Ilmu Sosial Borjuis: Mengapa Aktivisme Borjuis-Liberal Dominan di Indonesia?

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: abaforlawstudents.com


Tulisan ini adalah bagian keempat dari perdebatan yang dimulai oleh tulisan Abdil Mughis Mudhoffir di Project Multatuli berjudul “Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi” (9 Juni 2021). Bagian kedua adalah tanggapan Coen Pontoh berjudul “Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir” (16 Juni). Redaksi juga menerbitkan terjemahan tulisan Eduard Lazarus berjudul “Kiri Indonesia: Dihantui Warisan Anti-Komunis dan “Masyarakat Sipil” yang sebelumnya terbit di Jacobin sebagai bagian ketiga untuk perdebatan ini (29 Juni)


PADA tulisan sebelumnya, saya telah menguraikan bagaimana watak aktivisme borjuis-liberal yang dominan di Indonesia—sebagai konsekuensi dari relatif absennya politik kelas—telah membuat kelas menengah reformis gagal mempertahankan demokrasi dari pembajakan para elite. Aktivisme borjuis-liberal dipahami sebagai kecenderungan kelas menengah reformis yang kurang berkepentingan melahirkan perubahan-perubahan fundamental terkait struktur kekuasaan ekonomi-politik. Mereka lebih berkepentingan mendorong liberalisme politik dan sipil baik melalui perubahan-perubahan institusional maupun perlawanan-perlawanan yang sporadis. 

Yang masih menjadi pertanyaan adalah bagaimana menjelaskan kecenderungan umum ekspresi politik kelas menengah reformis itu? Artikel Coen Husain Pontoh di IndoProgress berjudul “Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir” melengkapi kekosongan yang belum terjelaskan di dalam tulisan saya sebelumnya. Uraian Coen mengenai posisi kelas dalam struktur masyarakat kapitalis dengan sangat baik telah menambahkan penjelasan teoretis mengenai asal-muasal aktivisme borjuis kelas menengah. Menurutnya, “posisi kelas yang berada di antara kelas borjuasi dan proletariat”, membuat kelas menengah secara ideologis “terombang-ambing di antara pertarungan ideologis dan politik kedua kelas fundamental tersebut”.

Akan tetapi, penjelasan teoretis Coen belum cukup dilengkapi oleh justifikasi empiris berdasarkan kenyataan sosio-historis kelas menengah Indonesia. Tanpa justifikasi empiris yang memadai, uraian Coen dapat terperosok ke dalam determinisme struktural yang tidak perlu bahwa tiap kelas menengah memiliki peran sosial dan politik serupa karena perangkap posisi kelasnya. Atas hal itu, penting mengetengahkan pemikiran Richard Robison (1996a) yang—berdasarkan pengamatannya pada masyarakat kapitalis di Indonesia—membedakan antara kepentingan dan pandangan tentang dunia yang universal berdasarkan posisi kelas tertentu dengan peran sosial-politik yang beragam akibat pengalaman sejarah konflik sosial yang juga berbeda-beda. 

Tidak sedikit, misalnya, kita jumpai intelektual, aktivis, mahasiswa dan kalangan terdidik lainnya yang mengambil peran-peran politik progresif. Sebagian besar pemimpin revolusioner di berbagai tempat, mulai dari Vladimir Lenin, Mao Tse-tung hingga Tan Malaka, adalah kelas menengah yang memiliki privilese setidaknya waktu dan kesempatan yang cukup melimpah untuk membaca buku, menulis, berpikir, berdebat dan melakukan pengorganisasian. Tapi di Indonesia, jumlah kelas menengah yang progresif dan radikal sangat kecil dan insignifikan terutama sejak pembantaian komunis 1965. Bagian terbesar dari kelas menengah yang terdiri dari birokrat, manajer hingga profesional bergaji justru konservatif, berperan sebagai fungsionaris negara dan kapital atau mengartikulasikan upaya-upaya perubahan sosial berlandaskan pada keyakinan keagamaan yang reaksioner. Sedangkan sebagian lainnya mengartikulasikan aktivisme borjuis-liberal. 

Tendensi aktivisme borjuis-liberal, menurut saya, tidak dapat dilepaskan dari kenyataan yang berkaitan dengan adanya dominasi ilmu sosial borjuis yang berpijak pada pendekatan Weberian atau teori modernisasi dan varian-variannya (antara lain meliputi struktural fungsional, behaviorisme, pluralisme liberal, kulturalisme dan neo-institusionalisme) yang berkembang baik di dalam maupun di luar lembaga-lembaga pendidikan formal sejak Orde Baru. Pelarangan ideologi Marxisme oleh Orde Baru bersamaan dengan upaya-upaya depolitisasi atas berbagai bentuk artikulasi politik memiliki kontribusi penting dalam membentuk dominasi ilmu sosial borjuis itu. Sebagian besar aktivis yang berlatar belakang hukum yang umumnya miskin wawasan ekonomi-politik kritis juga berkontribusi dalam membuat pandangan-pandangan common sense bertendensi liberal-borjuis. Mereka begitu dominan dalam advokasi dan aktivisme sosial. Namun demikian, banyak aktivis kiri yang mengklaim beraliran Marxis sebenarnya juga kerap jatuh dalam pandangan-pandangan neo-institusionalisme Weberian seperti saat mereka memberi justifikasi pencalonan Joko Widodo (Jokowi) dalam pemilihan presiden 2014 dan 2019. 

Saya menduga hal itu di antaranya disebabkan oleh kecenderungan banyak aktivis kiri yang memiliki wawasan teoretis canggih tapi sebenarnya lebih sebagai penerjemah teori sosial atau pemikiran filsuf tertentu dan karena itu kerap gagap mengartikulasikannya dalam upaya memahami pengalaman-pengalaman sosio-historis masyarakat Indonesia. Alhasil, banyak pandangan dan sikap aktivis kiri yang kontradiktif secara internal: berteriak seperti seorang Marxis, tapi mengambil langkah politik sebagai Weberian; lantang mendorong politik kelas, tapi bertindak layaknya aktivis LSM yang mengartikulasikan aktivisme borjuis-liberal. Kecenderungan serupa juga dapat diamati pada kalangan aktivis dan akademisi yang kerap dengan genit merujuk teori-teori pasca-strukturalisme/pasca-modernisme yang canggih, tapi tetap jatuh sebagai Weberian. Namun, tentu tendensi ini bukan semata hasil pilihan rasional aktor kelas menengah, baik yang reformis liberal, pasca-modernis maupun Marxis, tapi dibentuk oleh proses sejarah era Perang Dingin yang memberi ruang lebih besar pada dominasi pandangan yang diilhami oleh ilmu sosial borjuis.


