KONTROVERSI soal isu neoliberalisme versus ekonomi kerakyatan, yang muncul dalam masa pemilihan presiden (Pilpres), membuat Pilpres kali ini terasa beda ketimbang Pilpres sebelumnya. Pada Pilpres 2004, sama sekali tidak ada isu strategis berbeda yang diusung masing-masing kandidat. Pada saat itu, “politik pencitraan” sangat menentukan.
Tentu saja, momentum debat publik ini menarik untuk dipertegas posisinya baik secara teoritis maupun kebijakan. Untuk itu, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS, mewawancarai DR. Vedi R. Hadiz, associate professor di National University of Singapore (NUS). Berikat petikannya:
IndoPROGRESS (IP): secara umum, bagaimana anda memperhatikan debat publik soal neoliberlisme vs kerakyatan menjelang Pilpres ini?
Vedi R. Hadiz (VRH): Perdebatannya tak berisi. Isyunya hanya digulirkan secara oportunis dalam rangka memenangkan pemilu.
IP: Mengapa isu neoliberal ini baru mendapat perhatian elite setelah 10 tahun reformasi?
VRH: Untuk memanfaatkan semangat anti-neoliberalisme yang berkembang di segala penjuru dunia, akibat krisis ekonomi global. Segelintir elite di Indonesia, mendapatkan ide untuk menggunakan semangat tersebut guna kepentingan memenangkan pemilu, karena menyadari bahwa sentimen anti-neoliberalisme dapat juga dimobilisasi di Indonesia, terutama di kalangan orang-orang yang merasa teralienasi dari sistem ekonomi, yang gusar dengan ketidakadilan sosial, dan yang selama ini frustrasi karena kondisi ekonominya tidak meningkat.
IP: Bisakah anda menjabarkan, apa sebenarnya esensi dari neoliberalisme itu?
VRH: Neoliberalisme adalah suatu ideologi, seperti juga komunisme dan ideologi lain. Tetapi, dalam 30 tahun terakhir neoliberalisme telah dibungkus sedemikian rupa sehingga tampak sebagai ilmu pengetahuan yang obyektif dan netral.
Neoliberalisme berkaitan tetapi tidak sama dengan liberalisme klasik dalam asumsi-asumsi dasarnya. Misalnya, liberalisme klasik mengaggungkan kebebasan individu, tetapi dalam neoliberalisme kebebasan individu diterjemahkan dalam kebebasan individu untuk berpartisipasi dalam transaksi pasar bebas. Sebagai ideologi, neoliberalisme bersifat utopian juga — dalam hal ini ‘utopia’ neoliberal adalah masyarakat dunia yang ditandai oleh transaksi tak berkesudahan (infinite transactions) yang terjadi tanpa rintangan. Segala hubungan sosial juga cenderung direduksi sebagai bentuk transaksi yang diikuti oleh individu menurut logika ‘rasionalitas’ pasar bebas yang berkekspansi secara terus menerus. Dalam bentuk kebijaksanaan, neoliberalisme cenderung mengurangi peranan negara dalam ekonomi dan berbagai urusan masyarakat, mengurangi jasa pelayanan sosial, mendukung privatisasi, dan bersifat anti-serikat buruh.
Belakangan neoliberalisme mengedepankan finansialisasi perekonomian dunia, yang pada dasarnya dimungkinkan karena di negeri-neger seperti Amerika Serikat, terjadi pemindahan secara riil kekayaan dari masyarakat bawah ke masyarakat atas (lewat pemotongan pajak bagi orang kaya, dll). Hal ini terlihat dalam jurang kekayaan yang makin melebar di situ, dengan kekayaan yang bertumpuk pada masyarakat 1 per sen teratas dan semakin terputusnya bagian yang besar masyarakat dari pelayanan sosial seperti asuransi kesehatan. Tadinya disangka bahwa orang kaya akan melakukan investasi secara produktif, tetapi ternyata mereka berspekulasi dalam pasar modal dan instrtumen finansial yang kini dicap ‘beracun,’ padahal dulunya dianggap ‘inovatif’. Maka terjadilah pemisahan antara kekayaan virtual yang terkumpul lewat sektor finansial yang semakin tak di-regulasi dan produktivitas sektor riil — hal yang membawa pada krisis ekonomi global.
IP: Bagaimana dampak kebijakan neoliberal ini pada rakyat pekerja?
VRH: Umumnya merugikan karena biasanya efisiensi didorong dengan pengorbanan rakyat pekerja. Misalnya lewat PHK, outsourcing, pelemahan serikat buruh, dan pengurangan pendapatan riil.
IP: Kemudian, apa sebenarnya yang anda pahami dengan ekonomi kerakyatan? Apakah ada basis filosofis dari paham ini?
VRH: Ekonomi kerkayatan adalah istilah kabur yang bisa dipakai oleh kaum fasis sampai kaum komunis. Orang yang menjual utopia keagamaan Kristen, Islam, Buddha, Hindu dsb, bisa juga memakai istilah ini. Untuk mempunya arti, ekonomi kerakyatan harus diterjemahkan dalam bentuk program konkrit. Di Indonesia, perdebatan tidak pernah sejauh itu. Bahkan jarang ada referensi pada model-model nyata. Paling-paling yang dilakukan adalah memanfaatkan nostalgia dan romantisme mengenai kepahlawanan para ‘founding fathers’.
IP: Pada ranah kebijakan publik, seperti apa wujud dari ekonomi kerakyatan itu?
VRH: Sekali lagi, ekonomi kerakyatan tidak punya makna dan wujud instrinsik kecuali diterjemahkan dalam kebijaksaan dan program konkrit.
IP: Bagaimana gerakan progresif mengambil sikap di hadapan debat publik dua “pendekatan” tersebut?
VRH: Sedihnya, diskursus anti-neoliberalisme telah dirampas dari gerakan progresif oleh para predator politik ekonomi, bukan anti anti-neoliberal juga. Prabowo, misalnya, adalah anak tokoh senior di kalangan teknokrat Indonesia yang cenderung semakin berorientasi neoliberal, terutama di tahun 1980-an ketika neoliberalisme semakin menjadi ortodoksi dalam pemikiran ekonomi di dunia. Sekaligus dia menantu Soeharto yang predator kakap.
Gerakan progresif mestinya bisa merampas kembali diskursus anti-neoliberalisme dari orang-orang seperti Prabowo, Kalla dsb, dengan menunjukkan bagaimana orang-orang sejenis mereka mengeruk keuntungan dari persetubuhan yang terjadi di Indonesia — sejak zaman Soeharto hingga sekarang — antara neoliberalisme dan predatory capitalism. Persetubuhan tersebut mendorong korupsi yang mendalam, menyebar dan sistematis, pemupukan hutang luar negeri, degradasi lingkungan hidup dan perampasan hak ekonomi dan sosial orang biasa.***