Kaum Pergerakan dan Politik Lokal

Print Friendly, PDF & Email

Pengantar redaksi:
Kami menerima kiriman makalah dari penulis yang disampaikan pada diskusi Perhimpunan Rakyat Pekerja. “ Menggagas Jalan Perlawanan Rakyat Pekerja.” Gedung Joang, Jumat, 1 September 2006. Tulisan ini adalah bagian kedua dari dua tulisan.

Pilkadal Sebagai Partarungan Politik Elit

Penguasaan politik di daerah juga penting untuk mengamankan pertarungan politik di antara elit politik dan berbagai partai mainstream dalam pemilu 2009 nanti. Bukan rahasia lagi, bila jalur birokrasi masih menjadi alat efektif dalam melakukan mobilisasi suara dan logistik untuk pertarungan elektoral. Pilkadal yang dijalankan diatur sedemikian rupa dengan memanipulasi aturan dalam UU no 32 tahun 2004, sehingga Pilkadal hanya menjadi kompetisi di antara partai-partai besar yang ada, dan menafikan kemungkinan kekuatan baru di luar partai-partai besar tersebut.

Perangkat UU no 32 tersebut tidak memberikan alternatif pada calon-calon independen di luar parpol. Hal ini mengakibatkan para calon kepala daerah yang maju, akhirnya merupakan para wakil ‘oligarki partai-partai utama’ seperti Golkar dan PDIP atau yang mendapat dukungan dari kedua partai tersebut. Karena itu, hasil Pilkadal secara keseluruhan di dominasi oleh calon-calon bupati/walikota/gubernur dari dua partai utama ini, yang keduanya mempunyai akses luas ke birokrasi dan sumber-sumber logistik. Sebagai gambaran dari dominasi kekuatan politik besar ini, pemenang dari 164 Pemilihan Kepala Daerah Langsung yang dilakukan hingga 28 Juni 2005, sebagian besar masih berasal dari partai besar dengan Partai Golkar di 54 daerah, PDIP di 37 daerah, PPP di 25 daerah, PAN di 28 daerah, PKB di 29 daerah, PKS di 25 daerah dan Partai Demokrat di 19 daerah, baik secara sendiri-sendiri atau dengan berkoalisi dengan partai lainnya.` (Lihat Peta Parpol dalam Pilkada 2005, Riset NDI dari berbagai Media, KPUD dan Desk Pilkada dalam http://www.jurdil.org/pilkada05/peta_parpol_pilkada_english.pdf)

Masalah lain dari mekanisme Pilkadal yakni, dapat menjadi pintu masuk bagi para anggota TNI/Polri aktif untuk kembali merambah dunia politik praktis dan dunia birokrasi sipil. Dalam PP No.6 tahun 2005 tentang Pilkada disebutkan, TNI aktif secara struktural harus mengundurkan dari jabatannya jika mencalonkan diri di pilkadal. Sedangkan posisinya di TNI, untuk sementara mereka dinonaktifkan. Tetapi mereka tidak akan diminta mengundurkan diri dari posisinya. Walaupun ada ancaman dari panglima bahwa anggota TNI yang dicalonkan tidak akan ditempatkan kembali pada jabatan semula, hal ini tetap saja tidak mengurangi ancaman kembalinya TNI dalam kancah politik.

Politik Lokal “Dari Penonton Menjadi Pemain”

Selama ini terjadi kecenderungan dari berbagai komponen gerakan demokrasi untuk menghindar dari pertarungan politik praktis dengan partai-partai mainstream melalui mekanisme politik yang berlaku. Akibatnya sudah kita lihat. Delapan tahun reformasi, negara kita berikan secara cuma-cuma kepada kekuatan politik busuk pro-pasar bebas yang menguasai arena politik di parlemen baik di pusat maupun daerah. Aktor-aktor pro-demokrasi mempunyai kecenderungan meremehkan peluang-peluang legal politik, seperti Pemilu dan pilkadal di daerah dan hanya puas dengan berperan sebagai pressure group. (Dita Sari, “Pilkadal Dan Kaum Pergerakan”, Wacana, Edisi 21, 2005). Keadaan ini menyebabkan beberapa targetan dari transisi demokrasi tidak tercapai. Gerakan pro-demokrasi tetap berdiri di pinggir panggung, dan radikalisme massa yang sempat menguat hingga pasca kejatuhan Soeharto akhirnya mengalami pelemahan. (Willy Aditya. “Membangun Perlawanan Lokal Yang Teroganisir,” Praxis. Lihat situs www. prakarsa-rakyat.org).

Di Bengkulu, gerakan sosial berbasiskan gerakan tani yang bergabung dalam Serikat Tani Bengkulu dan Serikat Nelayan Bengkulu sudah menyadari bahwa gerakan rakyat tidak boleh hanya menjadi penonton dari proses pertarungan politik yang berlangsung tapi, harus “Menjadi Pemain,” “masuk ke arena politik yang telah tersedia.” Ruang politik yang terbuka itu harus bisa dimanfaatkan oleh siapapun. “Bagaimana mungkin, kita yang menyuarakan dan mendesak adanya keterbukaan ruang politik kekuasaan itu, enggan untuk merebut dan menguasainya?”

Tim peneliti Demos (2005) menyimpulkan, defisit demokrasi terjadi karena para aktivis tidak terlibat dalam perjuangan politik dan memperkuat pranata demokrasi yang sudah ada. Akibatnya, para pembajak demokrasi dengan bebasnya memanfaatkan semua alat poltik yang ada untuk kepentingan oligarki politiknya. Karena itu, Demos merekomendasikan agar gerakan demokrasi terlibat dalam proses politik yang berlangsung bukan di luarnya. Demos merekomendasikan tiga hal penting yaitu; Pertama, membangun sebuah platform politik demokratik. Kedua, Mempererat hubungan gerakan politik dengan gerakan sosial. Ketiga, reformasi perangkat hukum dan institusi demokrasi. (Demos, Menjadikan Demokratisasi Bermakna; Masalah dan Pilihan di Indonesia,” 2005. hlm 218-223).

Pertarungan Lokal: Politik Identitas vs Politik Kelas

Warna kental dari politik lokal yang dominan sekarang, adalah menguatnya isu politik identitas berdasarkan suku, ras dan agama dalam pertarungan politik di antara para elit politik lokal serta partai-partai politik utama di tingkat lokal. Calon-calon yang disulkan kebanyakan diberi embel-embel harus ‘putra daerah asli,’ tidak perduli dengan latar belakang kelas sosial atau politiknya. Identitas suku itu kerap juga berbaur dengan identitas agama, prasangka gender, dan politik uang. Akibatnya ketegangan-ketegangan politik yang terjadi, bukanlah pada perdebatan program tapi, lebih pada isu-isu primodial (atau isu skandal seks yang direkayasa). Bahkan, terkadang ketegangan ini meledak menjadi politik kekerasan.

Karena itu, intervensi dari gerakan progresif kerakyatan sangat diperlukan dalam pertarungan politik di tingkat lokal. Dengan cara ini, perlawanan di lokal diberi perspektif kelas, untuk melawan politik identitas yang dibawa oleh para elit politik lokal, untuk membangun kekuasan dan oligarki politiknya yang berelasi dengan kepentingan modal (Hilmar Farid, “Analisis Atas Inisiatif Perlawanan Lokal januari-Mei 2005,” www.prakarsa-rakyat.org). Pada poin ini, perjuangan kelas memperoleh artikulasinya dalam bentuk kontradiksi antara rakyat dengan blok kekuasaan lokal atau elit lokal (pro-modal atau pro-politik identitas). Dengan memberikan ‘identitas kelas’ maka politik identitas berdasarkan ras, suku dan agama yang dipompakan oleh para elit politik menjadi tidak relevan, sekaligus dapat mencegah provokasi rakyat berhadapan dengan rakyat sendiri. Konflik kemudian berubah menjadi kontradiksi antara rakyat yang tertindas (atau yang miskin) melawan penguasa (yang pro-modal dan politik identitas).

Perpektif kelas (tertindas/rakyat miskin) ini dapat ditunjukan melalui dua hal:
Pertama, pelibatan unsur-unsur gerakan progresif kerakyatan dan pengorganisiran kelas tertindas yang menjadi korban kebijakan pemodal dan pemerintahan lokal yang memiskinkan rakyat, merusak lingkungan, anti kesetaraan gender dan menjalankan politik identitas.

Pelibatan ini tidak bisa lagi mengunakan cara-cara lama yang sifatnya dadakan dan berbentuk komite yang longgar tapi, harus diikat dalam satu ‘wadah bersama’ dengan program-program ‘umum’ yang disepakati bersama serta agenda mendesak yang juga harus dimajukan bersama-sama. Dengan adanya ‘wadah besama’ berbentuk koalisi atau aliansi atau front, maka perjaungan tidak lagi bersifat involutif mirip komite aksi tapi, akan berkelanjutan.

Pembangunan koalisi, aliansi atau front perjuangan yang sering dilakukan gerakan organisasi non pemerintah (Ornop) dan civil society lainnya di Indonesia, sebenarnya sudah berjalan baik dan sudah waktunya diberi ‘beban tambahan’ seperti agenda politik yang luas dan terarah pada kerja perluasan pengorganisasian. Sehingga koalisi, aliansi, atau front bisa berkembang lebih jauh dari organisasi papan nama dengan sederet nama tenar menjadi alat yang dapat menjalankan fungsi ‘koordinasi’ berbagai bentuk perjuangan (Lihat Farid, Ibid).

Kedua, mengajukan program-program alternatif kerakyatan, yang tidak hanya mampu menyelesaikan problem rakyat yang mendesak dalam jangka pendek tapi, juga kepada program-program alternatif di luar cara-cara dominan yang pernah ada. Gabungan antara program yang mampu menjawab kebutuhan mendesak dan program yang lebih ‘ideologis’ memang harus diseimbangkan dan dijalankan secara kreatif.

Perjuangan politik di tingkat lokal, juga harus dimaknai sebagai satu mata rantai untuk membangun jaringan atau kekuatan bersama di antara‘lokal-lokal’ lainnya dalam upaya merebut kekuasaan di tingkat nasional. Karena itu perjuangan di tingkat lokal, harus mengintegrasikan dirinya dalam perjuangan lebih besar, yaitu melawan penguasa di Jakarta. Caranya, dengan bergabung dan membangun gerakan yang berwatak nasional. Karena itu berbagai inisiatif untuk mengonsolidasikan atau mentransformasikan gerakan sosial, sektoral atau gerakan lokal menjadi gerakan politik berwawasan nasional seperti yang dilakukan oleh Partai Perserikatan Rakyat (PPR), Komite Persiapan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (KP-Papernas) dan Pehimpunan Rakyat Pekerja (PRP) patut mendapatkan dukungan. Ketiga ‘Blok politik’ progresif kerakyatan ini, akan sangat memberikan inspirasi, kontribusi dan akan lebih strategis bila bisa membangun suatu ‘blok politik bersama,’ baik dalam rangka merespon politik elektoral maupun dalam perjuangan sehari-hari menuntut keadilan.

Namun, bila belum ada sebuah gerakan politik progresif di tingkat nasional yang menjadi payung (atau menjadi pilihan) dari gerakan progresif kerakyatan di tingkat lokal, maka gerakan di tingkat lokal tetaplah signifikan (Lihat, Aditya, Op.Cit): Pertama, sebagai motor penggerak radikalisasi massa di tingkat wilayah; kedua, keragaman konflik di tingkatan daerah yang memunculkan inisiatif perlawanan lokal akan menjadi “tangsi” bagi kekayaan taktik dan strategi perlawanan rakyat; ketiga, pengorganisiran berbasis teritori menjadi signifikan dalam rangka membangun, mengembangkan, memberdayakan suatu sistem alternatif-kerakyatan yang dikendalikan dan dikuasai oleh masyarakat lokal; dan keempat, merespon politik lokal dapat memberikan pendidikan politik yang sangat penting dalam upaya memerangi gejala depolitisasi dan apolitisasi massa, sekaligus memperluas struktur politik serta kemampuan membangun jaringan yang lebih luas.

Epilog

Dari paparan di atas, Politik Lokal sebagai ruang politik demokrasi saat ini, tak pelak harus direspon oleh gerakan sosial-politik di tingkat nasional dan lokal dengan cara ikut bermain di dalamnya dan berhenti sekadar sebagai penonton. Kekeliruan selama delapan tahun terakhir, dengan membiarkan para politisi busuk menguasai lembaga negara, sudah seharusnya kita sudahi. Perubahan terbukti tidak dapat dilakukan hanya dengan menjadi kelompok penekan, melakukan advokasi, atau mengeluarkan ide-ide alternatif yang bagus. Semuanya terbukti tidak mengubah watak para politisi kotor yang mendominasi lembaga negara. Dalam situasi seperti ini, sudah saatnya untuk melakukan transformasi gerakan, dengan terlibat aktif dalam perarungan politik partisan.

Problemnya, gerakan progresif kerakyatan yang sudah mempunyai strategi dan gagasan alternatif untuk pertarungan politik melawan kekuatan politisi kotor pro-pasar bebas, masih dalam proses konsolidasi dan saling memahami satu sama lain. Proses saling memahami ini menurut saya sudah cukup, dan sudah saatnya dilanjutkan ke level lebih tinggi yaitu, membangun organ politik bersama yang tetap menjamin ‘identitas’ masing-msing blok yang terlibat di dalamnya.

Untuk itu, saya yakin sebuah muara baru akan tercipta untuk menggabungkan berbagai arus utama dari gerakan progresif kerakyatan yang sedang tumbuh dan bekembang sekarang ini. Muara baru menjadi suatu keharusan, bila tidak, gerakan progresif kerakyatan akan tetap menjadi unsur ‘minor’ sebagai ‘pengganggu’ belaka. Bukan unsur yang menciptakan dan menentukan perubahan itu sendiri. Muara baru itu juga pasti akan tercipta, sebab kalau tidak, akan sangat berat bagi kekuatan alternatif kerakyatan untuk melakukan pertarungan elektoral di bawah syarat-syarat administratif yang sangat berat.

Salemba Tengah, 31 Agustus 2006.

Wilson

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.