Coen Husain Pontoh, Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)
ARTIKEL singkat ini terinspirasi dari link yang ditautkan oleh kawan baik saya, Nezar Patria, mengenai pergeseran kebijakan ekonomi di Kuba, saat ini. Dalam berita bertajuk Reformasi Kuba, Selamat Datang Kapitalisme, ditunjukkan bagaimana Kuba, yang kini dipimpin oleh Raul Castro, adik pemimpin besar Kuba Fidel Castro, telah mengijinkan penduduknya untuk melakukan transaksi jual beli produk pertanian. Masih menurut berita tersebut, bahkan kini Kuba juga telah mengundang investor properti asal Brazil TendTudo, untuk berinvestasi di sektor bisnis perumahan.
Berita ini dengan jelas menyampaikan pesan bahwa kini Kuba telah mulai menggeser haluan ekonominya dari jalan sosialisme menuju jalan kapitalisme. Berita ini juga secara provokatif mengutip Richard Feinberg, bekas asisten Presiden Bill Clinton, yang mengatakan bahwa pergeseran kebijakan ekonomi ini merupakan ”kesempatan emas’ untuk mengubah Kuba lebih terbuka terhadap sistem terbuka.’
Tetapi, apakah dengan membolehkan adanya transaksi jual beli produk tertentu atau bahkan bersikap terbuka pada investor asing, merupakan ciri utama sistem kapitalisme? Saya ragu bahwa penulis berita mengerti dengan benar apa makna pasar dalam kapitalisme. Dan untuk itulah artikel ini ditulis.
Market imperatives
Menurut Karl Marx, ada dua jenis pertukaran (baca: pasar) dalam sejarah ekonomi masyarakat. Pertama, pertukaran yang terjadi dalam masyarakat pra-kapitalis dan kedua pertukaran dalam masyarakat kapitalis. Pertukaran jenis pertama terdiri atas dua bentuk, yakni pertukaran langsung komoditi dengan komoditi (C-C), atau lazim kita kenal sebagai pertukaran barter. Si A punya komoditi padi yang kemudian ditukar dengan komoditi pakaian milik si B. Bentuk kedua dari pertukaran pra-kapitalis dimana masyarakatnya telah lebih berkembang, dirumuskan Marx sebagai C-M-C (Comodity-Money-Comodity). Pada pertukaran jenis ini, seorang pemilik komoditi (barang dagangan) untuk bisa menjual komoditinya (misalnya padi), ia harus mencari pembeli yang akan membeli komoditinya, dari sana ia memperoleh uang. Kemudian, si pembeli komoditi ini akan memperoleh uang jika ia menjual kembali komoditinya kepada pembeli yang lain. Begitu seterusnya komoditi itu berputar di kalangan masyarakat. Rumusan ini oleh Marx, disebutnya sebagai sirkuit komoditi.
Dari formula C-M-C ini, bisa ditarik dua hal: pertama, proses jual-beli dalam masyarakat pra-kapitalis dimulai dari adanya barang/produk/komoditi (C); kedua, dalam proses ini uang (M) berfungsi tidak lebih sebagai perantara untuk melancarkan proses transaksi tersebut. Masih menurut Marx, produksi komoditi di masa ini tidak ditujukan untuk dipertukarkan di pasar yang impersonal, melainkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak anggota komunitas. Singkatnya, produksi untuk konsumsi, sehingga proses pertukaran tidak dimaksudkan untuk pengejaran akumulai keuntungan tanpa batas. Dari pengertian ini, kita melihat bahwa dalam masyarakat non-kapitalis jual beli adalah hal yang lumrah, telah berlangsung sejak manusia saling berkomunikasi satu dengan lainnya.
Lalu, bagaimana proses transaksi atau jual beli dalam masyarakat kapitalis? Di sini, Marx mengajukan sebuah formula lain yang berbentuk M-C-M (Money-Comodity-Money). Menurut formulai ini, si kapitalis memulai operasinya dengan uang (M) dan dengan uang tersebut ia kemudian membeli komoditi (C), dimana selanjutnya komoditi tersebut dijualnya guna memperoleh uang lagi (M2). Marx menamakan tahap pertama ini (M-C) sebagai kapital pendahuluan dan tahap kedua (C-M) sebagai kapital kerja. Secara keseluruhan, formulai M-C-M’ ini disebut Marx sebagai sirkuit uang. Jika pada formula C-M-C uang berfungsi sekadar sebagai medium perantara, maka dalam formula M-C-M uang merupakan medium perantara sekaligus lem perekat kelangsungan hidup sistem kapitalisme. Pada C-M-C, uang hanyalah sebuah benda (things), sementara dalam formula M-C-M uang telah bertransformasi menjadi kapital (social relations).
Tetapi, Marx mengingatkan bahwa keseluruhan proses ini (M-C-M), tak ada maknanya, jika si kapitalis hanya mendapatkan uang sebesar uangnya semula. Misalnya, jika semula ia memiliki Rp. 1000 (M) yang digunakan untuk membeli atau memproduksi sepatu senilai Rp. 900 (C) dan menjual sepatu itu dengan harga dasar Rp. 1.000 (M2), maka menurut Marx, pertukaran model ini bukanlah cara produksi kapitalis. Bagi Marx, cara produksi kapitalis mengambil bentuk M-C-M’, dimana M’ mewakili jumlah yang lebih besar dari M. Uang senilai Rp. 1000 (M) digunakan untuk membeli atau memroduksi sepatu senilai Rp. 900 (C) dimana selanjutnya sepatu itu dijualnya seharga Rp. 1.100 (M’). Dari proses ini, si kapitalis mendapatkan tambahan uang senilai Rp. 100,- dimana selanjutnya sirkuit itu terus berputar tanpa henti. M’ inilah yang nantinya disebut Marx sebagai ‘nilai lebih.’
