ANALISA EKONOMI POLITIK
“9 Mei 1993, di sebuah gubuk di Hutan Wilangan, Nganjuk, ditemukan sebuah mayat yang terkapar dengan kondisi sangat mengenaskan. Vaginanya hancur, tulang panggul dan lehernya hancur, perutnya luka tertusuk sedalam 20 sentimeter, sekujur tubuhnya penuh memar, lengan dan pahanya lecet. Dialah Marsinah….” (sumber: Siaran Pers Front Oposisi Rakyat Indonesia dalam Rangka Memperingati Gugurnya Marsinah, 8/5/2010)
Pembunuhan itu berhubungan dengan aktivitas Marsinah (1969 – 1993), seorang buruh dan aktivis buruh di PT, Catur Putra Surya (CPS), Rungkut Surabaya. Dia adalah contoh satu dari jutaan tenaga kerja yang dikonsumsi secara murah oleh kelas kapitalis dalam sejarah industrialisasi Orde Baru. Beda dengan mahasiswa yang perlu mengernyitkan dahi saat mempelajari teori-teori mengeni commodity, labour theory of value, working day, etc, Marsinah berhadapan, merasakan, dan memahami langsung realitas konkret dari teori-teori itu. Dia dan teman-temannya, karenanya, menuntut soal kenaikan upah minimum regional (UMR), cuti haid/hamil, dan hak-hak lainnya. Dalam skala pabrik, mereka menentang eksploitasi buruh oleh pemilik modal. Senjata mereka adalah pemogokan dan demonstrasi. Tuntutan yang secara teoritik akan memangkas keuntungan kelas kapitalis.
Tetapi, gadis lulusan SMA itu memahami bahwa pabrik bukan ruang terisolasi dari dunia di luarnya. Dia mendatangi markas Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo (5/5/1993), mempersoalkan nasib teman-temannya yang di-PHK di kantor militer itu, setelah pemogokan yang mereka lakukan beberapa hari sebelumnya. Marsinah menunjukkan bahwa pabrik dan komando teritorial tentara adalah satu kesatuan: area di mana perampasan nilai lebih secara terus-menerus hanya dimungkinkan di bawah todongan senapan; tempat dia bekerja, sekaligus kematiannya. Dalam bahasa lebih abstrak, para teknokrat Orde Baru menyebutnya: pertumbuhan (ekonomi) dan stabilitas (politik). Pabrik yang mempekerjakannya adalah buah dari kemajuan-kemajuan strategi industrialisasi berbasis pada keyakinan ini. Strategi yang menghasilkan sumbangan sektor manufaktur sebesar 21 persen kepada GDP (1992) seperti dilaporkan Bank Dunia saat itu. Dan yang dibanggakan dan menjadi legitimasi rejim Orde Baru dan kekuatan-kekuatan imperialis global.
Kekerasan terhadap Marsinah adalah salah satu contoh telanjang kebrutalan sistem kapitalisme. Tangan yang terlihat nyata membunuhnya atau pembunuhnya: oknum tentara. Peradilan borjuis tidak akan membuka agen besar, institusi tentara atau negara Orde Baru, bahkan pada pemerintahan kapitalis baru yang menggantikan Orde Baru. Tetapi yang jelas adalah ini: Tangan tersembunyi yang membunuhnya adalah kapitalisme. Inilah kekerasan sistemik yang tidak pernah lekang oleh waktu dan ruang. Bahkan, setelah kita merayakan demokrasi liberal yang menggantikan sebuah pemerintahan paling lalim dalam sejarah dunia abad 20, kekerasan itu terus berlanjut. Karena, sebagai sebuah sistem yang berbasis pada eksploitasi, nafas sistem ini hanya bisa dipertahankan melalui kekerasan yang terus-menerus.
***
Apa hubungannya dengan Mulyani? Marsinah adalah buruh, komoditi yang menjadi jantung pertumbuhan kapitalisme. Mulyani adalah ekonom borjuis yang mengesahkan sistem itu. Rumit, tetapi ringkasnya, 17 tahun setelah kematian Marsinah, 12 tahun kediktatoran Orde Baru yang mengeksekusinya sudah tumbang, tetapi sistem ekonomi kapitalis yang mengeksploitasinya bergerak semakin progresif. Krisis ekonomi 1997, resep-resep neoliberal penyelesaiannya, aneka macam konflik, dan ekspansi kapital secara besar-besaran telah melipatgandakan surplus tenaga kerja, yang dapat digunakan untuk re-ekspansi kapital secara tiba-tiba dan cepat. Itulah faktor-faktor yang melanggengkan penghisapan.
Tentang Mulyani, berita tentangnya melimpah-ruah akhir-akhir ini. Dialah generasi baru ekonom pelanjut dan penganjur ekonomi kapitalis Orde Baru. Dia dibela mati-matian dalam menghadapi partai-partai politik oportunis di parlemen dalam kasus ‘Bank Century’. Sebagai sosok yang digambarkan bersih dan sukses dalam reformasi birokrasi, Mulyani dibela pasar. Penunjukkannya sebagai salah satu direktur pelaksana Bank Dunia, mengundang reaksi negatif pasar di Jakarta. Di negeri, di mana korupsi, kolusi, dan nepotisme begitu merajalela – tercatat sebagai salah satu negeri terkorup di dunia – dukungan terhadap Mulyani bisa dipahami, kendati bukan di situ duduk perkaranya.