Kelas menengah dan borjuasi di Indonesia

Upaya memahami secara serius sejarah pembentukan dan watak politik kelas menengah di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa akademisi terkemuka, yang didominasi oleh para peneliti asing, terutama sejak 1980-an. Diskusi mengenai hal itu telah dituangkan ke dalam buku kumpulan tulisan berjudul The Politics of Middle Class Indonesia yang disunting oleh Richard Tanter dan Kenneth Young dan terbit pada 1990. Buku ini telah menjadi rujukan penting dalam memahami politik kelas menengah di Indonesia. Tulisan-tulisan yang dikompilasi merupakan hasil konferensi yang diselenggarakan oleh Centre of Southeast Asian Studies, Monash University pada 1986. Catatan pengantar Ariel Heryanto atas versi terjemahan buku itu yang diterbitkan oleh LP3ES pada 1993 juga menjadi satu tulisan tersendiri yang cukup baik dalam mengulas secara kritis pokok-pokok persoalan kelas menengah Indonesia.

Perdebatan-perdebatan konseptual di dalam buku itu penting untuk dijadikan acuan dalam memahami ekspresi dan peran-peran sosial-politik kelas menengah Indonesia kontemporer, terutama terkait kecenderungan umum elemen reformis dari kelas ini yang dominan mengartikulasikan aktivisme borjuis. Pokok perhatian Ariel di dalam tulisan pengantarnya ditujukan pada kesan kebingungan (ketidaksepahaman) kalangan akademisi dalam mengidentifikasi kategori sosial kelas menengah, mengingat ekspresi politik mereka yang dapat sangat beragam. Akan tetapi, saya melihat bahwa catatan itu sesungguhnya lebih mengesankan kebingungan Ariel sendiri dalam upaya memahami kelas menengah. Padahal ragam interpretasi kalangan akademisi sesungguhnya lebih sebagai konsekuensi perbedaan posisi konseptual. 


Foto: Antara/Reuters

Ariel mengkritik kecenderungan pendekatan Marxisme, terutama yang dikemukakan Richard Robison (1996b), yang melihat pengelompokan masyarakat hanya berdasarkan hubungan atas pemilikan alat produksi; seolah “hanya ada satu tata produksi” dan dengan demikian hanya ada dua kelas sosial: kapitalis dan pekerja. Namun, hingga akhir tulisan, Ariel tak menjelaskan tata produksi selain kapitalisme yang dapat memengaruhi peta struktur sosial itu. Ia hanya membuat pengandaian-pengandaian adanya tata produksi yang lain tanpa menyediakan rujukan materiil yang jelas. Kritik serupa mengenai kecenderungan para sarjana yang melihat seolah hanya ada satu struktur sosial masyarakat Indonesia juga ia tujukan ke kalangan pluralis liberal seperti William Liddle dan Jamie Mackie. Mereka, menurut Ariel, hanya melihat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat patrimonial. Melengkapi kritik itu, Ariel menawarkan sudut pandang yang lebih menekankan pada kemajemukan struktur sosial masyarakat Indonesia berdasarkan ekspresi budayanya. Kesan dari pandangan itu adalah seakan apa yang diekspresikan secara kultural tidak selalu mencerminkan posisi kelas seseorang. Padahal, ekspresi budaya, seperti halnya ekspresi politik, adalah cerminan dari posisi kelas sosial tertentu. Piere Bourdieu (1986) telah menguraikan dengan jelas hubungan dua hal itu melalui konsep habitus-nya.

Saya sendiri lebih setuju dengan penjelasan Robison (1996a) bahwa di abad modern, tata produksi yang paling dominan adalah kapitalisme yang melahirkan pembagian struktur sosial secara diametral antara pemilik alat produksi dengan mereka yang tidak memilikinya dan karena itu hanya bisa menjual tenaganya sebagai buruh. Kelas menengah berada di antara keduanya. Akan tetapi, sebagaimana saya kemukakan sebelumnya, posisi kelas yang sama tidak lantas melahirkan peran-peran sosial-politik yang juga serupa. Keragaman itu merupakan hasil pengalaman sejarah konflik sosial yang panjang. Artinya, tidak semua buruh menolak eksploitasi oleh pengusaha apalagi memiliki pandangan yang revolusioner mendorong perubahan sosial secara lebih luas. Banyak di antara mereka yang juga konservatif dan reaksioner. Dominannya watak ini di kalangan kelas pekerja di antaranya membuat kemandekan gerakan buruh di Indonesia. Kondisi ini merupakan warisan Perang Dingin yang memungkinkan terjadinya pembantaian komunis 1965 serta kooptasi dan depolitisasi gerakan buruh sepanjang Orde Baru.

Keragaman peran sosial dan politik kelas menengah di Indonesia juga hasil dari pengalaman konflik sosial serupa. Menurut Robison (1996a; 1996b), yang penting untuk dicermati adalah lingkungan sosial dan kekuasaan politik seperti apa yang melahirkan kelas menengah serta memberi peluang dan rintangan dalam membentuk suatu aliansi sosial dan politik yang khas? Aspek penting dalam struktur sosial di Indonesia adalah tidak adanya kelas pemilik lahan besar (aristokrat) sebagaimana di Eropa yang pada akhirnya menjadikan birokrasi negara sebagai pemegang kekuasaan ekonomi-politik yang dominan. Di sisi lain, kelas borjuasi besar pada awal perkembangan kapitalisme juga relatif absen. Ini membuat negara mengambil peran utama dalam memfasilitasi lahirnya kapitalisme, tidak seperti di Inggris dan Perancis. Kelas menengah dan borjuasi yang lahir menjadi sangat bergantung pada akses atas pekerjaan, karier, kontrak hingga monopoli atas suatu kegiatan ekonomi. 

