Mencari Indonesia Babak Ketiga

Print Friendly, PDF & Email

ADALAH sebuah fakta di dalam sejarah bahwa sejarah selalu dimanfaatkan oleh semua pelaku politik di dalam masyarakat untuk membenarkan tingkah lakunya pada saat itu dan apa yang direncanakannya kemudian. Pada umumnya, kelas sosial yang berkuasa juga menguasai bagaimana cara pengetahuan dan pengertian tentang sejarah diperkenalkan pada masyarakat, baik kepada kelasnya sendiri maupun bagi kelas-kelas lain di dalam masyarakat. Ada banyak sekali contoh, tetap buat saya contoh yang paling dahsyat ialah larangan kekuasaan Roma terhadap siapa pun untuk menulis sejarah pemberontakan budak yang dipimpin Spartacus, kecuali oleh ‘sejarawan’ yang ditunjuk oleh penguasa sendiri. Dan itu memang terjadi, meskipun penelitian paling baru berhasil menemukan versi lain yang disimpan rakyat Italia dalam berbagai jenis bahasa etnisnya. Versi-versi terpendam semenjak berabad lalu dan harus menunggu hampir 2,000 tahun untuk ditemukan kembali.

Dalam sejarah Indonesia, hal yang sama terjadi sesudah 1965. Hanya ada satu versi sejarah yang diperbolehkan. Versi kekuasaan yang repressif, versi ‘resmi’ yang penuh kebohongan dan kekeliruan. Seperti biasanya, di bawah kekuasaan represif, sejarah versi penguasa dipaksakan pada orang melalui pelajaran di sekolah. Generasi muda yang dipaksa untuk menghafalkan sejarah tafsiran Orde Baru, suatu hal yang berlawanan dengan tujuan pendidikan modern. Padahal tujuan pendidikan modern untuk membangkitkan daya kritis, mempertinggi kemampuan membongkar realitas bersamaan meluasnya pengetahuan umum. Di Indonesia, kurikulum sejarah resmi ini sepenuhnya dikuasai pemerintah. Sampai hari ini versi tersebut tetap berlaku, meskipun sudah ada sedikit kelonggaran dibanding sebelumnya.

Saya harus jujur juga bahwa di negeri-negeri industri seperti Australia, Amerika Serikat dan Eropa, sejarah juga banyak dimanipulasi. Sistem pendidikan di sana memang sudah membuang teknik pengajaran yang berdasarkan penghafalan, tetapi kebijakan penyusunan kurikulum dikuasai supaya masyarakat tidak mengetahui sejarahnya secara penuh. Kalau di Indonesia, karya sastra roman sejarah Pramoedya Ananta Toer masih tidak dimasukkan ke dalam kurikulum sastra sekolah, di Amerika Serikat puluhan roman sejarah Howard Fast, juga sudah tidak ada di kurikulum lagi. Padahal ketika baru terbit pada tahun 1930-an dan 1940-an, roman sejarah tersebut laku dalam jumlah jutaan eksemplar. Di zaman anti-komunis McCarthy tahun 1950-an, bukunya secara tidak resmi dilarang dan menghilang dari pengetahuan rakyat Amerika.

Kalau di ‘Barat’ sejarah sejati dan daya kritis setengah-setengah diizinkan. Kalau di Indonesia sudah lama dibasmi total. Sejarah harus dipulihkan dan harus mulai hadir lagi di dalam kehidupan sosial dan politik negeri Indonesia. Tetapi pemulihan ini bukan berarti melalui semangat ‘kembali!’ – misalnya dalam kehidupan politik seperti sering didengarkan lewat slogan-slogan ‘kembali ke UUD 1945,’ ‘kembali ke Pancasila,’  kembali ke ini atau kembali ke itu, apalagi kembali menghidupkan yang seribu atau dua ribu tahun lalu telah punah.

Kembali mempelajari sejarah berbeda dengan kembali ke sejarah, atau kembali ke masa lalu. Untuk maju, masyarakat harus bergerak maju; tidak bisa kembali ke masa lalu. Masalahny,a apakah gerak maju ke depan ini akan diperjuangkan di atas pengertian tentang masa sekarang dan semua dinamikanya yang tajam dan lengkap atau di atas kebodohan dan kebohongan?

Situasi sekarang – baik situasi dalam maupun luar negeri – adalah hasil proses sebab-akibat yang sudah berjalan sebelumnya. Situasi sekarang tidak jatuh dari langit; bukan juga produk dari pemerintah yang sedang berkuasa. Tanpa mengetahui sejarah, tidak mungkin akan bisa menganalisa situasi sekarang, termasuk kunci-kunci yang harus dikuasai untuk bisa mengarahkan proses perubahan masyarakat ke depan.

