Lautan Solidaritas di Montreal

Print Friendly, PDF & Email

Memahami Gerakan Perlawanan Publik untuk Pendidikan Murah


PADA AKSI MENENTANG G20-TORONTO lalu, saya mengenakan kain merah bersegi empat-berpeniti emas itu. Sejak itu pula ikon ini telah menjadi perlambang solidaritas kolektif dalam memperjuangkan pendidikan murah. Simbol kebersamaan, mendukung  perlawanan untuk keterjangkauan dan keterbukaan akses pendidikan tinggi bagi semua, yang kini tengah terancam oleh kebijakan liberalisasi sektor pendidikan.

Ikon kain merah bersegei empat-berpeniti emas itu, kini tengah menyebar rata di seluruh jalanan di provinsi Quebec, Kanada. Ia menempel di dada ratusan ribu demonstran yang menentang agenda neoliberal di sektor pendidikan. Perlu diketahui, di provinsi ini pembiayaan dan pengelolaan universitas-universitas publik diselenggarakan melalui subsidi pemeritah yang bersumber dari perputaran dana para pembayar pajaknya. Sejak tahun 1996, salah satu hasil dari perlawanan gerakan mahasiswa Quebec, adalah kemenangannya mempertahakan keterjangkauan dan keterbukaan akses ke pendidikan tinggi, yakni berupa ‘pembekuan’ ongkos kuliah (tution freeze). Selama lima belas tahun ongkos kuliah tak pernah dinaikkan di provinsi ini, sehingga menjadikannya sebagai ongkos kuliah termurah di seluruh negara Kanada.

Hasilnya, kampus-kampus terlihat sebagai ‘jembatan-sosial’ dalam struktur masyarakat yang hirarkis. Melalui pendidikan murah, keluarga kelas pekerja bisa menyebrang ke pelabuhan mimpinya menjadi bagian ‘kelas menengah.’ Eksistensi institusi pendidikan tinggi telah menjadi kunci untuk membuka pintu melangkah ke masa depan yang lebih baik bagi setiap generasi. Selain itu, kampus-kampus juga menjadi ruang untuk membebaskan dan membumikan mimpi-mimpi dan imajinasi intelektual. Misalnya, di kampus mereka boleh memilih menjadi ahli dan memilih profesi suatu bidang yang digemari. Atau bagi mereka yang memilih hidup tak perlu report, bangku kuliah telah menjadikan mereka sebagai warga negara terdidik.

Liberalisasi Pendidikan

Tapi di hari-hari ini, fasilitas pendidikan murah bagi semua warga Quebec itu, tengah mendapat ancaman dari kebijakan neoliberal. Ini bermula pada 2007, dimana pemerintah Quebec berpendapat bahwa jika sektor pendidikan di provinsi itu ingin bersaing secara global maka ia harus dikelola secara efisien melalui infrastruktur yang mahal dan canggih. Beriringan dengan resesi ekonomi yang melanda Amerika, rencana pemerintah membatalkan subsidi pendidikan ini menemukan momentumnya. Kebijakan subsidi itu dinilai memberatkan anggaran pemerintah, sehingga itu perlu diambil tindakan pengetatan (Austerity Measures), guna menekan defisit anggaran pemerintah.

Berbekal argumen tersebut, pemerintah berniat untuk mencairkan ongkos kuliah yang membeku berpuluh tahun. Saat ini, biaya kuliah di Quebec (jika dikonversi ke kurs rupiah) senilai 24 juta rupiah/tahun untuk mahasiswa jenjang strata satu yang berstatus warga Quebec dan permanent resident Kanada (berstatus warga di sini yakni penduduk tetapi tak memiliki hak pilih dalam pemilu). Kenaikan yang diajukan pemerintah mencapai 75 persen (menjadi 37juta rupiah/tahun) selama kurun waktu lima tahun mendatang (Free Education Montreal 2010). Pemerintah Liberal percaya bahwa kenaikan ini akan memberikan tambahan dana lebih sebesar 10 persen revenue senilai 1triliun rupiah (Ollek 2007), untuk merevitalisasi sarana layanan publik.

Tetapi dari sudut pandang peserta didik, jika rencana  pemerintah ini sukses diundangkan, maka biaya kuliah yang harus dibayar oleh siswa akan naik sebesar 14 persen dan selebihnya ditanggung oleh para pembayar pajak. Angka ini jelas dianggap berat bagi sebagian besar mahasiswa. Dampak lain dari pemotongan subsidi ini adalah menurunnya alokasi dana-dana riset kampus, sehingga pada akhirnya menggiring donasi-donasi dan berbagai sponsor dari pihak korporasi untuk membiayai riset-riset kampus tersebut. Kompromi dengan demikian tak terhindarkan dan mengarahkan para cendekia kampus ke tepi produktivitas intelektual yang hanya memprioritaskan agenda dan kepentingan korporasi dan bisnis belaka. Pada akhirnya, dana-dana tersebut menjadi alat konrol korporasi terhadap institusi pendidikan.  Kekhawatiran inilah yang membuat ratusan pengajar dan professor menolak keras agenda besar liberalisasi pendidikan di provinsi Quebec.

‘Student Strike’

Eskalasi konflik penerapan liberalisasi pendidikan kian memuncak. Mahasiswa bergegas membangun upaya perlawanan kenaikan biaya kuliah. Barisan aksi-aksi mahasiwa tumpah ruah ke jalan. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, mahasiswa semakin memanjangkan barisan-barisan protesnya. Kampus-kampus pun menggelar rapat umum hampir setiap minggu guna memutuskan taktik memboikot kuliah melalui mekanisme pemilu, hingga upaya meradikalisasi perlawanan melalui wacana pemogokan umum.

