, secara sistematis berjatuhan korban pembangunan dan HAM yang meluas. Dalam situasi ini tindakan ‘melawan’ akan menghadapi stigmatisasi komunis, teror, penangkapan, dan pemenjaraan.
Munir tumbuh dalam suasana dialektis perlawanan dan represi orba. Dia memilih aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), karena hendak membela rakyat yang hak-haknya dirampas dan dijerat hukum yang mengabdi kekuasaan. Menegakkan hukum, konstitusi dan ham, menjadi tindakan politik sekaligus mendemokratiskan sistem yang otoriter. Itu sebabnya sosiolog James Petras mengatakan, perjuangan HAM di bawah rejim militer merupakan sebuah tindakan radikal.
Munir sadar tentara adalah kekuatan pertama dan terutama yang akan menjadi lawannya. Uji nyali yang menghadapkanya dengan tentara adalah advokasi pembunuhan terhadap buruh perempuan Marsinah, yang diduga melibatkan aparat militer setempat. Bersama KASUM (Komite Solidaritas Untuk Marsinah), Munir menuntut tanggungjawab militer yang diduga menjadi pelaku utama hingga ke lembaga HAM Internasional. Sebagai resiko dari aktivitasnya itu, Munir sempat ‘diculik’ ke kantor Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstanasda) Jawa Timur, sebuah lembaga militer dengan kekuasaan yang tidak terbatas dan kebal hukum. Di tempat itu, Munir sempat diteror. Di Bakorstanasda Jatim itu juga, saya dkk pernah ditahan karena bersolidaritas terhadap aksi petani Blangguan. Munir dengan tertawa meledek saya ‘Kita ini sama-sama alumni Bakorstanasda.’
Teror ini salah satu ujian terberat yang berhasil dilalui Munir. Saya duga, filosofi Munir melawan sebagai cara mengatasi ketakutan, lahir setelah proses inisiasi ini. Tidak banyak aktivis yang lolos dari inisiasi ini.
Praktek berlawan atas kekuasaan yang militeris, secara dramatis ia tunjukkan dalam pembelaan atas para aktivis yang diculik Tim Mawar Kopassus, menjelang tumbangnya Soeharto. Bersama aktivis yang dibebaskan dari tahanan Kopassus, Munir dan koleganya berhasil membongkar peran ‘Tim Mawar’ dalam penculikan aktivis 1998 itu. Akitivitasnya ini sukses menjungkalkan karir militer jendral Prabowo Subianto dan Muchdi Pr., dua mantan komandan Kopassus yang terlibat dalam operasi penculikan. Di kemudian hari, ketika menjabat deputi Badan Intelijen Negara (BIN), Muchdi diduga terlibat dalam operasi pembunuhan Munir di dalam perut pesawat Garuda.
Setelah kasus penembakkan Santa Cruz di Dili, Timor Leste 1992, ini kasus kedua dimana jendral orba tersungkur karena pelanggaran HAM dan menjadi sorotan internasional. Sisanya, masih terus menikmati impunitas. Bedanya, jika Santa Cruz berhasil karena tekanan internasional yang kuat, kasus penculikan karena perlawanan dari dalam negeri, dimana Munir ambil peran sentral di sini.
Munir lalu mendirikan Kontras, yang sampai hari ini menjadi garda depan dalam menuntut tanggung jawab negara dan militer atas kasus-kasus pelanggaran HAM selama ini.
Suara lantang Munir atas militer sejak jaman Orba Soeharto, mungkin agak mirip dengan tuntutan politik anak-anak muda Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang berada di garis depan meneriakkan tuntutan “Cabut Dwifungsi ABRI,’ dalam berbagai demo, spanduk dan poster. Salah seorang aktivis PRD dari Surabaya, Herman Hendrawan, memiliki hubungan yang dekat dengan Cak Munir. Herman kemudian menjadi target penculikan militer, karena dianggap sebagai simpul yang menghubungkan gerakan arus bawah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dengan gerakan demokrasi.
Setelah reformasi, Munir tak berhenti mendesakkan tanggung jawab para jendral atas kejahatan HAM mereka di masa lalu. Munir, yang melihat dengan jernih, bahwa transisi demokrasi telah dibajak oleh kekuatan lama untuk menerapkan impunitas. Karena itu ia bediri di garis depan menyerang kebijakan politik impunitas oleh negara.
Itu juga sebabnya mengapa Munir melihat UU KKR, yang kemudian dicabut, dibuat dalam situasi politik dimana kekuatan lama membawa pengaruh besar. Sehingga yang terjadi nanti adalah sebuah rekonsiliasi ‘tanpa kebenaran dan keadilan.’ Sebelum wafat, dia juga menentang pasal-pasal RUU TNI yang dianggapnya hendak mengembalikan kekuasaan militer mirip Dwifungsi. RUU ini memberikan peluang pada tentara untuk kembali mengancam HAM dan ruang demokrasi, persis seperti RUU Keamanan Nasional (Kamnas) yang sedang dibahas di DPR sekarang.
Dengan track record perlawanan yang lantang atas militer, jangan heran bila Munir menjadi figur yang tidak disukai oleh para jendral dan politisi konservatif. Skenario pembunuhan Munir, yang diduga melibatkan petinggi BIN, patut diduga sebagai resiko yang disusun secara sistematis. Tetapi, Munir boleh saja secara fisik berhasil dimusnahkan, namun hal paling esensi dalam diri cak Munir tak pernah mati, bahkan semakin meluas. Spirit Munir yang terus hidup hingga sekarang adalah berlanjutnya tradisi melawan. Sebuah spirit perjuangan yang paling menakutkan bagi kekuasaan anti rakyat di manapun di segala jaman.
Karena itu, sosok Munir dapat dirangkum dalam kalimat singkat: ‘Melawan adalah Munir.’ Semua orang yang berlawan adalah replikasi Munir, yang dapat kita temui dalam perlawanan buruh, petani, kaum miskin, korban, perempuan, rakyat Papua, serta berbagai ekspresi anti penindasan lainnya.
Selama ada perlawanan, Munir tak pernah mati. Selama ada perlawanan, Munir ada dimana- mana.
A Luta Continua!***
Wilson, sejarawan