Resensi Buku
Judul Buku : Materialisme Dialektis: Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer
Penulis : Martin Suryajaya
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Tahun : 2012
Halaman : xvi + 377
‘Geist ist ein Knochen’ –Hegel, Einführung in die Ästhetik-
BUKU Martin Suryajaya kali ini, adalah mengenai Marxisme sebagai sebuah metode berpikir; tentang kelemahan prinsipil relativisme yang sekarang ini berwujud dalam rupa filsafat pasca modern; mengenai pentingnya realisme dalam filsafat sebagai upaya penyelamatan filsafat dari dirinya sendiri; catatan-catatan mengenai keterbatasan inheren pemikiran kontemporer yang bertujuan emansipatif namun tanpa landasan realis (yang secara jenaka ditampilkan Martin melalui eksplitisasi absurd atas kesimpulan pemikiran tersebut); mengenai problematika ‘hantu’ hegelian dalam tubuh epistemologi Marxisme; dan, yang tidak kalah pentingnya, mengenai pentingnya keberadaan politik pengetahuan dalam Gerakan Kiri di Indonesia kontemporer.
Simpulan-simpulan seperti ini sulit untuk ditutup-tutupi, karena narasi serta artikulasi yang digunakan dapat diibaratkan layaknya seorang Ayah yang hendak melarang anaknya untuk mendekati panas api karena berpotensi membahayakan diri sang anak itu sendiri; langsung, tegas, sekaligus jelas. Tidak ada pretensi retorika metaforik yang kabur dalam argumentasi yang hendak dibangun. Suatu posisi, yang tentu saja, sangat berharga di tengah marak dan menggejalanya fenomena ‘kenakalan remaja’ di kalangan Gerakan Kiri di Indonesia sekarang ini.
Namun apa yang menjadi jelas bagi anak kecil, seringkali tidak jelas bagi anak kecil itu sendiri. sering kita temukan dalam pengalaman keseharian kita dimana larangan kita terhadap anak-anak justru berbuah pada pelanggaran atas larangan itu. Misalnya, ketika kita berteriak kepada anak kecil agar tidak mengulum suatu objek karena kotor, justru objek tersebut akan dikulum terus menerus sampai kita merampas objek tersebut. Walau begitu, bukankah ini yang terjadi pada Adam-Hawa ketika mereka dilarang untuk memakan buah khuldi oleh Tuhan di surga, justru kemudian larangan tersebut menjadi pembenaran bagi mereka untuk memakan buah tersebut? Situasi ini menunjukkan bahwa ada respon ketidaklogisan yang bekerja di bawah logika standar kecerdasan umum anak-anak, yang membuncah ketika suatu pernyataan tegas dan jelas dinyatakan. Secara medis, kondisi logika yang berada di bawah standar kecerdasan umum ini disebut juga dengan kedunguan (stupidity).
Dalam psikologi, ada tiga tipe yang dikenal dalam mengkategorikan kedunguan. Yang pertama disebut dengan keidiotan, dimana mereka adalah orang-orang yang paham situasi secara logis, namun secara sederhana mengabaikan konteks aturan yang tersembunyi. Sebagai contoh, ketika saya biasa bersantai di restoran, seorang pelayan menyapa saya, ‘bagaimana hari anda?’ Saya tahu ia sedang berbasa-basi sehingga jawaban saya pun mestinya basa-basi: ‘baik.’ Tapi saya malah menjawab secara jujur (hari ini melelahkan, kerjaan saya di kantor berat sekali, dst…) dan pelayan tersebut melihat saya selayaknya seorang idiot. Pelayan tersebut benar, saya adalah seorang idiot. Bentuk yang kedua dan bertentangan dengan yang pertama adalah moron. Suatu bentuk kedunguan yang mana memahami secara tepat konteks yang berlaku, namun bersikap eksesif atas konteks tersebut. Contoh dari kedunguan moronic dapat dilihat dari anekdot dimana ketika dalam suatu kondisi yang darurat, seseorang diharuskan untuk menelepon 911. Akan tetapi orang tersebut tidak dapat menelepon 911 dikarenakan tidak ada angka 11 di tubuh telepon. Lalu kedunguan yang ketiga, sekaligus yang paling menarik, adalah apa yang disebut dengan imbisil. Menurut Wikipedia, imbisil adalah termin medis untuk menjelaskan seseorang secara moderat mengalami keterbelakangan mental. Termin ini berasal dari bahasa latin imbecillus yang berarti lemah, atau lemah-pikir. Imbisil biasa digunakan sebagai kategori untuk menjelaskan orang-orang dengan IQ 26-50, di bawah IQ moron 51-70 dan di atas IQ idiot 0-25. Seorang imbisil adalah mereka yang percaya bahwa aturan kontekstual yang tersembunyi/nalar umum benar adanya, tapi mereka tidak yakin akan keberadaannya. Contoh sederhana dari logika imbisil dapat dilihat dari pernyataan band punk Slovenia, Laibach, ketika mereka berkomentar mengenai keberadaan Tuhan. Mereka menjawab, ‘seperti orang Amerika, kita percaya akan Tuhan; namun tidak seperti orang Amerika, kita tidak yakin dengan Tuhan.’
