Resensi Film
FILM SANG PENARI arahan sutradara muda Ifa Isfansyah, kiranya patut diperhitungkan sebagai fenomena industri film Indonesia, yang berani mengambil tema cinta dengan bingkai yang lebih serius: kemiskinan dan tragedi politik Indonesia 1965.
Namun menebar pujian yang berlebihan pada Sang Penari, tanpa konteks dan penjelasan yang memadai, bukanlah bombasme yang terlalu diharapkan oleh para kreatornya. Mereka juga butuh rentetan kritik-konstruktif, yang berefek pada progresi dan rehabilitasi energi kreatif yang terkuras dalam proses pembuatan film tersebut. Persis inilah keinginan Ifa Isfansyah, seperti dikemukakannya dalam sebuah blog tentang proses produksi Sang Penari: ‘…Yang saya perlukan saat ini adalah mengisi kembali energi saya dengan feedback dari penonton-penonton film ini (baca: Sang Penari), positif atau negatif…’ Dalam semangat itulah ulasan ini ditulis.
***
‘Sang Penari,’ demikian tertulis, ‘terinspirasi dari novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.’ Kata ‘terinspirasi’ dengan kata dasar ‘inspirasi,’ memiliki perbedaan literer dengan kata ‘diadaptasi’ yang kata dasarnya adalah ‘adaptasi.’ Dalam konteks film Indonesia, kata ‘diadaptasi’ umum digunakan sebagai penjelas bahwa film A ‘diadaptasi’ dari novel B. Berdasar pada KBBI (kamus besar bahasa Indonesia), kata ‘adaptasi’ memiliki arti ‘sesuai’ atau ‘penyesuaian.’ Sedangkan kata ‘inspirasi’ diidentikkan dengan kata ‘ilham,’ yang memiliki beberapa arti. Salah satu arti untuk kata ‘ilham’ yang paling dekat dengan konteks penggunaan kata ‘terinspirasi’ dalam film Sang Penari adalah ‘sesuatu yang menggerakkan hati untuk mencipta.’ Dengan demikian, sampai sini kurang lebih bisa kita simpulkan, bahwa ‘novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari menjadi sesuatu yang menggerakkan hati sutradara bernama Ifa Isfansyah untuk menciptakan film yang kemudian ia beri judul Sang Penari.’
Tetapi, jika kemudian pembaca novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk merasa cerita dalam film Sang Penari tidak terlalu bersesuaian dengan cerita dalam novel, hal itu bukan masalah yang krusial dan internal dalam film Sang Penari. Sebab film tersebut telah memilih untuk tidak menyesuaikan ceritanya dengan cerita dalam novel yang menginspirasinya. Menariknya, keputusan tersebut bersumber dari saran Ahmad Tohari sendiri untuk menempatkan novelnya sebagai ‘inspirasi’ saja. Hal ini memungkinkan Ifa dan tim tidak terlalu terkekang untuk mengejar imaji Ahmad Tohari dalam novelnya tersebut. Atas inklusifvitas dan kebebasan yang diberikan Ahmad Tohari tersebut, akhirnya atau otomatis membuat Ifa Isfansyah dan tim lebih berani membuka ruang tafsir novel secara lebih luas dan memilih cara tafsir yang bisa lebih bebas.
Pembukaan ruang tafsir lebih luas dan cara tafsir yang lebih bebas terhadap sebuah teks sastra, memang selayaknya dilakukan oleh seorang sutradara dan penulis skenario yang hendak mengangkat sebuah teks sastra menjadi sebuah teks film. Tetapi, penafsiran bebas juga menggiring transformasi peristiwa dalam novel menjadi adegan dalam film—demikian sebaliknya— pada problem reduksi tersendiri. Artinya, sebagai efek transformasi, reduksi harus dengan jeli disiasati agar hasil dari transformasi teks, tidak terlalu menghasilkan bentuk yang banyak mereduksi isi.
