Memahami Inflasi Dari Perspektif Marxis

Print Friendly, PDF & Email

PADA  bulan Februari 2013 ini, angka inflasi mencapai ditingkat 0,75 persen. Angka ini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), merupakan angka yang relative tinggi dalam 10 tahun terakhir. Tingginya angka inflasi ini, masih menurut BPS, ditenggarai karena adanya pembatasan beberapa komoditas dalam negeri ke negara lain. Begitu juga, karena pengetatan impor barang holtikultura sehingga harga komoditas menjadi naik.

Informasi mengenai inflasi akan selalu penting bagi rakyat pekerja Indonesia. Hal ini disebabkan karena inflasi berkonsekuensi pada kenaikan harga sehingga menyebabkan semakin sulitnya rakyat pekerja Indonesia dalam memenuhi kebutuhan keseharian mereka. Karena inflasi, upah nyata mereka menjadi tergerus sebab  harus mengikuti tingkat inflasi ini. Akhirnya, belanja kebutuhan dasar rakyat pekerja harus berkurang dan situasi ini akan membuat terjadinya penurunan kualitas hidup rakyat pekerja itu sendiri. Dari sini kita bisa melihat  bahwa inflasi memiliki keterkaitan yang sangat erat bagi kehidupan rakyat pekerja dalam epos kapitalisme sekarang.

Penjelasan yang seringkali digadang-gadang dalam presentasi pengetahuan dominan mengenai Inflasi, bahwa fenomena ini dipahami sebagai kenaikan tingkat harga barang dan jasa secara umum di sebuah sistem ekonomi masyarakat dalam rentang waktu tertentu. hal ini disebabkan oleh terjadinya kelebihan permintaan (excess demand) dibandingkan penawaran yang tersedia (supply). Kelebihan penawaran dalam sistem ekonomi membuat respon secara mekanis pada sisi penyedia untuk segera meningkatkan harga. Dalam hal ini, tingkat inflasi berimplikasi secara nyata pada kenaikan harga komoditas yang tersedia dalam sistem ekonomi yang ada. Walau terdengar masuk akal, namun penjelasan ini memiliki bias ideologis yang penting untuk dibongkar. Mekanisme permintaan dan penawaran bukanlah mekanisme yang berada di luar hukum kapitalisme, sehingga itu perlu ditelisik keberadaan relasi sosial produksi yang melingkupi kemunculan inflasi sebagai fenomena.

Dalam hal ini menjadi penting proyeksi pengetahuan anti-kapitalis dalam memahami inflasi. Walau ancaman inflasi sangat nyata bagi rakyat pekerja, elaborasi teoritis di kalangan gerakan Kiri/Marxis Indonesia mengenai karakter umum inflasi dan bagaimana inflasi bekerja dalam kapitalisme, belum banyak dilakukan. Kegagalan untuk memberikan terobosan paradigmatis dalam upaya menjelaskan inflasi dalam kaitannya dengan kritik ekonomi politik terhadap kapitalisme akan membuat gerakan Kiri kehilangan posisi strategis-politisnya. Dalam artian, gerakan Kiri belum memiliki kapasitas yang cukup untuk menjadikan dirinya sebagai alternatif konkrit dari permasalahan yang dihadapi rakyat pekerja sekarang. Di sini kemudian ‘kekosongan’ paradigmatik ini akan diisi oleh berbagai macam oportunisme pengetahuan borjuasi yang reaksioner, yang pada dasarnya hanya akan melemahkan kapasitas perjuangan rakyat pekerja untuk menumbangkan kapitalisme sekarang.

Artikel ini pada dasarnya akan memberikan pintu masuk yang penting mengenai bagaimana Marxisme, sebagai agenda politik intelektual rakyat pekerja, berupaya untuk menjelaskan inflasi. Artikel ini dimulai dengan eksposisi umum mengenai bagaimana inflasi dijelaskan dalam pendekatan ekonomi arus-utama (baik dari posisi Keynesian maupun Neo-Klasik), yang merupakan penjelasan ekonomi yang ‘ada’ (!) di Indonesia. Artikel ini juga akan mengeskplitisasi implikasi prkatis dari pendekatan ekonomi arus-utama, khususnya implikasi dari politik kelas borjuasi dalam penjelasan inflasi yang ada sekarang. Setelah itu akan dimunculkan alternatif penjelasan yang berasal dari tradisi ekonomi klasik/Marxian tentang inflasi. Upaya ini sangat penting untuk melakukan demistifikasi pengetahuan ekonomi yang selama ini didominasi oleh pendekatan arus-utama, sekaligus memperluas horizon praktis mengenai kebijakan ekonomi yang mungkin dalam mendukung posisi politik rakyat pekerja.

