Tidak Ada Kiri dalam Pemilu Indonesia
Jelang Pemilihan Presiden 2024, prospek partai politik berhaluan kiri terus menyusut. Kesenjangan sosial yang sudah gawat di negeri ini kemungkinan besar akan terus memburuk sekaligus diabaikan.
Jelang Pemilihan Presiden 2024, prospek partai politik berhaluan kiri terus menyusut. Kesenjangan sosial yang sudah gawat di negeri ini kemungkinan besar akan terus memburuk sekaligus diabaikan.
PASCA runtuhnya rezim Orde Baru Soeharto, Indonesia memasuki satu tahapan baru dari perkembangan kapitalisme, yakni tahap kapitalisme-neoliberal. Tahapan ini mensyaratkan pergeseran peran negara ke arah yang lebih melayani kepentingan produksi dan reproduksi kapital, ketimbang beperan sebagai pelayan kepentingan publik.
Dalam pergeseran fungsi negara itu, demokrasi lantas hanya menjadi kendaraan bagi elite untuk mengukuhkan kekuasaan oligarkisnya, dan membendung bangkitnya kekuatan rakyat yang independen, dengan memainkan isu-isu berlatar etnis dan keagamaan. Melalui isu-isu berbasis identitas ini, keresahan rakyat akibat penerapan kebijakan neoliberal yang dikemudikan oleh oligarki dikanalisasi ke jurusan sektarianisme sekaligus dibonsai perkembangan kesadaran kelasnya. Konflik yang berkembang lantas menjadi konflik horisontal.
SALAH SATU tema penting dan kontroversial tapi tidak mendapatkan pembahasan yang utuh dari Karl Marx, adalah tema tentang Negara. Dalam Manifesto Komunis, tema ini muncul
BEGITU berkuasa, Orde Baru dengan cepat mengambil kebijakan yang keras terhadap organisasi Islam secara umum. Alasannya sangat jelas: dengan disingkirkannya komunis, Islam politik menjadi satu-satunya kekuatan di Indonesia yang memiliki potensi untuk memobilisasi diri. Munculnya kekuatan Islam yang terorganisir dengan basis akar rumput yang kuat, jelas menentang logika dasar Orde Baru – yang memulai pembangunan kapitalis di atas basis stabilitas sosial yang muncul melalui politik demobilisasi masyarakat secara luas.
Bahwa Islam yang terorganisir kemudian menjadi sasaran utama, terlihat ketika wadah pemilu kaum Muslim, Parmusi, ditolak keberadaannya pada akhir 1960an. Penolakan ini mungkin disebabkan mereka dianggap sebagai pesaing serius yang potensial bagi Golkar, alat yang digunakan Orde baru untuk menjamin sukses pemilu selama lebih dari tiga dekade. Sebagai alternatifnya, rejim Orde Baru secara artifisial membentuk partai lain bagi kalangan Muslim, yang disebut PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Partai ini berfungsi layaknya sebagai wadah pemilu “kalangan Islam” tapi, barang bikin-bikinan inipun, dengan berbagai cara, dipersulit aktivitasnya. Tujuannya, untuk meredam popularitasnya di kalangan rakyat pemilih.
Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.