1. Beranda
  2. /
  3. Left Book Review
  4. /
  5. Page 15

Left Book Review

Menemukan Indonesia Dalam Karya Marx

APA BEDANYA hasil dari mesin fotokopi dan pemikir? Kebaruan, kata Martin Suryajaya. Yang baru hanya muncul dari pemikiran. Menjadi pemikir berarti harus dapat melampaui kemampuan mesin fotokopi dalam sekadar mereproduksi. Menurut Martin, menjadi Marxis berarti berani menjadi pemikir. Tantangan yang diajukan Martin bukan perkara sepele. Sebagai pemikir, para Marxis harus mampu memunculkan hal-hal baru karena apabila tidak; apabila kita hanya mengulang-ulang apa yang sudah dikatakan Marx, maka mesin fotokopi jelas lebih Marxis ketimbang siapa pun karena kesanggupannya mengulang-ulang secara sempurna.

Edisi VI/2013

TAHUN 1637, seorang matematikawan cum pengacara Perancis, Pierre de Fermat, mengajukan satu teorema tersulit dalam sejarah perkembangan teori angka. Teorema ini dikenal sebagai teorema terakhir Fermat (Fermat’slasttheorem). Teorema ini menyatakan bahwa tidak ada tiga integer positif a, b, dan c yang dapat memberikan solusi pada persamaan an+bn=cn bagi setiap nilai integer n yang lebih besar dari dua. Teorema ini sendiri merupakan perluasan dari teorema segitiga Phytagoras dengan derajat problematisasi yang lebih tinggi. Banyak matematikawan tersohor dunia seperti Carl Frederich Gauss, Leopold Kronecker, Sophie Germain, Georg Cantor, berupaya membuktikan teorema ini. Sayangnya, para matematikawan tersohor ini tidak mampu untuk memecahkan teorema terakhir Fermat. Bahkan seorang filsuf empirisis seperti Karl Popper, sempat berujar bahwa teorema ini lebih tepat dikatakan sebagai konjektur, suatu proposisi yang keliatan logis namun tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Walau begitu, situasi itu berubah ketika teorema ini berhasil dipecahkan pada tahun 1995 oleh Andrew Wiles, seorang matematikawan Inggris yang mengajar di Universitas Princeton, AS. Wiles membuktikan teorema terakhir Fermat dengan menggunakan perhitungan representasi Galois terhadap konjektur Taniyama-Shimura, yang kemudian memberikan ekuasi logis terhadap teorema Fermat itu sendiri.

Women’s Question dalam Perjuangan Mengakhiri Kapitalisme dan Patriarki

MASIH segar dalam ingatan kita, 16 Desember 2012 yang lalu, seorang perempuan India, Jyoti Singh Pandey, diperkosa dengan sadis oleh sekelompok laki-laki biadab dalam sebuah bus di jalanan New Delhi. Jyoti yang kesakitan meninggal 13 hari kemudian setelah dirawat di sebuah rumah sakit di Singapura. Beberapa waktu sebelumnya, di belahan dunia yang lain, buruh migran perempuan Indonesia diperkosa oleh tiga polisi di Malaysia. Tidak berhenti sampai di situ, perempuan pun kemudian dilarang duduk mengangkang di atas motor oleh pemerintah kota Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, terhitung sejak Januari 2013.

Imperialisme dan Akumulasi Kapital

BUKU ini tergolong klasik dalam kepustakaan ekonomi Marxis. Die Akkumulation des Kapitals ditulis Rosa Luxemburg dengan agak tergesa-gesa pada akhir 1912 hingga awal 1913. Edisi terjemahan Inggrisnya baru muncul pada 1951 berkat kerja keras Agnes Schwarzschild. Edisi terbitan ulang tahun 2003 ini mengikuti edisi 1951. Selain masih tetap mencatumkan pengantar dari ekonom Inggris Joan Robinson yang ada di edisi 1951, edisi 2003 ini ditambah dengan kata pengantar dari ekonom Polandia Tadeusz Kowalik.

Bentuk Nilai (Value Form atau Form of Value): Bagian 1

TOPIK ini, didedikasikan Marx untuk mendiskusikan tentang asal-usul munculnya uang (money). Tetapi, di sini ia tidak berbicara sejarah kemunculan uang, misalnya dari sistem barter, uang metal atau koin, emas, uang kertas, hingga uang elektronik seperti yang kita kenal sekarang ini. Apa yang ingin dijelaskannya adalah sejarah perkembangan dalam kaitannya dengan perkembangan hubungan konseptual dalam sistem kapitalisme. Misalnya, hubungan antara ‘bentuk sederhana dari nilai/simple form of value’ dan ‘bentuk uang/money form’ yang dominan dalam sistem kapitalisme (Heinrich, 2012:56). Karena itu, ia tidak memaksudkan penjabarannya ini untuk meyakinkan kita bahwa uang merupakan alat yang paling mumpuni untuk mengatasi keterbatasan dari pertukaran dalam bentuk barter, sebagaimana yang diajarkan kepada kita selama ini.

Edisi V/2012

ADA SETIDAKNYA dua tendensi yang mencuat ke permukaan di kalangan aktivis kiri saat ini. Pertama, tendensi yang hanya menekankan ’tujuan akhir’ tanpa analisa yang matang terhadap situasi riil dan identifikasi ruang-ruang taktis yang bisa dimanfaatkan untuk menuju tujuan akhir tersebut. Gerakan mereka tidak berpijak pada dunia riil, tapi berangkat dari ideal-ideal yang ada di kepala. Mereka suka memaksakan ideal-ideal tersebut tanpa memperhitungkan prasyarat material yang diperlukan untuk memenuhi ideal-ideal itu. Walhasil, mereka gagal merumuskan suatu trajektori politik yang konkret dan terjebak dalam kesibukan mengutuki dan memaki-maki dunia riil dengan retorika moral mereka. Sialnya, dunia tidak bisa diubah hanya dengan dikutuki dan dimaki.

Tahun 2011, Tahun Bermimpi Secara Berbahaya

Bagi Zizek, tahun 2011 yang lalu adalah bukti bahwa komunisme adalah sebuah nama untuk perlawanan kemanusiaan kontemporer. Bukan sebagai predikat, namun mengutip filsuf Perancis Alain Badiou, sebagai aspirasi kolektif yang ‘abadi’ tentang kesetaraan, solidaritas dan keadilan. Perlawanan rakyat di semenanjung Arab untuk menggulingkan rezim otoritarian di negaranya masing-masing, gerakan pendudukan Wall Street di AS, hingga parade pemogokan massal rakyat Eropa dalam rangka menentang kebijakan pengetatan anggaran yang dilakukan oleh rezim neoliberal di masing-masing negara, sejatinya bukan tuntutan untuk demokrasi semata. Jika demokrasi adalah nama untuk inklusi seluas-luasnya (bahwa semuanya diakomodasi dalam ruang negosiasi dan konsensus politik), maka lebih dari itu, perlawanan yang terjadi pada tahun 2011 adalah suatu tuntutan umum tentang kebaikan bersama (bonum commune) yang secara sadar mengesklusikan kepentingan yang lain. Artikulasi utama dari perlawanan global 2011 adalah artikulasi kontradiksi, pembagian murni, logika perjuangan kelas antara satu pihak yang berupaya menegasikan yang lain. Kita, massa rakyat 99% melawan mereka elit 1%. Dalam hal inilah komunisme muncul sebagai suatu hal yang aktual sekarang ini.

Kagarlitsky dan Trilogi Politik Sosialis Abad 21

TRILOGI Boris Kagarlitsky dengan judul di atas adalah sebuah gedoran atas kebekuaan pemikiran yang semakin terkungkung dengan realitas politik global awal abad ke-21, dan menantang pesimisme apakah ada jalan lain di luar keyakinan ekonomi [masyarakat] pasar yang seolah menjadi ‘kenyataan tak terhindarkan’ dari sejarah abad ke-21. Keruntuhan Uni Soviet pada dekade 1980an dan munculnya Republik Rakyat Cina sebagai kekuatan ekonomi dunia yang mengadopsi sistem pasar dengan kontrol negara seperti membunyikan lonceng kematian cita-cita dan praktek politik ‘kiri’ yang menjadi marak sejak pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Kerja Konkret dan Kerja Abstrak

SEGERA setelah Capital Volume I terbit, Ludwig Kugelman, sahabat Marx yang tinggal di Hanover, Jerman, menulis surat kepada Marx, yang isinya menceritakan keluhan banyak orang mengenai kesulitan memahami Capital, khususnya tentang teori nilai (value theory). Merespon surat Kugelman, Marx dengan nada sedikit gusar mengatakan,

‘Setiap anak kecil tahu bahwa jika setiap bangsa berhenti bekerja, jangan bicara tahun, tapi katakanlah, hanya dalam beberapa minggu, maka bangsa tersebut akan mengalami kehancuran. Dan setiap anak kecil juga tahu, jumlah produk yang berkorespondensi dengan jumlah kebutuhan yang berbeda, menuntut sejumlah tertentu kerja agregat masyarakat yang berbeda.’

Edisi IV/2012

BERTOLT Brecht dalam In Praise of Communism, menyebut komunisme sebagai ‘it’s just the simple thing. That’s hard, so hard to do:’ suatu hal yang sangat sederhana, (namun) sangat, sangat sulit untuk dilakukan.

Pernyataan Brecht seakan relevan dalam pengalaman kekinian kita. Ketika kini universalisasi kapitalisme dalam rupa neoliberalnya menciptakan banyak kontradiksi sosial di mana-mana, seharusnya tercipta kemudahan bagi kita dalam mengorganisasikan perlawanan, lalu mengeliminasi sistem sosial kapitalis ini. Bahwa rakyat yang tertindas oleh kapitalisme akan mudah berjuang bersama-sama dalam rangka menciptakan masyarakat yang lebih baik. Kenyataannya, Brecht benar: ‘sangat, sangat sulit untuk dilakukan.’ Perjuangan menuju masyarakat yang adil di luar kapitalisme, kini justru menghadapi situasi paling rumit dan kompleks yang tidak pernah ada presedennya. Tidak heran, jika bagi beberapa kalangan, perjuangan untuk menghancurkan kapitalisme merupakan kemustahilan. There is no alternative.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.