Konsepsi Ekonomi Arus-utama tentang Inflasi dan Implikasi Politik-Kelasnya

Saat ini paradigma yang masih mendominasi dalam menjelaskan inflasi berasal dari posisi Keynesian dan Neo-Klasik. Kita tidak boleh terkecoh oleh dua perbedaan posisi ekonomi ini. Walau di beberapa proposisi utama dua pendekatan ini seakan saling berseberangan, namun secara prinsipil kedua pendekatan ini mempunyai dasar asumsi yang sama bahwa ekonomi kapitalisme yang dihidupi sekarang sudah merupakan hal yang terberi (given). Yang jadi perbedaan di antara mereka adalah bagaimana memahami keterberian dari kapitalisme itu sendiri. Keynesian berpendapat bahwa kapitalisme dalam rangka bekerja optimal sesuai dengan hukum-hukumnya diperlukan mekanisme eksternal di luar mekanisme pasar yang dikenal dengan intervensi Negara.

Pendekatan ekonomi arus-utama yang pertama kali berupaya secara sistematis memproblematisasi inflasi adalah pendekatan monetaris-neoklasik. Berasal dari kata moneter atau uang, pendekatan ini menempatkan uang sebagai titik utama penjelasannya. Berangkat dari bangunan teoritis Milton Friedman (1953), pendekatan ini melihat akar permasalahan inflasi dalam kaitannya dengan hukum permintaan dan penawaran dalam kondisi ekonomi yang seimbang (ekuilibrium). Monetaris memulai penelusuran atas inflasi dengan kritik mereka terhadap trend pemikiran ekonomi Keynesian. Menurut mereka, kecenderungan aktivisme Negara melalui intervensi pemerintah adalah penyebab terjadinya inflasi.

Penolakan monetaris dimulai dari temuan mereka bahwa intervensi ekonomi yang dilakukan pada pasca PD II sampai dengan tahun 1970an, justru menciptakan stagflasi. Stagflasi dalam artian ekonomi pada saat itu tidak bertumbuh (stagnan) sekaligus menciptakan inflasi. Dalam hal ini  mereka berpendapat bahwa intervensi pemerintah dalam mendorong peningkatan permintaan rata-rata melalui penciptaan ‘lapangan kerja penuh’ (full employment) telah mendorong disinsentif bagi perekonomian secara keseluruhan. Sebabnya, intervensi pemerintah dalam menciptakan permintaan rata-rata telah menciptakan peningkatan suplai uang di masyarakat. Terlalu banyak suplai uang di masyarakat membuat nilai uang mengalami penurunan. Penurunan atas nilai uang kemudian membuat terjadinya inflasi, karena nilai uang yang ada tidak lagi sesuai dengan harga komoditas yang telah ada sebelumnya.

Penjelasan yang lebih sistematis mengenai implikasi penciptaan ‘lapangan kerja penuh’ terhadap inflasi dapat dilihat pada teori Kurva Philip. Teori ini adalah temuan dari ekonom Selandia Baru William Philip, yang pada tahun 1958 imempublikasi artikel yang berjudul The Relation Between Unemployment and the Rate of Change of Money Wage Rate in the United, 1861-1957. Dalam artikel ini, Philip berpendapat bahwa ada korelasi yang negatif antara tingkat pengangguran dengan tingkat inflasi. Semakin tinggi tingkat pengangguran maka tingkat inflasi semakin rendah, dan begitu juga sebaliknya. Terlepas dari banyak kritik monetaris itu sendiri bahwa kurva Philip terlalu sederhana, namun kurva Philip menjadi dasar kritis kaum monetaris terhadap impian Keynesian untuk menciptakan masyarakat ekonomi, di mana seluruh orang diperkenankan bekerja melalui kebijakan Negara, adalah berbahaya bagi ekonomi itu sendiri.

Walau terkesan anti Negara, kalangan monetaris masih berharap pada fungsi Negara, khususnya pada peran regulator yang dimilikinya. Peran regulator ini terletak pada keberadaan institusi Bank Sentral. Signifikansi Bank Sentral dalam kerangka kerja monetaris dikarenakan Bank Sentral yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan uang. Kapasitas Bank Sentral ini menjadi penting, sebab jika Bank Sentral dapat bekerja dalam kerangka permintaan-penawaran yang seimbang (ekuilibrium), maka masalah kelebihan uang dimasyarakat dapat diatasi. Dalam Money, Inflation and Constitutional Position of the Central Bank (2003), Milton Friedman dan Charles A. E. Goodhart berpendapat bahwa keberadaan Bank Sentral yang independen adalah krusial dalam menciptakan keseimbangan ini. Bagi mereka, kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Sentral dapat menciptakan kestabilan tingkat harga. Kestabilan tingkat harga kemudian akan mampu mengatasi masalah inflasi.