Dengan kata lain, tak seperti yang dibayangkan dalam pandangan Weberian dan pluralisme liberal, kelas menengah yang bertumbuh sebagai konsekuensi perkembangan kapitalisme industri itu mulai dari birokrat, manajer, profesional, mahasiswa hingga kalangan terdidik lainnya tidak mampu membangun pengaruh dan otonomi relatif dari negara sebagai agen yang mendorong transformasi liberal sebagaimana pengalaman Eropa dan Amerika Utara. Ketiadaan kelas borjuasi besar juga membuat negara mengambil peran-peran penting dalam akumulasi kapital, terutama melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

Kelas kapitalis besar mulai mengambil peran penting sebagai suatu kekuatan ekonomi sejak 1980-an juga karena difasilitasi oleh negara untuk merespons krisis minyak dunia pada tahun-tahun sebelumnya. Mereka sebagian besar beretnis Tionghoa yang sejak era kolonial mengalami diskriminasi rasial dan karena itu memiliki akses terbatas dalam arena politik. Sejak awal, negara melalui BUMN memang lebih memfasilitasi dan membangun aliansi bisnis dengan pengusaha-pengusaha Tionghoa, ketimbang dengan pengusaha pribumi atau keturunan Arab. Akses politik pengusaha Tionghoa yang terbatas membuka ruang bagi Suharto untuk tetap berperan sebagai pemberi proteksi dan akses atas kegiatan-kegiatan bisnis. Sebagaimana kelas menengah yang baru tumbuh, lahirnya kapitalis besar Tionghoa juga tetap bergantung pada negara dalam akumulasi kapital, yang pada akhirnya semakin mengonsolidasikan aliansi bisnis-politik.

Bertolak dari konteks historis ini, Robison (1996a) membagi kelas-kelas menengah di Indonesia berdasarkan peran-peran sosial-politik yang berbeda-beda menjadi kelas menengah atas, kelas menengah bawah, kapitalis pribumi kecil, kapitalis pribumi yang lebih besar dan kapitalis besar Cina. Pembagian ini dibuat terutama berdasarkan observasi pada periode akhir kekuasaan Sukarno serta dua dasawarsa awal kekuasaan Suharto saat terjadi pembengkakan jumlah kelas menengah hasil booming minyak. Sebagian besar dari mereka merupakan fungsionaris negara dan kapitalis di posisi birokrat atas dan rendahan, manajer, hingga profesional upahan yang cenderung konservatif. Sedangkan, elemen reformis yang meliputi kalangan profesional, aktivis NGO dan intelektual memiliki ruang yang amat terbatas dalam mendorong perubahan politik karena adanya kontrol penguasa terhadap kampus-kampus, media dan dalam aparatur negara. Keadaan ini terus bertahan meski rezim politik telah berganti menjadi demokratis. Akibatnya, kelas menengah Indonesia tidak menjadi agensi yang dapat mendorong transformasi politik yang liberal sebagaimana dibayangkan oleh pandangan Weberian. 

Namun demikian, kegagalan elemen reformis dari kelas menengah dalam melahirkan demokrasi yang lebih substansial tidak semata disebabkan oleh tindakan negara menghambat ruang-ruang artikulasi politik mereka. Persoalan yang lebih mendasar justru terletak pada dominannya bentuk artikulasi politik reformis para aktivis LSM dan akademisi yang berpijak pada ilmu-ilmu sosial borjuis. Perspektif-perspektif ilmu sosial borjuis ini menghasilkan dominasi tradisi pengetahuan teknokratik yang cenderung mendepolitisasi masalah-masalah yang sesungguhnya sangat politis. Inilah yang membuat kelas menengah reformis tidak hanya gagap tapi juga kerap menemui jalan buntu dalam mewujudkan seruan-seruan moralis dan normatif tentang perubahan sosial.


Dominasi ilmu sosial borjuis

Ellen Meiksins Wood (1981) dalam tulisannya berjudul “The Separation of the Economic and the Political in Capitalism”telah menyebutkan bahwa Max Weber adalah proponen utama yang mengembangkan ilmu sosial borjuis dalam upaya memahami masyarakat kapitalis modern. Weber menjelaskan kapitalisme sebagai suatu proses ekonomi yang seolah terpisah dari aspek-aspek sosial-politik yang lebih luas. Bagi Weber, perkembangan kapitalisme adalah prasyarat penting lahirnya masyarakat modern yang ditopang oleh birokrasi dan tata hukum liberal. 

Pandangan ini cenderung mengabaikan persoalan fundamental terkait ketimpangan sosial-ekonomi yang ditimbulkan proses akumulasi kapital dan melihatnya lebih sebagai akibat dari tata kelola negara yang masih mewarisi sifat-sifat pra-modern. Penjelasan Weber sebenarnya juga berpijak pada analisis ekonomi politik liberal seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith yang menegaskan bahwa ketimpangan yang ditimbulkan dari proses akumulasi kapital terjadi secara alamiah terlepas dari aspek-aspek non-ekonomi. Mengamplifikasi pemikiran Karl Marx, Wood mengajukan pendekatan ekonomi-politik kritis untuk menyingkap wajah politik dari proses ekonomi yang telah dikaburkan dalam analisis ekonomi-politik liberal. Karena itu, upaya untuk memahami kapitalisme tidak bisa dipisahkan dari analisis atas struktur kekuasaan politik. Sebaliknya, analisis atas suatu bentuk pengorganisasian kekuasaan politik dan persoalan-persoalan yang menyertainya juga mesti disertai oleh penyelidikan-penyelidikan terkait bagaimana kapitalisme bekerja.

Di Indonesia, tradisi Marxisme atau pendekatan ekonomi-politik kritis dalam menjelaskan perubahan-perubahan sosial telah lama terpinggirkan. Posisi marjinal ini membuka ruang yang lebih besar kepada ilmu-ilmu sosial borjuis untuk memengaruhi wawasan aktivis kelas menengah reformis. Ini adalah produk Perang Dingin, yang memungkinkan pelarangan ajaran-ajaran Marxisme, komunisme dan Leninisme pasca pembantaian komunis 1965-66 sekaligus memberi jalan bagi konsolidasi kekuasaan Orde Baru yang otoriter. Seperti juga di berbagai tempat di kawasan Asia Tenggara, upaya konsolidasi kekuasaan politik hadir bersamaan dengan menguatnya represi negara dan perkembangan kapitalisme industri dan urbanisasi kala itu (Hadiz 2013). Pemikiran politik Samuel Huntington (1968) merupakan salah satu justifikasi penting bagi kekuasaan otoriter yang diperlukan untuk mencegah pengaruh ideologi Marxisme. Menurut Huntington, modernisasi dapat dicapai melalui institusionalisasi kekuasaan negara yang menjadi prasyarat dalam menciptakan dan mempertahankan tata politik yang stabil. Prasyarat itu dapat dipenuhi dalam suatu bentuk pemerintahan yang otoriter. 


