Fiksi dan Fakta tentang Liberalisme dan Pasar Bebas

Print Friendly, PDF & Email

PASCA tumbangnya rejim orde baru (orba) Soeharto, salah satu diskursus yang paling mengemuka adalah tentang keutamaan pasar bebas dalam pengelolaan ekonomi. Di bawah terpaan krisis ekonomi 1997 yang mengiringi kejatuhan rejim Soeharto yang sarat praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, ideologi pasar bebas diterima sebagai sebuah keniscayaan.

Tetapi, setelah lebih dari satu dekade kebangkrutan ekonomi politik orba, janji-janji yang dipahatkan oleh para proponen ideologi pasar bebas tinggal janji. Pasar ternyata gagal bekerja tanpa intervensi negara dan pada saat yang sama praktek ekonomi a la orba yang sarat KKN, justru semakin membuncah tanpa tahu mana ujung mana pangkalnya. Apalagi setelah meledaknya krisis ekonomi pada penghujung 2007 di jantung ekonomi kapitalis terkuat di dunia, Amerika Serikat, dogma-dogma keutamaan pasar  bebas ini semakin terpinggirkan.

Bagaimana menjelaskan ketidakutamaan pasar bebas dalam urusan pengelolaan ekonomi? Menjawab soal ini, ada baiknya kita ikuti penuturan professor Ekonomi asal Cambridge, Inggris, Ha Joon Chang,  dalam karyanya Bad Samaritans: Rich Nations, Poor Policies and the Threat to the Developing World (2007). Dalam bukunya ini, Chang menuturkan kompleksitas kehidupan Daniel Defoe, pengarang novel klasik termashur Robinson Crusoe. Selain riwayat kehidupannya yang kompleks sebagai pebisnis, novelis, penarik pajak konsultan ekonomi politik dan mata-mata, ternyata Davoe memiliki pandangan yang kontras ketika ia menulis fiksi seperti dalam novelnya Robinson Crusoe dan Moll Flanders, dengan pendapatnya sebagai konsultan ekonomi politik Kerajaan Inggris, seperti tertera dalam karya ekonominya Plan of the English Commerce (1728). Sebuah karya yang telah dilupakan banyak orang.

Tokoh fiktif ciptaan Daniel Defoe, Robinson Crusoe, adalah ikon termashur yang kerap digunakan oleh para begawan ekonomi pendukung pasar bebas sebagai contoh dari seorang yang terdampar dan hidup sendirian di pulau terpencil didekat Pulau Trinidad. Dalam kondisi hidup terasing seperti itu, sang tokoh ini memanfaatkan pilihan-pilihan rasionalnya (rational choices) untuk memenuhi kebutuhannya, dan ketika ia menemukan mitranya di luar sana, maka ia kemudian menetapkan nilai tukar antara produknya dan produk tetangganya dalam sebuah transaksi pertukaran yang bebas. Bagi kalangan ekonom pro pasar bebas dan pendukung individualisme radikal, cerita Robinson Crusoe menjadi bukti  bahwa tiap-tiap individu hidup seperti Crusoe, saat kita membiarkan mereka melakukan apa yang mereka inginkan dan berbuat baik untuk dirinya sendiri, tanpa adanya campur tangan fihak eksternal yaitu pemerintah, maka hal itu merupakan jalan terbaik bagi perekonomian.

Itu karya fiksi Daniel Defoe, yang menjadi rujukan utama para guru besar ekonom neoliberal dalam kuliah di kelas-kelas mereka maupun rekomendasi kebijakan di lembaga-lembaga ekonomi internasional. Bagaimana dengan karya non-fiksinya, tepatnya karya ekonominya, Plan of English Commerce? Jangan kaget, kita akan mendapatkan cerita yang sungguh bertolakbelakang. Dalam karyanya Plan, Defoe menjelaskan riwayat perdagangan kerajaan Inggris, terutama pada era raja-raja tudor yaitu Henry VII dan Elizabeth I, yang melalui berbagai strategi proteksi ekonomi, subsidi, distribusi hak monopoli sampai kerja spionase intelijen dalam pembangunannnya menjadi negara pusat industri di Eropa.

Seperti diutarakan Chang saat menjelaskan karya ekonomi Defoe, sebelum Inggris menjadi negara industri, ekonomi Inggris tertinggal dari negara-negara lain. Ekonomi negara ini bergantung sebagai pemasok ekspor bahan-bahan wool mentah, dan kemudian mengimpor pakaian-pakaian jadi dari negara-negara lainnya. Dengan banyaknya peternakan domba di Inggris, membuat negeri ini mendapatkan banyak keuntungan dari ekspor bahan mentah wool, namun demikian, orang-orang di luar Inggris yang memiliki kemampuan teknologi untuk mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi, memiliki keuntungan yang berlipat dengan melemparkan bahan jadi dari ekspor wool ke pasar Inggris.