Kembali menatap film Sang Penari. Secara bentuk, film tersebut sudah pasti berbeda dengan novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, namun secara isi Sang Penari bukanlah film yang unsur-unsurnya benar-benar berdiri sendiri di luar unsur-unsur novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Unsur-unsur seperti nama dan konstruksi tokoh, juga nama setting yang termaktub dalam isi-an novel, secara umum masih dipertahankan. Misalnya, Sang Penari masih mempertahankan nama-nama tokoh yang ada dalam novel seperti: Rasus (Oka Antara) dan Srintil (Prisilia Nasution) sebagai tokoh utama. Sakarya (Landung Simatupang) sebagai kakek Srintil dan sesepuh Dukuh Paruk, Kartareja (Slamet Rahardjo) sebagai dukun Ronggeng Dukuh Paruk, dan Nyai Kartareja (Dewi Irawan) sebagai istri dukun Dukuh Paruk sekaligus menjadi germo yang memperdagangkan Srintil. Sakum (Hendro Djarot) sebagai pemusik buta dalam kelompok Ronggeng Dukuh Paruk, dan Bakar (Lukman Sardi) sebagai orang partai komunis. Kemudian untuk nama setting, Sang Penari masih mempertahankan Dukuh Paruk dan Pasar Dawuan sebagai setting dominan berlangsungnya peristiwa-peristiwa krusial.
Sementara itu, pada bagian tertentu dalam film Sang Penari, ada beberapa unsur novel yang diubah dan ditambah. Pertama, yang diubah, misalnya soal usia Srintil ketika tragedi racun bongkrek melanda Dukuh Paruk. Dalam novel, Srintil masih bayi, sedangkan dalam film Srintil sudah berusia di atas lima tahun. Demikian juga tokoh Sersan Binsar (Tio Pakusadewo) sebagai tentara—berasal dari Medan—seseorang yang merekrut Rasus menjadi tentara. Nama dan karakter Sersan Binsar tersebut, menggantikan nama dan karakter Sersan Slamet (dalam novel, berasal dari Jawa), yang ceritanya juga sebagai seseorang yang merekrut Rasus menjadi tentara. Kemudian alur linier dalam novel diubah menjadi alur linier yang sedikit meloncat dan sedikit maju mundur dalam film. Selain itu, adegan pembuka dan penutup dalam Sang Penari juga jauh berbeda dengan novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Kedua, yang ditambah, misalnya tokoh Surti yang berperan sebagai ronggeng Dukuh Paruk sebelum Srintil yang notabennya tidak ada dalam novel. Kemudian, munculnya adegan pembantaian orang komunis dan adegan mayat yang mengapung di sungai.
Namun upaya tersebut seolah tidak terasa krusial. Sebab hanya sampai pada tataran bentuk yang implikasinya pada tataran isi—kecuali adegan pembantaian dan dua mayat yang mengapung di sungai—tidak terlalu memberi kejutan. Dengan demikian, ibarat dua buah lingkaran, film Sang Penari adalah lingkaran yang lebih kecil dari lingkaran novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, dimana unsur-unsur yang menjadi isi-annya mengalami irisan secara ‘hampir penuh.’ Atau perumpamaan lain yang lebih lugas, film Sang Penari adalah embrio yang belum lepas benar dari induknya. Dengan demikian, upaya pembacaan terhadap Sang Penari secara menyeluruh, pada dasarnya memang tidak bisa benar-benar dipisahkan dari pembacaan terhadap novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Sejauh unsur-unsur yang menjadi isi-an film di satu sisi dan isi-an novel di sisi lain, memang memiliki irisan atau memiliki hubungan.
***
Menyangkut sudut pandang yang kemudian dipilih sebagai tema besar untuk film Sang Penari. Sejak awal Ifa Isfansyah memang memutuskan ‘cinta’ sebagai tema besar. Sehingga dalam konteks pendekatan tafsir atas novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paru,. ‘Cinta’ ternyata juga menjadi cara untuk menafsir novel. Dari cara tafsir seperti itu, tidak mengherankan jika kemudian unsur cinta lebih kental menjadi isi-an film Sang Penari. Namun di sisi lain, kita juga perlu ingat dan melihat lebih jauh lagi unsur-unsur lain yang menjadi isi-an novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Selain unsur cinta, novel tersebut juga mengandung unsur lain seperti: kemiskinan, kekeringan, sejarah sosial-politik Indonesia 1965, relativitas nilai-nilai kultural dan moral, modernitas, tradisionalitas dan unsur-unsur lain yang lebih kecil yang ikut menyatu dan memadatkan isi-an novel.