Dalam posisi imbisil ini, setidaknya kita bisa menelusuri problem imanen posisi Martin dalam buku ini. untuk itu, tulisan ini pada dasarnya adalah suatu ‘kenakalan kekanakkan’ terhadap suatu pernyataan yang tegas dan jelas. Menurut saya, kekurangan dari buku Martin kali ini, terletak pada ketidakmampuan untuk mengantisipasi pentingnya proyeksi politik pengetahuan melalui pembangunan hipotesa yang dapat diuji dalam praktik (atau dalam bahasa Zizekian, meresikokan hipotesa). Ketika tidak ada keraguan sepenuhnya atas posisi filosofis yang ditawarkan Martin, namun, dalam momen yang sama, posisi filosofis seperti ini tidak cukup memadai untuk membantu kita untuk keluar dari kesulitan-kesulitan yang tengah kita hadapi sekarang ini. Dengan kata lain, saya percaya dengan Martin, akan tetapi tidak yakin dengan Martin itu sendiri.
Perihal ‘Rambu-rambu’ dalam Berpikir Materialisme Dialektis
Martin secara sadar mengatakan bahwa bukunya ini bukanlah eksposisi mendetail tentang totalitas elemen dari materialism dialektis. Buku ini adalah batang tubuh bagi eskposisi sistematis atas materialism dialektis. Dengan kata lain, buku ini adalah tentang status presisi dari materialism dialektis. Suatu posisi yang saya sebut, jika membalik parafrase Lenin, tentang Apa yang Harus Tidak Dilakukan (What Is To Be Undone). Dengan memperjelas tentang apa yang tidak boleh dilakukan ketika berpikir secara materialisme dialektis maka akan ‘mempersiapkan fondasi bagi terbentuknya pengertian akurat tentang materialismew dialektis’ (hal. 15).
Posisi ini sangat kentara sekali ketika kita melihat struktur presentasi dari buku ini sendiri. Pada bagian pendahuluanl, Martin dengan sangat antusias memperlihatkan keterbatasan inheren dari filsafat idealisme, khususnya idealisme yang berkembang pada abad 20 di Perancis dengan pascamodernisme-nya. Keterbatasan inheren dari filsafat idealisme i.e filsafat pascamodern disebabkan oleh dosa asal filsafat itu sendiri, yang menurutnya berasal dari penolakan militan filsafat akan objektifitas. Dalam narasinya yang profetis ala Manifesto Komunis, Martin menulis pada kalimat awal bagian pendahuluan, ‘Ada hantu yang bergentayangan di Eropa: hantu realisme. Berlapis-lapis filsuf abad ke-20 mencoba mengusirnya –hantu yang berbisik pada kita bahwa realitas objektif yang eksternal dan independen dari subjek itu ada…‘ (hal. 1). Realisme sendiri.
Dalam pandangan Martin, pengetahuan anti objektivitas ini berasal dari filsafat idealismenya Hegel, yang mengadvokasi doktrin relasi internal. Doktrin ini adalah ‘pandangan yang melihat bahwa esensi/identitas suatu hal dikonstitusikan oleh relasinya dengan hal yang lain… bahwa dalam setiap positivitas terdapat negativitas, dalam setiap identitas senantiasa terdapat perbedaan. Relasi ‘meja’ dengan ‘yang lain’ –dalam hal ini ‘kursi’ –bersifat menentukan bagi identitas ‘meja’ sebab tanpa relasi ini ‘meja’ tak akan terdefinisikan… kesimpulannya: ‘meja’ adalah ‘meja’ sekaligus ‘bukan meja’… inilah identitas antara identitas dan non-identitas‘ (hal. 3). Menurut Martin, ketika doktrin ini direngkuh maka tidak dimungkinkan adanya identitas yang eksternal dari internalitas identitas. Artikulasi filsafat kontemporer dari posisi ini dapat dilihat dari posisi differance ala Derridean. Differance Derrida berarti adalah penekanan pada perbedaan yang mana, dengan pemaknaan baru terhadap strukturalisme Saussurean, perbedaan antar penanda dalam ranah bahasa tersebut adalah suatu bentuk penundaan makna dari setiap tanda. Perbedaan antar penanda, dengan kata lain, menjadi syarat kemungkinan, dikarenakan penanda kemudian dapat dibaca sebagai sebuah teks, sekaligus menjadi syarat ketidakmungkinan, dikarenakan tidak pernah ada makna yang tetap dalam konfigurasi penanda ranah bahasa. Konsekuensi dari posisi Derrida ini adalah apa yang disebut Martin sebagai negativitas internal yang menunda positivitas makna (hal. 6), dimana identitas eksternal ‘telah selalu luput, tak pernah ada.’ Dengan kata lain, difference menandai hilangnya kehadiran objektif. Di sini kemudian apa yang kita maksud penolakan Derrida terhadap ‘metafisika kehadiran’ yang berarti adalah ‘objektivitas eksternal kehadiran’ itu sendiri.
