Malu sebagai Senjata

Print Friendly, PDF & Email

BOCORAN  kabel diplomatik yang dipublikasi Wikileaks tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh SBY dan beberapa orang di lingkaran terdekatnya, pada dasarnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Apa yang dikemukakan dalam publikasi tersebut, sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di Indonesia.

Seperti yang kita ketahui, perilaku korup kalangan elite di negara ini telah menjadi hal yang wajar. Apa yang mengejutkan dari pengungkapan Wikileaks, karena laporan itu ternyata dipandang bukan sesuatu yang mengejutkan!  Bukankah, dalam hal ini kita mendapatkan sebuah pelajaran yang patut dipelajari? Apa yang mengganggu kita semua adalah  pada tingkat penampakkan kita tak dapat lagi menganggap bahwa kita tidak tahu apa yang tiap orang tahu.  Slavoj Zizek (2010) menyebut kondisi ini sebagai paradoks ruang publik; walau tiap orang tahu akan suatu fakta yang tidak menyenangkan, mengatakannya secara terbuka hanya akan mengubah segalanya. Disinilah letak traumatik dari paradoks ruang publik, ketika pengungkapan kebenaran akan berdampak buruk bagi “kenyamanan” hidup yang telah kita rasakan, maka sikap untuk “menganggap orang lain tahu bahwa mereka tidak tahu walau mereka tahu” adalah sesuatu yang harus dipertahankan.

Artikulasi yang tepat dalam memotret pengalaman ini dapat dilihat pada salah satu film Batman yang berjudul The Dark Knight (2008), besutan sutradara Christopher Nolan. Di film ini, Harvey Dent, seorang pengacara distrik Kota Gotham yang populer kemudian berubah menjadi penjahat (yang kelak dikenal sebagai Two Face), karena melakukan kejahatan pembunuhan, terbunuh secara tidak sengaja oleh Batman. Batman dan temannya Gordon, seorang petugas kepolisian meyadari bahwa kepercayaan masyarakat terhadap hukum akan luntur jika pembunuhan oleh Dent diumumkan ke publik. Jadi yang harus dilakukan adalah  mempertahankan citra Dent dengan mengatakan bahwa Batman-lah yang melakukan pembunuhan yang sesungguhnya dilakukan Dent. Pesan yang ingin disampaikan, kebohongan penting untuk dilakukan dalam mempertahankan kepercayaan publik: hanya kebohongan yang dapat menyelamatkan kita. Inilah kondisi yang alami kita sekarang, kondisi yang mesti diubah secepatnya.

Media informasi sebagai ruang pertarungan ideologis

Apa yang harus kita tekankan dalam memahami perkembangan “gerak bebas informasi,” yang ditandai oleh media seperti Wikileaks adalah dia tidak dapat dibiarkan dalam dirinya sendiri. Dalam artian, perkembangan “gerak bebas informasi” selalu termaktub di dalamnya sesuatu yang ideologis. Di sinilah kontestasi ideologi menjadi imperatif untuk mendorong perkembangan “gerak bebas informasi” sebagai sebuah potensi atau sebagai bagian dari proses emansipasi secara keseluruhan.

Dalam menempatkan Wikileaks sebagai contoh, maka  kritik ideologi yang seringkali dibangun bahwa media bebas seperti ini merupakan bagian dari politik imperialisme barat. Dalam pengalaman pemberitaan koran Australia The Age, yang bersumberkan pada pengungkapan Wikileaks tentang penyalahgunaan kekuasaan SBY dan kroni-korninya, misalnya, adalah contoh yang paling nyata dalam posisi ini. Beberapa orang yang, tidak selalu, namun hampir pasti, begitu reaksioner melihat bahwa koran seperti The Age menggunakan pengungkapan Wikileaks dengan tujuan untuk melucuti kedaulatan negara Indonesia, melalui serangan langsung atas kepala negaranya. Tidak heran, jika kemudian orang-orang ini menyimpulkan bahwa media informasi bebas seperti Wikileaks merupakan bagian dari permainan intelejen sekelas CIA. Di sini Wikileaks ditempatkan sebagai sesuatu yang konspiratorial dalam permainan penguasa global.

Posisi konspiratorial mengenai Wikileaks direspon oleh banyak pihak, yang biasanya adalah kalangan liberal. Buat mereka,  kemunculan Wikileaks sebagai terobosan penting untuk meneguhkan hak warga negara dalam memperoleh kebebasan informasi. Di sini Wikileaks dilihat sebagai bentuk paling radikal dari “jurnalisme investigatif.” Apa yang problematis dalam pandangan ini adalah masih termistifikasinya kekuasaan sebagai sesuatu yang asing bagi masyarakat. Posisi ini hampir mirip dengan film-film blockbuster Hollywood seperti All the President Man dan The Pelican Brief, dimana beberapa orang biasa sanggup mengungkap sebuah skandal korupsi yang terkait langsung dengan Presiden. Di sini praktek korupsi  ditunjukkan sampai dengan tingkatan yang paling puncak, kemudian ideologi dari proses ini terletak dari pesan akhir cerita ini sendiri: betapa hebat negara ini. Ketika orang-orang biasa seperti saya dan anda dapat menurunkan Presiden, orang terkuat yang ada di bumi!

Pertunjukan utama dari kerja ideologi berkuasa, dalam hal ini,  adalah dicerabutnya akar subversif dalam kritik atas kekuasaan itu sendiri. Wacana mengenai anti korupsi bukanlah hal asing buat kita, ia selalu muncul dalam setiap kritik kita atas kondisi sosial yang menyesakkan seperti sekarang ini. Kita bahkan bisa menemukan semua kritik mengenai horor atas korupsi seperti dalam buku, riset, jurnalisme investigatif, atau film dokumenter yang bercerita mengenai pengrusakan lingkungan oleh suatu perusahaan, bankir yang tetap menerima bonus besar sementara bank mereka mendapat uang publik, pabrik sweatshop yang mana anak-anak diperbudak didalamnya, dll. Namun, apa yang seringkali hilang dari kritik atas korupsi adalah  penjelasan mengenai mekanisme struktural dari fenomena korupsi itu sendiri. Dalam hal ini, penjelasan ekonomi politik yang melingkupi  korupsi itu sendiri.

Kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi politik,  dalam proses kerjanya menyebabkan korupsi muncul sebagai ekses yang sistemik dan bersifat inheren. Tetapi dalam kritik atas korupsi selama ini, ekses sistemik dan inheren ini absen. Hal ini kemudian berimplikasi secara politik; ketika kapitalisme tidak diperkarakan sebagai akar masalah maka pertanyaan mengenai kerangka liberal demokrasi sendiri menjadi absurd. Di sini kapitalisme diterima sebagai sesuatu yang tidak terelalkan. Akibatnya, untuk melawan korupsi maka kita mesti menerima kapitalisme dan melakukan demokratisasi atas kapitalisme dengan memperluas kontrol demokratik terhadap ekonomi dengan menggunakan media, pendekatan parlementer, hukum yang tegas, investigasi kepolisian yang jujur, dan sebagainya. Di sini kerangka institusional negara demokratik (borjuis) tidak pernah dipertanyakan, sesuatu yang justru merupakan akar dari praktek korupsi tersebut.

Tentu saja apa yang dapat kita pahami tentang Wikileaks bukan hanya pandangan seperti itu. Pelajaran dari fenomena Wikileaks dalam mengungkap tindakan koruptif SBY serta elit politik lainnya, adalah adanya ancaman serius akan fungsi formal dari kekuasaan. Target utama dari pengungkapan ini bukanlah detail kotor dan tanggungjawab individual atas tindakan itu sendiri, dalam arti bukan hanya mereka yang berkuasa; tapi lebih dari itu, yang dituju adalah struktur kekuasaan itu sendiri. Kita tidak boleh melupakan bahwa kekuasaan bukan hanya institusi dan aturan yang melingkupinya, tapi juga cara yang legitimatif (“normal”) untuk menantang kekuasaan itu sendiri (seperti media massa independen, LSM, dsb). Pengungkapan  Wikileaks tentang tindakan korupsi SBY dan elit politik Indonesia lainnya, bukan hanya dalam rangka mempermalukan mereka, lebih dari itu mendorong kita memobilisasi diri untuk menginisiasi fungsi lain dari kekuasaan yang dalam prosesnya bisa jadi melampaui batas-batas demokrasi representatif.

Malu sebagai senjata perlawanan

Sudah jelas bahwa perkembangan “gerak bebas informasi” adalah salah satu retakan besar dalam ideologi dominan sekarang ini. Kebebasan untuk mendapatkan informasi telah menjadi bagian penting dalam mendorong perubahan secara radikal. Akan tetapi merupakan kesalahan untuk mengasumsikan bahwa dengan mendapatkan semua informasi yang dianggap rahasia pada akhirnya akan membebaskan kita.

Premis ini salah. Kebenaran memang membebaskan, tapi bukan kebenaran yang ini. Tentu saja kita tidak dapat mempercayai  dokumen resmi, tapi juga kita tidak dapat menemukan kebenaran dalam gosip-gosip yang berseliweran di masyarkat. Penampakkan, atau wajah publik, bukan sekedar kemunafikan belaka. Ketika sering diberitahu bahwa  privasi menjadi hilang, bahwa rahasia yang paling intim terbuka untuk akses publik, apa yang terjadi adalah sebaliknya. Yang terjadi secara realitas adalah ruang publik secara efektif menghilang. Banyak kasus menunjukkan, dalam kehidupan keseharian kita, bahwa tidak mengatakan semua hal adalah suatu tindakan yang tepat dalam menyajikan informasi. Di sini akses publik terhadap pra-informasi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari akses publik terhadap informasi itu sendiri.

Untuk itu, dalam rangka memperluas akses publik atas informasi, menjadi penting memperhatikan momen-moment krisis dalam wacana yang tengah hegemonik. Kondisi ini dapat terjadi ketika seseorang atau siapapun itu harus mengambil resiko dalam mendorong disintegrasi atau penghancuran dari penampakkan. Ilustrasi yang tepat tentang upaya ini dapat dilihat pada tulisan Marx muda tahun 1843 dalam “Introduction to A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right.” Dalam karya itu, ia mendiagnosa kebusukan rezim lama Jerman tahun 1830an dan 1840an sebagai repetisi yang menggelikan dari keruntuhan rejim lama Prancis. Di sini Marx muda mempermalukan rejim lama Jerman, layaknya seorang komedian yang tidak menyadari bahwa pahlawan utama dalam teaternya telah lama mati. Dalam situasi ini, malu adalah sebuah senjata. Tekanan sebenarnya harus dibuat, dengan menambahkan kesadaran dalam tekanan itu. Malu harus dibuat lebih memalukan dengan mengumumkannya secara publik.

Situasi ini sangat relevan dalam pengalaman sekarang. Kita dihadapkan dalam suatu kondisi dimana sinisme tanpa malu-malu dari tatanan global, yang agen-agen mereka hanya membayangkan bahwa mereka percaya akan ide demokrasi, HAM, keadilan, kesetaraan, dll. Melalui pengungkapan Wikileaks dan juga kebebasan informasi, Malu kita (kemaluan kita untuk menoleransi kekuasaan seperti itu kepada diri kita) dibuat lebih memalukan dengan menjadikannya publik. Di sini malu bertrasnformasi menjadi senjata perlawanan politik. Ketika dipublikasikannya tindakan koruptif elit politik nasional, maka terbuka kemungkinan bahwa politik sebagai sebuah potensi untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik adalah harus dan tak terelakkan. Suatu kondisi yang dapat membuat, mengutip Leon Trotsky, massa memasuki panggung utama sejarah.***

Muhammad Ridha, Anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)

Kepustakaan:

Slavoj Zizek, Good Manners in the Age of Wikileaks, Jurnal London Review Books Volume 33 No. 2 (20 January 2011) halaman 9-10.

Karl Marx, Introduction to A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right, diakses dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1843/critique-hpr/intro.htm (diakses hari Minggu, 13 Maret 2011).

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.