Dalam konteks tersebut, bisa jadi film Sang Penari yang skenarionya ditulis dan dieksekusi oleh Ifa Isfansyah dan tim, tampak terlalu kebablasan menempatkan cinta sebagai unsur yang mendominasi isi-an film. Akibatnya, unsur-unsur lainnya hanya berfungsi sebagai bingkai yang tipis dan kurang proporsional. Dengan demikian, merujuk pada cara dan pendekatan Ifa untuk menafsir novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, akhirnya membuahkan reduksi yang menjulang dari paradoks kebebasan tafsir.
Saya sebut membuahkan reduksi yang menjulang dari paradoks kebebasan tafsir, karena, di satu sisi, Ifa seolah berani membuka banyak pintu yang menutupi interior (baca: ruang-dalam) novel. Namun, di sisi lain, sejak awal Ifa telah menetapkan diri untuk memasuki interior novel dan mengambil unsur cintanya saja. Sedang unsur-unsur lain seperti sejarah sosial-politik Indonesia 1965 dll, hanya dilihat Ifa sebagai hiasan dinding yang sebelumnya memang sudah terpaku dalam interior novel. Analisis saya tersebut kemudian, secara eksplisit dan implisit, mendapatkan fondasi empiris dari pernyataan Ifa Isfansyah dan Santy Harmayn (produser sekaligus penulis skenario film Sang Penari). Menurut Ifa Isfansyah, ‘Saya 100% concern ke tema cinta, film ini menggambarkan dari sudut pandang Rasus tentang kisah cintanya dengan Srintil yang terjadi pada jaman yang salah. Politik menjadi background dari film ini, saya tidak concern ke politik, saya tidak tertarik politik dan sudut pandang saya disini 100% adalah cinta.’ Kemudian Santy Harmayn: ‘…Isinya (baca: Sang Penari) memang lebih berat pada kisah percintaan. Kami tak mau terjebak dalam tema yang berat dari sejarah.’
Lebih lanjut, pernyataan Ifa Isfansyah dan Santy Harmayn tersebut juga dicokoli problem lain tentang cara tafsir atas novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Ketika berhadapan dengan unsur seperti politik dan sejarah atau dalam konteks yang lebih spesifik adalah sejarah politik Indonesia 1965, kebebasan tafsir yang digadang-gadang sontak berubah menjadi kebebasan untuk menghindari cara tafsir terhadap unsur sejarah dalam novel. Dengan demikian, film Sang Penari yang terinspirasi dari novel sekelas Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, hanya secara bulat berhasil menjadi film terbaik FFI 2011. Namun belum bisa secara bulat berhasil menjadi film terbaik tentang sejarah sosial-politik Indonesia 1965, dengan sudut pandang yang berbeda dari film Pengkhianatan G30S-PKI.
