Iqra Anugrah

Sesat Pembangunan ala Bank Dunia di Asia Tenggara

PEMBANGUNAN adalah tema yang kerap kali muncul dalam diskursus teoretik Marxisme dan kritik pembangunan serta gerakan Kiri. Tetapi, pasca kelemahan dan kritik atas teori-teori ketergantungan (dependency theories), kritik atas pembangunan pun mulai dipertanyakan validitasnya atas nama ‘obyektivitas pengetahuan.’ Tidak ada alternatif lain, there is no alternative, di luar kapitalisme dan fundamentalisme pasar. Sebagai hasilnya, praktek-praktek ala institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank) dianggap sebagai satu-satunya jalan mujarab menuju kemajuan dan kemakmuran. Tapi benarkah?

Kembali Menengok Revolusi Mesir dan Problematikanya

Tanpa bermaksud menggurui, mungkin kondisi Mesir sekarang bisa menjadi semacam momen reflektif bagi gerakan rakyat di Mesir dan di berbagai tempat lain. Rakyat Mesir memang berhasil dalam eksperimennya melampaui keterbatasan transisi demokrasi dan kerangka demokrasi liberal menuju sebuah bentuk demokrasi yang lebih radikal. Namun, mungkin mobilisasi massa saja tidak cukup; kita perlu melangkah (sedikit) lebih jauh lagi dari situ. Ini juga yang disampaikan oleh Tariq Ali (2013) dalam pesan videonya kepada para demonstran dan aktivis #OccupyGezi. Di tengah fragmentasi gerakan rakyat dan oposisi di Mesir dalam berbagai tendensinya (sekuler, liberal, nasionalis, kiri dan lain-lain), kepemimpinan politik dan bentuk-bentuk lain dari pengorganisasian menjadi penting, apalagi jikalau gerakan rakyat ingin merebut negara dan mentransformasikan logikanya, di tengah-tengah proses revolusi dan demokratisasi yang rawan ‘dibajak’ untuk menjadi permainan elit.

Estetika dan Kritik Sosial dalam Karya-karya Oscar Wilde (Bagian 1)

Siapakah Oscar Wilde? Pembahasan atas kehidupan pribadinya yang bohemian dan flamboyan terutama hubungannya dengan Lord Alfres Douglas yang juga membuat dia dipenjara seringkali mengalihkan perhatian khalayak dan menimbulkan kesalahpahaman atas karya-karyanya. Namun, tentu saja ada beberapa hal menarik yang dapat kita kaji dari karya-karya salah satu penulis Anglo-Irlandia paling terkemuka yang juga salah satu seniman aliran estetik-dekaden paling terdepan ini.

Belajar Dari Yunani

Di tengah-tengah kondisi Yunani yang seperti ini, Syriza hadir sebagai representasi politik dengan tuntutan paling radikal sekaligus realistis bagi Yunani. Syriza sebagai koalisi dari berbagai partai, gerakan sosial dan elemen gerakan Kiri di Yunani, sesungguhnya memiliki sejarah yang tidak singkat. Dalam sebuah pidatonya, Sotiris Martalis (2013), anggota Internationalist Workers Left atau DEA, salah satu organisasi pendiri dan pendukung Syriza berhaluan Trotskyis, sejarah Syriza sendiri bermula dari tahun 2001 sebagai upaya dari berbagai organisasi Kiri dengan berbagai macam tendensinya dan Synapsismos, partai Kiri yang merupakan partai terbesar dari koalisi Syriza yang juga dipimpin oleh Alexis Tsipras, yang sekarang menjadi pemimpin dari Syriza. Dalam upayanya untuk bertahan dalam kontes politik elektoral di Yunani sekaligus menyuarakan aspirasi dari rakyat Pekerja, menurut Martalis, Syriza berhasil melakukan berbagai strategi yang rupanya cukup efektif. Pertama, Syriza berhasil menyatukan dan menjembatani berbagai organisasi dan elemen gerakan Kiri dengan berbagai tendensinya dalam satu wadah. Dengan kata lain, Syriza berhasil mengatasi persoalan fraksionalisasi gerakan yang seringkali terjadi di gerakan Kiri dan progresif. Kedua, Syriza berhasil menyambut momentum politik pasca krisis ekonomi di Yunani yang mendorong berbagai komponen gerakan rakyat, mulai dari petani, buruh, anak muda dan lain-lainnya untuk melakukan aksi-aksi massa dan protes yang juga bertepatan dengan gerakan Pendudukan (Occupy) global. Syriza dianggap sebagai wadah politik yang dapat menyalurkan aspirasi rakyat Yunani yang termarginalisasi oleh krisis ekonomi sekaligus kebijakan teknokratis di Yunani dan Eropa. Ketiga, di saat yang bersamaan, Syriza juga tetap berkomitmen terhadap penggunaan mata uang Euroa sekaligus keanggotan Yunani di Uni Eropa. Menurut Syriza, yang seharusnya menjadi fokus perjuangan adalah kebijakan ekonomi yang lebih demokratis pasca diberlakukannya kebijakan ekonomi pemangkasan yang teknokratis alih-alih keluar dari Uni Eropa atau Eurozone – suatu hal yang juga dikampanyekan oleh beberapa kelompok elit di Yunani demi kepentingan mereka sendiri.

