Suluh Pamuji

Membaca di Antara Barisan

Korespondensi Theodor Adorno dan Herbert Marcuse Mengenai Gerakan Mahasiswa Jerman   PADA 31 Juli, Marcuse membalas telegram dan sebuah surat  dari Adorno. Sayangnya, surat itu

Tawar Menawar dengan Konvensi Realisme Teater

Realitas dalam seni, dalam konteks ini seni teater, masih kerap dipahami secara naif. Realitas seni harus sama persis dengan realitas sehari-sehari. Di situ kemudian realitas, sebagai titik tolak berpikir yang lazim disebut realisme, akhirnya dimengerti sekadar sebagai perengkuhan realitas secara langsung. Interpretasi, transformasi dan stilisasi, dalam praktik seni yang disebut ‘realis’, menjadi benar-benar tidak penting. Sebab, apa yang direngkuh sebagai realitas, bentuk pemanggungannya harus semirip mungkin dengan ‘asli’nya.

Akar Rumput Menuju Kemandirian

‘Membayangkan dunia tanpa petani/pertanian sama seperti membayangkan hidup tanpa pangan. Demikian pula, membayangkan negara yang abai pada rakyat sama seperti membayangkan negara tanpa kedaulatan. Saat ini, angan-angan (imajinasi) gelap itu justru hendak diwujudkan oleh penyelenggara negara, dengan cara menjadi budak/antek-antek korporasi.’

Demikian bunyi paragraf pertama dari ‘Pernyataan Sikap Kongres Petani Otonom II, Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA).’ Sekitar pukul 14.00 WIB, pernyataan sikap itu dibacakan oleh Sumanto, petani dari Kulon Progo, di salah satu ruang milik Pondok Pemuda Ambarbinangun, Yogyakarta.

Marx-Engels: Tentang Produksi Artistik dan Realisme

Teori Marx yang kerap diaplikasikan untuk membaca relasi antara produksi artistik—dalam konteks ini seni—dengan produksi material—dalam konteks ini ekonomi—adalah teorinya tentang struktur masyarakat. Dalam teori tersebut, Marx melihat bahwa dalam sebuah masyarakat terdapat dua buah struktur, yakni ‘struktur atas’ atau suprastruktur dan ‘struktur bawah’ atau basis. Suprastruktur secara umum terdiri dari entitas kesadaran, sedangkan basis struktur secara umum terdiri dari entitas material. Lebih lanjut, seni—seperti halnya hukum, ilmu, politik, filsafat, ideologi—merupakan bagian dari entitas kesadaran atau suprastruktur, sedangkan ekonomi merupakan bagian dari entitas materi atau basis struktur.

Soegija: Perang dan Kemanusiaan Itu (?)

Soegija adalah film yang ingin melukiskan kisah-kisah kemanusiaan di masa perang kemerdekaan Indonesia tahun 1940-1949. Dan perang dalam pemahaman Soegija adalah kisah terpecahnya keluarga besar manusia. Dalam kelindan arah narasi itu, posisi Soegija dibentuk sebagai tokoh yang ingin menyatukan kembali keluarga besar kemanusiaan yang terpecah karena perang.

Dari ikhtisar tersebut, setidaknya ada tiga nilai pokok yang saling bertautan dalam Soegija: kemanusiaan, perang dan penokohan Soegija. Dalam latar waktu yang sama (periode perang kemerdekaan Indonesia 1940-1949) tiga nilai pokok tersebut berdialektika. Dalam konteks dan konstelasi tersebut, ulasan ini secara umum akan coba mengkonfrontasikan diri.

Menuju Estetika Marxis

DISKUSI tentang estetika Marxis, bukan perkara gampang. Sebabnya, Karl Marx sendiri tidak pernah mengeksplorasi pemikirannya dalam medan estetika secara spesifik. Kalaupun kemudian kita mengenal estetika

Antipati Terhadap Realisme Dalam Film Sang Penari

Resensi Film FILM SANG PENARI  arahan sutradara muda Ifa Isfansyah, kiranya patut diperhitungkan sebagai fenomena industri film Indonesia, yang berani mengambil tema cinta dengan bingkai

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.