Konsekuensi lanjutan dari penundaan makna Derridean mengenai teks bahasa dengan struktur penanda dengan petanda, akan selalu mengalami kekurangan yang konstitutif dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, yang ditandai adalah sesuatu yang kurang itu sendiri. Di sini kemudian Martin secara sangat jeli melihat problematika dari problem ‘kekurangan qua penundaan.’ Ia menulis, ‘Jika dalam ‘teks’ tak ada yang memiliki identitas di luar relasi internal dengan yang-lain, maka ‘teks’ itu sendiri niscaya menunjuk dan mengarah pada sesuatu yang keberadaannya tidak mensyaratkan relasi dengan yang-lain… apabila ‘teks’ adalah nama lain dari keniscayaan intermediasi, maka intermediasi itu sendiri meniscayakan adanya sesuatu yang menjadi alasan mengapa perlu ada intermediasi –sesuatu yang keberadaannya tidak meniscayakan intermediasi‘ (hal. 9). Voila! Di sini kita menemukan batas dari difference Derrida, yang pada dasarnya adalah lanjutan dari idealism. Jika semuanya berkorelasi agar bermakna, maka korelasi itu sendiri agar bermakna harus mengarah pada sesuatu yang a-korelatif. Di sini kemudian realisme menjadi batas dari idealisme. Idealisme selalu mensyaratkan realisme pada batasan tertentu. Akan tetapi sebaliknya realisme tidak pernah mensyaratkan adanya idealisme.
Ketika filsafat idealisme sudah menemui batasnya, maka upaya yang harus dilakukan selanjutnya adalah meninggalkan posisi filsafat tersebut dan memeluk posisi filsafat yang sepenuhnya materialis (yang dalam buku, termin ini sering bertukar dengan realisme). Di sini kemudian Martin dalam bab selanjutnya mengenai Posisi mengemukakan posisi materialisme yang dia maksud. Posisi materialisme yang dipilih adalah materialisme yang dikemukakan Lenin dalam buku klasiknya Materialisme dan Empirio-kritisisme dan Quentin Meillassoux dalam bukunya Setelah Keterhinggaan: Esai tentang Keniscayaan Kontingensi. Dua figure ini, menurut Martin, merepresentasikan artikulasi materialisme yang paling komprehensif pada zamannya masing-masing. Di sinilah kemudian Martin mematok ‘rambu-rambu’ perihal berpikir secara materialis, atau lebih tepatnya, secara materialisme dialektis.
Posisi materialis yang dibangun oleh Martin pada dasarnya adalah posisi yang mengakui adanya realitas objektif yang eksternal di luar kesadaran subjek. Melalui Lenin, Martin menulis, ‘Objektivitas mengacu pada sesuatu yang terpisah dari seluruh kesadaran, independen terhadap umat manusia secara keseluruhan. Merelatifkan objektivitas pada kesadaran, betapapun intersubjektif-universal kesadaran tersebut, sama dengan mensubjektifkan objektivitas. Karenanya, posisi ini akan terjatuh ke dalam suatu solipsism humanis, yakni keyakinan bahwa tidak ada kebenaran di luar kebenaran yang berkorelasi dengan manusia… dalam pandangan ini, yang ada hanya diri manusia semata (solus ipse); semua yang lain diturunkan dari hubungannya dengan manusia‘ (hal. 57). Dalam hal ini, Martin sekali lagi menemukan bahwa doktrin relasi internal masih menjadi ‘pengganggu’ dalam materialism dialektis. Dalam hal ini kemudian Martin perlu menegaskan bahwa doktrin relasi internal, yang mewujud dalam ‘postulat tentang keterhubungan konstitutif yang bersifat universal dan a-priori‘ (hal. 65) harus ditinggalkan. Dalam artian relasi internal bukan sesuatu yang dipostulatkan sedari mula, namun adalah sesuatu yang ditemukan melalui analisa. Apa yang ditolak oleh materialisme dialektis bukanlah relasi internal per se, melainkan metode penerapan tertentu atas konsep relasi internal tersebut, yakni ‘sebagai postulat tentang korelasi asali-universal dari segala hal –suatu postulat yang membuat adanya subjek bersifat konstitutif terhadap adanya objek‘ (hal. 66).