Namun perlu dicatat bahwa penjelasan ini tidak benar-benar menggambarkan bagaimana perspektif ekonomi arus-utama kemudian menjadi ide yang hegemonik dalam ekonomi. Keterbatasan utama dari monetaris adalah mereka masih membutuhkan aspek non-moneter agar prinsip kerjanya dimungkinkan untuk operasional. Upaya untuk melakukan stabilisasi atas tingkat harga tidak hanya dapat dilakukan melalui kebijakan moneter, namun juga harus melalui kebijakan fiskal. Dalam hal ini, lalu terjadi ‘aliansi kotor’ antara Monetaris-Neoklasik dengan Keynesian. karena instrumen utama Keynesian adalah dengan melakukan optimalisasi kebijakan fiskal dalam mendorong pengeluaran Negara. Sebagai contoh, dapat dilihat pada bagaimana modus dominan pemerintah Neoliberal sekarang untuk melakukan stabilisasi harga. Walau pihak Bank Sentral telah banyak melakukan peningkatan tingkat suku bunga, namun upaya ini tidak selalu mencukupi. Salah satu cara untuk mengatasi ketidakcukupan respon moneter ini adalah dengan menciptakan defisit anggaran pemerintah, sehingga akan ikut meningkatkan tingkat suku bunga karena pemerintah mulai membutuhkan pembiayaan di luar anggaran yang ada. Peningkatan suku bunga ini sendiri disebabkan oleh karena adanya permintaan investasi terhadap Negara tersebut. Di sini kemudian terjadi mobilisasi uang dari masyarakat untuk membeli surat utang pemerintah (obligasi Negara), karena investasi terhadap pemerintah akan dianggap menguntungkan.

Implikasi praktis yang buruk bagi kehidupan rakyat pekerja dari penjelasan inflasi versi ekonomi arus-utama ini  adalah dikeluarkannya relasi sosial produksi dalam presentasi pengetahuannya. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, karena inflasi memiliki hubungan terbalik dengan tingkat pengangguran maka upaya untuk menciptakan situasi ‘lapangan kerja yang penuh’ bukanlah orientasi utama dalam kebijakan ekonomi. Yang harus dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang lapangan pekerjaan adalah dengan menempatkan relasi kerja ke dalam mekanisme pasar. Karena kepercayaan akan ekuilibrium ekonomi, maka pasar menjadi instrumen yang penting untuk melakukan alokasi yang efektif dan efisien tenaga kerja. Dalam hal ini kemudian ide mengenai ‘fleksibilitas pasar tenaga kerja’ dengan praktik tenaga kerja kontrak dan alih-daya menjadi fungsional. Menurut monetaris, ketika seluruh pasar berada dalam keseimbangan, semua pekerja dimungkinkan untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Oleh karena itu monetaris akan berpendapat bahwa setiap pengangguran adalah sukarela karena pasar tenaga kerja yang ada sudah pasti akan secara optimal mendistribusikan penawaran tenaga kerja yang tersedia. Suatu hal yang sudah tentu bertentangan dengan realitas yang ada sekarang, dimana orang justru semakin sulit mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan aspirasinya dalam kerangka kerja monetaris sekarang ini.

Implikasi lain yang tidak kalah problematik bagi rakyat pekerja adalah fungsionalitas defisit anggaran bagi pengentasan inflasi. Defisit anggaran menjadi justifikasi rasional bagi rezim yang berkuasa untuk melakukan pengetatan dalam pengeluaran anggaran. Karena penyusunan anggaran kemudian harus memperhatikan tingkat hutang yang telah dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini terbuka kemungkinan untuk dilakukannya privatisasi dan deregulasi ekonomi guna mereduksi pengeluaran publik. Dalam hal ini, kita dapat menemukan bahwa upaya untuk mengatasi inflasi justru dilakukan dengan melakukan deprivasi besar-besaran rakyat pekerja secara sistematis oleh kelas borjuasi yang berkuasa.