Pada tahap M-C-M’, si kapitalis memproduksi komoditi bukan pertama-tama untuk dikonsumsi, tapi untuk dijual di pasar dengan tujuan semata-mata akumulasi nilai uang. Dari sini, Marx secara implisit selalu mengatakan, bahwa bagi seorang kapitalis, motivasinya tidak bisa disederhanakan sekadar keinginan untuk menumpuk kekayaan belaka, melainkan ia secara rasional akan terus-menerus mencari dan mengadopsi alat-alat produksi yang terbaik dan hukum-hukum kerja yang paling rasional (efektif, efisien, meningkatkan produktivitas kerja buruh) guna merealisasikan tujuannya: penumpukan kapital tanpa batas. Konkretnya, seorang kapitalis tidak akan berhenti atau keluar dari sirkuit kapital hanya ketika ia telah memperoleh keuntungan sebesar Rp.100 (M’), sebaliknya ia ingin terus memperbesar jumlah keuntungan itu menjadi Rp. 200., Rp, 400., ,dst, dst. Kata Marx,
‘The expansion of value …. Becomes his subjective aim, and it is only in so far as the appropriation of ever more and more wealth in the abstract becomes the sole motive of his operations, that he functions as a capitalist …. Use-value must therefore never be looked upon as the real aim of the capitalist.
Ekspansi nilai ….menjadi tujuan subyektif seorang kapitalis, dan motif utama ini hanya berlaku sejauh ia memperoleh lebih dan lebih banyak lagi kekayaan dalam fungsinya sebagai seorang kapitalis…. Nilai-guna, dengan demikian, tidak bisa dilihat sebagai tujuan utama seorang kapitalis.’
Karena sirkuit uang ini akan terus berputar maka secara alamiah watak dasar dari kapitalisme adalah ekspansionis. Dalam Manifesto Komunis, Marx secara singkat menjelaskan watak kapitalisme tersebut:
‘Kebutuhan untuk senantiasa memperluas pasar bagi barang-barang yang diproduksinya, merupakan dorongan di kalangan kaum borjuasi untuk merengkuh seluruh muka bumi dengan barang-barangnya. Ia harus berada di mana-mana, bertempat di mana-mana, dan menjalin hubungan di mana-mana.’
Sampai di sini terlihat jelas bahwa ada perbedaan besar dan mendasar antara pasar dalam kapitalisme dan pasar di masa pra-kapitalisme. Ilmuwan politik Marxis Ellen Meiksins Wood, dalam bukunya ‘The Origin of Capitalism,’ memberikan kesimpulan yang sangat jernih soal perbedaan tersebut: dalam masyarakat pra-kapitalis pasar lebih merupakan sebuah kesempatan (opportunities) bagi pembeli dan penjual, sementara dalam kapitalisme pasar merupakan sebuah keharusan (imperatives). Pada yang pertama (market opportunities), pasar merupakan arena dimana orang bertransaksi baik melalui pertukaran barter dalam komunitas ataupun melalui pertukaran antar komoditi yang dimediasi oleh uang antar komunitas yang bertetangga atapun yang menetap di tempat yang jauh. Wood bahkan mengatakan, pada periode telah ada orang-orang yang hidup dari menumpuk keuntungan dengan cara membeli barang semurah-murahnya untuk kemudian dijual dengan harga setinggi-tingginya.
Adapun pasar dalam kapitalisme (market imperatives), menurut Wood, adalah segala hubungan, tidak hanya hubungan ekonomi (kompetisi, akumulasi, maksimisasi keuntungan, dan peningkatan produktivitas buruh), tapi juga hubungan sosial, ditentukan oleh pasar. Artinya, tidak ada kehidupan sosial yang tidak melibatkan keberadaan pasar sebagai medium yang utama dan terutama. Seorang buruh untuk bisa memperoleh pekerjaan maka ia harus pergi ke pasar untuk menjual tenaga kerjanya (juga dirinya) kepada si kapitalis. Ia tidak bisa memaksa si kapitalis untuk mempekerjakan dirinya. Begitu sebaliknya, seorang kapitalis harus juga pergi ke pasar untuk membeli tenaga kerja si buruh. Ia tidak bisa lagi mengandalkan aparat kekerasan untuk memastikan kelangsungan pasokan tenaga kerja murah dalam proses produksinya, sebagaimana yang menjadi ciri dari masyarakat pra-kapitalis.
Dari proses ini, tenaga kerja buruh telah menjadi sebuah komoditi, seperti komoditi lainnya, sehingga itu hubungan sosial yang terjadi mengambil bentuk apa yang disebut Marx sebagai pemberhalaan komoditi (fetishisim of commodities), dimama hubungan sosial antar manusia diperantarai oleh proses pertukaran komoditi, sehingga hubungan sosial itupun muncul sebagai hubungan di antara benda-benda.
Penutup
Dari paparan singkat tentang beragam bentuk pertukaran ini, maka terlalu tergesa-gesa untuk menyimpulkan bahwa Kuba telah bergerak ke jalan kapitalisme, hanya karena pemerintahnya telah mengijinkan penduduknya untuk melakukan aktivitas transaksi. Tidak ada fakta yang kuat bahwa pasar telah menjadi sebuah imperatif bagi hubungan sosial-ekonomi di Kuba kini.
Dengan demikian bisa dikatakan, kesimpulan bahwa Kuba sedang bergerak ke arah jalan kapitalisme, muncul dari sebuah kesalahpahaman bahwa adanya pasar identik dengan kapitalisme.***