Masalah korelasi mendapat elaborasi lebih jauh ketika Martin tengah mendiskusikan Meillassoux saat membangun posisinya. Problem utama yang hendak dipecahkan oleh Meillassoux ketika hendak membangun proposisi logis dari realisme adalah masalah korelasionisme dalam filsafat. Dengan mengutip Meillassoux, definisi korelasionisme adalah ‘dengan ‘korelasi’ kita maksudkan ide yang menyatakan bahwa kita hanya memiliki akses terhadap korelasi antara pikiran dan Ada, dan tak pernah terhadap salah satunya yang dilihat secara terpisah dari yang lain. Maka itu, mulai kini kita akan menyebut korelasionisme bagi setiap arus pemikiran yang membela watak ketakterlampauan dari korelasi itu..‘ (hal. 84). Menurut Martin, argumen korelasionisme adalah argumen yang menyatakan bahwa kita tidak dapat memikirkan benda pada-dirinya tanpa terjatuh ke dalam lingkaran setan, dengan kata lain, ke dalam argumen bahwa pemikiran tentang benda pada-dirinya adalah selalu pemikiran tentang benda pada-dirinya-bagi-kita (hal. 85). implikasi konstitutif dari posisi ini menurut Martin adalah kita akan selamanya terkurung dalam korelasi tersebut tanpa dapat mengakses realitas pada-dirinya. Dalam kerangka korelasionis, yang-di-luar hanya ada sebagai tautan dari keberadaan kita. Dengan kata lain, kita akan selalu kehilangan Luar-yang-Akbar (Grand Dehors), luar-absolut dari para pemikir pra-kritis, yakni sebuah Luar yang tidak relatif terhadap kita. Yang pada akhirnya akan mengantarkan kita untuk selalu kehilangan realitas.
Walau Meillassoux mengadvokasi keharusan posisi realis dalam berpikir filosofis, tapi Martin menolak tawaran Meillassoux mengenai bagaimana berpikir realis sekarang ini, sekaligus melampaui keterbatasan korelasionisme. Keberatan Martin dapat ditelusuri pada bagaimana pemikiran Meillassoux tentang Yang-Absolut. Bagi Meillassoux, ia mengakui adanya ‘keniscayaan absolut’ namun sekaligus menolak ‘segala sesuatu yang niscaya secara absolut.’ Dengan kata lain, Meillassoux mengakui adanya relaitas yang terpisah dari pikiran, namun secara bersamaan ia menolak prinsip alasan memadai yang menyebabkan adanya realitas itu. Di sini kemudian problem Yang-Absolut yang hendak dicari oleh Meillassoux bukanlah suatu entitas absolut, akan tetapi, lebih tepatnya, adalah ketakmungkinan absolut dari entitas yang niscaya. Lalu bagaimana agar ketakmungkinan absolut dari entitas yang niscaya ini dapat secara mungkin diketahui? Dalam hal ini Meillassoux menjawab bahwa hal ini dapat dimungkinkan dengan operasionalisasi matematik atas dunia yang objektif. Matematika, menurut Meillassoux, merupakan properti atau sifat inheren dari objek itu sendiri. Dalam hal ini kemudian dapat dilihat bahwa proyeksi filosofis Meillassoux tentang realisme adalah mengenai keharusan kontingensi dari Yang-Absolut (baca: realitas) qua matematisasi Yang-Absolut itu sendiri.