Kondisi ini terus berlangsung sampai Raja Inggris Henry VII, mendorong dan mensubsidi pabrik wool, menaikkan ekspor barang mentah wool. Bahkan pada masa itu, sang raja sampai melakukan tindakan strategi substitusi impor pada 1489, untuk mengolah sendiri woll menjadi pakaian dan selanjutnya melarang ekspor wool mentah secara total. Akibatnya, negeri-negeri yang bergantung terhadap ekspor wool Inggris mengalami kebangkrutan ekonomi, dan sebaliknya Inggris muncul sebagai salah satu macan industri Eropa.

Jadi, berbeda dengan fiksi Robinson Crusoe yang digunakan sebagai bagian dari ‘propaganda ilmiah’ tentang keutamaan pasar bebas di kampus-kampus tersohor di negara maju dan menjalar distudi ekonomi seluruh dunia, karya Defoe Plan of English Commerce, diabaikan karena menjelaskan realitas kebijakan proteksi ekonomi Kerajaan Inggris, yang menghancurkan mitos kapitalisme pasar bebas yang selama ini didengung-dengungkan.

Sekelumit kisah Daniel Defoe serta karya fiksi dan sejarahnya yang saling kontras satu sama lain ini adalah satu kisah bagaimana tertutupnya realitas oleh fiksi. Ironisnya, kemenangan fiksi atas fakta ini  menjadi salah satu narasi menarik dalam sejarah penyebaran gagasan tentang pasar bebas ke seluruh dunia.

Tetapi kisah Daniel Dafoe dan karya-karyanya yang terkait dengan kebijakan ekonomi, baru langkah awal. Selanjutnya tulisan ini akan membahas pengaburan realitas dan pemikiran yang berpijak di atas kenyataan,  dan penonjolan fiksi, retorika, maupun pikiran spekulatif menjadi riwayat yang terus berlanjut dalam kisah panjang kapitalisme pasar bebas.

Demagog intelektual pro pasar bebas dan sejarah Amerika Serikat

Dalam ruang publik intelektual Indonesia, terlalu sering kita mendengar kuliah-kuliah dari Professor Amerika yang mengkhotbahkan individualisme, kebebasan ekonomi dan pasar bebas sebagai bentuk keutamaan yang harus diadopsi oleh bangsa ini. Di seminar, kuliah umum, dan buku-buku yang diterbitkan oleh lembaga riset seperti Freedom Institute, yang menjadi poros pemikiran dari gagasan individualisme dan pasar bebas, kita disuguhi pikiran-pikiran dari kampiun individualisme seperti Ludwig von Moses, Fredrich von Hayek, Martin Wolf, dan Milton Friedman. Sementara, pada sisi lain, sambil mengampanyekan dogma-dogma pasar bebas, mereka melecehkan para pengusung ajaran kolektivitas maupun sosialisme dari para pendiri Republik Indonesia, sebagai bentuk demagogi murahan.

Klaim yang sering dipropagandakan oleh para ideolog demokrasi pasar bebas adalah pengutamaan kepentingan diri dan kebebasan individu sebagai pilar dasar demokrasi. Oleh para pendukungnya di Indonesia, pandangan ini menjadi satu-satunya sumber moralitas yang absah. Untuk mencermati klaim ideologis ini, maka di bawah ini akan diuraikan pandangan dari Rizal Mallarangeng (2005), yang mendukung argumen tersebut: ‘Sekali lagi kita lihat bahwa dalam politic-economical Liberalism percaya kepada kebebasan, bahwa manusia mampu menemukan apa yang baik, mampu bepikir bagi dirinya sendiri, dan dalam proses mengejar kepentingan dirinya sendiri yang membawa manfaat bagi orang lain. Demikian pula dalam bidang ekonomi. Dalam ekonomi juga dipercaya bahwa para penjual dan pembeli mementingkan kepentingan mereka sendiri, itu tidak perlu dinafikan”. Bagi para proponen individualisme dan pasar bebas ala Amerika Serikat seperti Rizal Mallarangeng, demokrasi diperkenalkan secara terbatas sebagai mekanisme memilih pemimpin melalui pemilihan umum (pemilu) dan penghormatan nilai-nilai individualisme sebagai pintu pembuka terhadap pentingnya kebebasan pasar di wilayah ekonomi nir hak-hak sosial dan ekonomi dari warganegara.