Foto: AFP

Pandangan modernitas klasik itu tidak hanya secara kebetulan selaras dengan politik kekuasaan Suharto. Ia memang diadopsi oleh salah satu arsitek utama Orde Baru, Jenderal Ali Moertopo, bersama para teknokrat yang dihimpun dalam lembaga think tank CSIS bentukannya dalam menyusun rencana pembangunan. Pemikiran itu dituangkan dalam buku yang ditulis oleh Moertopo berjudul Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun yang terbit pada 1972. Argumen pokoknya adalah: “stabilitas serta keamanan nasional merupakan syarat utama untuk kelangsungan proses keputusan-keputusan dalam rangka pembangunan di Indonesia” (Moertopo 1972, 27-28). Ia juga mengemukakan bahwa “ABRI merupakan stabilisator dan dinamisator serta pengaman bagi politik Orde Baru” (Moertopo 1972, 48). Moertopo juga mengemukakan hambatan lain dalam mencapai modernisasi yang terletak pada nilai-nilai budaya tradisional. Memberikan akses pendidikan ala Barat adalah salah satu cara yang ditempuh untuk mengubah nilai budaya tradisional itu. Sejak 1950-an, banyak birokrat dan akademisi yang dibiayai sekolah di AS untuk mencegah penguatan komunisme. Pada era Suharto, mereka adalah para ekonom teknokrat yang kerap dijuluki sebagai Mafia Berkeley, serta para sarjana yang mengadopsi pemikiran struktural fungsional Talcott Parsons sebagai tulang punggung perencanaan pembangunan Orde Baru.


Indonesianis dan ilmu-ilmu sosial borjuis

Para Indonesianis yang dominan menggunakan pendekatan teori modernisasi sejak Orde Baru juga turut andil membuat perspektif ilmu sosial borjuis punya pengaruh kuat dalam membentuk wawasan politik aktivis dan sarjana Indonesia. Yang paling menonjol di antaranya William Liddle asal Ohio State University, AS, yang tulisan-tulisannya juga turut menjustifikasi Orde Baru. Ia adalah murid langsung pemikir politik yang menganut paradigma transisi demokrasi Robert Dahl. Bagi Liddle (1991), otoritarianisme Suharto fungsional bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Mengutip Dahl, Liddle (2014) mengemukakan bahwa pertumbuhan yang efisien dapat mendorong lahirnya kelas menengah terdidik sebagai prasyarat bekerjanya demokrasi yang berkualitas. Menurutnya, dari kelas menengah terdidik inilah, yang juga dipahami sebagai elemen utama pembentuk masyarakat sipil, lahir tuntutan-tuntunan liberalisme politik dan sipil serta desakan-desakan penguatan negara hukum dan perluasan partisipasi dalam pemerintahan. 

Seperti juga dikemukakan oleh Huntington (1984), Larry Diamond (1994) dan Gordon White (1994), gagasan masyarakat sipil sebagai penopang demokrasi sangat dipengaruhi oleh pandangan Tocquevillian sebagai entitas sosial yang otonom dari pengaruh-pengaruh kekuasaan politik negara. Gagasan ini punya pengaruh kuat di kalangan aktivis dan akademisi Indonesia sebagai bagian dari kelas menengah terdidik itu. Kesadaran politik akan posisi sebagai masyarakat sipil ini menginspirasi perlawanan-perlawanan kepada rezim otoriter yang diartikulasikan menggunakan narasi-narasi liberal, seperti tuntutan-tuntutan perlindungan hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi yang populer terutama sejak 1990-an. Tuntutan-tuntutan semacam itu seturut dengan agenda kapitalisme neoliberal yang menghendaki berkurangnya peran negara dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Tumbangnya Suharto yang memberi jalan bagi demokratisasi politik dan ekonomi terjadi dalam konteks itu. Akan tetapi, penjelasan mengenai aspek-aspek struktural yang memungkinkan terjadinya pergantian rezim politik itu kerap diabaikan. Ini memunculkan glorifikasi peran masyarakat sipil dalam hubungannya dengan politik demokrasi di Indonesia melalui tuntutan perubahan yang sifatnya institusional. 

Kalaupun keberadaan masyarakat sipil tidak dengan sendirinya menghadirkan pelembagaan demokrasi, ilmu sosial borjuis juga telah menyediakan perangkat konseptual lainnya untuk membuat penjelasan yang seolah masuk akal, yakni melalui konsep “modal sosial” dalam versi teknokratik ala Putnamian (1993). Ketidakmampuan masyarakat sipil menopang demokrasi yang liberal, menurut konsep ini, disebabkan oleh lemahnya ikatan-ikatan normatif, kepercayaan dan jaringan, elemen-elemen modal sosial; bukan sebagai hasil dari pertarungan kekuasaan dan kepentingan. Vedi Hadiz (2010) telah mengulas secara kritis bagaimana konsep yang populer digunakan kalangan aktivis LSM, akademisi, teknokrat dan lembaga-lembaga donor ini sangat diilhami oleh pandangan neo-liberalisme ekonomi.

Di samping itu, konflik-konflik sosial-politik yang menyertai tumbangnya Suharto juga semakin memberi ruang bagi penjelasan-penjelasan teoretis yang berpijak pada paradigma transisi demokrasi. Ragam konflik dan persoalan itu dipahami sebagai simtom fase transisi masyarakat menuju demokrasi yang terkonsolidasi. Dari sini kemudian lahir banyak varian penjelasan teori modernisasi karena penekanan yang berbeda dalam upaya menjelaskan problem transisional itu. Sementara itu, di sisi lain, larangan atas ajaran-ajaran Marxisme masih dipertahankan. 


Pluralisme Liberal, Neo-Institusionalisme dan Kulturalisme

Di sini saya hanya akan mengulas secara singkat tiga di antara sekian banyak varian teori modernisasi Weberian yang sangat populer di kalangan aktivis, akademisi, teknokrat dan praktisi, yang membentuk mengapa ilmu sosial borjuis dominan. Meski bertolak dari asumsi teoretis yang sama, ketiga perspektif ini—pluralisme liberal, neo-institusionalisme dan kulturalisme—dapat dibedakan satu sama lain karena memberi penekanan yang berlainan dalam menjelaskan “problem transisional” masyarakat Indonesia. Jika pluralisme liberal menekankan pada aktor, neo-institusionalisme pada komponen-komponen kelembagaan, kulturalisme mengutamakan aspek-aspek budaya dalam analisisnya. 

