1. Beranda
  2. /
  3. Lembar Kebudayaan Indoprogress
  4. /
  5. Page 12

Lembar Kebudayaan Indoprogress

Sebuah Perempatan Pukul Lima Petang

Orang berseliweran. Bergegas. Mengejar jalanan, menghindari aksi diam bumi; membiarkan macet terjadi di mana-mana. Bergegas menjemput payung di rumah agar bisa kehujanan uang di hujan kali ini. Bergegas mengejar kereta petang, semoga bisa bebas dari berjejal-jejal tubuh penuh keringat. Bergegas menyilih macet, bergegas mengejar kopi panas, bergegas mengejar…. Begitu banyak orang bergegas-gegasan di trotoar, di seperempat badan jalan. Angin setubuhi awan, jatuhlah hujan. Berlomba-lomba mereka lari ke bumi menciumi aspal. Orang-orang mulai berlari, payung-payung mengembang, jalanan mulai penuh, halte pun sumpek.

Memahami Bali Melalui Pecalang

KETIKA mendengar nama ‘Bali’, yang pertama muncul dalam benak kita adalah tujuan pariwisata dengan tawaran menggiurkan; masyarakat yang ramah, serta budaya unik yang menjadi ciri khasnya. Hal ini tampak pada kita sebagai suatu yang niscaya, sesuatu yang ‘sudah dari sononya’. Bali sering kita anggap sebagai daerah yang ‘netral’, bebas dari pengaruh global dan kuat bertahan dengan tradisinya. Pandangan ini mendudukan Bali sebagai semacam suaka yang harus dijaga dan dijauhkan dari perubahan-perubahan yang disebabkan berbagai krisis, entah tingkatan nasional maupun global. Di sinilah pra-anggapan tentang Bali ini menjadi semacam disiplin, yang ditaati oleh segenap manusia Bali dan menjadi tolak ukur perkembangan Bali yang normal.

Surat Untuk Samin: Musik Gratis di Studio Murah

Samin, apa kabar? Ibuku bllang kau gagal lagi jadi PNS (lagi). Jangan sedih dulu Min, nanti juga kau berhasil. Lagi pula, saat surat ini ditulis, titimangsa sudah menunjuk 2 Januari 2014. Ini tahun baru Bung. Bagi kaum yang dijuluki kelas menengah (ngehe) sepertiku, pergantian tahun baru memang tak jauh-jauh dari kesempatan bikin resolusi awal tahun yang ujung-ujungnya kami beraki sebulan kemudian. Namun, bagimu pergantian baru sudah pasti suatu yang sakral. Dalam kalimat yang sok puitis, tahun baru bagimu tak pelak bagaikan senarai harapan baru. Itu berarti terbukanya peluang baru jadi PNS. Begitu kan?

Tawar Menawar dengan Konvensi Realisme Teater

Realitas dalam seni, dalam konteks ini seni teater, masih kerap dipahami secara naif. Realitas seni harus sama persis dengan realitas sehari-sehari. Di situ kemudian realitas, sebagai titik tolak berpikir yang lazim disebut realisme, akhirnya dimengerti sekadar sebagai perengkuhan realitas secara langsung. Interpretasi, transformasi dan stilisasi, dalam praktik seni yang disebut ‘realis’, menjadi benar-benar tidak penting. Sebab, apa yang direngkuh sebagai realitas, bentuk pemanggungannya harus semirip mungkin dengan ‘asli’nya.

Puisi di Tengah Kota (pengantar video puisi Saut Sitompul)

Mungkin banyak dari kita yang belum pernah mendengar nama Saut Sitompul, membaca puisi-puisi karyanya, dan atau mendengarkannya mendeklamasikan puisi. Namun tentu banyak dari kita pernah bersua pengamen yang mendeklamasikan puisi entah di bus kota, entah di taman kota yang semakin hilang ke-hips-annya itu, entah di warung tenda pinggir jalan. Terkadang beberapa di antaranya begitu perlu untuk disimak, terkadang memang sekadar menjual bising kemiskinan dan pemberontakan.