Namun demikian, di balik retorika dan propaganda tentang semangat individualisme dan pasar bebas yang mengucur deras di negeri kita ini, mereka menutup rapat-rapat dan menyembunyikan sejarah ekonomi-politik Amerika Serikat (AS), tentang bagaimana bangsa itu menjadi negara adikuasa saat ini. Kembali mengutip Ha Joon Chang, diawal fase formatif pembentukan negara AS, bapak ekonomi pasar bebas asal Skotlandia Adam Smith, pernah menyarankan AS untuk tidak mengembangkan industri manufaktur. Alasannya, selain dapat menghambat aliran impor manufaktur Eropa ke Amerika Serikat, juga akan menghambat pertumbuhan ekonomi AS sendiri. Beberapa petinggi negara baru itu, seperti Thomas Jefferson, mengamini nasehat Adam Smith tersebut. Namun, banyak pula elite dan intelektual yang menolaknya, dengan tokoh utamanya Alexander Hamilton. Dalam karyanya Report of The Subject of Manufactures di depan Konggres AS, Hamilton menegaskan pentingnya serangkaian langkah seperti proteksi tarif, subsidi serta dukungan dan perlindungan terhadap industri pada masa kanak-kanaknya (infant industries) dari injakan kompetisi asing, larangan ekspor barang mentah, larangan impor dan dorongan liberalisasi import dan potongan tarif untuk bahan baku industri, pembangunan infrastruktur finansial serta transportasi, serta berbagai kebijakan hati-hati terhadap mekanisme pasar. Setiap resep dari Hamilton, seluruhnya bertolak belakang saat ini dengan nasehat lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

Pada masanya, pikiran Hamilton memang sedikit yang diadopsi oleh Amerika Serikat, mengingat dukungan basis ekonomi bagi berdirinya Amerika Serikat pada waktu itu adalah dari kaum pemilik perkebunan di Selatan, yang tidak perduli dengan penguatan industri manufaktur dan mendukung kebijakan pembentukan masyarakat agraris dari Thomas Jefferson. Namun demikian, pada era selanjutnya, rekomendasi Hamilton berbasis infant industries menjadi cetak biru bagi ekonomi AS hingga pasca Perang Dunia II. Melalui kombinasi pendekatan Thomas Jefferson (dukungan terhadap sektor pertanian) dan Alexander Hamilton (dukungan terhadap industri), telah melambungkan AS menjadi negara industri maju, sembari mengaburkan cerita suksesnya bagi kalangan intelektual dan elite politik di negara berkembang dengan mempromosikan dogma-dogma pasar bebas.

Fiksi kebebasan Hayek dan Friedman

Pertautan fiksi baik berupa retorika, narasi fiktif, dan pikiran spekulatif terus berjalin dalam panggung penetrasi pasar bebas ke seluruh dunia. Narasi jurnalistik intelektual dari Naomi Klein  dalam The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (2007), mengisahkan salah satu drama intelektual yang sangat menentukan panggung ekonomi global pasca tahun 1970-an, dengan dimulainya era neoliberalisme ekonomi yang bermula dari fikiran spekulatif Freidrich von Hayek dan Milton Friedman.

Pada masa awalnya, Freidrich von Hayek dan Milton Friedman membentuk lingkaran intelektual Mont Pelerin Society, yang terisolir dari mainstream (arus utama) intelektual Eropa dan Amerika Serikat, yang dipengaruhi oleh pikiran-pikiran sosial demokratik, pendekatan ekonomi keynesian, dan liberalisme berbasis keadilan ala John Rawls.

Pada era 1940-an, memori menyakitkan tentang Great Depression, masih kuat  tertanam di pikiran masyarakat banyak. Malapetaka ekonomi tersebut, dalam sekejap membuat bencana masyarakat di awal abad ke-20, berupa terjadinya bunuh diri kaum kapitalis, pemelaratan secara massif, masalah pengungsian dan kriminalitas yang meningkat. Di tengah kondisi inilah John Maynard Keynes menyatakan The end of laizess faire, dan menaruh sebuah kerangka teoritk bagi formulasi ekonomi tentang pentingnya kontrol negara terhadap pasar, penciptaan tenaga kerja penuh dan jaring pengaman sosial. Intinya, Keynesi ingin mengembalikan peran negara dalam ekonomi untuk memperbaiki kondisi ekonomi yang bangkrut.

Formulasi Keynes dengan dukungan dari mitra intelektualnya John Kenneth Galbraith, kemudian diadopsi oleh presiden AS saat itu, Franklin Delano Roosevelt,  untuk merahibilitasi ekonomi AS yang tengah sekarat.