Marcus Mietzner (2015) yang menyatakan dirinya sebagai penganut pluralisme liberal mendefinisikan Indonesia pasca-otoriter sebagai arena pertarungan antar aktor, yang mengerucut secara diametral antara kekuatan pro-demokrasi/masyarakat sipil dan yang anti-demokrasi/oligarki. Ia juga memahami oligarki sebagai aktor, ketimbang sebagai sistem hubungan kekuasaan. Sebab itu, baginya oligarki tidak pernah dominan karena adanya masyarakat sipil sebagai penyeimbang. Bersama eksponen pluralis liberal lainnya, Mietzner dulu memuja demokrasi Indonesia sebagai demokrasi yang sehat dan terkonsolidasi—terutama pada periode pertama era SBY (2004-2009)—karena adanya resiliensi masyarakat sipil yang mampu menahan kekuatan anti-demokrasi (Mietzner 2012). Ia juga termasuk pendukung ‘fanatik’ serta turut bertanggung jawab mengonstruksi Jokowi sebagai representasi aktor reformis yang sangat menjanjikan dalam membawa demokrasi Indonesia lebih baik. Tapi, analisis dan keyakinan pluralisme liberal itu segera usang dan tak berlaku kurang dari setahun setelah Jokowi terpilih sebagai presiden. Tentu kita masih ingat, situasi serupa juga dialami kalangan aktivis LSM dan akademisi yang merasa tertipu oleh ekspektasi mereka yang tinggi pada sosok Jokowi. Sebagaimana telah disinggung, kegagapan ini merupakan manifestasi keterbatasan pandangan yang diilhami oleh ilmu sosial borjuis yang menekankan pada aktor dan mengabaikan aspek hubungan-hubungan kekuasaan dalam analisis ilmu sosial. 

Namun demikian, meski telah dipecundangi oleh Jokowi, para aktivis LSM dan akademisi reformis tak juga meninggalkan analisis yang bertumpu pada aktor. Banyak di antara mereka tetap menaruh harapan pada sosok ‘politisi reformis’ lainnya yang berasal dari daerah yang dianggap menjanjikan untuk masa depan demokrasi Indonesia. Aktor-aktor semacam Jokowi dulu mungkin saja punya intensi yang baik melakukan reformasi politik. Tapi intensi yang baik saja tidak cukup. Aktor-aktor itu juga tidak berada dalam ruang hampa, tapi dalam suatu lingkungan tempat pertarungan kekuatan dan kepentingan sosial yang berbeda-beda. Politisi baik atau intensi baik saja tentu tidak memadai untuk mengubah bentuk-bentuk pengorganisasian kekuasaan ekonomi-politik.

Pembentukan lembaga-lembaga dan desain kebijakan tertentu untuk melahirkan perubahan struktur kekuasaan sebagaimana diyakini oleh pandangan neo-institusionalisme juga tidak cukup. Tapi, aktivis LSM dan akademisi juga sangat menggemari pendekatan ini. Bagi mereka, masalah-masalah seperti korupsi atau kecenderungan pemerintah yang menjadi makin represif bisa ditangani melalui pembentukan atau penguatan peraturan atau perangkat-perangkat kelembagaan lainnya. Padahal banyak sekali kasus yang menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga ini tidak hanya telah dihancurkan tetapi juga dibajak dan diubah fungsinya menyimpang dari yang dikehendaki sebelumnya. Sama seperti keyakinan pada aktor, keyakinan bahwa suatu desain kebijakan dan lembaga tertentu dapat dengan sendirinya mengubah perilaku aktor-aktor politik juga didasarkan pada pandangan apolitis bahwa institusi-institusi itu berada di ruang hampa. Meski lembaga-lembaga itu pada akhirnya telah dibajak, para aktivis LSM dan akademisi masih saja berharap padanya dan tak meninggalkan pendekatan yang penuh keterbatasan dan kontradiksi internal ini. 


Foto: The Jakarta Post

Dalam kasus KPK misalnya, koalisi masyarakat sipil kala itu tidak hanya mengutuk DPR tetapi juga presiden dan jajarannya sebagai inisiator pelemahan lembaga anti-korupsi itu. Ironisnya, mereka tetap saja menuntut dan berharap ‘budi baik’ dari presiden untuk membuat aturan yang membatalkan pelemahan itu. Ini juga terjadi saat pemerintah begitu getol mendorong pembuatan atau revisi beberapa undang-undang kontroversial seperti UU Minerba, UU Mahkamah Konstitusi dan UU Cipta Kerja. Sudah tahu pemerintah yang berinisiatif, mereka tetap saja mendesak agar presiden mengeluarkan aturan yang membatalkan UU bermasalah itu. Tak kurang ironisnya, sudah jelas MK telah dilucuti imparsialitasnya, tetap saja mereka menempuh upaya hukum melalui lembaga yudisial itu untuk membatalkan berbagai UU bermasalah. Sudah bisa ditebak, hasil dari berbagai upaya itu tak satu pun tercapai. Terdapat keyakinan bahwa desakan publik yang kuat akan membuat pemerintah memenuhi tuntutan warga. Tapi mereka lupa bahwa meski lima demonstran telah mati dalam aksi besar-besaran menentang pelemahan KPK, tak satu pun tuntutan dasar mereka terpenuhi, selain hanya menunda pembahasan beberapa UU bermasalah.

Dengan pola seperti itu, kelas menengah reformis sebenarnya tengah menjadi fundamentalis institusi. Semua masalah dianggap terjadi karena belum adanya aturan atau lembaga tertentu dan karena itu solusinya adalah membuat atau memperkuat perangkat-perangkat kelembagaan itu. Terkadang saat lembaga yang ada tidak berjalan, mereka menyalahkan aparatnya yang kemudian melahirkan solusi pelatihan dan pembinaan aparat. Pandangan-pandangan teknokratik semacam itu selaras dengan apa yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga donor dan pembangunan internasional dalam memberikan bantuan-bantuan untuk pembangunan dan penguatan demokrasi di negara-negara seperti Indonesia. Fakta bahwa ide-ide teknokratik itu apolitis sehingga cenderung tak memadai dalam mengatasi kepentingan predator yang telah tertanam dalam struktur kekuasaan, menunjukkan bahwa sebenarnya lembaga-lembaga donor dan pembangunan internasional tak berkepentingan mengatasi masalah terkait dengan hubungan-hubungan kekuasaan. Kepentingan mereka tak lebih dari sekadar memberi jalan bagi sirkulasi kapital global. Vedi Hadiz (2010) telah mencatat bahwa sejak 1980-an dan 1990-an terjadi pergeseran pemikiran di kalangan neoliberal yang kemudian menempatkan ‘institusi’ sebagai elemen penting yang dapat membuat pasar dapat bekerja secara efisien. Ini yang juga membuat mengapa perspektif neo-institusionalisme sebagai bagian dari ilmu sosial borjuis begitu dominan dianut oleh banyak aktivis LSM dan akademisi. 