Pendekatan Marxian Tentang Inflasi dan Implikasinya Politik-Kelasnya

Penjelasan Marxian mengenai inflasi selalu menempatkan relasi sosial produksi dalam kerangka kerja presentasi pengetahuannya. Hal ini berangkat dari tradisi ekonomi klasik  (tradisi Smith-Ricardo-Marx) yang mengasumsikan bahwa aktifitas ekonomi ditentukan oleh kerja manusia. Tradisi ekonomi klasik disempurnakan sistematika presentasinya dalam penjelasan Karl Marx atau dikenal dengan tradisi ekonomi Marxian. Dalam hal ini, saya akan menganggap bahwa sistem pemikiran ekonomi Marxian adalah penyempurnaan dari tradisi ekonomi klasik yang telah ada sebelum Marx.

Proposisi Marx menempatkan relasi sosial produksi dalam kerangka kerja kapitalisme. Namun tidak seperti kalangan neoklasik yang memahami  kapitalisme dengan situasi ekonomi ekuilibrium, proposisi Marx tentang kapitalisme adalah proposisi sistem disekulibrium dimana keseimbangan ekonomi kapitalis adalah hasil dari ketidakseimbangan inheren dalam kapitalisme itu sendiri. Ketidaksetimbangan relasi dalam kapitalisme ditunjukkan dengan adanya ketimpangan relasi kelas antara mereka yang memiliki alat produksi dan mereka yang tidak memiliki alat produksi. Selain itu,  ketidaksetimbangan itu juga adalah bagian dari relasi kompetitif antar borjuasi. Relasi kompetitif ini tidak dapat dipahami seperti pemahaman neoklasik tentang kompetisi sempurna dimana borjuasi secara pasif menerima mekanisme pasar, namun pemahaman Marx tentang kompetisi nyata dalam kapitalisme adalah kelas borjuasi akan menggunakan segala daya upaya secara aktif untuk bisa memperluas dan memperbanyak akumulasi (Shaikh, 1980). Implikasi dari pemahaman disekulibrium ekonomi kapitalis terhadap penjelasan inflasi, yakni melihat bahwa inflasi merupakan i gejala dinamis dari disekuilibrium ekonomi atau biasa disebut dalam terminologi Marxis sebagai Kontradiksi kapitalisme.

Inflasi dalam penjelasan Marxian, karena itu, harus ditempatkan dalam hubungannya dengan produksi komoditas dalam kapitalisme. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, inflasi merupakan fenomena tentang kenaikan harga komoditas secara umum. Pertanyaan Marxian tentang inflasi kemudian, apa yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga komoditas secara umum ini? Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, kapitalisme dalam pendekatan Marxian dipahami sebagai suatu situasi disekuilibrium. Relasi eksploitasi kelas dan kompetisi antar borjuasi adalah bagian dari hukum dasar kapitalisme untuk selalu mendorong akumulasi keuntungan. Anwar Shaikh (1999) berpendapat bahwa akumulasi berkelanjutan memerlukan pertumbuhan terus menerus dan, mengutip Marx (1981), tingkat pertumbuhan yang berkelanjutan muncul ketika semua nilai-surplus diinvestasikan kembali dimana tingkat pertumbuhan sama dengan tingkat keuntungan. Sekarang, anggaplah dalam periode tertentu terdapat kelebihan permintaan  bersamaan dengan pengangguran. Kelebihan permintaan ini kemudian akan menstimulasi pertumbuhan output dan modal serta mengurangi tingkat pengangguran. Namun proses ini tidak akan berlangsung secara terus menerus karena pertumbuhan keuntungan ini pada titik tertentu akan berbenturan dengan tingkat maksimum pertumbuhan yang berkelanjutan dengan kondisi produksi yang tersedia. Dalam hal ini terjadi benturan antara pertumbuhan output produksi dengan akumulasi keuntungan secara terus menerus.

Benturan inilah yang kemudian mendorong terjadinya inflasi. Output produksi kapitalisme secara keseluruhan tidak mampu untuk memenuhi tingkat keuntungan yang diharapkan. Dalam kosakata Marxian maka inflasi dikondisikan karena kecilnya rasio komposisi organik kapital, dimana kapital konstan (mesin, bahan baku dan lain-lain) lebih kecil nilainya jika dibandingkan dengan kapital variabel (gaji, upah, kompensasi pekerja). Kecilnya rasio komposisi organik kapital menyebabkan rendahnya produktifitas ekonomi dalam rangka memproduksi komoditas. Kegagalan untuk menciptakan kapitalisme yang produktif dengan tingkat investasi alat-produksi yang lebih maju dibanding sebelumnya, paka akhirnya meperkecil ruang untuk penentuan harga yang lebih murah karena sedikitnya suplai komoditas yang diproduksi berbanding dengan permintaan akan komoditas tersebut . Dalam hal ini kemudian borjuasi secara keseluruhan harus menaikkan harga komoditas agar tetap mendapatkan keuntungan.