Tetapi, berbeda dengan Roosevelt, Freidrich von Hayek pada tahun 1944 menulis buku The Road to Serfdom sebagai respon terhadap pemikiran Keynes. Berdasarkan pikiran-pikiran spekulatifnya, Hayek menyatakan bahwa warisan tertinggi peradaban Barat, yaitu kebebasan individualisme, tengah dirongrong, tidak saja oleh pikiran-pikiran Marxisme,  namun juga oleh bentuk-bentuk intervensi negara terhadap ekonomi seperti yang dilakukan oleh negara-negara sosial demokrat maupun rezim ekonomi keynesian.  Bagi Hayek, jalan keluar dari krisis tidak lain adalah membiarkan pasar bebas bekerja sesuai dengan nafas individualisme dan kebebasan ekonomi.

Pada saat itu pikiran Hayek jelas tidak memiliki gaungnya di dunia intelektual. Mengadopsi pikiran Hayek saat itu, sama saja dengan mengulangi kembali malapetaka yang baru saja terjadi sekitar lima belas tahun yang lalu. Namun demikian, teorama spekulatif Freidrich von Hayek ini menyebar di kalangan koleganya di AS, yakni Milton Freidman, professor ekonomi dari Chicago University. Berdasarkan pikiran imajinatif ‘di atas awan’ dari Hayek, Freidman (1962) dalam Capitalism and Freedom memformulasikan pendekatan ekonomi yang kemudian dikenal sebagai doktrin neoliberalisme: pertama, pemerintah harus menghapus setiap regulasi yang menghambat akumulasi keuntungan bagi sektor bisnis; kedua, negara harus menjual seluruh aset-aset ekonominya (BUMN), agar setiap perusahaan dapat mengejar keuntungan; ketiga, mereka secara dramatis harus memotong program-program sosial untuk rakyat untuk memaksakan bergulirnya individualisme bagi rakyat banyak. Deregulasi, privatisasi, dan pemotongan anggaran sosial ini berjalan beriringan dengan pemotongan tarif pajak bagi sektor bisnis, agar mereka dapat bekerja mengakumulasi nilai lebih secara maksimal.

Dalam perkembangannya, sejarah membuka struktur kesempatan politik bagi naiknya dogma neoliberalisme (pasar bebas) dalam panggung ekonomi politik. Momentumnya tercipta semenjak era tahun 1970-an, yang dimulai satu persatu dengan keruntuhan rezim nasionalisme Dunia Ketiga di bawah Soekarno oleh kudeta militer tahun 1965, dan kudeta pemerintahan demokratik sosialisme di Chile pada tahun 1973. Dilevel ekonomi-politik global, jatuhnya harga minyak dan kolapsnya negara sosial demokratik dan rezim Keynesian akibat tidak mampu menanggung beban anggaran yang besar, membawa kemuka gagasan neoliberalisme beserta kepentingan korporasi besar dibelakangnya yang menunggu momen untuk meraup nilai lebih yang lebih besar. Seperti diuraikan David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism (2005), proses transformasi sosial menuju rezim neoliberalisme di Eropa dan AS, secara tidak terduga terfasilitasi oleh momentum tampilnya gerakan kiri kaum muda yang berlangsung pada tahun 1968. Kritik dan upaya untuk merevitalisasi wacana Marxis yang digulirkan oleh gerakan mahasiswa di Eropa dan AS, memunculkan secara bersamaan wacana kebebasan individual dan tuntutan untuk mendorong keadilan sosial sebagai muatan utama dalam kritik terhadap formasi kapitalisme. Penolakan terhadap intervensi negara yang begitu besar dalam wilayah kehidupan, berjalan seiring dengan penentangan terhadap sistem ekonomi pasar, korporasi kapitalis dan kekuatan kelas kapitalis. Seiring dengan artikulasi politik perlawanan terhadap dominasi subsistem negara dan pasar dalam ruang publik ini, terjadi ketegangan antara wacana kebebasan individu dan dorongan-dorongan politik keadilan sosial.