Namun, dalam konteks logika dagang, kita harus mengakui kalau ‘jalan cinta’ yang dipilih film Sang Penari, memang terbilang cukup manjur untuk menarik minat sebagian besar penonton Indonesia. Ia juga memperingan beban pencernaan sebagian besar penonton untuk menelan unsur cerita tentang sejarah sosial-politik 1965. Dalam konteks ini, kita harus mengakui kepiawaian Ifa Isfansyah dan tim dalam menyederhanakan unsur tersebut dalam film Sang Penari. Namun, lagi-lagi, implikasi dari penyederhanaan unsur tersebut juga patut kita sayangkan. Sebab dalam irisan tertentu, ternyata lumayan banyak mereduksi unsur-unsur novel yang memiliki potensi visual. Nah, unsur-unsur semacam itu yang seharusnya masih bisa diperas lagi dan ditampung menjadi ‘inspirasi’ tersendiri untuk film. Misalnya, pendeskripsian Ahmad Tohari tentang peristiwa perjuangan Rasus, Darsun dan Warta di tengah kondisi kekeringan, kemiskinan dan kelaparan yang terjadi di Dukuh Paruk di bagian awal novelnya berikut:
Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah-payah mencabut sebatang singkong. Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalahkan cengkeraman akar ketela yang terpendam dalam tanah kapur. Kering dan membatu. Mereka terengah-engah, namun batang singkong itu tetap tegak di tempatnya. Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah seorang anak di antara mereka tidak menemukan akal. ‘Cari sebatang cungkil,’ kata Rasus kepada dua temannya. ‘Tanpa cungkil mustahil kita dapat mencabut singkong sialan ini.’ ‘Percuma. Hanya sebatang linggis dapat menembus tanah sekeras ini,’ ujar Warta. ‘Atau lebih baik kita mencari air. Kita siram pangkal batang singkong kurang ajar ini. Pasti nanti kita mudah mencabutnya.’ ‘Air?’ ejek Darsun, anak yang ketiga. ‘Di mana kau dapat menemukan air?’ ‘Sudah, sudah. Kalian tolol,’ ujar Rasus tak sabar. ‘Kita kencingi beramai-ramai pangkal batang singkong ini. Kalau gagal juga, sungguh bajingan.’ Tiga ujung kulup terarah pada titik yang sama. Currrr. Kemudian Rasus, Warta dan Darsun berpandangan. Ketiganya mengusap telapak tangan masing-masing. Dengan tekad terakhir mereka mencoba mencabut batang singkong itu kembali. Urat-urat kecil di tangan dan di punggung menegang. Ditolaknya bumi dengan hentakkan kaki sekuat mungkin. Serabut-serabut halus terputus. Perlahan tanah merekkah. Ketika akar terakhir putus ketiga anak Dukuh Paruk itu jatuh terduduk. Tetapi sorak-sorai segera terhambur. Singkong dengan umbi-umbinya yang hanya sebesar jari tercabut. Adat Dukuh Paruk mengajarkan, kerja sama antara ketiga anak laki-laki itu harus berhenti di sini. Rasus, Warta dan Darsun kini harus saling adu tenaga memperebutkan umbi singkong yang baru mereka cabut. Rasus dan Warta mendapat dua buah, Darsun hanya satu. Tak ada protes. Ketiganya kemudian sibuk mengupasi bagiannya dengan gigi masing-masing, dan langsung mengunyahnya. Asinnya tanah. Sengaknya kencing sendiri.’
Kalau kita rasakan dan bayangkan, bukankah sesungguhnya peristiwa dalam novel tersebut mengandung potensi visual yang padat dan impresif. Namun Ifa malah membongkar konteks dan motivasi peristiwa novel tersebut untuk membangun salah satu adegan film Sang Penari, yang menggambarkan peristiwa serupa tapi tak sama. Sebab singkong yang sedang dicuri beberapa bocah Dukuh Paruk menjadi mudah sekali dicabut. Soalnya singkong tersebut tertanam pada tanah yang basah habis terguyur hujan. Dengan demikian wajar jika kemudian Ahmad Tohari merasa kekeringan Dukuh Paruk kurang terwakili dalam film Sang Penari, sebab motivasi dan konteks peristiwa kekeringan yang dibangun dalam novelnya, telah dibongkar paksa oleh Ifa Isfansyah, tanpa merasa harus melakukan rekonstruksi motivasi dan konteks unsur kekeringan dalam film yang impresinya sepadan dengan deskripsi peristiwa kekeringan dalam novel.