Pendekatan lainnya yang juga banyak dianut kelas menengah reformis menekankan pada aspek-aspek kultural dalam “masyarakat transisional”. Pada fase transisi menuju masyarakat demokratis yang liberal dan modern, persoalan-persoalan seperti korupsi dan birokrasi yang tak rasional diyakini sebagai hasil dari nilai-nilai tradisional yang belum sepenuhnya terkikis oleh modernisasi. Perspektif kultural juga kerap digunakan oleh rezim otoriter di negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia untuk menolak liberalisme sipil dan politik serta menekan aspirasi-aspirasi demokrasi. Seperti juga Suharto, Lee Kwan Yew di Siangpura dan Mahathir Mohamad di Malaysia adalah para pemimpin otoriter pengusung ide “nilai-nilai Asia” (Asian values) untuk menolak demokrasi liberal dan menjustifikasi komunitarianisme dan otoritarianisme sebagai nilai yang khas dan lebih berakar secara kultural pada masyarakat Asia. Meski pandangan ini kini banyak dikritik oleh aktivis dan akademisi liberal, varian dari pendekatan kultural terutama dalam memahami fenomena fundamentalisme keagamaan masih sangat dominan, termasuk di Indonesia. 

Perspektif kultural meyakini fenomena fundamentalisme keagamaan sebagai manifestasi dari nilai-nilai tradisional yang masih punya pengaruh dominan dalam mempertahankan pentingnya agama dalam ruang publik atau hasil dari pengaruh ideologi transnasional tentang tafsir keagamaan yang kaku. Seperti dua perspektif sebelumnya, pendekatan kultural juga cenderung mengabaikan aspek-aspek kekuasaan dan konflik-konflik sosial dalam menjelaskan mengapa ekspresi keagamaan tertentu mengemuka. Ilustrasi paling jelas dapat diamati dari respons kelas menengah reformis terhadap menguatnya gerakan Islam konservatif pasca demonstrasi yang menuntut dipenjarakannya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Gubernur Jakarta kala itu, atas tuduhan kasus penistaan agama. Kasus ini mengundang reaksi yang sangat keras dari aktivis dan akademisi yang mengadvokasi isu-isu toleransi dan pluralisme keagamaan. Bagi mereka, demonstrasi anti-Ahok terjadi karena pandangan-pandangan keagamaan yang kaku dan intoleran masih memperoleh ruang dalam masyarakat. Analisis semacam ini memberi justifikasi bagi pemerintah mengambil kebijakan yang keras untuk mempersempit ruang artikulasi politik kelompok Islam konservatif, di antaranya dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang organisasi kemasyarakatan (ormas) serta membubarkan organisasi-organisasi ‘radikal’ seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), dua organisasi utama dalam aksi anti-Ahok. 

Aktivis-aktivis pluralis dan terutama mereka yang terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU) adalah pendukung terdepan kebijakan pemerintah yang bertendensi otoriter itu. Bagi mereka, demokrasi hanya bisa dipertahankan jika pandangan-pandangan dan kelompok-kelompok yang intoleran tak diberi ruang. Membatasi ideologi dan kelompok radikal-intoleran dapat dilakukan bahkan jika harus mengorbankan kebebasan, demi mempertahankan pluralisme sosial. Ini merupakan rasionalisasi yang kerap mereka gunakan untuk menjustifikasi Perppu Ormas. Meski bagian lainnya dari aktivis borjuis menentang keberadaan peraturan itu terutama karena meniadakan proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran ormas, asumsi yang mereka gunakan juga tetap berpijak pada perspektif kultural. Yang mereka persoalkan adalah mekanisme institusionalnya yang dianggap telah mencederai supremasi hukum dan hak asasi manusia. Tapi dalam penolakannya, mereka mengabaikan aspek-aspek penting mengapa dan bagaimana ekspresi keagamaan tertentu dapat mengemuka. Artinya, mereka juga kurang lebih bersepakat bahwa menguatnya gerakan Islam konservatif disebabkan oleh sebab-sebab kultural di atas sehingga dalam taraf tertentu juga perlu dibatasi, tapi dengan tetap mengindahkan dan menjunjung prinsip-prinsip hukum yang adil. Seperti mengulang apa yang telah dilakukan rezim otoriter dalam menjustifikasi otoritarianismenya, pemerintah Jokowi juga mengkapitalisasi penjelasan-penjelasan kultural itu tidak hanya untuk merespons kelompok Islam konservatif tetapi juga untuk merepresi jenis-jenis oposisi politik lainnya serta membajak lembaga-lembaga hukum dan demokrasi seperti pada kasus pelemahan KPK yang di antaranya juga menggunakan narasi radikalisme keagamaan. 


Dari kemiskinan teori ke kegenitan teori

Pandangan-pandangan teoretis yang diilhami oleh ilmu sosial borjuis itu tidak selalu secara sengaja diartikulasikan oleh kelas menengah reformis. Banyak di antara mereka terutama yang berlatar belakang hukum tak begitu memahami peta teori dan pendekatan-pendekatan utama dalam ilmu sosial. Miskinnya wawasan teoretis ini di antaranya disebabkan oleh pendidikan ilmu hukum di kampus-kampus yang didominasi oleh positivisme yang kurang bisa menerima penjelasan-penjelasan non-legal yang lebih interdisipliner. Lulusan ilmu hukum cenderung menjadi penghafal pasal-pasal dan undang-undang. Ini membuat mereka gagap ketika menghadapi kenyataan bahwa hukum yang baik tidak selalu menghasilkan tata politik yang juga baik. Untuk menjelaskan situasi itu, banyak di antara mereka dengan gampanganmerujuk Lawrence M. Friedman (1969), pemikir hukum AS pengusung narasi orientalis “law and development”. Friedman menekankan pada tiga aspek pokok yang mendasari pembentukan hukum yang rasional: budaya, struktur/institusi dan substansi hukum. Jika hukum tak dapat berjalan secara rasional, hanya ada tiga sebab yang memungkinkannya, yakni budaya hukum masyarakatnya yang bermasalah, ketiadaan aturan, substansi hukum yang buruk atau penegakan hukum yang tak berjalan. Meskipun banyak di antara mereka mencoba keluar dari positivisme dan lebih mempertimbangkan aspek-aspek non-legal dalam analisis hukum dengan merujuk tradisi hukum kritis dan teori-teori sosio-legal, mereka tak selalu bisa meninggalkan pandangan-pandangan Friedmanian yang orientalis. Ini mengingatkan kita pada penjelasan-penjalasan dari perspektif neo-institusionalisme dan kulturalisme seperti telah didiskusikan di atas. Penjelasan-penjelasan semacam ini memang juga mudah dinalar sebagai common sense. 

