SALAH SATU masalah ketenagakerjaan yang tidak memperoleh perhatian serius pemerintah saat ini, adalah keberadaan buruh migran. Padahal diperkirakan sekitar 600 ribu-jiwa lebih meninggalkan Indonesia setiap tahunnya. Mereka yang bermigrasi, kebanyakan kaum perempuan dan umumnya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Meskipun berpuluh-puluh kasus kekerasan terjadi dan mengakibatkan korban jiwa buruh migran, pemerintah tetap saja bertindak seperti keong. Keinginan politik membela buruh migran oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), organisasi buruh internasional (ILO), dan pemerintah-pemerintah negara nasional masih sebatas wacana.
Hanya kaum buruh itu sendiri yang bisa membantu dirinya. Mengorganisasi diri, bergabung dalam wadah aliansi yang lebih luas, adalah cara untuk memperkuat diri mereka. Untuk itu, dalam rangka memperingati 100-tahun gerakan perempuan, pada tanggal 13-15 Agustus di Montreal, diselenggarakan International Women’s Conference. Salah satu peserta yang hadir adalah Eni Lestari, ketua Aliansi Migran Internasional/International Migrant Alliance (IMA) dan perwakilan ATKI (Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia) yang berbasis di Hongkong. Andri Cahyadi dari Media Bingkai Merah, berkesempatan mewawancarai Eni Lestari seputar masalah buruh migran secara khusus dan gerakan perempuan secara umum. Berikut petikannya:
Andri Cahyadi (AC): Konferensi yang Anda hadiri kemarin itu tentang apa? Dan dalam kapasitas apa anda di undang ke kota ini?
Eni Lestari (EL): Ini adalah konferensi perempuan internasional. Pertamakalinya diadakan di Montreal, Kanada, dalam rangka memperingati 100-tahun gerakan perempuan Internasional, yang biasa diperingati pada setiap 8 Maret. Bersama-sama kelompok perempuan dari beberapa negara, kita ingin membangkitkan lagi perjuangan perempuan internasional. Apa yang membedakan, kita mengakui bahwasanya akar penindasan perempuan adalah imperialisme dan feodalisme untuk beberapa negara. Bentuk itu muncul dalam penindasan yang dialami oleh kaum buruh perempuan khususnya. Bahkan pada tatanan yang sifatya publik sekalipun, sebagian kaum perempuan, masih ditempatkan sebagai warga kelas dua. Perempuan hanya dipandang sebagai komoditi belaka.
Saya hadir mewakili, International Migrant Alliance (IMA) sebagai ketuanya. Dan juga sebagai ketua ATKI-Hongkong.
AC: Anda adalah ketua IMA saat ini, bisa berbagi cerita tentang IMA dan apa agendanya?
EL: IMA ini formasi baru. Lahir pada bulan Juni tahun 2008. Niat utamanya, untuk mengoordinasikan gerakan buruh migran global yang anti imperialisme. Sekaligus merespon fenomena migrasi yang semakin massal. Termasuk eksploitasi yang semakin menjadi-jadi pada tingkat akar rumput. IMA ikut memperjuangkan hal-hal yang fundamental bagi buruh migran, seperti hak untuk tinggal, hak untuk bekerja, dan bahkan hak untuk berpindah-pindah pekerjaan.
IMA sendiri adalah aliansi formal buruh migran akar rumput yang kebanyakan berstatus kontrak. Tapi, ada juga mereka yang sudah memiliki status sebagai imigran dan tetap bekerja sebagai buruh migran, juga ikut tergabung dalam IMA. Saat ini IMA berasal dari aliansi 19 negara. Terdiri dari 120 organisasi buruh migran. Keanggotaannya meliputi Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Target jangka panjangnya memperjuangkan, memperkuat, dan mengangkat hak-hak dan suara buruh migran pada tingkatan global. Semisal, melobi PBB, aktif berdiskusi dan melakukan intervensi kepada ILO (International Labour organization) seperti yang sedang kita lakukan sekarang. Dan, IMA juga berfungsi sebagai alat penyadaran pada tataran global untuk menyuarakan hak-hak buruh migran internasional.
AC: Kini saya mau beralih ke soal lain. Apa persoalan pokok yang dihadapi BMI dan apa target perjuangan ATKI di Hongkong?
