Airlangga Pribadi

Demokrasi dan Intervensi Kemanusiaan Sebagai Ideologi Imperium

TERKAIT rencana intervensi militer Amerika Serikat atas Suriah tersebut, satu hal yang penting kita cermati adalah kesamaan langkah dan argumen yang diambil baik oleh presiden George W. Bush maupun Obama dengan ‘baju’ ideologi yang berbeda. Ketika melakukan serangan militer ke Irak, pemerintahan Bush menggunakan mantel ideologi neo-conservative, sementara retorika Obama berlindung di balik mantel ideologi liberal progresif. Alasan politiknya sama, baik Bush dan Obama sama-sama mengklaim bahwa Saddam Hussein dan Bashar al-Assad menggunakan senjata kimia untuk membungkam oposisi. Yang agak membedakan di antara keduanya, hanyalah saat ini Obama lebih bersabar untuk melakukan serangan karena menunggu dukungan yang lebih luas dari dunia internasional.

Sebuah Gugatan bagi Kaum Muslim Demokrat di Indonesia

Kategori Muslim pro-demokrasi yang digunakan dalam artikel ini tidak digunakan secara longgar, dalam artian semua kalangan aktor-aktor politik Muslim yang memanfaatkan proses politik dalam kelembagaan politik demokrasi untuk memperjuangkan tujuan-tujuan politiknya. Pengertian Muslim pro-demokrasi merujuk pada kalangan aktor-aktor Muslim yang memiliki komitmen terhadap perjuangan kesetaraan dalam hak-hak sipil dan politik, memperjuangkan ide-ide toleransi dan pluralisme dalam bingkai kebangsaan, dan memisahkan diri dari agenda politik menegakkan syariah dan Negara Islam. Perjuangan kaum Muslim pro-demokrasi ini memiliki komitmen terhadap penafsiran Pancasila sebagai sebuah pijakan ideologi bersama warga Negara Indonesia dengan tidak mengutamakan ideologi Islam di atas yang lainnya. Dari pembatasan ini, tulisan ini tidak terbatas pada menguji komitmen mereka terhadap nilai-nilai kultural demokrasi (toleransi, pluralisme dan nilai-nilai inklusifitas) serta perjuangan hak sipil dan politik, namun juga memotret komitmen kaum Muslim pro-demokrasi terhadap-agenda yang selama ini tak tersentuh dalam wacana Islam dan demokrasi di Indonesia- berbagai bentuk imperatif dalam ekonomi-politik liberal (menolak distorsi politik terhadap berjalannya ekonomi pasar, pemerintahan yang transparan, anti oligarkhi dan aliansi bisnis-politik, penciptaan kondisi politik demokratik yang bersih dari praktik politik uang, korupsi serta agenda politik liberal lainnya).

Peristiwa 65: Kita Adalah Korban

SAAT menelusuri memori traumatik terbesar dalam kehidupan kolektivitas kita berbangsa, yaitu peristiwa kekerasan massal yang berlangsung pasca 1965, narasi penafsiran kita terhadap peristiwa tersebut seringkali

Menjelaskan Irshad Manji: Sekali Lagi!

ARTIKEL saya sebelumnya berkait lawatan Irshad Manji ke Indonesia, rupanya telah memancing kontroversi yang luas. Banyak yang memberikan apresiasi positif terhadap kritik saya terhadapnya, ada

Transmutasi Neoliberalisme di Indonesia

SETELAH dua belas tahun jatuhnya rezim Soeharto, muncul sebuah keyakinan yang mengental menjadi iman baru di kalangan intelektual, teknokrat, politisi, dan pengambil kebijakan di Indonesia

Menuju Demokrasi Bermutu (Zonder Lamunan)

Tanggapan terhadap R. William Liddle Pendahuluan DALAM SEBUAH perbincangan hangat di kedai sate dengan Bung Cherry Augusta dan Bung Herdi Sahrasad tentang situasi politik di

Tragedi Ruyati dalam Pusaran Relasi Sosial Kapitalisme

HUKUMAN pancung yang dilakukan pemerintahan Kerajaan Arab Saudi terhadap Ruyati binti Sapubi, telah menggetarkan dan menghentakkan sentimen kemanusiaan kita semua. Hukuman penggal kepala itu, membuat kita marah, sedih, sekaligus malu bahwa sebagai bangsa kita tak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan atau membatalkan keputusan barbar tersebut.

Tetapi kalau kita cermati lebih jernih dan teliti, di sekeliling kita sedang terjadi sebuah proses sosial yang membuat kasus yang dialami Ruyati, bukanlah kejadian tragis terakhir. Di depan mata kita saat ini, terjadi kontradiksi antara kebijakan kenaikan anggaran pendidikan 20 persen, privatisasi kampus yang memaksa orang miskin sulit, atau bahkan, hampir mustahil untuk mendapat akses pendidikan tinggi. Pada ranah lainnya, negeri ini telah ‘digoreng’ sedemikian rupa untuk menjadi tempat yang ramah bagi investasi asing, dengan menekan upah buruh sedemikian rupa hingga kaum borjuis dapat menghisap dan mengakumulasi kapital dengan nyaman. Di arena politik formal, para politisi yang berumah di Senayan, Istana Merdeka dan pusat-pusat kekuasaan, berpesta pora menjarah uang rakyat. Di sektor pertanian, dengan dalih menekan harga bagi konsumen, liberalisasi pangan dibuka seluas-luasnya sehingga daya tahan kaum marhaen akhirnya hancur.

Mendaras Islam Progresif, Melampaui Islam Liberal

ISLAM sebagai agama adalah sebuah risalah profetik yang tunggal. Namun demikian, tafsir manusia terhadap risalah ini dalam perjalanan historisnya di bumi manusia tidak pernah tunggal. Kondisi hidup dari setiap kelompok dan kekuatan sosial ketika memaknai situasi yang ia hadapi, selalu memengaruhi bagaimana ia membangun pandangan hidup, sistem nilai dan basis legitimasi atas apa yang ia yakini. Seperti diuraikan dengan gamblang oleh intelektual Islam profetik asal Iran Ali Shariati (1985), ketika menulis tentang riwayat Abu Dzar al-Ghifari dalam And Once Again Abu Dzar, “Tidaklah cukup mengatakan kembali ke Islam. Kita harus uraikan secara spesifik. Islamnya Abu Dzar sebagai rakyat ataukah Marwan sang penguasa…Yang satu adalah Islam khalifah, istana, penguasa, sementara yang lain adalah Islamnya rakyat, yang tertindas dan miskin”.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.