Proyeksi filosofis seperti ini menurut Martin sangat problematis. Kembali ke proposisi dasar dari proyeksi Meillassoux, bagi Martin, tidak ada penjelasan yang memadai mengenai hubungan antara dunia absolut yang serba kontingen dengan ketermatematisan dunia tersebut. Martin melihat bahwa Meillassoux menyatakan bahwa dunia absolut hukum-hukum dapat berubah tanpa alasan (sejauh tidak kontradiktif), namun tidak memberikan penjelasan apapun mengenai bagaimana hukum-hukum matematika berubah bersamanya. Jika hukum-hukum matematika adalah niscaya, maka Meillassoux harus memperluas kesimpulannya mengenai keniscyaan: bukan hanya kontingensi saja yang niscaya, melainkan juga hukum-hukum matematika. Namun dalam posisi inilah kelemahan proyeksi Meillassoux diperlihatkan. Harus ada pensyaratan aksiomatik dalam menunjukkan keniscayaan atas hukum-hukum matematika. Dalam hal ini kemudian, Martin secara jeli menunjukkan bahwa keterbatasan upaya matematisasi Meillassoux dalam menopang proyeksi filosofisnya karena ketika aksiomatisasi atas hukum-hukum matematika diberlakukan maka akan membantah dengan sendirinya proposisi hukum-hukum matematika yang sifatnya kontingen.
Setelah kritik atas Meillassoux, lalu bagaimana posisi Martin? Dalam hal ini Martin kembali ke logika dasar realisme Lenin mengenai ranah ekonomi (atau lebih tepatnya ekonomi-politik) sebagai Yang-Absolut. Ekonomi-politik adalah ranah yang absolut sekaligus niscaya dalam masyarakat itu sendiri. Bagi Martin, ranah ekonomi-politik adalah persyaratan yang diperlukan agar yang subjektif bisa dimungkinkan dan berkesinambungan keberadaannya. Oleh karena itu, bentuk paling elementer dari subjektivitas adalah fungsi dari pemenuhan substratum material objektif tertentu. Mengutip Marx dan Engels dalam Ideologi Jerman, ‘sebagaimana setiap makhluk mengekspresikan kehidupannya, itulah mereka. Apanya mereka, oleh karena itu, berkoisindensi dengan produksi mereka, baik dengan apa yang mereka produksi dan dengan cara apa mereka berproduksi. Oleh karenanya, apa itu makhluk tergantung pada syarat-syarat material dari produksinya‘ (hal. 338). Martin menambahkan bahwa, ‘ekonomi (ekonomi-politik, red) dalam pengertiannya yang paling determinan dan objektif hanya berkenaan dengan kebutuhan objektif manusia yang paing elementer, yakni berkaitan dengan produksi dan reproduksi syarat-syarat keberadan material masyarakat… genggamlah garis baca objektivitas ini (baca: ekonomi-politik, red) dan persoalan masyarakat akan menjadi jelas di hadapan kita… di hadapan substratum material objektif yang memilah yang-hidup dari yang-mati ini, persoalan otentik-tak otentik dan sejenisnya akan nampak seperti penghinaan yang paling tidak termaafkan” (hal. 339).
Pertanyaan kemudian, dimana letak dialektika dalam materialisme dialektis menurut Martin? Bagi Martin, dialektika mesti ditempatkan ‘sebagai ajektif, sebagai penekanan, dari materialisme. Frase materialisme dialektis tidak dapat diartikan bahwa seolah-olah materi sepenuhnya ditentukan oleh dialektika antara realitas dan kesadaran. Jika frase tersebut diubah jadi begitu, maka dialketika akan jadi sepenuhnya arbitrer dan akhirnya tereduksi menjadi dialaktika antar konsep dalam pikiran yang secara semena-mena diproyeksikan ke realitas tanpa mempedulikan kualitas objektif dari substratum material yang dihadapinya… dengan begitu dialektika tak ubahnya seperti sofisme‘ (hal. 340). Satu-satunya cara agar materialisme dialektis dapat diselamatkan dari jebakan sofisme realitas-kesadaran adalah dengan menekankan pentingnya dimensi metodologi a-normatif dalam kritik ekonomi-politik sebagaiman yang telah dilakukan oleh Marx. Di sini Martin menyimpulkan bahwa materialisme dialektis yang dia maksud adalah engsel yang mempertemukan objektivitas dan subjektivitas dimana ada hirarki yang diakui di antara keduanya, yaitu objektivitas yang mencakup dan menjelaskan subjektifitas.
Lalu Apa?
Ketika posisi materialisme dialektis sebagaimana yang ditawarkan oleh Martin diterima sekaligus direngkuh, pertanyaan penting yang kemudian harus diajukan, atau lebih tepatnya adalah, mengutip Lenin (sekali lagi); apa yang harus dilakukan (What is to be done) dengan materialisme dialektis sekarang? Dalam pertanyaan ini, Martin tidak banyak berbicara. Pertanyaan ini menjadi sangat penting mengingat materialisme dialektis bukan hanya sekedar metode berpikir, tapi juga adalah suatu upaya untuk mengorganisasikan pengetahuan dalam rangka mencapai kebenaran. Dalam kategori materialisme dialektis, kebenaran bukan berada di dalam ranah idea atau teoritis, namun lebih tepatnya berada di ranah praktis dimana idea atau teori dimungkinkan untuk dibenturkan dengan realitas sebagai pengujian menuju kebenaran. Dengan kata lain, materialisme dialektis adalah juga mengenai posisi pengetahuan yang selalu sensitif akan realitas praktis.