‘Student strike’ dalam sejarah perlawanan mahasiswa Quebec adalah taktik perjuangan yang dipilh guna membela keterjangkauan-akses-ke-pendidikan-tinggi. Student strike kali ini, juga bukan yang pertamakalinya. Dalam sejarahnya, taktik ini telah dilakukan sejak tahun 1968, 1974, 1978, 1986, 1988, 1990, 1996, dan 2005 (Free Education Montreal 2010). Taktik student strike, atau mogok kuliah diterjemahkan dengan memobilisasi barisan piket-piket yang memblokir ruang-ruang kelas; metode lainnya berupa seruan-seruan dan propaganda untuk mogok mengerjakan dan menyerahkan semua tugas-tugas perkuliahan; ia mengerucut sebagai sebuah usaha pembangkangan warga kampus.

Namun begitu, tak seluruh mahasiswa di kampus-kampus di Quebec mendukung taktik mogok kuliah. Misalnya, mahasiswa program sekolah bisnis dan fakultas teknik Universitas Concordia, serta mahasiswa Faculty of Arts Universitas McGill, memutuskan untuk tidak ikut serta dalam aksi mogok kuliah yang dipeolori oleh serikat-serikat mahasiwa Quebec. Menurut mereka, taktik mogok kuliah tidak akan mengubah kebijakan pemerintah Liberal; kendati, delapan kali taktik mogok kuliah mahasiswa Quebec sejak tahun 60an, justru terbukti efektif. Mereka yang menolak, pada umumnya adalah mereka yang tak bermasalah dengan kenaikan biaya kuliah, yang percaya bahwasannya akses pendidikan tinggi bukanlah hak setiap orang melainkan hak istimewa bagi mereka yang mampu mengakses (membayar) ongkos kuliah seberapapun besarnya biaya yang disyaratkan. Pendidikan, pada akhirnya, bagi mereka hanya sebuah komoditas seperti tak ubahnya seliter harga BBM-super yang mungkin hanya bisa dibeli orang berduit yang tak pernah peduli fluktuasi harga dikendalikan pasar karena memiliki uang berlebih. Namun begitu, 190 000 mahasiswa (stopthehike.ca 2012) di seluruh provinsi Quebec telah memilih untuk bersama-sama melakukan upaya pembangkangan: mogok kuliah tanpa batas waktu yang ditentukan.

Demikianlah, pada Kamis, 22 Maret 2012, dua ratus ribu mahasiwa diperkirakan turun ke jalan-jalan Quebec. Lautan solidaritas berjabat erat di Montreal. Lima puluh blok kota dipenuhi barisan-barisan aksi mahasiswa yang seolah tak berujung. Mereka mengambilalih jalanan, berteriak, berpidato dan menyebarkan selebaran di seluruh sudut-sudut kota. Lautan warna kain merah yang bercampur nada protes memekikkan telinga-telinga yang mendengarnya.

Kaum Ibu dan bapak ikut berbaris sembari menggendong bayi mereka, mendukung perjuangan anak-anak mereka. Kaum muda bersolidaritas bersama kaum tua dalam melawan usaha liberalisasi pendidikan kaum neoliberal. Pernyataan solidaritas juga mengalir dari provinsi lainnya. Serikat-serikat buruh dengan tegas mendukung gerakan perjuangan mahasiswa dan publik untuk mempertahankan biaya pendidikan murah. Publik Quebec telah lama membuat keputusan terhadap pemerintahnya, dimana 40 persen pajak pendapatan mereka yang terkumpul, harus dialokasikan untuk membiyayai institusi pendidikan tinggi diprovinsi ini, sebagai infrastruktur sosial pendukung perjuangan dan pembebasan keluarga kelas pekerja.

Namun demikian, aksi ini baru sebuag awal untuk mempertahankan dan membela akses keterjangkauan pendidikan tinggi bagi semua orang. Ia baru saja bermekaran di awal musim semi perjuangan untuk pendidikan murah di provinsi Quebec.***

Andri Cahyadi, Mahasiswa Universitas Concordia- Studi Kebijakan Publik dan Komunitas, Quebec, Kanada

Referensi:

Free Education Montreal (2010). Why should we strike? 23 Answers for students. [Online] Dari: http://freeeducationmontreal.org/wp-content/uploads/2012/01/Why-Should-We-Strike-23-answers-for-students_updated-January-2012.pdf. Akses pada tanggal 25 Maret 2012.

Ollek, Maya (2007). Quebec Tuition Freeze Research Paper. [Online] Dari: http://freeeducationmontreal.org/libraryfiles/PGSS%20-%20The%20Quebec%20Tuition%20Freeze%202007.pdf. Akses pada tanggal 25 Maret 2012.

Kruzynski dan Shragge (2012). Ten reasons to support the students’ strike. [Online] Dari: http://www.montrealgazette.com/business/reasons+support+students+strike/6317391/story.html#ixzz1q8yeBjcp. Akses pada tanggal 25 Maret 2012.

Student Union on Strike and Vote Calender (2012). Total student unions currently on open-ended strike. [Online] Dari: http://www.stopthehike.ca/2012/01/liste-des-mandats-de-greve-generale-illimitee-pour-lhiver-2012/. Akses pada tanggal 25 Maret 2012.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.