Edisi LKIP12

Asalamualaikum Wr Wb.
Apa kabarmu Joni?

Ah maaf, aku lupa kau sudah jadi anak kota. Biar kutebak, kau pasti lebih nyaman dipanggil Johny kan? Joni dan Johny pelafalannya hampir sama. Tapi, Johny pasti lebih berkelas bagimu, begitu bukan?

Baiklah Jon eh John. Ibumu menyuratiku. Panjang sekali ia bercerita. Yang jelas, Ia minta aku memberi sedikit wejangan untukmu. Katanya “Beri Joni (maaf, ini tulisan Ibumu, lho ya) sedikit pegangan. Januari depan dia diwisuda. Lalu, ia bakal jadi karyawan. Nasihati dia biar sukses sepertimu.”

Edisi LKIP11

Apa yang patut kita catat dalam pengantar ini: buruh yang dihajar paramiliter sampai babak belur, ajakan para pembesar negara untuk bekerja sama dengan paramiliter, mogok nasional dan #KelasMenengahNgehek, korban 65 yang dipukuli FAKI, atau anak jenderal polisi yang menabrak 11 orang dengan mobil barunya? Saking banyaknya yang perlu dicatat, penulis pengantar ini hanya bisa memparafrasekan penyair Anantaguna, terlalu banyak kulihat dan terlalu sedikit waktu untuk mencatat.

Mendengar Musik

Bagi kebanyakan orang mungkin judul artikel ini terdengar remeh temeh. Saya tidak menyalahkan pandangan demikian. Banyak orang merasa mampu mendengarkan musik, tentu dengan asumsi bahwa pendengaran mereka berada di tingkat yang cukup mampu untuk dapat mendengarnya. Properti fisik dan mental mereka mendukung untuk mendengar musik. Bahkan sebagian individu mendaku bahwa musik sudah sejiwa dengan hidup mereka, sehingga judul artikel ini bak lelucon baginya. Pertama-tama saya harus memperjelas apa yang tidak hendak dikatakan artikel ini. Artikel ini bukan mengenai apa itu esensi musik atau kategori ontologis sehingga sesuatu bisa dikatakan sebagai musik. Artikel ini juga tidak membahas estetika. Oleh karenanya, saya mohon maaf jika ketidakpuasan akan muncul pada pembaca yang berharap menemukan kategori estetis.

Maju Kena, Mundur Kena

Ada baiknya tulisan ini dimulai dengan sedikit curhat. Ada beberapa hal yang meresahkan benak saya belakangan ini. Saya bisa menyebutkan beberapa—pengaturan waktu antar pekerjaan paruh waktu yang makin rumit, tuntutan keluarga yang makin menjepit, musibah yang menimpa kawan-kawan yang membuat pusing tujuh keliling, dompet busung lapar, kuliah yang terbengkalai, kura-kura peliharaan yang jatuh sakit, sampai romansa yang jejumpalitan lalu menenggak Baygon sambil terjun dari pucuk Monumen Nasional. Barangkali masalah yang paling relevan buat perbincangan kita kali ini adalah sebuah pertanyaan yang cukup memeras waktu dan pikiran saya belakangan.

Estetika dan Kritik Sosial dalam Karya-karya Oscar Wilde (Bagian 2)

DALAM tulisan sebelumnya kita sudah membahas karya-karya Oscar Wilde secara cukup detail. Kali ini, saya akan membahas era Victoria, yakni konteks waktu di mana Wilde tumbuh, berkarya dan merumuskan kritiknya. Wilde adalah anak zaman sekaligus salah seorang kritik terdepan atas Victorianisme, suatu periode yang memungkinkan Wilde berkembang, yang dia kritik secara keras namun jenaka, namun secara ironis akhirnya menjebloskan dirinya ke dalam penjara—satu dari sedikit contoh turbulensi sejarah yang dialami oleh masyarakat Inggris dalam perkembangannya di masa tersebut.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.