Rakyat Jelata, Sejarah dan Perjuangan

Di saat hiruk-pikuk dan gegap-gempita ucapan belasungkawa, transaksi politik dan proses saling dukung mendukung, serta manuver-manuver politik menjelang ajang pemilu, kita menyaksikan betapa semakin langkanya pemberitaan mengenai rakyat miskin yang meninggal karena kelaparan, buruh yang mengalami ketidakadilan kerja, kaum tani yang dirampas haknya, hingga kelompok minoritas keagamaan yang terusir dari rumah ibadah dan kampungnya sendiri. Tuduhlah saya sebagai seorang romantik, namun saya pikir kita patut kesal terhadap keadaan ini. Karena itu selama koran, televisi dan media masih melaporkan pertumbuhan dan bukannya kesenjangan ekonomi, naik-turunnya harga saham dan bukannya harga-harga kebutuhan pokok, upacara dan penghargaan para pejabat dan bukannya pelanggaran atas hak-hak sipil dan politik warga biasa dan menganggap kemiskinan serta pelanggaran HAM sebagai statistik belaka, maka kita patut kesal – dan karenanya kita, rakyat jelata, perlu menulis sejarah kita sendiri.

Muslim ‘Demokrat’ yang tunduk kepada Oligarki?

Tentu saya mengapresiasi komitmen berbagai kalangan kaum Muslim Demokrat Indonesia atas agenda-agenda politik progresifnya, seperti pembelaan terhadap kelompok minoritas keagamaan dan isu-isu sosial dan politik yang mendesak. Namun, menurut saya, mereka telah gagal dalam menganalisa permasalahan yang lebih besar dari berbagai permasalahan yang terkait dengan diskursus keagamaan di Indonesia, serta dalam memperjuangkan agenda demokrasi yang lebih luas, mendalam dan partisipatoris. Fenomena munculnya kelompok-kelompok vigilantis yang bernuansa kegamaan dan etnis, misalnya, tidak dapat disimplifikasi menjadi sekedar masalah ‘fundamentalisme versus moderatisme dan liberalisme Islam.’ Kita perlu melihat bagaimana sejarah dari berbagai kelompok tersebut, dampak transisi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi, serta perubahan pola politik kuasa dan patronase, serta aliran dana yang memungkinkan kelompok-kelompok tersebut terus aktif.

Agama, Politik dan Pembebasan

Keimanan dan nilai-nilai keimananan rupa-rupanya dapat menjadi sumber politik pembebasan, emansipasi dan solidaritas, jika dan hanya jika, nilai-nilai tersebut berhasil keluar dari ortodoksi dogma dan doktrin dan diterjemahkan dalam praksis perlawanan. Bagi sebagian orang, ide ini terdengar revolusioner. Namun, bagi sebagian yang lain, ini hanyalah pembenaran bagi aksi kemurtadan.