Setiap negeri memiliki sejarah dengan ciri khasnya masing-masing. Dari sejarah Indonesia kita bisa tahu bahwa bangsa ini dibangun dari sebuah kepulauan yang penduduknya terdiri dari rumpun Melayu serta etnis lainnya. Pembacaan Sumpah Pemuda dalam kongres pemuda kedua 28 Oktober 1928, merupakan langkah penting dalam proses menciptakan Indonesia. Kongres itu menghasilkan sebuah dokumen sejarah yang menyatakan bahwa para pemuda-pemudi itu berbangsa satu, berbahasa satu dan bertanah air satu: Indonesia.

Tentu saja dokumen dan peristiwa yang bersejarah seperti itu bisa dianalisis dan diteliti dari berbagi sudut pandang. Apakah ada esensinya? Suatu hal jelas tentang sumpah ini: diucapkan secara sukarela dan tanpa paksaan. Dinamika untuk menjadi Indonesia bukan atas paksaan di bawah bedil seperti terjadi di Jerman di bawah Otto von Bismark atau di Italia di bawah Garibaldi. Sejak awal niat menciptakan Indonesia, sebagai sesuatu yang baru, untuk menggantikan kata Nusantara yang bersama-sama disumpahkan secara sukarela.

Sejak 1965, jiwa kesukarelaan itu mati bersamaan didirikannya kekuasaan militer kediktatoran selama 33 tahun. Ratusan ribu orang mati dibunuh, puluhan ribu masuk penjara dan jutaan diteror. Sebelum 1965 minimal 20 juta orang aktif sebagai pendukung partai atai ideologi yang kemudian dilarang. Mereka semua diteror sampai diam. Kehadiran mereka di dalam ‘satu bangsa’ tidak lagi sebagai warganegara yang berhak penuh; keterlibatan di dalam politik tidak lagi terjiwai oleh kesukarelaan, tetapi berdasarkan paksaan.

Memang Indonesia sesudah 1965 tidak lagi berdiri di atas semangat yang melahirkannya. Dari proses kreatif (revolusioner), Indonesia tertaklukan oleh proses destruktif dan konsumtif. Buat saya di dalam sejarah Indonesia, ada Indonesia babak pertama (1900-1965) dan Indonesia babak kedua (1965-sampai sekarang), yang sama sekali berlawanan karakternya. Tentu saja Indonesia babak pertama tak hanyut total, masih selalu berjuang sembunyi-sembunyi untuk tetap bertahan hidup di dalam tubuh Indonesia babak kedua.

Dalam merenungkan Sumpah Pemuda dan jiwa kesukarelaannya pada 2011, langsung teringat pula pada situasi Papua sekarang – dan juga sejarah Papua. Prinsip integrasi Papua ke dalam Indonesia dimenangkan oleh Indonesia babak pertama, tetapi kemudian diterapkan oleh Indonesia babak kedua. Kekuasaan Indonesia babak kedua tak mengenal jiwa kesukarelaan di dalam politik. Tak bisa disangkal lagi bahwa proses formal integrasi Papua pada tahun 1969 tak demokratis, tak berjiwa kesukarelaan dan, karena itu, merupakan pelanggaran semangat Sumpah Pemuda. Tidak heran kalau ketidakpuasaan di sana sangat tinggi – apalagi jiwa paksaan Indonesia babak kedua juga terwujud dalam bentuk sikap rasis diskriminatif.

Kecuali di dalam semangat kesukarelaannya, Sumpah Pemuda mungkin tidak bicara banyak lagi pada manusia Indonesia – dan aspek kesukarelaannya hampir tak pernah lagi dibicarakan. Mungkin ini hasil daripada pelajaran sejarah yang hanya bersifat hafalan.

Indonesia adalah negeri yang cukup unik (meskipun saya tidak tahu apakah sepenuhnya unik karena begitu banyak negeri di dunia ini untuk dijadikan perbandingan). Indonesia mengalami revolusi kreatif (1900-1960-an) yang melahirkan Indonesia sebagai mahluk baru di atas muka bumi. Banyak negeri lain yang lahir lewat revolusi – misalnya Amerika Serikat – yang kemudian tersesat, kehilangan nilai-nilai awalnya; revolusinya mengalami erosi dan degenerasi. Kontradiksi-kontradiksinya melahirkan proses pembusukkan yang berjalan lamban. Meskipun Amerika Serikat kini dikenal sebagai kekuasaan (negara dan ekonomi) yang kuat, namun pada akhirnya menjadi kekuatan kontra-revolusioner dan destruktif. Dan hingga sekarang, masih ada kekuatan yang melakukan perlawanan berdasarkan inspirasi dari revolusi aslinya.

Adalah penting dan berguna menemukan kembali Indonesia babak pertama melalui pelajaran sejarah untuk bisa dimengerti elemen mana yang memang dibutuhkan oleh proses menjadi Indonesia ini. Namun, bukan berarti, pencarian terhadap bentuk Indonesia babak pertama itu bagian dari upaya langkah mundur kembali ke masa lalu. Mau tak mau kita sekarang harus mencari bentuk Indonesia babak ketiga. Apakah itu Indonesia babak ketiga itu? Tentu yang pasti bukan Indonesia yang babak belur.***

Max Lane, Pengajar di Victoria University, Australia

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Majalah Historia. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.