Irsan Husain
BEBERAPA waktu lalu kelas pekerja di Eropa melakukan demonstrasi besar-besaran. Ribuan demonstran turun ke jalan kota Madrid, Barcelona, dan Valencia. Mereka memprotes tindakan pengetatan anggaran yang dilakukan oleh pemerintahannya. Serikat Pekerja Transportasi Publik mengumumkan bahwa mereka siap melakukan pemogokan.
Di Portugal, serikat pekerja juga menyiapkan kekuatannya untuk melakukan pemogokan, memprotes pembekuan tingkat upah. Pemogokan di Yunani menjadi pemogokan terbesar, utamanya di kota Athena dan Thessaloniki. Dua juta rakyat turun ke jalan dengan diorganisir oleh Konfederasi Umum Pekerja Yunani (GSEE) dan Serikat Pekerja Pegawai Negeri Sipil (ADEDY).
Berkaca dengan apa yang telah dilakukan oleh gerakan pekerja di Eropa, bagaimanakah dengan gerakan rakyat pekerja di Indonesia?
Peran serikat
Saat ini harus diakui bahwa serikat pekerja di Indonesia secara efektif belum mampu mengonsolidasikan kekuatan mereka. Di internal serikat pekerja peran itu pun belum optimal. Tujuan berdirinya serikat pekerja, yaitu melindungi dan menyejahterakan anggota dan keluarganya masih sekadar mimpi dan isapan jempol belaka. Serikat yang ada saat ini lemah dalam konsep gerakan, pendidikan, dan pendanaan. Romantisme kekuatan pekerja memang diagung-agungkan, terutama menjelang May Day. Namun sayangnya kebanyakan gerakan pekerja tidak berani menilai jujur atas apa yang sudah dilakukan.
Kegiatan serikat menumpuk, terlihat sibuk dengan isu-isu besar, namun tidak bermuara pada orientasi hasil kerja. Pekerja tersekat dalam kefanatikan kelompok. Kadang-kadang bukan ulah dari anggota serikat, namun justru datang dari elite serikat. Beda pendapat, beda strategi taktik, beda pendangan Politik, menjadikan gerakan pecah berkeping-keping. Saling menjatuhkan, bahkan saling menjelekkan. Padahal dulu sesama mereka adalah kawan seiring seperjuangan.
Serikat pekerja membutuhkan nilai-nilai dan etika yang menjadi landasan gerak organisasi. Tidak dengan menghidupkan ”hidden agenda” atau teori konspirasi dalam tubuh organisasi. Maka semua hal harus jelas, tidak ada yang ditutup-tutupi dari elite kepada anggota. Semua harus dimulai dengan keterbukaan dan rasa saling percaya.
Serikat seharusnya mampu menjadikan dirinya sebagai organisasi pembelajar. Kaderisasi yang intensif akan menghasilkan kader-kader yang mampu menganalisa kondisi gerakan saat ini, baik di internal organisasi ataupun permasalahan-permasalahan di luar organisasi. Sehingga serikat mampu merumuskan tuntutan perjuangannya dengan lebih cermat. Dalam bidang politik pekerja harus berdaulat, berdaya dalam ekonomi dan bermartabat dalam budaya.
Serikat harus mampu menjaga ritme gerakan dan nilai-nilai perjuangan. Melakukan kritik dan outokritik terhadap apapun yang telah dilakukan, dan mendokumentasikannya dengan baik apa-apa yang telah menjadi keputusan bersama.
Serikat juga selayaknya memberikan pemahaman-pemahaman kepada setiap individu anggota akan perannya dalam tiap perjuangan. Kita bisa pelajari pola gerakan pekerja di Eropa beberapa waktu lalu. Setelah serikat berhasil membangun kekuatan internal, maka tugas selanjutnya adalah membangun jaringan dan mematangkan isu.
Nasib federasi
Bila serikat pekerja di Indonesia masih berkutat dengan problem internal, demikian pula halnya dengan federasi dan konfederasi serikat pekerja. Elit federasi hanya merupakan kumpulan elit yang kurang perhatian pada serikat pekerja anggotanya. Federasi tidak mampu mensinergikan serikat pekerja anggotanya dalam program dan isu bersama. Mereka jalan dengan agenda masing-masing. Karena memang sejak awal tidak memiliki konsep dalam membangun gerakan bersama.
