Mengutip Remah Orde Baru
Sebuah catatan—sekaligus advertorial—tentang “Simposium Orde Baru: Cara Orde Baru Menciptaken Manusia Indonesianya” dalam rangka ORDE BARU OK. VIDEO: INDONESIA MEDIA ARTS FESTIVAL BERTO TUKAN melangkah
HomeYovantra Arief
Sebuah catatan—sekaligus advertorial—tentang “Simposium Orde Baru: Cara Orde Baru Menciptaken Manusia Indonesianya” dalam rangka ORDE BARU OK. VIDEO: INDONESIA MEDIA ARTS FESTIVAL BERTO TUKAN melangkah
Makalah ini pernah disampaikan dalam diskusi “Keruntuhan Kritik Sastra di Era Populer” di UIN Badung “Akhir-akhir ini kita dipekakkan oleh perkataan krisis. Krisis ini
EMPAT puluh delapan jam terjaga, pembuluh darah dijejali kafein dan nikotin, terdampar di warung waralaba di ketiak jalan Raden Saleh sambil sesekali mengecup bibir pilsener
/1/ /puisi malam/ Seorang kekasih tidur dengan mata terbuka, Tangan terluka. “Kenapa?” tanya lelaki yang kebetulan lewat di depan kamar kosnya. “Entah,” igau kekasih itu.
TIM dan DKJ adalah salah satu bukti paling jelas bahwa humanisme universal telah menjadi semangat seni arus utama. Dengan memberi tempat pada humanisme universal, sesungguhnya Orde Baru melakukan sensor secara halus dan tanpa biaya tinggi. Untuk apa menyensor seni yang apolitis—seni yang peduli setan dengan politik?
Ada baiknya tulisan ini dimulai dengan sedikit curhat. Ada beberapa hal yang meresahkan benak saya belakangan ini. Saya bisa menyebutkan beberapa—pengaturan waktu antar pekerjaan paruh waktu yang makin rumit, tuntutan keluarga yang makin menjepit, musibah yang menimpa kawan-kawan yang membuat pusing tujuh keliling, dompet busung lapar, kuliah yang terbengkalai, kura-kura peliharaan yang jatuh sakit, sampai romansa yang jejumpalitan lalu menenggak Baygon sambil terjun dari pucuk Monumen Nasional. Barangkali masalah yang paling relevan buat perbincangan kita kali ini adalah sebuah pertanyaan yang cukup memeras waktu dan pikiran saya belakangan.
Kritik sastra adalah produk budaya modern; bukan sesuatu yang lahir dari kebudayaan-kebudayan lokal atau nasional Indonesia. Namun kebudayaan Indonesia memiliki semacam ‘basis material’ yang memungkinkan kritik sastra modern itu bisa tumbuh. Kritik sastra di Indonesia tidak bekerkembang dari ruang kosong; bukan tiba-tiba saja orang-orang bule datang dan ‘menghadiahkan’ kritik sastra pada pribumi, melainkan juga karena dalam kultur pribumi sendiri, ada lahan yang memungkinkan bibit-bibit kritik sastra untuk bersemai.
‘Basis material’ dari kritik sastra Indonesia modern adalah, pertama-tama, bahwasanya kritik adalah sesuatu yang internal dalam sastra itu sendiri. Tentu hal ini tidak berlaku secara general; tidak semua karya sastra merupakan kritik. Rumusan ini setidaknya menunjukkan bahwa sastra pada dirinya sendiri memiliki kemungkinan untuk menjadi kritik dan, dalam berbagai karya, ia menjelmakan kemungkinan itu. Imanensi kritik dalam sastra ini mengemuka dalam dua modalitas; pertama, ia adalah kritik atas realitas, dan kedua, ia adalah kritik atas karya yang lain. Dalam modalitas pertama, sastra tampil dalam relasinya dengan realitas sosial yang melatari sekaligus memungkinkannya, mengenali kontradiksi-kontradiksi yang inheren di dalamnya, untuk kemudian memformulasikannya dalam bentuk sastrawi. Dalam modalitas kedua, kritik (yang internal) dalam sastra merupakan rentetan relasi internal dalam semesta sastra itu sendiri; dicirikan oleh oposisi suatu karya dengan karya yang lain. Karena aktivitas sastrawi menyangkut produksi dan reproduksi makna, maka konfigurasi oposisi itu tidak sepenuhnya bergantung pada kontradiksi spesifik yang melahirkan mereka, melainkan terutama dipengaruhi oleh situasi sosial tertentu yang menuntut pemaknaan tertentu pula.
Ada beberapa hal yang bisa dikritik dari Marx. Tentu, Franz-Magnis Suseno pun mengakui, Marx hanya manusia biasa, bukan Tuhan, dan—kita hanya perlu merujuk pada kapasitas Fraz-Magnis sebagai seorang pastor dalam hal ini—ia punya banyak salah dan dosa. Bangunan teoretisnya pun—lagi, seturut mazhab Jesuit—bertanggung jawab atas melayangnya jutaan nyawa manusia (sebagai orang beriman, Franz-Magnis melihat kematian sebagai takdir, dus “tanggung jawab” Tuhan), kemelaratan (lagi, ini semata-mata takdir), serta kekejaman (please, Tuhan memusnahkan Sodom dan Gomorrah hanya karena mereka gay!) di seantero dunia. Dengan demikian, Marx salah bukan hanya karena ia ingin membangun “kerajaan Allah” di muka bumi—suatu pekerjaan yang mustahil dan bahkan, jika kita hidup di abad pertengahan, menghina Tuhan—melainkan juga karena ia telah menghabiskan hidupnya untuk mengajarkan paham ekonomi-politik yang tidak manusiawi—dan kita tahu, dengan segala ke-maha-annya, Tuhanlah yang paling tidak manusiawi.
Orang tua Sabit adalah pasangan pegawai negeri yang sedang mengejar karir. Dengan tuntutan pekerjaan, keadaan ekonomi simpang siur dan kerja sampingan, mereka tidak punya waktu untuk memberi perhatian yang cukup untuk Sabit. Bocah kecil itu tidak mengendus persekongkolan di depan hidungnya: suatu pagi yang buta tahun 1997, mereka bertiga tiba di Sidoarjo. “Menjenguk Kakek,” kata ibu. Sabit senang berplesir. Kakek membawanya ke pasar lalu jalan-jalan di alun-alun kota dengan vespa biru muda. Pakde Broto mengajarkan naik sepeda dan Mbak Dian menemani bermain layangan. Ia tidur nyenyak dan bahagia malam itu.
Tidak seperti biasanya, petang itu terasa aneh. Kami hanya bertemu beberapa orang saja dari anggota SENJA. Kami menunggu satu atau dua jam, berharap yang lain segera berkumpul seperti biasanya. Tapi, rupanya itu penantian yang sia-sia. Sungguh berbeda dengan waktu-waktu yang lalu ketika kampi mampir ke tempat ini, dimana dalam hitungan menit tempat ini sudah penuh sesak oleh mereka yang mampir dan nongkrong.
‘Kalau mau ketemu, kawan-kawan jangan hari Sabtu, bung. Itu haram. Hari sabtu pasti pada ngelayap ke mana-mana. Istilahnya, hari itu hari mereka untuk kejar setoran,’ ujar Heri Sunandar, koordinator SENJA saat ini.
Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.