Jika kita menduduki permasalahan pada posisi ini, maka buku Martin kali ini lebih banyak muncul sebagai himbauan (jika tidak ingin dikatakan teguran keras) agar kalangan Kiri kembali ke khittah materialisme dialektis, yakni berpikir secara ilmiah. Yang sayangnya, posisi ini tidak dibarengi dengan pengajuan suatu hipotesa mengenai bagaimana materialisme dialektis dapat dimaterialkan dalam realitas praktis. Ketidaksensitifan tentang realitas dalam posisi filosofis materialisme dialektis akan membuat pengetahuan tersebut tidak berbeda dengan pengetahuan yang lain. Bahkan dalam derajat tertentu, bentuk presentasi pengetahuan seperti ini memiliki konsekuensi yang regresif, dimana problem dari Gerakan Kiri adalah selalu tentang kegagalan mengimani secara konsisten materialisme dialektis yang ilmiah. Yang akhirnya dorongan untuk mengoreksi kesalahan bukan pada tataran praktis, namun pada tataran teoritis semata. Di sinilah kemudian apa yang menjadi kekuatan utamanya justru menjadi kelemahan yang fundamental, ketika materialisme dialektis menjadi suatu nama akan suatu posisi yang sepenuhnya steril dari perjuangan di tingkatan praktis. Dengan kata lain, Martin belum membereskan sampai selesai pekerjaan rumahnya. Atau bahkan, jika menggunakan vonis absurd ala Stalinis atas proyeksi politik pengetahuan dari buku Martin, maka kesimpulannya adalah: ‘Bersalah! karena tidak menjalankan secara murni dan konsekuen materialisme dialektis!’
Lalu apakah dengan pertanyaan seperti ini justru mengharuskan Martin untuk berbicara mengenai realitas konkrit? Jawaban saya dengan tegas adalah tidak. Problem saya dari buku Martin kali ini, justru masih terletak posisi filosofis itu sendiri. Meminta seorang filsuf untuk berbicara tentang realitas konkrit adalah sama absurdnya dengan menyuruh seorang arsitek untuk mengaduk semen layaknya seorang buruh bangunan. Walau begitu, bukan berarti sang arsitek tidak mempunyai pengetahuan mengenai berapa banyak takaran air yang harus digunakan ketika hendak mengaduk semen. Di sinilah kemudian pengetahuan sang arsitek memiliki tautan yang praktis dengan realitas. Benar atau salah estimasi takaran oleh sang arsitek bukan masalahnya karena hal tersebut hanya dapat ditentukan secara praktis. Namun, setidaknya, sang arsitek berani untuk mengambil suatu hipotesa tertentu dalam kaitannya dengan problem praktis yang tengah dihadapi. Martin terlalu bersemangat untuk menjelaskan sembari mematok ‘rambu-rambu’ yang presisi dalam berpikir materialism dialektis, namun lupa untuk memberikan penjelasan bagaimana ‘rambu-rambu’ ini relevan sekaligus fungsional dalam pengelaman kekinian kita. Yang ini akan dimungkinkan ketika terdapat pengajuan hipotesa dalam posisi pemikiran yang dibangun.
Lalu bagaimana yang sebenarnya dimaksud dengan pengajuan hipotetis atas materialisme dialektis? Sedikit ilustrasi akan membantu kita untuk memahami apa yang sebenarnya saya maksud ini. Contoh bahwa posisi filosofis dapat ditarik aras terjauhnya menjadi suatu hipotesa yang siap dibenturkan dengan realitas dapat dilihat pada posisi filosofis Slavoj Zizek (Kejutan!!). Proyeksi politik pengetahuan materialisme dialektis[1] sebagaimana yang dibangun Zizek, dapat dipahami dalam termin ‘there’s no Big Other’ (tidak ada yang-lain-yang-besar). untuk menyederhanakan, termin ini berupaya untuk menjelaskan bahwa dalam koordinat yang-nyata, yang merupakan ontologi inkonsisten dari realitas itu sendiri, fiksi simbolik yang memberikan status performatif dalam satu tingkat identitas saya, yang menentukan tindakan yang akan menampilkan ‘efisiensi simbolik,’ tidak lagi sepenuhnya operatif.[2] Artinya dalam tindakan subjek, khususnya subjek politik, tidak ada jaminan simbolik apapun ketika tindakan politik dilancarkan.