Di berbagai tempat, seperti di Prancis, misalnya, ketegangan ini memunculkan friksi antara kekuatan tradisional kiri (Partai Komunis Prancis) dan suara-suara gerakan mahasiswa kiri baru. Dalam perkembangannya kemudian, fragmentasi ini secara perlahan-lahan memisahkan artikulasi-artikulasi kiri baru seperti gerakan sosial libertarian, transeksual, politik identitas, dan multikulturalisme dengan artikulasi politik kelas seperti gerakan buruh yang terpusat pada isu keadilan sosial melalui strategi penguasaan negara. Di tengah keretakan politik di dalam gerakan sosial politik progresif inilah, diskursus neoliberalisme kemudian melakukan restorasi terhadap posisi politik dari kelas-kelas ekonomi dominan di AS dan Eropa. Metodenya adalah dengan masuk dan menguasai diskursus penolakan terhadap peran intervensionis dan praktik regulatoris negara, sambil mengooptasi perjuangan kebebasan individual yang diperluas pada kebebasan konsumen dan penghormatan terhadap keragaman gaya hidup.

Jeffrey Sachs: rekomendasi dan pertobatannya

Munculnya fiksi pengetahuan pasar bebas dalam panggung intelektual dan pengambilan kebijakan dominan di berbagai negara, memunculkan kembali cerita malapetaka ketika panggung ekonomi-politik dijajah oleh tirani modal. Salah satu kisah penerapan fiksi pasar bebas yang menarik dicermati, adalah rekomendasi ekonom Harvard University, Jeffrey Sachs terhadap pemerintah Bolivia untuk mengatasi krisis ekonomi tahun 1985. Sachs, ekonom muda yang tengah naik daun saat itu, adalah seorang ekonom eklektik. Pada satu sisi ia pendukung model ekonomi Keynesian, disisi lain ia juga termasuk dalam lingkaran Chicago Boys yang dikomandani Friedman. Ketika memberikan rekomendasi terhadap pemerintah Bolivia, Sach menganjurkan kebijakan kebijakan shock therapy ala Friedman, sebagai satu-satunya jawaban bagi pemulihan krisis ekonomi di sana. Bolivia dianjurkan untuk memutus hubungan dengan model-model sosialisme dan nasionalisme romantik Dunia Ketiga, menaikkan harga BBM sepuluh kali lipat, deregulasi terhadap aturan-aturan bagi berjalannya sektor bisnis, dan pemotongan anggaran sosial bagi rakyat miskin untuk efisiensi ekonomi. Seperti halnya Friedman, menurut Sachs ekonomi hanya dapat berjalan kembali ketika dilepaskan dari kebijakan sosialisme, korupsi, dan perencanaan sentral negara (Naomi Klein 2001; 143-147).

Hasil dari rekomendasi Sachs, Bolivia pada tahun 1985 upah riil pekerja merosot 40 persen dan bergerak turun sampai 70 persen. Pada era awal diterapkannya kebijakan shock therapy pada 1985, pendapatan rata-rata warga Bolivia sebesar US$845, sementara dua tahun setelahnya turun menjadi US$789. Realitas sosial yang muncul adalah tampilnya segelintir elite plotukratik yang sangat kaya di tengah pemiskinan rakyat kaum pekerja dan petani. Sementara Jeffrey Sachs sendiri, sepulang dari Bolivia di kampusnya Harvard University, menyatakan cukup puas dengan kebijakan shock theraphy yang dilakukan oleh pemerintahan baru Bolivia (Klein 2007; 146-149).

Waktu terus bergulir. Lalu, terjadilah krisis ekonomi finansial di Amerika Serikat dan Eropa sejak tahun 2008. Kejadian yang hampir mendekati Great Depression tahun 1929 ini membuat ksatria ekonomi pasar bebas pada tahun 1985, yang saat ini begawan ekonomi Professor Jeffrey Sachs (2011), angkat bicara terhadap penyelesaian krisis di AS melalui bukunya The Price of Civilization: Economics and Ethics After The Fall. Tapi kini, Sachs berbicara dengan tone dan style ekonomi yang berbeda dengan kisah sebelumnya. Berkaitan dengan krisis di AS saat ini, Sachs memainkan wajah Keynesiannya ketimbang Friedmanian yang ia gunakan pada saat krisis di Bolivia.

Melalui karya terbarunya itu, Sachs menyatakan bahwa salah satu penyebab krisis ekonomi yang melanda AS saat ini, yang menyebabkannya gagal memenuhi tiga tujuan utama semangat libertarian mereka, yaitu efisiensi (kemakmuran), keadilan (kesempatan yang setara) dan keberlanjutan (pembangunan ramah lingkungan), akibat gagalnya menciptakan keseimbangan antara gerak meluas pasar bebas dan komitmen aktif negara. Seperti melakukan pertobatan atas rekomendasinya terdahulu di Bolivia, Sachs berujar, apabila pasar dibiarkan bekerja sendiri sementara negara lepas tangan, maka tidak satupun dari tiga tujuan ideal itu akan tercapai.

Menurut Sachs, ekonomi campuran (pasar sosial) adalah jawaban terhadap kemampuan negara menghadapi pusaran globalisasi, bukan sistem pasar bebas. Krisis ekonomi di AS terjadi ketika elite politik dan kaum kapitalisnya menerapkan disiplin pasar bebas dan tidak memiliki komitmen sosial terhadap sebagian besar warganya yang mengalami pemelaratan. Situasi ketika yang miskin menopang mereka yang kaya, sementara kaum kaya mengeksploitasi di bawah sistem buta kapitalisme pasar bebas adalah kekeliruan terbesar ekonomi Amerika Serikat. Cerita tentang pertobatan Jeffrey Sachs ini kembali mengabarkan kepada kita tentang efek yang terjadi ketika fiksi diterapkan menjadi kebijakan yang membawa pada krisis dan pemiskinan sosial.

Fiksi indah good governance dan fakta kemunculan Elite predatoris

Kisah tentang Fiksi dan Fakta pasar bebas terus berlanjut dalam perjalanan kisah gagasan pasar bebas. Para pengusung gagasan pasar bebas, sebenarnya semenjak tahun 1990-an, sudah menyadari efek dari penerapan kapitalisme pasar bebas yang memunculkan pemiskinan massal di banyak negara. Memahami kondisi demikian, mereka menyadari pentingnya memoles wajah cantik desain pasar bebas agar dapat diterima sebagai konsensus bersama di masyarakat. Era ini kemudian memunculkan narasi indah tentang good governance, yang mengisahkan hubungan harmonis antara negara, pasar dan masyarakat sipil di era free market democracy. Lebih indah dari era sebelumnya, menurut pada pendukung good governance, pendekatan neo-institusionalis yang mendirikan tiang pancang institusional yang baik di level negara, pasar dan masyarakat sipil akan menghadirkan kisah bahagia tentang perkawinan demokrasi dan pasar bebas yang membentuk pemerintahan bersih dan masyarakat yang adil dan makmur.

Namun demikian, lagi-lagi desain good governance sebagai bentuk mutakhir dari desain neoliberalisme/pasar bebas di banyak tempat, hanya menjadi fiksi indah dan memunculkan fakta ekonomi politik primitif.  Di Indonesia, terkait dengan pertemuan antara kapitalisme dan demokrasi pada era pasca otoritarianisme, memunculkan realitas proses transmutasi praktik neoliberalisme di lingkungan politik yang koruptif. Terminologi transmutasi di sini merujuk pada istilah dalam ilmu kimia untuk menjelaskan perubahan sebuah entitas menjadi suatu entitas baru melalui proses persenyawaan kimiawi. Dalam konteks neoliberalisme, proses transmutasi praktik neoliberalisme terjadi bukan disebabkan oleh benturan dialektik antara kekuatan pro-pasar dan kekuatan populis anti-pasar.

Kesulitan merealisasikan dominasi neoliberal secara otentik terjadi karena aktor dan aliansi politik strategis di tingkat domestik, yang turut mengusung gagasan ini terbukti berhasil mengakomodasi agenda neoliberal dan memanfaatkannya untuk kepentingan mereka sendiri (Vedi R. Hadiz 2006, Richard Robison 2006). Pendeknya, di bawah arahan para aktor-aktor politik yang korup, praktik neoliberalisme di Indonesia telah bertransmutasi menjadi tata kelola pemerintahan predatoris yang memangsa sumber-sumber ekonomi dan aset-aset publik. Pertanyaannya, bagaimana predatory state capitalism di Indonesia ini tercipta di atas keruntuhan rezim Soeharto?

Dalam menjelaskan kondisi ini, karya Richard Robison dan Vedi R Hadiz (2004) Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age Markets menemukan relevansinya. Dalam karya mereka diuraikan bahwa kebangkitan rezim Soeharto berhasil membentuk tatanan politik ‘patrimonial administrative state’ yang berhasil menundukkan para oposan politiknya. Dalam kondisi demikian, kehidupan ekonomi ditentukan oleh framework arahan negara otoritarian sentralistik dan otoritas publik diakuisisi oleh kepentingan privat dan institusional yang sejalan dengan kehendak politik penguasa maupun mereka yang menjadi bagian dari jejaring patronase yang mengambil keuntungan di dalamnya. Sementara pada kasus di tempat lain, penetrasi neoliberalisme dilakukan melalui proses penjinakkan, baik terhadap gerakan-gerakan populis dan buruh, maupun menggeser wacana economic citizenship dari perjuangan untuk menuntut redistribusi ekonomi menuju pada integrasi seluruh lapisan masyarakat dalam sistem pasar bebas, seperti yang terjadi di Brazil di bawah kepemimpinan Lula Da Silva dari Partai Buruh.

Sampai era akhir Orde Baru, kaum teknokrat neoliberal tidak secara penuh mendikte arahan ekonomi, namun pada konteks inilah di bawah perlindungan rezim tangan besi Soeharto, terbentuk politico business complex yang menjadi kekuatan oligarkhi ekonomi-politik yang berpusat pada Soeharto dan keluarganya. Setelah melewati fase inkubasi di bawah elite oligarkhi inilah, maka pada era pasca otoritarianisme Soeharto kalangan oligarkhi ini beradaptasi dengan kondisi-kondisi baru dan mereorganisasi kekuasaannya. Sementara, apa yang terjadi pada level politik lokal, Vedi R. Hadiz (2010) menjawabnya dalam karyanya Localising Power in Post Authoritarian Indonesia: South East Asia Perspective. Di sini Vedi mengatakan, desain desentralisasi sebagai bagian dari proyek demokratisasi yang dipromosikan oleh kaum teknokrat neo-institusionalis dengan menginjeksikan paket good governance untuk menciptakan tatanan masyarakat pasar secara damai di Indonesia, telah mengalami kegagalan dan membawa efek yang tak terduga. Kegagalan tersebut bukanlah akibat dari tekanan dari kaum oposan kiri terhadap agenda tersebut, namun lebih disebabkan oleh aliansi elite strategis yang turut mengusung gagasan tersebut.  Para elite predatoris ini, dalam kontestasi politik yang terjadi telah memanfaatkan agenda tersebut bagi kepentingan mereka dan patronase politiknya.

Sementara desain good governance gagal merehabilitasi wajah ekonomi-politik menjadi lebih beradab, bentuk-bentuk akumulasi kapital di Indonesia semakin memunculkan wajah primitifnya dengan penindasan dan penghancuran hak-hak ekonomi sosial dan budaya serta hak sipil dan politik, seperti dalam kasus-kasus tanah yang saat ini marak di Pulau Bima, Pulau Padang, Mesuji dan Kalimantan Barat. Akumulasi kapital terus berjalan di bawah praktik koruptif, misalnya, dengan menjual kebijakan pada sektor privat yang dilakukan oleh aparatus negara melalui penindasan terhadap rakyatnya.

Teks fiktif liberalisme dan teks histories sosialisme dalam diskursus agama

Penyebaran atas narasi fiktif dan pengabaian serta  pembungkaman narasi historis ini, tidak saja berlangsung di level diskursis ekonomi-politik saja. Bahkan dalam diskursus wacana keagamaan di Indonesia, tumpang tindihnya antara fiksi dan fakta berlangsung dalam pergumulan terhadap teks-teks pemikiran keagamaan. Setelah jatuhnya Orde Baru dan penerimaan kebebasan politik dan ekonomi di Indonesia, tidak terkecuali, narasi agamapun merayakan kebebasan ini. Hal ini ditandai oleh kemunculan gagasan Islam Liberal, yang salah satunya diusung oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia.

Tidak saja mengedepankan reformasi intelektual Islam di Indonesia, dalam perkembangannya, diskursus keagamaan liberal ini menjadi bagian dari blok sejarah kekuatan liberalisme ekonomi dan politik yang mengusung individualisme dan pasar bebas. Dengan mengusung tokoh pembaruan Islam Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, yang mereka pandang sebagai salah satu patron intelektualnya, reformasi pemikiran keagamaan mereka kerangkakan dalam arus utama liberalisme politik, individualisme dan kebebasan ekonomi. Pada isu-isu kebebasan individual, kalangan ini bersuara di depan; sementara pada isu-isu sosial, ekonomi dan ketidakadilan akibat proses akumulasi kapital, mereka diam dan bungkam.

Dalam framing intelektual keagamaan liberal yang mereka sodorkan, gagasan-gagasan Nurcholish Madjid mereka kumandangkan sebagai tonggak awal liberalisme Islam di Indonesia. Namun, benarkah demikian? Bukti-bukti di bawah ini lagi-lagi akan menjelaskan dengan terang bahwa kembali para pengusung individualisme dalam pemikiran keagamaan, tengah menyodorkan teks fiksi ketimbang teks fakta historis. Dalam perjuangannya untuk mengangkat posisi sosial dan politik ummat Islam di Era Orde Baru, secara historis faktual Cak Nur sebenarnya tengah memperjuangkan pesan-pesan sosialisme Islam. Hal ini tampak dalam karyanya Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (1987), pada artikel yang berjudul ‘Prospek Sosialisme-Religius di Indonesia.’ Dalam tulisan tersebut, Cak Nur menegaskan bahwa ‘Pertanyaan: mengapa sosialisme dalam konteks Indonesia, mungkin tidak perlu lagi diajukan? Sebab sosialisme dapat dianggap sebagai suatu cara lain untuk mengungkapkan ciri masyarakat yang dicita-citakan oleh Pancasila, yaitu masyarakat berkeadilan sosial. Keadilan sosial itulah, jika ditilik dari sudut susunan Pancasila, yang merupakan tujuan kita bernegara. Dalam Konteks dunia (mondial, global), pertanyaan tersebut juga dirasa semakin tidak terlalu penting, sebab meskipun dengan istilah yang berbeda-beda, umat manusia tampaknya menunjukkan kecenderungan yang bertambah kuat untuk menemukan jalan keluar, atau alternatif terhadap jalan buntu kapitalisme, yang kini sebagai sebagai sistem kemasyarakatan sedang mendominasi dunia. Malah seakan semakin terdengar sebagai suatu keanehan, negeri-negeri Barat yang lazimnya dianggap sebagai bastion kapitalisme (Eropa Barat), saat ini justru memperlihatkan gejala semakin tegas setelah politik dan pemerintahan yang lebih sosialistis. Pemerintahan oleh SPD+FDP di Jerman, oleh Partai Buruh di Belanda, oleh Partai-Partai Sosial Demokrat di negeri Skandinavia, dan lain lain-lain, merupakan bukti nyata untuk gejala tersebut.’

Bahkan dalam uraian yang lebih tegas pada artikel yang sama, Nurcholish Madjid menekankan keharusan sosialisme di Indonesia. Berdasarkan atas prinsip-prinsip dalam agama Islam, yang secara langsung berkaitan dengan jiwa dan semangat sosialisme. Tulisan ini akan menampilkan point-point utama dari narasi historis faktual tentang sosialisme dari Nurcholish Madjid:

Pertama, Seluruh alam raya ini beserta isinya adalah milik Tuhan. Tuhanlah pemilik mutlak segala yang ada. Kedua, Benda-benda ekonomi adalah milik Tuhan yang kemudian dititipkan kepada manusia. Ketiga, Penerima amanat harta tidak berhak menggunakan harta itu semaunya, melainkan harus dengan timbang rasa begitu rupa sehingga tidak menyinggung keadilan umum. Keempat, setiap tahun harta yang halal harus dibersihkan dengan zakat. Kelima, Orang-orang miskin mempunyai hak yang pasti dalam harta orang kaya. Keenam, dalam keadaan tertentu kaum miskin berhak ‘merebut’ hak mereka itu dari orang-orang kaya, jika pihak kedua ingkar. Ketujuh, cara memperoleh kekayaaan yang paling jahat adalah ‘riba’, atau exploitation de l’homme par l’homme.

Penjelasan di atas kembali menegaskan fakta teks historis dari pemikiran sosialisme Nurcholish Madjid, yang selama ini dikumandangkan dalam frame narasi fiktif keagamaan liberalisme tentang dirinya.

Penutup

Uraian panjang lebar ini semakin menegaskan kepada kita bahwa dalam arus sirkulasi produksi pengetahuan di wilayah ekonomi-politik, sosial dan keagamaan, kaum intelektual liberal telah memproduksi narasi-narasi fiktif tentang pasar bebas dan individualisme dan menyembunyikan narasi-narasi faktual histories yang ada  tentang kebijakan protektif, sosialisme dan kolektivitas.

Kenyataan ini, menjadi petunjuk bagi kalangan intelektual, aktivis dan gerakan sosial di Indonesia dari berbagai lini, untuk segera mengakhiri dan menyingkirkan fiksi-fiksi liberalisme dan individualisme yang bersemayam dan mengakar begitu dalam selama ini. Sudah saatnya, kita semua, masuk dalam pintu ilmu pengetahuan historis sosial realistik dalam perbincangan gagasan-gagasan sosialistik dan keadilan sosial, yang lebih mengabarkan masa depan yang lebih cerah bagi rakyat Indonesia.

Tentu saja, kerja untuk itu bukanlah hal yang mudah. Mengutip ekonom John Maynard Keynes, letak kesulitannya tidak pada bagaimana menyambut ide-ide baru, tetapi bagaimana kita keluar dari ide-ide lama, yang bercabang-cabang dan kian membesar menyergap ke dalam sudut-sudut kesadaran kita.***

Airlangga Pribadi mahasiswa doktoral ekonomi politik di Asia Research Center, Murdoch University

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.