Jika tradisi ilmu hukum punya tendensi yang menggambarkan adanya kemiskinan imajinasi teoretis, tradisi ilmu sosial yang berkembang dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) atau dalam sekolah-sekolah filsafat yang mengajarkan pemikiran-pemikiran filosofis dari berbagai pendekatan cenderung genit menggunakan perspektif teoretis yang dianggap paling mutakhir. Penjelasan-penjelasan teoretis dalam karya-karya akademik lulusan FISIP dan sekolah filsafat kerap tak berjejak pada konteks sosio-historis yang konkret. Akibatnya, penjelasan-penjelasan teoretis semacam itu menjadi sekadar tempelan yang terpisah dari deskripsi atas kenyataan-kenyataan empiris yang diamati. 

Sedangkan penggemar teori-teori termutakhir terutama dari tradisi pasca-strukuralisme/pasca-modernisme sekadar menjadi perapal elemen-elemen konseptual yang canggih atau penerjemah penjelasan-penjelasan teoretis, tapi lemah dalam mengimajinasikannya untuk memahami kasus-kasus empiris. Ini membuat mereka cenderung gagap membaca perkembangan-perkembangan sosial-politik yang pada akhirnya kembali jatuh ke dalam penjelasan-penjelasan common sense yang berpijak pada ilmu-ilmu sosial borjuis. Sebagian lainnya secara eklektik mencampuradukkan konsep-konsep dari berbagai aliran pemikiran yang dianggap sesuai dengan kepentingan analisisnya, yang seringkali tanpa menyadari adanya kontradiksi internal dari penjelasan-penjelasan yang dikemukakan.

Dalam sejarah perkembangan ilmu sosial, pendekatan pasca-strukturalisme sendiri juga lahir dari kekecewaan sejarah dan dari kritik total pada Marxisme sehingga kerap disebut sebagai pasca-Marxisme. Kritik pada Marxisme terutama ditujukan pada warisan tradisi positivisme yang bertumpu pada narasi-narasi besar semacam “komunisme”, “sosialisme”, “revolusi” dan “buruh sebagai agen revolusioner”. Para pemikir pasca-strukturalis, terutama di Perancis, semula merupakan penganut Marxisme yang militan. Tapi, di Indonesia, sebagian besar penganut pasca-strukturalisme tidak lahir dari pengalaman bergumul dengan tradisi Marxisme secara mendalam. Mereka sekadar reseptor dan penyeru hasil akhir dari respons-respons teoretis para pemikir pasca-Marxis di Eropa. Ini salah satu hal yang membuat penjelasan-penjelasan teoretis dari para penganut pasca-strukturalisme di sini kerap tak berjejak. Tapi secara teoretis, perhatian utama pada aspek-aspek partikular dari operasi kekuasaan juga telah membuat mereka meninggalkan atau mengabaikan penjelasan-penjelasan ekonomi-politik kritis yang lebih makro. Kritik-kritik semacam ini tampaknya tak terlalu mengganggu kekuasaan karena perhatian mereka pada isu-isu budaya dan elemen-elemen partikular relasi kekuasaan. Di Indonesia, banyak di antara mereka berakhir sebagai penganjur seruan-seruan moralis dan normatif melalui konsep-konsep seperti etika politik, multikulturalisme atau hibridisasi kebenaran. 

Bentuk lain dari kritik terhadap Marxisme melahirkan tradisi neo-Marxisme yang merespons perkembangan kapitalisme yang lebih canggih serta lebih sensitif terhadap isu-isu yang menjadi perhatian para pengkritiknya. Tapi di Indonesia, banyak penganutnya—seperti juga para penganut pasca-strukturalisme—yang terjebak dalam kegenitan teoretis dan penjelasan-penjelasan konseptual termutakhir tanpa bisa mengembalikan imajinasi-imajinasi ekonomi-politik yang berpijak pada pengalaman sosio-historis yang konkret. Alhasil, mereka juga kerap jatuh sebagai penyeru pandangan-pandangan neo-institusionalisme atau pluralisme liberal.


Kesimpulan

Penting untuk ditekankan kembali di sini bahwa kegagalan kelas menengah reformis dalam mempertahankan demokrasi sebagian besar disebabkan oleh watak aktivisme borjuis-liberal yang bertumpu pada dorongan-dorongan perubahan institusional serta perlawanan-perlawanan yang sporadis terhadap kekuasaan. Mereka tak berkepentingan menuntut perubahan-perubahan yang lebih fundamental yang dipicu oleh konflik sosial besar, seperti revolusi. Secara terbatas, hal itu sangat mungkin juga berkaitan dengan kenyamanan sosial tertentu yang telah mereka nikmati sebagai kelas menengah, yang cenderung menghindari konflik dan memilih kompromi. Akan tetapi, kecenderungan semacam ini tidak bisa digeneralisasi berlaku bagi semua kelas menengah. Ia bukan semata cerminan posisi kelas dalam struktur masyarakat kapitalis seperti dikemukakan Coen. Selain bahwa sebagian besar kelas menengah cenderung konservatif, sebagian kecil dari mereka punya aspirasi politik yang radikal dan progresif. Pertanyaannya, mengapa meski berada dalam satu kategori kelas yang sama, mereka tak selalu mengambil peran sosial-politik yang seragam?