Pengalaman terkini dari hipotesa Zizek yang beresonansi dalam pengalaman praktis, dapat dilihat dari praktik politik SYRIZA yang merupakan salah satu koalisi kiri radikal yang ada di Yunani. SYRIZA menubuhkan hipotesa tidak ada yang-lain-yang-besar ketika mereka menyatakan bahwa posisi yang paling strategis untuk menyelamatkan rakyat Yunani dari krisis kapitalisme justru untuk tetap berada di dalam Uni Eropa. Posisi ini tentu saja berbeda, bahkan berlawanan, dengan banyak formasi politik kiri lainnya di Yunani, khususnya Partai Komunis Yunani (KKE) dan Antarsya (Koalisi Kiri Anti Kapitalis), dimana mereka berpendapat bahwa Uni Eropa adalah akar dari masalah itu sendiri karena fondasi structural dalam Uni Eropa yang berdasar pada Kesepakatan Maastricht merupakan determinan utama (baca: jaminan simbolik) yang menyebabkan Yunani harus mengalami krisis seperti sekarang. Tidak heran jika formasi politik kiri selain SYRIZA berpendapat bahwa Yunani harus keluar dari Zona Eropa. Berbeda dengan mereka, SYRIZA justru mencanangkan posisi pro Uni Eropa karena Kesepakatan Maastricht bukanlah ‘jaminan simbolik’ atas dinamika ekonomi-politik Uni Eropa. Dengan mengambil langkah keluar dari Zona Eropa, justru politik kiri Yunani tidak dapat mengajukan solusinya pada jantung permasalahannya itu sendiri, karena tidak mengakui bahwa krisis sekarang sudah bersifat lintas negara dan global. Implikasi dari posisi politik SYRIZA justru menciptakan basis dukungan politik yang lebih luas, yang pada saat bersamaan membuat banyak kekuatan politik kapitalis yang dominan di Yunani dan Eropa gemetar karena perluasan dukungan politik ini.[3]
Mungkin banyak yang akan berpendapat bahwa argumentasi saya kali ini terkesan melebih-lebihkan hipotesa dari Zizek, karena bias preferensi saya. Selain itu memang tidak ada hubungan serta pengaruhnya secara empirik antara posisi hipotesis Zizek dengan pilihan politik SYRIZA. Pendapat itu bisa jadi benar. Tapi pendapat tersebut bukan berarti benar secara keseluruhan. Saya berpendapat bahwa apa yang terjadi antara posisi hipotetis Zizek dengan praktik politik SYRIZA adalah apa yang disebut Hegel sebagai universalitas konkrit, ketika suatu praktik politik spesifik bertemu/berbenturan/berkontradiksi dengan gagasan universal dari posisi hipotetis dan menciptakan aktualitasnya sendiri.[4] Namun apa yang lebih penting yang ingin saya tunjukan dari ilustrasi ini adalah suatu posisi filosofis yang berani untuk meresikokan hipotesa agar lebih memiliki makna dalam pengalaman praktis kita sekarang. Karena keberadaan hipotesa tersebut akan memungkinkan kita untuk menemukan ruang berpikir baru yang lebih luas, sekaligus membantu kita untuk mengorganisasikan diri, baik teoritis maupun praktis, dalam cara yang lain dan lebih baik. Suatu hal yang akan sangat membantu kita untuk mengatasi kesulitan-kesulitan politik nyata yang dihadapi gerakan Kiri sekarang. Oleh karena itu, problem politik kiri yang tengah kita dihadapi sekarang harus dilihat sebagai realitas yang selalu menggedor-gedor kesadaran kita yang menunggu untuk diartikulasikan dalam bentuk filsafat apapun. Menurut Althusser, filsafat adalah perjuangan kelas dalam teori. Konsekuensinya posisi pemikiran filosofis harus juga selalu berupaya untuk menghadapkan horizonnya dalam realitas perjuangan kelas itu sendiri. Jika tidak, filsafat tidak lebih dari bincang-bincang warung kopi belaka.