Iya, rupa-rupanya, agama dalam artiannya yang mencerahkan dapat menjadi sumber inspirasi politik pembebasan. Memang betul, agama bukan tanpa masalah, ada tendensi-tendensi konservatif dan reaksioner dalam beberapa bentuk penafsiran agama. Bahkan, sesungguhnya ide-ide apapun yang membawa janji-janji pencerahan dan emansipasi bisa terjebak dalam kemandekan dan dogmatisme. Dalam tradisi agama, kita menemukan bentuk-bentuk dogmatisme tersebut dalam praktek-praktek keagamaan ala abad pertengahan: mulai dari hasrat kekuasaan berbalut dalil teokratisme, pengerdilan makna agama jadi soal benar-salah dan boleh-tidak, hingga diskriminasi dan marginalisasi terhadap kelompok minoritas dan perempuan.

Awas, Bahaya Laten Militerisme!

LAPAS Cebongan, 19 Maret 2013. Segerombolan tentara menyerbu penjara itu. Dengan sekejap, mereka memaksa masuk, dengan satu tujuan untuk membalas dendam atas kematian seorang teman. Semua bermula dari sebuah keributan di sebuah kafe antara sekelompok preman dan seorang tentara, yang mengakibatkan digiringnya para preman itu ke penjara. Segera setelah menemukan para pelaku, para tentara itu segera menodongkan senjata mereka, dan kemudian menembak para pelaku. Hukum negara dan masyarakat beradab tidak lagi berlaku, digantikan oleh logika balas dendam, hukum-hukum kekuasaan dan aksi pengadilan sepihak. Tentu, semuanya dilakukan atas nama jiwa korsa.

Pelarangan Marxisme, Sebuah Kekonyolan Sejarah

Emansipasi, perlawanan dan Marxisme – bagi sebagian orang, tiga hal tersebut bagaikan minyak dengan air, apalagi bila ditambah dengan unsur keempat, yaitu tradisi dan agama. Namun, jikalau sempat, ada baiknya untuk melihat bagaimana sesungguhnya prinsip-prinsip ini dapat dirajut dalam kerangka Marxisme. Njoto (1962; 2003), salah satu penggerak PKI itu, menggambarkan dengan jelas mengenai prinsip-prinsip ini dalam karyanya, Marxisme: Ilmu dan Amalnya. Dalam buku tipisnya tersebut, Njoto menjelaskan secara detail sekaligus gamblang mengenai dasar-dasar Marxisme dan relevansinya bagi gerakan rakyat di Indonesia. Njoto juga mencoba menulis tentang rumusan Marxisme yang lebih sesuai dengan konteks Indonesia. Usaha kontekstualisasi dan diseminasi ide-ide Marxis ini menjadi dasar dan inspirasi bagi gerakan rakyat yang lebih luas di Indonesia – suatu hal yang rupanya menjadi ancaman bagi kelas yang berkuasa di kemudian hari kelak.

Kembali Mengupas Sejarah Sosial Pemikiran Politik Barat

PEMIKIRAN politik Barat seringkali dipahami dan dipelajari secara parsial atau setengah-setengah. Baik dalam diskursus politik di tanah air maupun di kelas-kelas ilmu politik di negara industrialis maju, pemikiran politik Barat seringkali direduksi menjadi pengetahuan akan jargon-jargon belaka. Akibatnya, pemahaman kita menjadi jargonistik dan ahistoris, memakai istilah-istilah seperti ‘hak,’ ‘negara,’ ‘kedaulatan,’ ‘kebebasan’ dan ‘kapitalisme’ tanpa memahami konteks historis dari istilah-istilah tersebut.

Di tengah-tengah kondisi tersebut, Ellen Meiksins Wood berusaha memberikan analisanya tentang Pemikiran Politik Barat melalui perspektif sejarah sosial dari Abad Renaisans hingga Abad Pencerahan. Buku ini, yang merupakan lanjutan dari buku Wood sebelumnya, yaitu Citizens to Lords, membahas berbagai pemikiran filsuf politik Barat, dari Machiavelli hingga Spinoza, dari Montesquieu hingga Locke dengan meletakkannya pada konteks sosio-historis pembentukan negara, perkembangan awal kapitalisme dan kelas borjuis, perebutan klaim kedaulatan, hingga benturan dan dialektika antara faktor-faktor ideasional dan material.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.