Penjelasan ini lebih mampu untuk memberikan pemahaman mengenai mengapa pada periode ekonomi tertentu turunnya tingkat keuntungan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan pengangguran dan pada saat yang bersamaan meningkatkan tekanan inflasi. Dari penjelasan ekonomi arus-utama, dua hal tersebut tidak dapat muncul secara simultan karena pengangguran dan inflasi berkorelasi negatif. Namun, bagi pendekatan Marxian, hal ini dimungkinkan semenjak upaya untuk mengatasi rendahnya komposisi organik kapital adalah dengan melakukan pengurangan atas pekerja. Namun upaya ini tidak selalu berhasil karena alat produksi yang tersedia masih dalam kapasitas produksi yang sama yang kemudian dalam jangka pendek masih memungkinkan untuk terjadinya inflasi.

Implikasi praktis dari pendekatan Marxian dalam memahami inflasi adalah pentingnya upaya sosialisasi alat produksi dalam mengatasi inflasi. Kegagalan kelas borjuasi untuk meningkatkan  nilai kapital konstan membuktikan bahwa dalam konjungtur perkembangan kapitalisme tertentu, kelas borjuasi tidak mampu menjalankan fungsi ‘revolusionernya’ untuk melakukan revolusionarisasi alat produksi. Kegagalan untuk meningkatkan kapasitas alat-alat produksi tersebut berimplikasi secara struktural terhadap seluruh kelas yang hidup dalam kapitalisme. Dalam hal inilah dorongan struktural untuk mengambil-alih alat-alat produksi oleh kelas pekerja dapat merupakan jawaban untuk mengatasi maraknya inflasi.

Penutup

Inflasi adalah konsep yang terkontestasi. Kontestasi ini bukan karena ia adalah konsep yang kosong yang dapat diisi oleh kepentingan apapun, namun ia adalah suatu konsep yang dengan sendirinya akan selalu bias dengan kepentingan kelas. Keberadaan penjelasan ekonomi arus-utama mengenai inflasi adalah bukti bahwa bias ideologis posisi kelas tertentu akan mempengaruhi bangunan teoritis sampai dengan implikasi prkatis dari konsep tersebut. Namun, bukan berarti situasi ini dapat bertahan terus-menerus. Inkonsistensi serta bias  kelas akan menciptakan adanya kebutuhan untuk memberikan penjelasan yang lebih menyeluruh dan konsisten mengenai inflasi itu sendiri. Dalam hal inilah pendekatan Marxian menjadi jawaban untuk memenuhi kebutuhan ini.

Namun lebih daripada itu, pendekatan Marxian memiliki proyeksi pengetahuan yang lebih besar dibandingkan kesuksesan untuk menjelaskan situasi. Pendekatan ini juga berupaya secara praktis memberikan petunjuk mengenai kemungkinan praktik radikal untuk mengatasi inflasi dalam konfigurasi kapitalisme sekarang. Oleh karena itu, adalah penting untuk terus menerus memperbaiki aparatus teoritis pendekatan Marxian melalui kajian serta riset terus menerus agar upaya untuk memahami masalah inflasi secara jernih justru menjadi kesempatan kita untuk menumbangkan kapitalisme sekali dan untuk selamanya.

*Muhammad Ridha, Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP).

Daftar Pustaka

Friedman, Milton (1953), Essay in Positive Economy (Chicago, Chicago University Press)

Friedman, M. & Goodhart, C. A. E. (2003), Money, Inflation and Constitutional Position of the Central Bank (London, The Institute of Economic Affair).

Marx, Karl. (1981) Capital: Critique of Political Economy vol. 3 (London, Penguin Books)

Philip, William (1958), ‘The Relation Between Unemployment and the Rate of Change of Money Wage Rate in the United, 1861-1957,’ Economica, New Series, Vol. 25, No. 100 (Nov., 1958), pp. 283-299

Shaikh, Anwar (1980), ‘Marxian Competition Versus Perfect Competition: Further Comments on the So-Called Choice of Technique,’ The Cambridge Journal of Economics, No.4.

Shaikh, Anwar (1999), ‘Explaining Inflation and Unemployment: An Alternative to Neoliberal Economic Theory,’ in Contemporary Economic Theory, Andriana Vachlou (ed.) (Macmillan, London).

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.