Penutup
Apa yang dapat disimpulkan dari pembacaan atas karya Martin kali ini adalah buku ini harus dilihat secara simtomatik, dalam artian, karya Martin adalah gejala dari problem Kiri Indonesia secara luas sekarang ini. Ketika landasan serta fondasi epistemologi Kiri telah lama dihancurkan lewat proses kekuasaan anti rakyat pekerja yang menyejarah, maka upaya Martin kali ini adalah upaya yang sangat penting untuk membangun kembali landasan tersebut. Namun sayangnya, problem Kiri Indonesia bukan hanya itu semata. Sebagaimana ditulis dengan elegan oleh Martin, penghancuran ini dilakukan secara total dimana Kiri, ‘dibantai secara fisik dan pikiran sejak awal Orde Baru yang kemudian dijadikan bahan lelucon oleh mereka yang kini hidup melampaui modernitas‘ (hal. xvi). Inilah yang membuat buku Martin menjadi penting sekaligus tidak mencukupi. Walau begitu, terdapat suatu potensialitas dimana kita dapat melihat ada tugas lain yang harus dilakukan kita sebagai bagian dari kalangan Kiri itu sendiri untuk mengatasi masalah-masalah yang tengah dihadapi.
Menyangkut problematika yang saya ajukan mengenai ‘meresikokan hipotesa,’ Hegel dalam diskusinya mengenai frenologi dalam karyanya Introduction to Aesthetics, menyatakan bahwa roh adalah tulang (spirit is a bone). Peryataan ini dapat juga dipahami secara harfiah dimana roh (baca: pikiran) selalu-sudah teraktualisasi sebagai tulang (baca: realitas). Meresikokan hipotesa berarti adalah suatu upaya Hegelian tentang ‘jiwa adalah tulang,’ dimana aktualisasi ide dimediasi melalui hipotesa yang dapat berbenturan dengan realitas praktis dalam sungai sejarah. Dalam hal ini, Martin sebenarnya telah memberikan kita petunjuk yang penting ketika ia berbicara mengenai dua gesture Lenin, yakni dalam gesture pertama dengan karyanya Materialisme dan Empirio-kritisisme dan gesture kedua Lenin dengan karyanya Catatan Filosofis (hal. 60 sampai 75). Bagi beberapa kalangan dua gesture Lenin ini adalah suatu bentuk patahan dari pemikiran Lenin mengenai materialisme dialektis. Bahwa ada dua bentuk Lenin dalam dua gestur ini. Akan tetapi menurut Martin, dan tentu saya sepakati, dua gestur ini adalah Lenin yang sama. Yang membedakan adalah momen politik dimana Lenin hendak mengintervensi situasi pada saat itu.
Gestur Lenin menunjukkan bahwa politik dan pengetahuan memiliki relasi yang sangat erat. Aktualisasi ide selalu adalah respon politik pengetahuan terhadap realitas yang ada. Tidak heran jika kemudian setelah Lenin merampungkan Catatan Filosofis-nya tahun 1916, secara menentukan dalam jangka waktu yang singkat pada tahun 1917, ia mampu menulis Tesis April yang kemudian menjadi dokumen instruktif bagi kader Bolshevik agar soviet mengambil alih kekuasaan pada saat itu. Apa yang penting untuk digarisbawahi dari gestur Lenin ini adalah tentang bagaimana aktualisasi ide dalam prosesnya yang terbaik; tautan erat antara politik dan pengetahuan dimungkinkan karena selalu terdapat suatu medium, suatu wadah yang konkrit, yang memungkinkan dua entitas ini saling bertinteraksi. Jika memang mengulang gesture Lenin adalah jawaban nyata dari keterbatasan Martin dan problem-problem simptomatik yang mengiringinya, maka kita memerlukan wadah konkrit tersebut untuk mengaktualisasikan ide kita sekarang dan itu biasa disebut dengan organisasi politik.***
Muhammad Ridha, Anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)
Referensi
Zizek, Slavoj. The Ticklish Subject: The Absent Centre of Political Ontology. New York: Verso, 2000.
Zizek, Slavoj. The Parallax View. London: MIT Press, 2006.
Website
[1] Lebih detail mengenai materialisme dialektis yang dimaksud oleh Zizek, lih. Slavoj Zizek, The Parallax View (London: MIT Press, 2006)
[2] Slavoj Zizek, The Ticklish Subject: The Absent Centre of Political Ontology (New York: Verso, 2000) hal. 330.
[3] SYRIZA dalam pemilihan umum kedua yang diselenggarakan pada tanggal 17 Juni 2012 mendapatkan 26% dukungan dari keseluruhan total suara yang merupakan mayoritas kedua dalam pemilu Yunani kali ini. lih. http://links.org.au/node/2914
[4] Tidak heran dalam relasi ini, Zizek dapat berada dalam satu forum dengan Presiden SYRIZA, Alexis Tsipras pada tanggal 4 Juni 2012 untuk berbicara mengenai kemungkinan politik radikal di Yunani sekarang. Lih. http://greekleftreview.wordpress.com/2012/06/05/discussion-zizek-douzinas-tsipras-athens-4th-june-2012/