Untuk menjawab pertanyaan itu tak cukup hanya dengan merujuk pada penjelasan tentang hubungan antara posisi kelas dan kesadaran kelas. Tentu saja terdapat karakteristik universal yang membuat kelas menengah dikategorikan sebagai kelas menengah, yakni karena posisinya dalam relasi produksi berada di antara kelas atas pemilik alat produksi dan kelas bawah yang tidak memiliki alat produksi. Tapi bahkan untuk kelas bawah juga punya peran sosial-politik yang beragam. Perbedaan peran-peran sosial-politik dalam satu kategori kelas adalah produk sejarah konflik sosial masyarakat tempat kelas-kelas sosial itu dibentuk. Demikian pula dapat dikatakan bahwa dominannya aktivisme borjuis-liberal merupakan produk sejarah konflik sosial di Indonesia, terutama yang terjadi pasca pembantaian komunis 1965-66 yang menyebabkan ruang bagi artikulasi politik yang radikal-progresif sangat sempit, terbatas dan marginal. Aspek penting lainnya berkaitan dengan dominannya produksi pengetahuan yang diilhami oleh ilmu-ilmu sosial borjuis Weberian dan turunan-turunan teori modernisasi baik yang berkembang di dalam maupun di luar lembaga-lembaga pendidikan formal. Ilmu-ilmu sosial borjuis ini yang mengilhami banyak aktivis LSM dan akademisi menganut pandangan-pandangan seperti pluralisme liberal, neo-institusionalisme dan kulturalisme. Perspektif-perspektif ini tidak hanya mengilhami artikulasi politik reformis yang cenderung gagap dan penuh kontradiksi internal dalam merespons persoalan-persoalan kekuasaan, tetapi juga melahirkan pengetahuan-pengetahuan teknokratik yang justru tanpa disadari menjustifikasi sifat-sifat kekuasaan politik yang ditentang oleh kelas menengah reformis itu. 

Ketika para penganut pasca-strukturalisme dengan perangkat-perangkat konseptualnya yang canggih sering terjebakkegenitan teoretis dan berakhir menjadi seorang institusionalis atau kulturalis, para aktivis dan akademisi kiri yang terinspirasi dari teori-teori Marxisme tak juga mampu memberikan alternatif dari ilmu-ilmu sosial borjuis yang dominan itu. Banyak di antara mereka justru terjebak turut serta mereproduksi pengetahuan-pengetahuan teknokratik dan perspektif-perspektif ilmu sosial borjuis. Ini dengan jelas bisa diamati saat mereka juga tidak hanya turut menjustifikasi tetapi juga menjadi pendukung Jokowi paling militan dalam pemilihan presiden 2014 dan 2019. Hingga kini, meski Jokowi telah makin bertendensi otoriter, banyak aktivis kiri yang tetap setia menjadi bagian dan mendukung pemerintah walaupun mungkin menyadari bahwa tak banyak ruang yang tersedia untuk mendorong perubahan-perubahan radikal. Berada di dalam dan mendukung pemerintah tanpa sokongan basis gerakan sosial yang kuat sebenarnya juga menunjukkan kebuntuan analisis Marxisme dalam upaya memberi alternatif jawaban; dan karena itu sebagian dari pengusungnya memilih jalan pragmatis-oportunis.***


Abdil Mughis MudhoffirDosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta


Kepustakaan

Bourdieu, Pierre. 1986. Distinction: A social critique of the judgment of taste. London: Routledge and Kegan Paul.

Diamond, Larry. 1994. “Rethinking Civil Society: Toward Democratic Consolidation.” Journal of Democracy 5 (3): 4-17.

Friedman, L. M. 1969. ‘On Legal Development’. 24 Rutger L. Rev. 11.

Hadiz, V. R. 2013. ‘The Rise of Capital and the Necessity of Political Economy’. Journal of Contemporary Asia, 43 (2): 208-225.

Hadiz, Vedi. 2010. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective. California: Stanford University Press

Heryanto, A. 1996. ‘Memperjelas Sosok yang Samar’. Dalam Politik Kelas Menengah Indonesia, diedit oleh R. Tanter dan K. Young, ix-xxv. Jakarta: LP3ES.

Huntington, S. 1968. Political Order in Changing Society. Harvard: Harvard University Press.

Huntington, Samuel P. 1984. “Will More Countries Become Democratic?” Political Science Quarterly 99 (2): 193-218.

Liddle, R. 1991. ‘The Relative Autonomy of the Third World Politician: Soeharto and Indonesian Economic Development in Comparative Perspective’. International Studies Quarterly 35: 403–427.

Liddle, R. W. 2014. ‘Improving the Quality of Democracy in Indonesia: Toward a Theory of Action’. Dalam Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics, diedit oleh Michele Ford dan Thomas B. Pepinsky, 57-78. Ithaca, NY: Cornell Southeast Asia Program Publications 

Mietzner, Marcus. 2012. “Indonesia’s Democratic Stagnation: Anti-Reformist Elites and Resilient Civil Society.” Democratization19 (2): 209-229.

Mietzner, Marcus. 2015. “Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy and Political Contestation in Indonesia.” Policy Studies 72. Honolulu: East-West Centre. 

Moertopo, A. 1972. Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun. Jakarta: Yayasan Pancasila dan CSIS

Mudhoffir, A. M. 2021. Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi? https://projectmultatuli.org/aktivisme-borjuis-kelas-menengah-reformis-gagal/

Pontoh, Coen H. 2021. Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir. https://indoprogress.com/2021/06/menginvestigasi-kelas-menengah-tanggapan-untuk-abdil-mughis-mudhoffir/

Putnam, Robert D. 1993. Making democracy work: Civic traditions in modern Italy. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Robison, R. 1996a. ‘The Middle Class and the Bourgeoisie in Indonesia’. Dalam The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonald’s and Middle Class Revolution, diedit oleh D. Goodman dan R. Robison. Oxon: Routledge

Robison, R. 1996b. ‘Kelas Menengah sebagai Kekuatan Politik di Indonesia: Beberapa Problem Analitis’. Dalam Politik Kelas Menengah Indonesia, diedit oleh R. Tanter dan K. Young, 140-150. Jakarta: LP3ES

Smith, A. 2018. The Wealth of Nations.

Tanter, R., dan Young, K. 1990. The Politics of Middle Class Indonesia. Clayton, Victoria: Monash University.

Weber, M. 2013. Economy and Society. 

White, Gordon. 1994. “Civil Society, Democratization and Development (I): Clearing the Analytical Ground.” Democratization 1 (2): 375–390

Wood, E. M. 1981. ‘The Separation of the Economic and the Political in Capitalism.’ New Left Review 1 (127): 66-95. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.