Lebih lanjut, namun di sisi lain, Ahmad Tohari juga melontarkan pujian untuk film Sang Penari. Demikian ungkapnya: ‘Saya kira roh novel cukup terwakili. Ada empati terhadap masyarakat kecil. Di beberapa bagian, saya salut terhadap film ini. Dramatisasi aspek politik, yang saya malah tidak terlalu berani, di film ini ada. Seperti adegan mayat mengapung, di novel saya tak ada.’ Untuk mengerti apresiasi Ahmad Tohari atas keterwakilan roh novelnya, kita perl ingat bahwa sebelum film Sang Penari sudah ada film berjudul Darah dan Mahkota Ronggeng (1983), garapan Yazman Yazid dengan bintang Eny Beatrice dan Ray Sahetapy, yang juga berangkat dari novel Ahmad Tohari. Dengan demikian, bisa jadi pujian tersebut berada dalam konteks usaha komparasinya terhadap capaian estetik dua film tersebut dengan novelnya. Yang hasilnya bisa kita simak sebagai berikut:
Dibanding yang dulu (baca: film Darah dan Mahkota Ronggeng), ini (baca: film Sang Penari) yang paling serius. Cukup mendekati novel […], meski saya sadar pencapaian bahasa akan berbeda dengan pencapaian kamera. Tapi jika dibandingkan dengan yang lama (baca: film Darah dan Mahkota Ronggeng), ini (baca: film Sang Penari) lebih mengena. Yang dulu (baca: film Darah dan Mahkota Ronggeng) kurang menghayati kebudayaan lokal. Pada akhirnya hanya keseksian yang diumbar. Kemungkinan lain, film itu (baca: film Darah dan Mahkota Ronggeng) dibuat sebelum terbitnya buku kedua dan ketiga. Jadi hanya membaca buku pertama.
Lalu, poin pujian kedua berkaitan dengan keberanian film Sang Penari dalam menampilkan dramatisasi aspek politik—secara spesifik merujuk pada adegan pembunuhan dan mayat yang mengapung. Mengenai persoalan beraninya dan tidak beraninya menampilkan adegan pembunuhan dan orang-orang yang dibunuh, kiranya harus kita tempatkan dalam konteks ancaman kekuasaan di masa yang berbeda. Ahmad Tohari tentu saja berpikir ulang untuk berani membubuhkan peristiwa pembunuhan orang-orang PKI oleh tentara, karena ia menuliskannya pada masa kekuasaan Soeharto yang represif terhadap upaya penyingkapan kejahatan politik tahun 1965 dan tahun-tahun setelahnya. Singkatnya, wajar jika kemudian Ahmad Tohari memilih untuk tidak terlalu berani mngekspresikan peristiwa pembantaian orang-orang komunis secara vulgar dan eksplisit dalam novelnya.
Sedangkan Ifa Isfansyah melahirkan Sang Penari dalam konteks kondisi kekuasaan yang berbeda. ‘Berbeda’ di sini dalam pengertian, represi kekuasaan tetaplah masih ada dan terasa, tapi tidak dilakukan dengan pola yang ‘banal’ seperti pada era Soeharto. Dengan demikian, ‘keberanian’ Ifa Isfansyah untuk menampilkan dramatisasi aspek politik dalam adegan pencidukan, pembunuhan dan mayat orang komunis yang mengambang di sungai, merupakan ‘keberanian’ yang tidak bisa dioposisikan dengan ‘ketidakberanian’ Ahmad Tohari untuk menuliskan peristiwa mengerikan tersebut dalam novelnya. Sebab, ‘keberanian’ Ifa Isfansyah dan ‘ketidakberanian’ Ahmad Tohari, notabennya lahir dalam pola represi kekuasaan yang berbeda. Malah, di beberapa adegan yang lain, Ifa Isfansyah terlihat tidak seberani Ahmad Tohari dalam memainkan simbol-simbol politik dan ideologi. Misalnya, dalam novel kita akan menemukan keberadaan ‘caping hijau’ yang muncul ditengah peristiwa perusakan makam Ki Secamenggala. Untuk lebih jelasnya, simak deskripsi Ahmad Tohari berikut:
[…] Suatu hari Sakarya menangis keras karena mendapati cungkup makam Ki Secamenggala poranda dirobohkan orang. Dukuh Paruk terluka parah tepat pada sisinya yang paling peka. […] “Ini pasti ulah Bakar. Asu buntung dia. Bajingan!” umpat Sakarya dengan suara parau. “Monyet munyuk itu jengkel karena kita tidak mau lagi bekerja sama dengan mereka. Asu buntung!” […] “He, Darkim! Cabut dan bakar lambang partai di mulut jalan itu. Cabut juga papan nama di depan rumah Kartareja.” Seorang muda yang disebut Darkim lari menuruni bukit pekuburan Dukuh Paruk, siap menjalankan perintah Sakarya. Tetapi seorang laki-laki lain menghentikannya. Yang terakhir ini muncul dari balik semak membawa sebuah caping bambu bercat hijau, bertuliskan sesuatu yang tak seorang pun bisa membunyikannya. “Caping ini kutemukan di balik semak. Kita tak pernah mempunyai barang seperti demikian. Ini pasti milik bajingan-bajingan yang telah merusak cungkup makam. Suasana menjadi hening tetapi tetap tegang. Semua mata memandang caping hijau itu. Dan meski mereka tak bisa membaca tetapi mereka telah mengerti sesuatu. Caping hijau. Orang-orang Bakar tak pernah memakai caping seperti itu. […] Pada tahun 1965, siapa pun tahu kelompok petani mana yang suka berpawai atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kepala seperti itu.