Simaklah apa yang dilakukan oleh Maritime Union of Australia. Mereka menyatukan simpul gerakan dari hulu ke hilir, terutama pekerja sektor transportasi dan manufaktur. Jika ada konflik hubungan industrial pada salah satu lini, MUA akan melakukan aksi solidaritas nyata dengan blokade pengiriman barang, mogok, membangun seruan-seruan bersama.
Contoh terkini, pada 7 April 2010 pekerja pelabuhan di setiap pelabuhan sepanjang Australia, menghentikan pekerjaan mereka selama 1 jam sebagai bentuk protes atas kematian tragis Nick Fanos, yang tertimpa container di Port Botany pada 28 Maret. Rentang masa mogok itu mereka gunakan untuk melahirkan sebuah resolusi tentang keselamatan kerja. Mereka juga menuntut Deputi Perdana Menteri dan Menteri Transportasi untuk merevisi manajemen keselamatan bongkar muat dan mengundangkan panduan National Stevedoring Safety Code.
Gerakan pekerja di Indonesia tidak melakukan hal ini. Kita masih sibuk melakukan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan pekerja itu sendiri. Jujur saja, kita terlalu sibuk dengan agenda politik yang tidak bersentuhan langsung dengan Politik perserikatan buruh.
Sebagai otokritik pada kolektif yang telah kita bangun: Kita mudah latah pada isu. Akibatnya, konsentrasi kita pada peta jalan gerakan pekerja itu tidak terbangun sebagaimana mestinya. Kita terombang-ambing oleh bola liar. Genit untuk ikut masuk dalam permasalahan yang sebenarnya tidak ada hubungan (serikat/federasi) kita dengan masalah tersebut.
Penting bagi kita untuk membuat dan berkonsentrasi pada peta jalan gerakan. Juga menjadi penting bagi kelas pekerja untuk membangun kekuatan federasi ataupun konfederasi yang menjadi kekuatan nyata bagi gerakan pekerja. Membangun kekuatan seperti apa yang dibangun oleh kawan-kawan di Eropa bukanlah mimpi. Karena sebenarnya kita mampu menyusun strategi, bahkan lebih dari apa yang dibangun kawan-kawan gerakan di Eropa. Karena kita memiliki budaya yang mendukung. Kita memiliki budaya saling membantu, bergotong royong adalah budaya bangsa.
Sudah waktunya serikat mulai menghidupkan kembali kelompok-kelompok belajar, kelompok diskusi untuk memberikan pemahaman kepada anggota. Memberikan pandangan mengenai visi dan misi pembangunan serikat yang benar. Serikat wajib melindungi dan mencarikan jalan untuk anggota agar bisa lebih sejahtera. Sudah saatnya serikat membangun gerakan ekonomi bersama lewat koperasi yang dikelola oleh federasi dan konfederasi. Membangun kekuatan bersama untuk menghidupkan usaha bersama.
Dengan sentra-sentra ekonomi inilah pekerja bisa berdaya untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Mampu membangun kekuatan ekonomi berarti mampu membangun kemandirian. Semakin kuat Iuran dan dana koperasi, semakin kuatlah gerakan yang dibangun. Juga berarti semakin banyak strategi perjuangan yang bisa direalisasikan. Mandiri tidak bergantung lagi dengan dana-dana luar yang mengharapkan sesuatu dari kekuatan pekerja. Pekerja mampu mengalokasikan kekuatannya untuk menekan korporasi melalui aksi-aksi yang lebih terencana. Pekerja memiliki dana yang besar untuk melakukan mogok, menggaji pengurus yang loyal full timer mengurusi kegiatan dan bertanggung jawab memikirkan laju organisasi.
Ini semua bukan impian karena kita sebenarnya mampu untuk melakukan hal ini. Jika kita memiliki komitmen yang tinggi untuk saling percaya kepada sesama kawan seperjuangan. Marilah kita membuka diri kita untuk berkonsentrasi melakukan hal-hal besar secara bersama-sama. Membangun kekuatan pekerja, menjadikannya gelombang besar untuk mencapai kesejahteraan bersama. Hidup pekerja!***
Irsan Husain, Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Angkutan Pelabuhan Indonesia
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Majalah LABORA Edisi April 2010.