EL: Dari segi isu atau pengorganisiran? Dari segi pengorganisiran, kita lebih maju dibandingkan negara lain. Kita lebih terorganisasi. Dasarnya karena keinginan kuat dari Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong untuk mengubah kondisinya sendiri melalui organisasi dan mobilisasi, dan kebetulan di Hong Kong kita memiliki ruang untuk itu. Kita berhasil memperkuat partisipasi politik buruh migran dalam memperjuangkan isu-isu dan tuntutan kepada konsulat Republik Indonesia di Hongkong maupun pemerintah di tanah air serta pemerintah Hong Kong itu sendiri.
Persoalan pokok BMI adalah, privatisasi dan outsourcing (kerja kontrak). Proses bermigrasi sebagai buruh migran itu telah lama dilegalisasi dalam bentuk UU dan kebijakan. ILustrasinya begini, pemerintahan Megawati Soekarnoputri, menetapkan UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN), dimana pemerintah telah mendelegasikan tugas dan tanggungjawabnyanya kepada pihak private-agency (PJTKI di Indonesia dan agen swasta diluar negeri). Buruh migran itu seolah-olah tidak boleh mandiri-mengurusi dirinya. Harus berhubungan melalui agen. Ketika kita meminta perlindungan kepada pemerintah, agen-agen lah yang ditunjuk untuk bertanggung jawab oleh pemerintah. Padahal kondisi di lapangan, agen-agen itu justru bagian dari masalah yang dihadapi oleh buruh migran. Kita jadi stress sendiri dibuatnya.
Saya melihat ada tiga persoalan utama yang dihadapi buruh migran dalam hubungannya dengan para agen ini: pertama, buruh migran tidak boleh memproses sendiri sesuatu yang berubungan dengan hak-hak dan pekerjaanya tanpa melalui agency; kedua, sebagai imbalan “jasanya”, agency diperbolehkan mengambil uang apapun dari buruh migran; dan ketiga, tidak ada sanksi dan mekanisme hukum yang diterapkan kepada PJTKI di Indonesia dan agency di luar negeri bila terbukti melakukan pelanggaran kontrak ataupun pungutan illegal di Hongkong. Dengan begitu, buruh migran menjadi tidak berdaya. Kami tidak memiliki posisi tawar kolektif.
Dari sanalah kita mulai bertanya dan menganalisa sendiri. Pada kasus Hongkong, persoalan yang kita temukan, mereka (staff) yang bekerja di konsulat Hongkong ternyata banyak yang menjabat sebagai penasehat asosiasi Agen-Agen TKI di Hong Kong/APPIH. Usust punya usut bahkan ada indikasi kolusi dan korupsi antara agen-agen ini dengan pajabat-pejabat Konsulat. Ya memang akhirnya ke situ-situ juga ujungnya.
Pemerintahan SBY itu, kalo kita bicara jujur ya, memang menargetkan remitansi setiap tahun untuk mengirim 1-2 juta jiwa (TKI) pertahun melalui BNP2TKI. Namun, sebenarnya, fungsi badan ini (BNP2TKI) sama persis seperti agen (baca: PJTKI) yang mencari-cari calon TKI ke desa-desa. Mereka juga mengurus urusan administrasi. Dan memang benar, ya, ada pencapaian oleh BNP2TKI pada kasus pengiriman TKI ke Korea Selatan. Tapi, itu semua karena faktor G to G (kerjasama antara pemerintah dengan pemerintah). Tidak ada lagi calo (agen/penyalur swasta) yang terlibat dalam proses penempatan TKI ke Korea. Namun, pada konteks kebijakan dan perlindungan buruh migran yang fundamental, pemerintah SBY, tidak menciptakan perubahan yang berarti bagi BMI.
AC: Pilihan bekerja di luar negeri saat ini masih relevankah untuk rakyat miskin guna memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi mereka?
EL: Saya tidak punya hak mengatakan bahwa saya tidak setuju dengan orang pergi ke luar negeri. Untuk mencapai ke sana banyak sekali yang harus dikorbankan, termasuk siap dibunuh dijalan. Pengorbanannya adalah hidup kita sendiri. Saya pribadi, tidak ingin orang miskin bekerja ke luar negeri. Namun saya tidak berhak melarang mereka mencari makan.