Dalam konteks tafsir yang lebih luas dan bebas, munculnya ‘caping hijau’ bisa kita maknai sebagai atraksi simbolis dari Ahmad Tohari yang berani dan cerdas. Saya sebut berani, sebab pada masa 1965 bahkan sampai sekarang, warna hijau merupakan latar simbolis yang secara sensitif merujuk pada atribut politik dan ideologi kelompok tertentu, yakni kelompok masyarakat NU (Nahdlatul Ulama). Dalam konteks geger politik Indonesia 1965, kelompok tersebut adalah kelompok agama terbesar yang berhasil diperalat oleh militer untuk menjadi ujung tombak pembersihan orang-orang PKI sampai ke akar-karnya. Lebih lanjut, dalam konteks ini, tentu saja kita tidak bisa memukul rata bahwa semua subyek dalam kelompok tersebut berstatus sebagai pelaku. Bahkan dalam perspektif yang lebih jernih, kelompok tersebut sejatinya juga menjadi korban. Spesifiknya, korban dari propaganda militer. Selanjutnya, Ahmad Tohari saya katakan cerdas, karena melalui atraksi simbolisnya tentang ‘caping hijau,’ secara implisit telah membentangkan peta politik dan ideologi lain—selain militer dan komunis—yang ikut mewarnai sejarah sosial-politik Indonesia 1965.
Kembali pada film Sang Penari, Ifa Isfansyah melakukan pembongkaran motivasi dan konteks peristiwa novel. Manifestasi dari pembongkaran tersebut bisa kita cermati dalam sebuah adegan yang berlangsung malam hari, dimana Bakar (Lukman Sardi) terlihat berdiri di samping runtuhan makam Ki Secamenggala. Lalu, Bakar menunjukkan sebuah caping dengan warna yang samar dan cenderung hitam. Sehingga disamarkannya atau diubahnya warna caping pada adegan tersebut, bisa jadi bersumber dari ketakutan Ifa Isfansyah dan tim terhadap reaksi kelompok masyarakat NU (Nahdlatul Ulama).
Namun dalam konteks yang berdekatan, sikap kreatif Ifa Isfansyah dan tim terlihat ambivalen. Di satu sisi Ifa berani mengkonstruksi ‘caping merah’ sebagai permainan simbol politik dan ideologi komunis, tapi di sisi lain ia tidak berani menampilkan secara jelas ‘caping hijau’ sebagai permainan simbol politik dan ideologi kelompok NU (Nahdlatul Ulama). Ambivalensi tersebut, entah disadari atau tidak oleh Ifa dan timnya, secara umum membuat film Sang Penari resmi mengaburkan peta ideologi dan fakta sejarah sosial-politik Indonesia 1965.
***
Lebih lanjut, problem internal film Sang Penari yang menurut saya paling kentara adalah problem adegan akhir dan menuju akhir. Alih-alih hendak menyelesaiakn anti-klimaks dengan optimisme, rangkaian adegan yang mengantarkan filmnya menuju akhir tampak berlepasan satu sama lain, sehingga konteks dan motivasi menjadi kurang jelas.