Ada tiga soal yang perlu dilihat dalam percakapan tentang Mulyani. Pertama, para pembelanya sebenarnya berasal dari subjek yang sama. Sebagai sistem yang menghisap, salah satu keberhasilan kapitalisme paling vital adalah mencetak subyek-subyek yang menerima eksploitasi sebagai sesuatu yang biasa dan diperlukan. Subyek-subyek ini bisa bermacam latar belakangnya. Boleh jadi, mereka adalah pemburu keuntungan dari perdagangan saham PT Inco atau PT Astra Agro Lestari – menyebut dua perusahaan — yang sahamnya ramai diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta, tetapi sama sekali tidak mau pusing dengan praktik-praktik penggusuran terhadap warga-warga desa di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dan keadaan para buruh di sana. Atau siapapun, yang berharap ekspansi perusahaan kapitalis di bidang pertambangan dan perkebunan berlangsung lebih cepat. Termasuk mereka yang percaya bahwa kapitalisme dan penyelamatan lingkungan hidup bisa dikompromikan. Juga adalah para ilmuwan yang mengagung-agungkan kapitalisme sebagai pilihan final.
Kedua, kepergian Mulyani juga mengundang kekhawatiran mengenai sosok penggantinya. Sikap yang juga tidak beralasan, karena siapapun penggantinya tidak akan banyak memengaruhi format ekonomi politik liberal yang tersedia. Karena siapapun yang terpilih dia adalah subyek yang sudah terbentuk, yang menerima kapitalisme sebagai keharusan, dan tidak akan memilih jalan lain di luar itu. Debat soal Menteri Keuangan dari partai politik atau dari profesional jadinya tidak penting, kalau tidak ingin bilang hanya akal-akalan saja.
Ketiga, lantas apa pula yang diharapkan dari seorang Mulyani di Bank Dunia? Lebih dari sekedar solusi krisis politik di tanah air, banyak juga yang berharap dia akan menjadi corong Indonesia atau negara sedang berkembang di sana. Harapan ini tidak lebih dari ilusi. Bank Dunia akan tetap berfungsi sebagai lembaga yang mempromosikan sistem kapitalisme. Semua sudah tahu, sejak awal 1980an, Bank Dunia bersama saudara kembarnya IMF memaksakan agenda neoliberalisme di permukaan bumi dengan mensyaratkan penerapan program penyesuaian struktural (structural adjustment programs/SAP) bagi negeri-negeri penerima pinjaman, sehingga memicu penarikan kekayaan yang melimpah ruah dari negeri-negeri Selatan ke Utara. Tidak heran, ahli ekonomi politik Afrika, Bani Onimode, menyebut pinjaman penyesuaian struktural (structural adjustment loans/SALs) sebagai praktik rekolonisasi.
Belakangan sebagian orang menganggap Bank Dunia sudah banyak mengalami perubahan, dengan program-program yang kedengaran enak di telinga: ‘strengthening civil society’ atau ‘development and climate change.’ Tetapi, perlu digaris-bawahi bahwa program-program itu tetap diletakkan dalam kerangka pasar. Dalam logika ini, bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan politik nasional dan supranasional (pemerintah, IMF, WTO) Bank Dunia akan terus memfasilitasi proses-proses liberalisasi ekonomi.
Dulu, ketika Paul Wolfowitz, salah satu arsitek Perang Global Melawan Terorisme (GWOT) ditunjuk presiden George W. Bush Jr, untuk mengepalai Bank Dunia, tentu tidak secara sederhana dipandang sebagai usaha memajukan kepentingan Amerika Serikat (AS) di lembaga tersebut. Lebih dari itu, penunjukkan Wolfowitz atau siapapun di lembaga itu mesti dipandang sebagai usaha menjaga kepentingan kapital – tidak peduli asal negara mana modal itu. Benar, Bank Dunia memang kerap lebih memprioritaskan kepentingan geopolitik AS, tetapi itu juga perlu dibaca dalam kerangka geopolitik kapitalisme. Misalnya, Bank ini tidak memberi pinjaman kepada presiden Sukarno ketika memanasnya hubungan Indonesia dengan Barat. Tetapi, segera setelah pembantaian massal 1965, Bank Dunia kemudian membuka kantor terbesar di Jakarta setelah kantor pusat Washington dan mulai memandikan Suharto dengan utang.
Nasib serupa juga menimpa presiden Cile yang terpilih secara demokratis Salvador Allende. Karena menentang proyek imperialisme AS, pihak Bank Dunia kemudian membekukan bantuannya ke Cile. Namun ketika jenderal Augusto Pinochet melakukan kudeta paling berdarah dalam sejarah politik modern Cile dan berhasil membumihanguskan pemerintahan Allende beserta pengikutnya, Bank Dunia segera mengalirkan pinjaman ke pemerintahan diktator dukungan AS itu.
Pendek kata, adalah ilusi besar kalau Pemerintah Indonesia saat ini yang berlutut di bawah skema geopolitik AS, dapat berbuat lebih besar hanya karena penunjukkan seorang Mulyani. Business as usual.
Terakhir ketimbang melihat Mulyani, wakil dari sebuah sistem global yang mapan, lebih baik menengok Marsinah, pihak yang ada di seberangnya, lapisan terbesar yang terhisap dalam sistem ini.***
Anto Sangaji
Mahasiswa Doktoral di York University, Kanada