Sekali lagi, bagi saya, ini (bekerja ke luar negeri) adalah keputusan yang berat, meninggalkan keluarga, tidak melanjutkan pendidikan, menjadi pekerja kontrak tanpa perlindungan, dan beruntung saya tidak mati. Banyak, yang akhirnya meninggal dunia dan tidak ada intervensi dari pemerintah soal hal itu. Menurut saya pribadi, solusi dari semua persoalan ini kembali ke perjuangan untuk menyejahterakan rakyat di negeri sendiri dan sungguh-sungguh memerdekakan mereka dari semua bentuk penghisapan. Sebab hanya dengan cara begitu, rakyat tidak perlu miskin dan terpaksa mencari pangan di negeri lain yang lebih makmur.
Untuk itu saya berharap konvensi PRT yang sedang diperjuangkan akan berhasil, hal itu amatlah penting. Sebab itu meminta pemerintah untuk lebih akuntabel.
AC: Apa pendapat anda soal hak berpartisipasi dan berpolitik bagi kaum perempuan di Indonesia?
EL: Hak sejati perempuan untuk berpartisipasi dan berpolitik itu belumlah ada. Meskipun sekarang ada kuota 30 persen di parlemen, toh aturan mainnya masih memarjinalkan perempuan. Jika perempuan bersikap kritis di dalam aturan yang masih seperti itu akan mengakibatkan ia memilih bekerjasama dengan mayoritas karena faktor feodal dan male dominated atau pilihan lainnya ia bisa sangat vokal, akan tetapi, menjadi tidak populer.
Anggapan perempuan itulemah, terutama pada konteks buruh migran yang dianggap tidak bisa mengurus dirinya sendiri, masih terjadi sampai saat ini. Kami ini hanya dianggap perempuan desa, berpendidikan rendah dan sekali lagi cuma perempuan. Untuk itulah mereka (pemerintah dan konsulat LN) berargumen buruh-buruh migran membutuhkan agency, karena kami perempuan.
AC: Dua hari yang lalu, Indonesia memperingati 65-tahun kemerdekaannya, apa yang diharapkan kawan-kawan buruh migran di Hongkong?
EL: Pertanyaan yang menarik. Setiap Agustus, kita selalu melakukan refleksi tentang “apa makna kemerdekaan itu bagi kita?” Itu makanya setiap Agustusan, kami juga menerbitkan edisi khusus tentang “buruh migran dan kemerdekaan”. Memang secara ritual tidak melaksanakan upacara, namun begitu, kami mengadakan kegiatan, semisal; fashion show yang menggunakan dua warna, Merah dan Putih. Tujuannya secara politik mempertanyakan lagi, benarkah kita sudah merdeka? Sampai sekarang kami belum percaya Indonesia itu sudah merdeka total. Kenapa? Jika Indonesia sudah merdeka, kami-kami ini seharusnya tidak berada di luar negeri. Dan generasi-generasi mendatang tidak lagi terpaksa meninggalkan tanah air hanya untuk survive.
Kita memang telah merdeka dari penjajahan negara lain, tetapi, belum merdeka dari penjajah di dalam negeri.
AC: Apakah gerakan sosial buruh migran saat ini harus ‘banting-stir’ menjadi gerakan politik? Apakah Anda pribadi berminat bergabung dengan partai politik?
EL: Kenapa tidak. Kami rasa selama ini kami sudah berpolitik. Jika ditanya lagi, apakah kami bisa menjadi partai politik? Jawabnya, kenapa tidak. Tapi, tergantung, menjadi partai politik ditengah-tengah partai yang sudah kaya-raya, korup, dan isinya para mafia, ya kita tidak mau. Buat apa berkompetisi dengan mereka? Namun, apabila ada kondisi yang memungkinkan dimana akar rumput bisa berada dalam partai yang jujur dan sejati yang memperjuangkan harkat martabat mereka, saya rasa boleh dicoba. Saya pribadi, tidak punya hasrat untuk ke sana (berpolitik). Namun, jika hal itu memang bisa membantu buruh migran dan memuluskan kebijakan buruh migran, kenapa tidak. ***