1. Beranda
  2. /
  3. Left Book Review
  4. /
  5. Page 15

Left Book Review

Tahun 2011, Tahun Bermimpi Secara Berbahaya

Bagi Zizek, tahun 2011 yang lalu adalah bukti bahwa komunisme adalah sebuah nama untuk perlawanan kemanusiaan kontemporer. Bukan sebagai predikat, namun mengutip filsuf Perancis Alain Badiou, sebagai aspirasi kolektif yang ‘abadi’ tentang kesetaraan, solidaritas dan keadilan. Perlawanan rakyat di semenanjung Arab untuk menggulingkan rezim otoritarian di negaranya masing-masing, gerakan pendudukan Wall Street di AS, hingga parade pemogokan massal rakyat Eropa dalam rangka menentang kebijakan pengetatan anggaran yang dilakukan oleh rezim neoliberal di masing-masing negara, sejatinya bukan tuntutan untuk demokrasi semata. Jika demokrasi adalah nama untuk inklusi seluas-luasnya (bahwa semuanya diakomodasi dalam ruang negosiasi dan konsensus politik), maka lebih dari itu, perlawanan yang terjadi pada tahun 2011 adalah suatu tuntutan umum tentang kebaikan bersama (bonum commune) yang secara sadar mengesklusikan kepentingan yang lain. Artikulasi utama dari perlawanan global 2011 adalah artikulasi kontradiksi, pembagian murni, logika perjuangan kelas antara satu pihak yang berupaya menegasikan yang lain. Kita, massa rakyat 99% melawan mereka elit 1%. Dalam hal inilah komunisme muncul sebagai suatu hal yang aktual sekarang ini.

Kagarlitsky dan Trilogi Politik Sosialis Abad 21

TRILOGI Boris Kagarlitsky dengan judul di atas adalah sebuah gedoran atas kebekuaan pemikiran yang semakin terkungkung dengan realitas politik global awal abad ke-21, dan menantang pesimisme apakah ada jalan lain di luar keyakinan ekonomi [masyarakat] pasar yang seolah menjadi ‘kenyataan tak terhindarkan’ dari sejarah abad ke-21. Keruntuhan Uni Soviet pada dekade 1980an dan munculnya Republik Rakyat Cina sebagai kekuatan ekonomi dunia yang mengadopsi sistem pasar dengan kontrol negara seperti membunyikan lonceng kematian cita-cita dan praktek politik ‘kiri’ yang menjadi marak sejak pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Kerja Konkret dan Kerja Abstrak

SEGERA setelah Capital Volume I terbit, Ludwig Kugelman, sahabat Marx yang tinggal di Hanover, Jerman, menulis surat kepada Marx, yang isinya menceritakan keluhan banyak orang mengenai kesulitan memahami Capital, khususnya tentang teori nilai (value theory). Merespon surat Kugelman, Marx dengan nada sedikit gusar mengatakan,

‘Setiap anak kecil tahu bahwa jika setiap bangsa berhenti bekerja, jangan bicara tahun, tapi katakanlah, hanya dalam beberapa minggu, maka bangsa tersebut akan mengalami kehancuran. Dan setiap anak kecil juga tahu, jumlah produk yang berkorespondensi dengan jumlah kebutuhan yang berbeda, menuntut sejumlah tertentu kerja agregat masyarakat yang berbeda.’

Edisi IV/2012

BERTOLT Brecht dalam In Praise of Communism, menyebut komunisme sebagai ‘it’s just the simple thing. That’s hard, so hard to do:’ suatu hal yang sangat sederhana, (namun) sangat, sangat sulit untuk dilakukan.

Pernyataan Brecht seakan relevan dalam pengalaman kekinian kita. Ketika kini universalisasi kapitalisme dalam rupa neoliberalnya menciptakan banyak kontradiksi sosial di mana-mana, seharusnya tercipta kemudahan bagi kita dalam mengorganisasikan perlawanan, lalu mengeliminasi sistem sosial kapitalis ini. Bahwa rakyat yang tertindas oleh kapitalisme akan mudah berjuang bersama-sama dalam rangka menciptakan masyarakat yang lebih baik. Kenyataannya, Brecht benar: ‘sangat, sangat sulit untuk dilakukan.’ Perjuangan menuju masyarakat yang adil di luar kapitalisme, kini justru menghadapi situasi paling rumit dan kompleks yang tidak pernah ada presedennya. Tidak heran, jika bagi beberapa kalangan, perjuangan untuk menghancurkan kapitalisme merupakan kemustahilan. There is no alternative.

Mengupas Sejarah Sosial Pemikiran Politik Barat

USAHA untuk membahas dasar-dasar pemikiran politik Barat, merupakan hal yang jarang dilakukan. Di tanah air, terdapat kecenderungan untuk ‘melupakan’ kanon-kanon teori politik klasik, apalagi membahas konteks sejarah dari pemikiran tersebut. Cap ‘kuno’ atau ‘tidak relevan’ sering menjadi alasan mengapa tidak banyak dari kita – pengkaji ilmu sosial dan filsafat, serta aktivis gerakan sosial – mau menekuni kajian pemikiran politik klasik Barat secara serius.

