Agam Wispi: Tentang Menjadi Eksil, Puisi Eksil, dan Indonesia (Bagian 3 – Habis)
[3] Sastra Awang-Awang Teks di bawah ini transkrip wawancara Hersri Setiawan (HS) dengan Agam Wispi (AW) tentang soal-soal tersebut di atas, dan berbagai soal sekitar
[3] Sastra Awang-Awang Teks di bawah ini transkrip wawancara Hersri Setiawan (HS) dengan Agam Wispi (AW) tentang soal-soal tersebut di atas, dan berbagai soal sekitar
dengan tertunduk di depan angan pusaramu kuserahkan bagi kepeloporanmu Tidak mudah menuliskan riwayat pemuda Siantar, anak terkemuka dari rakyat dan zamannya ini. Kesukarannya karena, pertama-tama, tidak seorang
Teks di bawah ini transkrip wawancara Hersri Setiawan (HS) dengan Agam Wispi (AW) tentang “menjadi eksil, puisi eksil, Indonesia”, dan tentang berbagai soal sekitar itu.
“Setelah tragedi 1965, ratusan orang yang sedang ditugaskan pemerintah Sukarno untuk sekolah, bekerja maupun melakukan lawatan dinas di luar negeri terhalang pulang. Paspor mereka dicabut dan akses komunikasi ke dalam negeri, bahkan untuk berhubungan dengan keluarga pun, diputus. Melalui wawancara dengan Agam Wispi, seorang penyair terkemuka, para pembaca diajak menelusuri sejarah tragedi ’65, bukan dari angka dan fakta-fakta besar, tetapi dari pengalaman pribadi yang sarat rasa dan asa. Bagaimana bentuk pencarian identitas sebagai “eksil” setelah tercerabut dari ‘akar’? Bagaimana pengalaman ini dituangkan dalam karya sastra, terutama “karya sastra eksil”, dan apa pengaruhnya dalam eksperimen bentuk dan isi? Juga, bagaimana imajinasi, frustrasi, dan harapan seorang eksil tentang “Indonesia”, “tanah air”, “masa lalu”, dan “kekinian”?”
Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.