1. Beranda
  2. /
  3. Lembar Kebudayaan Indoprogress
  4. /
  5. Page 16

Lembar Kebudayaan Indoprogress

Sebuah Percakapan dengan Titarubi

Apa yang disebut Titarubi sebagai pertanyaan-pertanyaan yang memeras otak itu sebetulnya adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan proses berkarya Titarubi dan juga zaman otoritarian Soeharto. Titarubi memang berkarya pada zaman itu pula dan ia pun pernah aktif dalam gerakan pembebasan dan peningkatan kesejahteraan tahanan dan aktivis Orde Baru. Tak hanya itu, ia pun akrab dengan beberapa aktivis kala itu. Selain itu, ada juga beberapa pertanyaan yang menyentuh isu-isu yang menarik perhatiannya dalam berkarya dan posisi perempuan dalam seni rupa. Selang sebulan surel itu saya terima, pertanyaan-pertanyaan itu menemukan jawabannya dalam tatap muka kami.

Kontemplasi Tato

Tidak satu pun orang yang pernah kutemui memiliki kegemaran yang sama denganku. Aku merasa perlu menularkan minat agar aku tak kesepian, itu saja motifku sebenarnya. Ya, aku seorang dari ratusan juta ras Mongoloid yang telah bercampur dengan Deutro-Melayu. Tinggi sedang, kulit kuning kecokelatan, hidung pesek, dan rambut lurus hitam. Namun, yang menjadi identitas kuat di sini adalah… justru aku tidak bertato.

Edisi LKIP04

Phytagoras pernah berujar dahulu sekali, “musik adalah penyembuh jiwa.” Tentu ada sesuatu yang lain dan pemikiran tertentu yang melatarbelakangi apa yang dikatakannya itu. Tetapi cukuplah untuk pengantar ini kita mengutip sepenggal kalimatnya tersebut dan membiarkan ide lain di baliknya diam dulu. Dengan demikian, kita tentu bisa dengan mudah setuju dengan hal itu. Hampir setiap kita di zaman ini punya lagu-lagu favorit, punya musisi kesayangan, dan juga mendengarkan musik dengan cara apa pun dan melalui media mana pun. Apalagi dengan teknologi informasi yang memudahkan begitu rupa, kita lantas bebas dan terbuka untuk memilih dan memiliki musik-musik seperti apa pun juga. Di sisi lain, teknologi rekaman dan produksi musik yang dibantu komputer yang semakin maju memungkinkan musik diciptakan bahkan dengan seorang diri di kamar; hanya bersenjatakan sebuah gitar dan program fruity loop.

Makin Terbatas, Makin Luhung: Surat untuk Samin tentang Musik Non-Arus-Utama di Jakarta

Gimana kabarmu, Min? Sudah jadi PNS, Min? Kaupasti sudah punya sepeda motor seperti layaknya pemuda desa, ‘kan? Kredit motor ‘kan murah, belilah satu biar kausama dengan mereka. Sumber, kampung kita, pastinya sudah maju ‘kan?

Namun, tampaknya semaju apa pun Sumber[1], aku belum mau pulang. Jakarta belum memberikan apa yang kuharapkan. Gajiku masih digerogoti sewa kostan yang mencekik. Dan jangan tanya masalah kelas sosial; konon pekerja kantoran level manajer rendahan sepertiku ini sudah masuk kelas menengah, tapi aku tak percaya. Wong, rasanya sama saja. Hidup cuma habis di bus kota dan kostan, atau khusus untuk aku, di pagelaran musik.

Banyak Orang Menebang Hutan

Saut Situmorang lahir 29 Juni 1966 di sebuah kota kecil di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, tapi ia dibesarkan sebagai “anak kolong” di Asrama Kodam I/Bukit Barisan, Medan Sunggal, Medan. Pendidikan S1 (Sastra Inggris, Film, dan Creative Writing) dan S2 (Sastra Indonesia yang tidak selesai) dilakukannya di Selandia Baru yang menjadi tempat ia hidup merantau sebagai imigran selama 11 tahun. Saut mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia selama beberapa tahun di almamaternya, Victoria University of Wellington dan University of Auckland, Selandia Baru.

Persetan Media

Ilalang Zaman adalah band multigenre yang menuliskan lagu-lagu yang mengangkat permasalahan-permasalahan sosial, antara lain berhubungan dengan kritik terhadap media korporat (“Persetan Media”, “Jurnalis Palsu”), common sense (“Apa yang Kita Rayakan?”), dan penindasan (“Sesaji Raja untuk Dewa Kapital?”, “Kalimantan”, “Palestina”, “Jangan Diam”, “Papua”). Nama Ilalang Zaman dipilih karena dinilai merepresentasikan gagasan yang diusung para personelnya dalam lagu-lagu mereka. Seperti ilalang dalam arti sebenarnya—gulma bagi tanaman mapan—Ilalang Zaman pun beritikad untuk menjadi gulma bagi kemapanan di zaman mereka hidup. Kini, Ilalang Zaman tengah menggarap album indie perdananya.

Puisi-puisi oleh Gema Laksmi Mawardi

RITUS malam tadi kau njelma laron di pijaran neon aku adalah cicak menunggu, ngintai dan hap kau aku sergap sayapmu basah oleh ludah gurihmu aku

Puisi-puisi oleh Gita Romadhona

CERITA YANG SALAH   pada malam-malam larut, angin tak pernah surut tak pula memberi isyarat tentang cerita yang sudah salah dari mula dan, ia terjaga,

Puisi oleh Zely Ariane

GENERASI PINK-ORANYE   Kami masih dangkal Generasi pink oranye, terbelalak oleh buku 500 halaman terbuai roman picisan. Cinderella dan pangeran berjubah besi larut dalam irama

Seni, Jalanan, dan Sketsa Awal Wajah Sosial

Jumat siang di jalanan Jogja, seperti juga di kota-kota lain, roda menggelinding mengantar beragam karakter manusia melaksanakan kepentingannya masing-masing. Sementara itu, dua manusia berseragam coklat sedang berbincang dan hanya sesekali mengawasi puluhan kendaraan, bahkan mungkin sudah ratusan, yang telah berlalu-lalang melaluinya. Tampaknya, mereka lebih mencurahkan perhatiannya kepada pengendara sepeda motor. Mungkin karena jenis kendaraan itu memang lebih mudah kedapatan menerobos lampu merah atau garis marka daripada kendaraan besar, seperti mobil dan truk.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.