Akibatnya, aspek psikis tokoh utamanya (Rasus dan Srintil) terasa meloncat tanpa alasan dan penjelasan. Misalnya, jiwa Srintil yang tegang dan tercekam, yakni persis ketika Srintil diinterogasi kemudian dibawa ke tempat antah berantah oleh tentara. Tapi di adegan selanjutnya, yang berlangsung beberapa tahun kemudian, Srintil muncul kembali bersama Sakum (pemain gendang) sebagai ronggeng pengamen. Pada adegan tersebut, jiwa srintil cenderung senang. Pertanyaannya, kenapa Srintil bisa meronggeng dengan jiwa yang demikian? Padahal Srintil mengamen hanya dengan Sakum seorang? Kemana kelompok ronggeng Dukuh Paruk yang lain seperti Sakarya, Kartareja? Kenapa mereka tidak ikut meronggeng? Bagaimana kondisi mereka dan warga Dukuh Paruk lainnya? Apakah mereka semua masih hidup setelah diciduk tentara? Apa yang terjadi di Dukuh Paruk beberapa tahun belakangan setelah pencidukan? Sebenarnya, Srintil itu meronggeng lagi untuk apa dan siapa?
Khusus pada adegan akhir film Sang Penari, memang menjadi tidak adil jika kemudian saya membaca dengan cara membawa serta novel yang menginspirasinya. Sebab, seperti halnya adegan pembuka film Sang Penari, adegan akhir film tersebut adalah murni hasil tafsir bebas dari Ifa Isfansyah. Dengan kata lain, Ifa Isfansyah tidak hendak menyesuaikan adegan akhir film dengan peristiwa akhir novel. Tapi, jika lagi-lagi masalahnya adalah cara tafsir novel yang manifestasinya adalah adegan pamungkas yang janggal, maka novel Ahmad Tohari sebagai inspirasi menjadi perlu saya toleh kembali secara proporsional.
Dalam novel diceritakan bahwa Srintil ditangkap dan dipenjara selama kurang lebih 2 tahun. Setelah bebas, Srintil memutuskan untuk tidak meronggeng lagi, sebab pasca tragedi 1965 yang memporak-porandakan Dukuh Paruk, stigma masyarakat tentang Dukuh Paruk secara umum dan kelompok ronggeng Dukuh Paruk secara khusus, tidak hanya sekedar cabul, tapi juga komunis yang aktivitasnya harus terus diawasi. Maka dari itu, Srintil lebih memilih meninggalkan semua atribut yang bisa mengembalikannnya pada situasi dan kondisi jahiliyah. Dengan kata lain, Srintil memilih untuk tidak meronggeng lagi atas beberapa alasan yang salah satunya adalah stigma tersebut. Kemudian, singkat cerita, Srintil diceritakan gila oleh Ahmad Tohari di akhir novelnya. Namun, gilanya Srintil tersebut dikonstruksi oleh Ahmad Tohari melalui beberapa tahapan peristiwa yang runtut dan masuk akal. Dengan demikian, corak yang menandai akhir novel bisa kita sebut realis-tragis, sementara corak yang menandai akhir film bisa kita sebut romantis-optimis.
Kembali pada problem adegan akhir film Sang Penari, kita akhirnya melihat bahwa di tangan Ifa tragedi sosial-politik Indonesia 1965 sebagai peristiwa yang seolah tidak menyisakkan luka bagi para korbannya. Atau singkatnya, sebagai tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia modern, peristiwa itu berlalu begitu saja. Maka dari itu, romantisme dan optimisme film Sang Penari tampak lebih mirip dengan antipati terhadap realisme daripada simpati dan empati terhadap humanisme. Sebab di satu sisi, romantisme yang ditempuh film Sang Penari gagal menemukan universalitasnya di tengah humanisme dalam peristiwa pembunuhan manusia dan pemenjaraan manusia tanpa pengadilan. Kemudian di sisi lain, romantisme film Sang Penari diakhir ceritanya, terlihat lebih memilih berpaling pada optimisme daripada realisme seperti sisa luka 1965 dan REPELITA-ORBA yang menyambutnya.***
Suluh Pamuji, Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada