Di Irlandia Utara seorang laki-laki bersenjata menyergap sesorang yang melintas di depannya, ”Kau Katolik atau Protestan?”, orang itu menjawab,”saya seorang ateis!”, pria bersenjata tak puas dengan jawaban itu kembali bertanya, ”Oke kamu ateis, tapi ateis Katolik atau Protestan?”
Atau guyon lokal:
Suatu ketika ada seorang pengendara motor terjatuh di sebuah desa di Jombang. Lalu datang seseorang hendak menolong, dan bertanya: ”Kamu Muslim bukan?”, jawab korban: ”Ya…” Orang itu kembali bertanya: ”Kamu NU atau Muhammadiyah?”,dan si korban sambil menahan sakit menjawab: ”N..U…..” Belum puas dengan jawaban itu, muncul lagi pertanyaan: ”Kamu PKB atau bukan?”, dijawab: ”PKB…” Akhirnya jawaban itu masih ditimpali: ”PKB Muhaimin atau Yenny?”
Pengantar singkat
SEKULARISASI adalah istilah yang telah jamak digunakan, dan karenanya menjadi semakin kabur. Sebelum mendefinisikan sekularisasi, saya ingin mengawalinya dengan sebuah penjelajahan di rimba gagasan berbagai teori sekularisasi dan pendekatan “prokon”, untuk kemudian diupayakan sebuah rekonstruksi secara sosio-antropologis.
Sejarah teori sekularisasi adalah sejarah Barat. Lahir di Eropa kemudian berkelana ke Amerika Serikat dan akhirnya menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Dalam tulisan ini, saya ingin meramaikan perdebatan publik soal relasi agama dan politik, yang dalam kasus kita, seolah tak mengenal kata final. Kasus Ahmadiyah dan pengerusakan rumah ibadah merupakan contoh dari betapa abu-abu dan remangnya wilayah ini, sehingga memunculkan pertanyaan eksistensial mengenai masa depan Indonesia.
Sekedar Latar
Ada dua contoh yang akan diajukan untuk merekonstruksi teori sekularisasi. Pertama, pengesahan RUU Pornografi. Benarkah pengesahan RUU Pornografi merupakan cermin dari masih dominannya agama di ranah publik, hingga ia bisa mencengkeram dan kemudian mewujudkan hasratnya untuk menjadi semacam comprehensive doctrine bagi moralitas sebuah bangsa atau entitas? Atau jika dibaca secara terbalik, bahwa agama kian tak berdaya sebagai moral force yang menghegemoni moralitas suatu entitas hingga lahir etika-etika di taman moralitas? Kedua, gejala global kebangkitan agama-agama, seperti menguatnya kelompok evangelical di Amerika, gerakan Pentakostal yang mengglobal, semarak etika dan kearifan Timur, tantangan multikulturalisme di Eropa, dan kasus menarik untuk mengurai tegangan sekularisasi: Turki. Bagaimana Turki modern bergelut dengan apa yang disebut “keyakinan sekular”, ketika Kemal Attaturk mencanangkan proyek ini, dengan menyapu apa yang disebut tradisional, melakukan nasionalisasi simbol-simbol keagamaan, dan mengurung praktik keagamaan di ranah privat.
Data dan Fakta
Sekularisasi seringkali dibaca secara bersamaan dengan modernisasi. Modernisasi di sini diartikan sebagai pembalikkan pusat dan nilai lama, yakni kosmosentrisme digantikan antroposentrisme, dan nilai-nilai tradisional yang bersumber pada kebenaran agama digantikan pada otonomi moral. Sekularisasi diteorisasikan oleh August Comte yang meyakini fase teologis→metafisis→saintifik sebagai sebuah keniscayaan yang akan dilalui manusia sebagai konsekuensi dari kemajuan. Pula oleh Emile Durkheim yang percaya bahwa progresivitas sejarah akan berdampak lahirnya sekularisme modern yang menggantikan agama. Tak luput raksasa sosiologi Max Weber, yang percaya bahwa proses rasionalisasi akan memperlemah peran agama, yang disebutnya sebagai kepudaran daya pesona agama berikut ciri corak kepemimpinan kharismatik yang menopangnya.
Untuk menilai klaim awal bahwa sekularisasi berarti pemisahan negara dan agama, atau persisnya peminggiran agama dari ranah publik, para pakar banyak merujuk pada kemunduran peran agama di Eropa. Tingkat partisipasi dalam peribadatan yang rutin merosot tajam, orang yang mengaku agnostik melonjak. Peran moralitas agama tergantikan oleh etika-etika, hal-hal yang dulu dianggap misterius kini terjelaskan, bahkan apa yang tampak sulit dijangkau nalar pun dapat diatasi oleh kemajuan teknologi dan revolusi saintifik. Kehadiran negara-bangsa menggusur kekuasaan-kekuasaan tradisional yang mengasalkan kekuasaan dari Tuhan atau Yang Ilahi.
Jonathan Fox merangkumnya dalam lima ciri utama: pertama agama sebagai suatu aspek dominan dalam sistem dunia kini harus berkompetisi dengan worldview lain; kedua lingkup otoritas keagamaan menciut; ketiga modernitas telah menjadikan agama lebih duniawi dibandingkan zaman sebelumnya; keempat agama kini menjadi bersifat pilihan individual ketimbang sosial; dan kelima evolusi agama ke dalam bentuk yang baru telah melemahkan pengaruh agama dalam masyarakat.
Namun apa yang dikemukakan secara sepintas sebagai pembenar sekularisasi dibantah oleh penentang sekularisasi. Data yang diajukan tak kalah melimpah. Pasca Perang Dunia II, diawalilah kebangkitan agama-agama. Mulai dari Gerakan Pentakostal, Revolusi Iran yang menggantikan kekuasaan Shah yang sekular ke kepemimpinan Ayatollah Khomeini, konflik atas nama agama di Bosnia, Chechnya, Nigeria, India, hingga peristiwa 11 September 2001. Juga naiknya Ronald Reagan yang disokong kelompok Kristen fundamentalis, Teologi Pembebasan dan keterlibatan agamawan dalam proyek pembelaan kaum tertindas di Amerika Latin, dan contoh yang cukup mendekati problem klasik sekularisasi: “penghijauan” di Turki. Kehadiran imigran Muslim di Eropa juga menjadi tantangan tersendiri bagi keyakinan sekular dan liberal Eropa.
Dari sisi penentang teori sekularisasi, apa yang terjadi sesungguhnya bukanlah menghilangnya agama dari ranah publik. Sebaliknya yang terjadi agama justru merasuk di dalam proses modernisasi itu sendiri. Weigel, misalnya, meyakini bahwa agama dalam sejarah Eropa telah menjadi fondasi moralitas sekaligus peletak dasar peradaban Barat yang tidak mungkin ditampik. Negara-bangsa juga melahirkan fundamentalisme agama – di sini dicontohkan islamisme – yang melawan asumsi-asumsi modern sebagai “humanly revolt against God”.
Pendekatan Teoritik terhadap Sekularisasi
McGuire menyebutkan empat narasi terkait peran dan posisi agama di dunia kontemporer. Keempat narasi itu adalah sekularisasi, reorganisasi, individualisasi, dan supply-side market analysis. Namun keempat narasi ini dapat dimasukkan dalam dua kelompok besar model atau teori, di mana reorganisasi dan individualisasi menjadi ciri utama dari dua pendekatan ini. Kedua pendekatan itu adalah:
Pertama, pendekatan Religious Economies Model (REM) atau yang juga dikenal sebagai teori Pasar Bebas atau Supply-side Market Analysis, dengan tokoh utamanya Rodney Stark. Menurut model ini, sekularisasi tak lebih dari sekedar mitos. Model ini mengadaptasi teori ekonomi neoklasik yang percaya pada keutamaan pasar bebas dan dibatasinya peran negara/pemerintah dalam ekonomi. Vitalitas agama secara positif berkorelasi dengan kompetisi agama dan secara negatif dengan regulasi agama. Ketika “pasar agama” didominasi oleh sejumlah kecil “perusahaan besar” (baca: gereja) atau lebih diatur oleh negara, hasilnya adalah kelesuan beragama, produk yang buruk, dan konsumsi yang rendah. Sama dengan aktivitas ekonomi, ujungnya adalah stagnasi. Sebaliknya, jika kompetisi dibiarkan bebas tanpa campur tangan negara, individu-individu akan terlatih dan berdaya juang, “seleksi” produk agama akan berjalan lebih besar dan individu sebagai “konsumen” akan menemukan agama yang cocok dengan standar yang ditetapkan. Maka yang terjadi sebenarnya adalah variasi level “vitalitas religius”; bukan sekularisasi melainkan perubahan dalam “ekonomi religius.”
Rodney Stark menyebutkan beberapa pokok kritik terhadap teori sekularisasi dengan menyajikan beberapa argumen atau data: (a) Kemerosotan peran agama hanyalah mitos, Stark mencontohkan keadaan Amerika Serikat yang digambarkan oleh Tocqueville seratus lima puluh tahun silam tentang signifikansi peran agama di sana hingga kini tetap saja bertahan, bahkan meningkat. Stark juga menunjukkan bahwa “ateisme saintifik” yang dipercayai akan menggusur agama justru mengalami kemunduran ditilik dari sisi kepercayaan publik; (b) Mitos kesalehan masa lalu (the myth of past piety). Merujuk pada karya beberapa sosiolog, antropolog, dan sejarawan, Stark menunjukkan bahwa kesalehan masa lalu yang dilawankan dengan sikap skeptic dan secular di zaman ini tidak tepat; (c) Alih-alih melewati zaman emas agama atau iman (“Age of Faith”), yang terjadi adalah kontinuitas dari keyakinan pada Tuhan. Stark mengutip beberapa hasil penelitian, misalnya, yang menyebutkan bahwa di tahun 1990, 81 persen penduduk Islandia percaya pada kehidupan setelah kematian, 88 persen percaya bahwa manusia memiliki jiwa, dan 40 persen percaya reinkarnasi. Terhadap pertanyaan “seberapa sering Anda berdoa di luar ritual keagamaan”, 82 persen menjawab kadang-kadang, dan selebihnya menjawab sering, dan hanya 2.4 persen penduduk Islandia mengaku ateis; (d) terhadap hubungan agama dan sains yang “on/off”, Stark menunjukkan data penelitian James Leuba, bahwa 41.8 persen ilmuwan mengaku percaya pada Tuhan dan berdoa kepadaNya, 41.5 persen tidak percaya kepada Tuhan personal, dan sisanya tidak memberikan jawaban definitif; (e) kebangkitan kembali Eropa Timur.
Pasca tumbangnya Uni Soviet, keyakinan tradisional warga Eropa Timur yang mayoritas Kristen Ortodoks kembali tampil. Hasil penelitian menyebutkan, di Hungaria tingkat kehadiran kebaktian meningkat dari 16 persen di tahun 1981 menjadi 25 persen di tahun 1991, orang yang mengaku ateis menurun dari 14 persen menjadi 4 persen. Sementara di Rusia, 53 persen penduduk mengaku tidak religius, angka yang turun menjadi 37 persen di tahun 1996; (f) Islam dan Agama-agam “rakyat” di Asia. Tak dimungkiri kebangkitan Islam dan dunia Muslim menjadi tantangan berat sekularisasi. Di Turki, pada tahun 1978 sebesar 36 persen pelajar percaya pada “surga dan neraka”, angka yang kemudian bertambah menjadi 75 persen di tahun 1991. Agama-agama “rakyat” di Asia juga bertumbuh subur, misalnya di Cina, Jepang, dan Taiwan.
Berdasarkan fakta di atas Rodney Stark menyampaikan belasungkawa atas wafatnya sekularisasi disertai ucapan “beristirahatlah dalam damai/rest in peace”.
Kedua; teori Sekularisasi Klasik, yang meneruskan pandangan Comte, Durkheim, Weber, dan Tonnies. Tokoh utama pendekatan ini adalah Steve Bruce dan di sini akan dsajikan pula Pippa Norris dan Ronald Inglehart.
Sekilas pintas model REM di atas meyakinkan, terlebih didukung data dan fakta yang memadai. Namun keberatan terhadap model ini timbul terutama dilandasi gugatan bahwa sekularisasi merupakan sebuah teori bukan sekedar tentang perilaku individu, melainkan perubahan di tataran sosial-struktural. Oleh karena itu, menurut Bruce, model REM tidak menjawab pengandaian teori sekularisasi bahwa diferensiasi antara ranah religius dan non-religius sungguh terjadi. Steve Bruce misalnya, menyajikan data bahwa kehadiran warga Skotlandia di kebaktian sebesar 59 persen di tahun 1987 merosot menjadi 30-35 persen. Pula di Gereja Katolik di Inggris Raya, ketidakhadiran dalam Misa meningkat dari 14 persen di tahun 1980an menjadi 28 persen di tahun 1990an.
Untuk memperkuat argumentasi ini, saya hendak sedikit mengulas karya Pippa Norris dan Ronald Inglehart dalam buku Sacred and Secular yang dapat dikategorikan dalam pendekatan Teori Sekularisasi Klasik. Pokok pengandaian Norris dan Inglehart berlawanan dengan Stark, yaitu: (a) religiositas ditentukan oleh permintaan (demand) bukan penawaran (supply); (b) tidak ada kaitan antara religiositas dengan pengaturan negara (state regulation) dan pluralism religius; (c) sekularisasi telah diamati secara virtual merupakan gejala umum dinegara industri lanjut dengan Amerika Serikat sebagai pengecualian.
Inti argument Norris dan Inglehart adalah (1) proses-proses seperti pertumbuhan ekonomi, kesetaraan sosial politik, perkembangan manusia (termasuk rasio literasi, harapan hidup, dan kematian bayi), adalah hasil dari perubahan jangka panjang dalam keamanan eksistensial yang menggerus keyakinan kepercayaan, praktik, dan nilai-nilai religius, (2) penurunan angka fertilitas yang terkait dengan kontrol kelahiran, aborsi, perceraian yang bertolak belakang dengan yang terjadi di negara miskin di mana ajaran dan nilai religius masih berpengaruh.
Pendekatan Norris dan Inglehart ini mengafirmasi Teori Sekularisasi Klasik dalam dua dimensi (1) ia menjelaskan kaitan antara pembangunan dengan sekularisasi melalui keamanan eksistensial; (2) Bahwa pembangunan dan sekularisasi bukanlah proses linear dan universal.
Fakta yang dijelaskan buku ini cukup menarik, misalnya, dukungan terhadap partai politik yang berafiliasi ke agama tertentu di 16 negara post-industrial menurun dalam 50 tahun terakhir, yakni dari 32.4 persen menjadi 15.1 persen. Data yang mungkin menarik secara filosofis adalah temuan bahwa hubungan antara iman kepada Tuhan dan sains tidak bersifat trade-off, sebaliknya masyarakat dengan tingkat kepercayaan besar pada sains juga seringkali memiliki keyakinan religius yang kuat. Hal lain yang patut dicermati adalah fakta dimana dalam masyarakat Muslim, ternyata terdapat dukungan cukup kuat terhadap demokrasi, dan etika kerja di kaum Muslim ternyata kuat, dan justru Protestan paling lemah.
Dalam kritiknya terhadap pendekatan REM, Norris dan Inglehart setidaknya sukses dalam tiga hal: pertama, melalui analisis longitudinal, ditunjukkan bahwa dalam beberapa dasawarsa terakhir sekularisasi memang terjadi di Eropa Barat, dan berbeda dengan Stark, ini bukan masalah penekanan berlebihan pada “Age of faith”; kedua, kebangkitan agama di Eropa Timur pasca-komunis tidak disebabkan deregulasi agama, yakni lepasnya kontrol negara terhadap agama; ketiga, tantangan terhadap korelasi religiositas dengan pluralisme religius. Ini adalah kritik terhadap pendekatan supply-side, bahwa sekularisasi yang dilihat dalam penurunan tingkat partisipasi dalam agama di negara post-industrial menunjukkan penurunan demand.
Memahami Sekularisasi: Pluralitas Modernisasi dan Resakralisasi
Melihat data dan fakta yang ada tampaknya dua kubu yang berselisih masih bersiteguh dengan pendiriannya. Bahwa sekularisasi terjadi secara faktual benar, dan sebaliknya bahwa di belahan lain yang terjadi adalah desekularisasi. Menurut saya, kedua pendekatan ini masih terbatas pada hal-hal empirik sehingga lemah dalam mendekati persoalan secara lebih kompleks dan komprehensif. Tampak jelas kedua pendekatan itu terlalu fokus pada aspek sosio-ekonomis dari modernisasi, yaitu urbanisasi dan industrialisasi, dan mengabaikan faktor lain yang juga berkembang di dalam modernitas, yakni politik dan kultural.
Paparan berikut mencoba merekonstruksi pendekatan baru berdasarkan asumsi: pertama, Sekularisasi adalah sebuah gejala, dan sebagai gejala ia mendiami ruang-waktu tertentu, maka tilikan historis terhadap sekularisasi mutlak diperlukan; kedua, sekularisasi sebagai ide, konsep, atau fakta yang menyejarah memiliki ketersituasian, yakni sejarah Barat, untuk itu tidak serta merta dapat diandaikan pasti terjadi di belahan dunia lain. Yang diperlukan adalah menemukan ciri, asumsi, dan kriteria untuk kemudian dapat dicari irisan ketika disandingkan dengan tradisi dan sejarah peradaban lain; dan ketiga, karena sebagai pemikiran sekularisasi adalah anak kandung modernitas, maka ia harus dipahami dalam bingkai teori modernisasi. Jika modernisasi, sebagaimana tampak dalam sejarah pemikiran Barat, tidaklah tunggal melainkan lahir dengan berbagai varian, memiliki keunggulan maupun sekaligus patologis, selayaknya pula sekularisasi dipotret dengan lensa yang sama, bahwa ia tidak tunggal juga.
Untuk membingkai lebih dalam pemahaman akan sekularisme, gagasan brilian yang ditulis Peter L. Berger dalam “Sacred Canopy: Elemen of Sociological Theory of Religion” akan sangat membantu. Secara ringkas Berger mendefinisikan sekularisasi sebagai proses tergantikannya dominasi institusi dan simbol-simbol religius dalam sektor masyarakat dan budaya. Dalam pengalaman Barat, proses ini mecakup dua hal yaitu pemisahan agama dan negara serta surutnya peran agama dalam kancah modernitas. Secara ringkas gagasan Berger ini bergerak di dua level sekaligus, yakni sekularisasi sebagai proses sosial-struktural yang objektif di satu sisi, dan secara subjektif sebagai proses kultural. Menurut Berger, di level objektif ini tercakup diferensiasi institusional bidang politik dari agama, di mana agama lengser dari peran sebagai pemegang otoritas dan sumber legitimasi negara. Lalu negara dibangun di atas prinsip modern, bertumpu di atas hukum positif, menggantikan kuasa ilahi sebagaimana tampak dalam negara pra nation-state.
Di sisi lain, secara subjektif sekularisasi juga bergerak di tataran kesadaran, di mana dalam modernitas digeluti masalah makna, diri (subjek), dan liyan (other) tanpa melalui perantaraan agama dan tradisi. Modernitas adalah pembalikkan pusat dari kosmosentris (merujuk ke “langit” atau wahyu) menuju antroposentris (manusia sebagai pusat dan penafsir). Selanjutnya mengacu pada Jose Casanova, ada tiga elemen yang hakiki dalam perkembangan modernitas (1) peningkatan diferensiasi stuktural di lingkup sosial yang menghasilkan pemisahan agama dari politik, ekonomi, sains, dsb, (2) privatisasi agama ke dalam ranahnya sendiri, dan (3) kemerosotan signifikansi sosial dari keyakinan religius, komitmen, dan kelembagaan.
Ketiga corak itu juga sekaligus menjadi bingkai bentuk sekularisme yang setidaknya dapat dipetakan dalam tiga model, pertama diferensiasi insitusi sosial lepas dari dominasi agama sebagaimana terjadi di beberapa bidang yang tidak lagi merujuk pada agama sebagai satu-satunya rujukan nilai seperti tampak dalam model Amerika Serikat, kedua sekularisme sebagai antiagama yang jelas tercermin dalam spirit pasca Revolusi Prancis dan cukup menjadi model sekularisme Eropa, dan ketiga yang pernah terjadi di Uni Soviet di mana agama dipinggirkan di ranah privat.
Dari paparan teoritik di atas, kita dapat melihat bahwa proses sekularisasi di berbagai belahan dunia menuai keberhasilan di level objektif, yakni pemisahan agama dan negara secara institusional. Sedangkan di level subjektif, alih-alih sekularisasi marak terjadi yang tampak adalah sebaliknya, yang disebut Berger sebagai kecenderungan menuju sakralisasi. Di sini relasi modernitas dan sekularisme bukanlah taken for granted yang dipahami secara kausal, linear, statis, dan tidak problematik, melainkan sejak awal sudah kompleks, dinamis, resiprokal, dan konfliktual dalam proses kait-kelindan di level objektif dan subjektif.
Mencermati fenomena kembalinya “yang sakral”, dan maraknya gerakan keagamaan kontemporer, keyakinan Emile Durkheim akan progresivitas sejarah dan implikasinya sekularisme modern akan segera menggantikan agama, dan juga keyakinan Max Weber bahwa proses rasionalisasi akan memperlemah peran agama justru tidak terbukti. Dengan kata lain, modernitas tidak secara intrinsik sebagai sekularisasi melainkan lebih tepat dikatakan pluralisasi, baik di ranah kepercayaan, nilai, maupun worldviews. Bahwa sekularisasi kemudian justru lebih sebagai sebuah proyek politik, ketika ia ingin menabalkan demarkasi wilayah agama dalam ruang publik, yakni menciptakan batas antara “yang publik” dan “yang privat”.
Menilik pengalaman Barat dan Turki yang lebih mengadopsi model sekularisme Prancis, kita melihat bahwa sekularisasi baru terjadi di level objektif dan justru di tataran subyektif, sekularisasi dapat dikatakan menghadapi krisis, persis karena apa yang dikatakan Paus Benedictus XVI yakni kita berada dalam era dictatorship of secularism. Bahwa justru liberalisme dan pendirian modern Barat diuji untuk tidak mengeksklusi agama dari ruang publik. Atau meminjam istilah Klaus Eder (2002), dalam pluralitas komunikasi dan komunitas, testing formula perlu dilakukan secara adil terhadap semua elemen yang ada. Dalam kasus Turki, menguatnya Islam politik dan tuntutan penggunaan simbol-simbol Islam adalah tantangan yang harus diselesaikan di ruang publik, perlu akomodasi terhadap hak-hak kultural kelompok Islam, bukan justru direpresi.
Sampai di sini, kita dapat merangkum konpleksitas modernisasi dan sekularisasi dalam dua aspek: pertama, pendekatan sosiopolitis, bahwa sekularisasi tidak bisa dipahami sebatas peminggiran agama sebagai konsekuensi dari urbanisasi dan industrialisasi, atau proses rasionalisasi Weberian. Dalam berbagai kasus, jelas agama tidak sekedar berkompetisi dengan negara, melainkan baik di dalam agama itu sendiri (denominasi-denominasi gereja atau antar aliran dalam Islam, Hindu, dan lainnya) maupun antaragama, dan antara lembaga religius dengan lembaga nonreligius. Misalnya perebutan hegemoni worldviews antara katolisisme, protestantisme, dan yudaisme dalam tradisi Judeo-kristen, termasuk dengan “political religions” semacam liberalisme, sosialisme, nasionalisme, atau fasisme. Pendekatan ini dapat menutup ketidakmemadaian REM ketika menjelaskan gejala pluralisme religius dan kemunduran agama dikaitkan dengan regulasi.
Kedua, pendekatan transformasi sosiokultural, di mana yang religius dan nonreligius saling mempengaruhi secara kultural. Pemisahan agama dan negara tidak sekedar akibat industrialisasi melainkan juga peran budaya. Bagaimana anti-klerikalisme juga mendorong sekularisasi, kehadiran monoteisme yudeo-kristen yang memisahkan yang transenden dengan yang imanen mengubah cara pandang terhadap diri, keselamatan, dan dunia, juga pengaruh etika agama terhadap proses-proses sekular, misalnya apa yang disebut Max Weber sebagai etika Protestan yang saling memengaruhi dengan kapitalisme.
Sekedar Contoh Dialektis Sekular dan Agama
Akhirnya tibalah kita pada refleksi perkembangan politik-kultural kontemporer, khususnya terkait masa depan demokrasi (mewakili ranah sekular, politik) dan hubungan agama dengan wolrdview lainnya. Yang menjadi tantangan dunia saat ini adalah maraknya fundamentalisme agama sebagai sebuah sikap pikir dan tindak di satu sisi, dan di sisi lain pendirian sekular fanatik.
Kurang lebih empat tahun silam, tepatnya 19 Januari 2004, terjadi sebuah dialog langka dan mengagumkan antara filsuf kontemporer masyhur Jurgen Habermas yang mewakili pandangan sekular dan Joseph Ratzinger (kini Paus Benedictus XVI) tentang aspek sekularisasi dan hubungan rasio dengan agama dalam masyarakat bebas, yang kemudian dituangkan dalam buku “The Dialectics of Secularization: On Reason and Religion.” Keduanya secara meyakinkan sependapat bahwa kedua pihak – sekular dan agama – harus saling belajar setelah masing-masing menyadari batas-batas keyakinannya. Habermas menyebut masyarakat pascasekular untuk menamai pengakuannya bahwa agama harus diberi tempat lebih besar dalam diskursus ruang publik, sekaligus bagaimana orang yang tidak beriman dan orang beriman dapat saling menyuburkan modernisasi kesadaran publik melalui asimilasi dan transformasi refleksif baik mentalitas sekular maupun agama. Di sisi lain Ratzinger mengakui dengan jujur patologi agama, bahwa tiap keyakinan agama (besar) sekaligus mengandung bahaya menjadi fundamentalis dan berujung pada tindak kekerasan dan intoleransi, dan di sisi lain juga memiliki potensi untuk bersikap rasional dan toleran. Artinya ada kesadaran bahwa mustahil seseorang atau kelompok berpikir uniformitas, bahwa hanya ada satu identitas kultural yang bisa dirujuk. Kita berada dalam faktisitas, dunia ini sudah terberi dan ditakdirkan majemuk. Maka baik Habermas maupun Ratzinger sepakat, bahwa rasio sekular dapat saling belajar bersama rasionalitas iman dan agama, karena keduanya saling menyadari batas-batasnya.
Keduanya memandang perlu mencari pijakan bersama yang tidak bersifat metafisis (misalnya bersumberkan pada tradisi dan nilai agama tertentu, sebagaimana disitir John Rawls selalu berpretensi menjadi comprehensive doctrine yang menutup ruang diskursus ), melainkan pada pra pengandaian yang dapat dijadikan titik berangkat, yakni rasio. Dengan demikian sekularisasi objektif memiliki prospek keberhasilan bagi sisi subjektifnya, yakni keterbukaan akan perbedaan dan memandang yang lain sebagai kenyataan yang harus didengar, dipahami, ditenggang, dan kemudian bersama-sama direngkuh untuk tumbuh kembang.
Kata Penutup
Berdasarkan paparan ringkas di atas, kita melihat bahwa sekularisasi – jika boleh disebut “mahluk” – ia berarti mewaktu, menyejarah. Saya juga telah menunjukkan ketidakmemadaian pendekatan-pendekatan klasik, serta mencoba merekonstruksi teori sekularisasi dalam semangat “mengais masa lalu untuk meraih masa depan”.
Berdasarkan konteks kesejarahannya, sekularisasi mesti diletakkan dalam tiga hal: pertama, adaptasi terhadap rentang waktu yang panjang berikut perspektif sejarah yang melingkupi, termasuk melampaui sejarah modernitas; kedua, memberi perhatian lebih serius terhadap disiplin ilmu dan rujukan lain yang relevan seperti literatur dan sumber-sumber sejarah untuk membangun sebuah pandangan yang benderang terhadap dimensi spasial dan temporal sekularisasi; dan ketiga, memperlakukan sekularisasi sebagai variabel historis dan keluaran yang kontingen tinimbang memperlakukan sebagai tren perkembangan yang universal dan tak terelakkan; dan keempat, lebih peka terhadap perubahan konteks kepercayaan dan praktik religius.
Kita juga sudah belajar bahwa sekularisasi bukanlah privatisasi atau individualisasi an sich. Benar bahwa terjadi diferensiasi, privatisasi/individualisasi, reorganisasi, namun itu terjadi secara bersamaan dan tidak saling meniadakan. Roland Robertson menyebutnya sebagai gerakan ganda, yakni proses individuation dan societalism sekaligus. Secara lugas empat narasi keagamaan di zaman modern: sekularisasi, individualisasi, reorganisasi, dan supply-side market menjadi tantangan bagi sosiologi dan antropologi untuk melihat secara menyeluruh baik di level individu, subsocietal, societal, dan internasional.
Pasca merentang kisah sekularisasi ini bolehlah kita berharap untuk kasus Indonesia, meski tak secara eksplisit disebut “negara sekuler”, secara substansial pendiri bangsa jelas memiliki konsep memisahkan negara dan agama. Dalam perjalanannya hal ini selalu ditarik ulur dan tak jarang dilakukan stigmatisasi kepada pihak-pihak yang berseberangan pendirian. Maka perlu ditimbang – setidaknya dalam tataran normatif – membuka kembali pembicaraan mengenai sekularisasi di Indonesia sebagai langkah awal untuk mengurai benang kusut konfik antar dan intraagama. Jika masalahnya adalah persoalan istilah yang dianggap membawa trauma atau mengesankan pengaruh Barat, secara substansial kewajiban itu tetap melekat, yakni bagaimana kita bersedia mengajak kembali Pancasila sebagai tema perdebatan yang lebih beradab dan menjanjikan. Ini sekaligus menjadi batu uji bagi organisasi-organisasi keagamaan, sejauh mana klaim kebenaran, hegemoni, dan otoritas itu masih memiliki relevansi terhadap preferensi individu di zaman serca encer ini.***
Justinus Prastowo, Mahasiswa Pascasarjana STF Drijarkara, Jakarta
Kepustakaan:
Peter L. Berger, “Sacred Canopy: Elemen of Sociological Theory of Religion,” 1967.
———–, “Secularization Falsified”, First Things, Februari 2008.
Jonathan Fox, “A World Survey of Religion and State,” Cambridge, 2008, hlm. 26-27.
Meredith B. McGuire, “Religion the Social Context,” Wavelend Press, 2002.
Philip S. Gorski, “Historicizing the Secularization Debate”, dalam Michele Dillon (eds.), “Handbook of Sociology of Religion,”Cambridge University Press, 2003.
Pippa Norris dan Ronald Inglehart, “Sacred and Secular Religion and Politics” Worldwide, Cambridge,2004.
Fuat Keyman, “Modernity, Secularism and Islam : the Case of Turkey”, dalam Theory, Culture & Society, 2007, Vol. 24(2).
Joseph Ratzinger dan Jurgen Habermas, “The Dialectics of Secularization: On Reason and Religion,” Ignatius Press, 2007.