Pendidikan dan Kebutuhan Kapitalisme

SUDAH jauh-jauh hari, ahli pendidikan revolusioner Brazil Paulo Freire, mengingatkan bahwa netralitas dalam pendidikan adalah sebuah kenaifan. Pendidikan secara keseluruhan justru digunakan sebagai alat untuk menjaga eksistensi kelompok dominan. Lewat kurikulum, metode pengajaran, hingga sistem produksi guru, pendidikan diyakini Freire meciptakan manusia-manusia yang siap menyokong konfigurasi kelompok dominan.

Komoditi Sebagai Hubungan Sosial (2)

TEORI nilai Marx merupakan salah satu teorinya yang paling rumit sekaligus paling kontroversial. Jika kita bisa melewati diskusi mengenai teori ini dengan lancar, maka diskusi mengenai topik-topik lainnya dalam Capital menjadi lebih mudah.

Teori nilai seringkali disebut berbarengan sebagai Teori Nilai Kerja (TNK). Menariknya, Marx sendiri tidak pernah menyebut teori nilai sebagai TNK. Sebutan ini pertama kalinya digunakan para pengritiknya dari kalangan ekonom mainstream, seperti Eugen von Böhm-Bawerk. Menjadi tambah populer ketika ekonom Marxist Rudolf Hilferding, memberikan kritik atas kritiknya Böhm-Bawerk terhadap Marx tersebut (Hiroyoshi, 2005:81).

Edisi III/2012

TIGA Oktober lalu, untuk pertama kalinya sejak penghancuran gerakan rakyat 1965/1966, kaum buruh Indonesia melakukan Mogok Nasional. Jutaan buruh tumpah-ruah ke jalan-jalan di berbagai daerah di Indonesia. Mogok Nasional ini merupakan bagian dari proyek Hostum (Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah) yang digulirkan sejak Mei 2012. Dan sejak itu, mereka sudah melakukan aksi-aksi pengepungan pabrik untuk memaksa pengusaha mengubah status buruhnya yang outsourcing menjadi hubungan kerja langsung dengan perusahaannya. Dari wawancara Roni Febrianto, salah seorang pimpinan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), yang diterbitkan di situs Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), dilaporkan ada lebih dari 50.000 buruh outsourcing yang berhasil diubah statusnya menjadi hubungan kerja langsung dengan perusahaan. Adapun Mogok Nasional ini berdampak pada kerugian triliunan Rupiah di pihak kaum kapitalis.

Saat Ini, Kita Semua (Buruh/ Pekerja/ Karyawan) adalah Precariat!

MENJADI buruh kontrak dan buruh outsourcing/alih daya, seolah merupakan kewajaran yang tak dapat ditolak rakyat pekerja akhir-akhir ini. Itu, misalnya, tampak pada meningkatnya sistem kerja kontrak dan outsourcing menjadi sistem kerja wajib yang diterapkan oleh hampir semua perusahaan di Indonesia. Dalam data statistik yang dikeluarkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terlihat bahwa jumlah tenaga kerja setengah pengangguran, yaitu mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap, selalu mengalami peningkatan selama enam tahun terkahir. LIPI mencatat, pada tahun 2005, tenaga kerja setengah pengangguran berjumlah 28,64 juta jiwa. Namun, pada tahun 2010, jumlahnya meningkat menjadi 32,8 juta jiwa. Pada tahun 2011, LIPI memperkirakan jumlahnya akan meningkat menjadi 34,32 juta jiwa. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja atau buruh yang tidak memiliki pekerjaan tetap tidaklah sedikit. Dari data itu juga dapat dilihat bahwa jumlah buruh yang bekerja dengan ketidakpastian pekerjaan tersebut selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Buruh yang tidak memiliki pekerjaan tetap itu dapat diidentifikasi sebagai buruh kontrak dan atau outsourcing. Artinya, jumlah buruh kontrak dan outsourcing terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, setidaknya sejak tahun 2005.

Memecah Pembisuan, Membongkar Tabu: Mendengar Suara Korban Tragedi 1965

KARENA judul buku ini adalah Memecah Pembisuan, saya ingin mengawali ulasan ini dengan menjelaskan istilah serupa, yaitu Breaking the Silence. Breaking the Silence (BtS) adalah sebuah LSM Israel yang terletak di wilayah Barat Yerusalem, didirikan tahun 2004 oleh veteran tentara Angkatan Bersenjata Israel. Kegiatan mereka antara lain mengumpulkan dan mempublikasikan kesaksian-kesaksian dan pengalaman para tentara dalam tugas dan operasi mereka di wilayah pendudukan: Tepi Barat, Jalur Gaza, dan wilayah Timur Yerusalem selama Intifada Kedua. Misi LSM ini adalah ‘memecah pembisuan’ dalam diri tentara-tentara Angkatan Bersenjata Israel yang sudah kembali dalam kehidupan sipil di Israel dan ‘mengungkap adanya ganjalan yang mereka rasakan dalam menghadapi realitas di wilayah pendudukan dan pembisuan mereka di rumah.’

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.