Catatan Redaksi:
Pada hari Selasa 2 Juli 2013, Pemerintah dan DPR RI resmi mengesahkan UU Organisasi Masyarakat (ORMAS). 311 Anggota DPR menyatakan setuju dan 50 anggota lainnya menolak. Dengan telah disahkannya UU Ormas ini, bagaimana dampaknya bagi kehidupan demokrasi, yang saat ini hanya mengambil bentuk prosedural? Berikut ini perbincangan Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS dengan Indri D. Saptaningrum, Direktur Eksekutif Institute for Policy Research and Advocacy (ELSAM); Ted Spraque, Editor Militan Indonesia; dan Justinus Prastowo, Research Associate Perkumpulan Prakarsa. Berikut petikannya:
———
Indri D. Saptaningrum: UU Ormas Jauh Lebih Lentur Ketimbang UU Pencemaran Nama Baik
IndoPROGRESS (IP): Mengapa UU Ormas itu harus ditolak? Apa yang berbahaya dari disahkannya UU tersebut?
Indri D. Saptaningrum (IDS): Sejak pembahasan kami termasuk yang tidak setuju dengan adanya pengaturan mengenai UU ormas ini, bahkan waktu itu sebenarnya kita usulkan kalau ada ya RUU pencabutan UU ormas. Diksi Ormas itu diciptakan dahulu pada masa Orde Baru untuk melakukan kontrol atas kebebasan berpendapat dan berkumpul, karenanya dia lebih merupakan diksi politis daripada terma hukum. Kalau terma hukum, sudah ada pengaturan yang lebih spesifik sesuai dengan karakter organisasinya, seperti UU yayasan, perkumpulan, atau bahkan organisasi politik diatur dalam UU mengenai Partai politik. Alih-alih menyelesaikan RUU perkumpulan yang sudah sejak dua tahun yang lalu diusulkan, mengapa justru DPR bersikeras untuk membuat UU Ormas ini.
Anehnya, apabila dilihat pengaturan pasal-pasalnya, untuk organisasi yang diatur melalui yayasan dan Perkumpulan, tetap berlaku pengaturannya sesuai dengan UU yang ada tersebut. Jadi, sebenarnya urgensinya apa kecuali menjustifikasi pasal-pasal tambahan yang memperketat kontrol terhadap ormas dengan ketentuan-ketentuan yang sangat kabur, seperti bab soal larangan pasal 59, kegiatan menyebarkan permusuhan, penistaan agama, kegiatan yang separatis yang mengancam kedaulatan. Ini semua adalah pasal lentur yang bisa diartikan apa saja, karena dalam penjelasan tidak secara rigid dirumuskan batasnya. Sudah banyak kasus penggunaan pasal-pasal pidana soal ini, seperti kasus Lia Eden, Alexander An atau Aan di Padang, dan berbagai kasus lain.
Dari komposisi ini, jelas terlihat kontradiksi antara gagasan apresiasi kontribusi organisasi masyarakat sipil seperti yang diutarakan di dalam penjelasan umum dengan paradigma pengaturan dalam pasal-pasal utamanya, dimana terlihat jelas pandangan bahwa ormas lebih dilihat sebagai ancaman seperti terlacak dari banyaknya aturan pembatasan dan sanksi pidana.
Sungguh ironis bahwa gagasan kebebasan yang mendorong terjadinya transisi politik di tahun 1998, bukan didukung dan dirawat tapi dimusnahkan pelan-pelan dengan makin banyaknya aturan seperti UU ormas ini. Bila disandingkan dengan berbagai aturan lain seperti UU intelijen, UU pengelolaan Konflik sosial, UU Informasi dan Transaksi elektronik, segera bisa dilihat bahwa gagasan kebebasan itu makin lama makin hilang.
IP: Siapa yang akan paling dirugikan dari disahkannya UU Ormas tersebut?
IDS: Mari kita lihat siapa yang diuntungkan terlebih dahulu. Menurut saya, yang diuntungkan tentu yang dengan segera mengambil langkah-langkah implementasi, dalam hal ini, saya lihat, Kementrian Dalam Negeri. Ini tampak sekali dengan keluarnya statemen yang akan segera menyiapkan peraturan pemerintah (PP) untuk melaksanakan UU ini, khususnya untuk tiga hal: soal pemberdayaan ormas, dan soal teknis pendaftaran dan pemberian sanksi. Sepertinya, pengesahan UU ini memperluas ruang kerja dan ruang Kementrian Dalam Negeri untuk memperluas yurisdiksi kontrol.
Yang paling dirugikan, tentu saja organisasi perkumpulan, yayasan, dan berbagai organisasi lain yang selama ini tidak berbadan hukum. Saya rasa tendensi ini justru berbalik 180 derajat dengan semangat gerakan sosial kontemporer yang difasilitasi kemajuan informasi teknologi, dimana berbagai orang berkumpul untuk satu tujuan sosial tertentu, mendasarkan pada kemandirian sendiri untuk dan bersifat sangat informal. Inisiatif-inisiatif inilah yang akan menjadi kelompok yang paling dirugikan karena dengan perumusan yang sangat lentur, semua musti tunduk dalam rejim pengaturan sebagai organisasi tak berbadan hukum. Padahal banyak sekali inisiatif baik, seperti indonesia berkebun, akademi berbagi, sharing ASI di antara para ibu-ibu, atau Jaring Merapi.
Kerugian terbesar, tentunya dengan adanya pasal-pasal larangan yang tidak secara tajam dan ketat dirumuskan. Bisa jadi organisasi manapun akan setiap saat menghadapi ancaman penutupan dan sanksi, karena ada satu orang atau beberapa orang yang tak senang dan merasa dirugikan dan melaporkan organisasi tersebut ke polisi. Dalam banyak kasus korupsi, modus ini dipergunakan untuk menyerang balik berbagai organisasi masyarakat, dengan mengajukan laporan ke polisi dan mendorong proses kriminalisasi atas dasar pencemaran nama baik. Pengaturan di UU ormas ini jauh lebih lentur dari pasal pencemaran nama baik, maka dapat dipahami mengapa kita melihat persetujuan atas pasal-pasal semacam ini merupakan suatu kemunduran besar.
Selain itu dari segi pembentukan aturan UU, jelas antara niat dan tujuan Pengadopsian gagasan ini sendiri sebenarnya merupakan suatu kemunduran, karena seperti menghidupkan kembali paradigma yang dipergunakan oleh rezim tiranik Orde Baru. Padahal dari segi tujuan awalnya dulu (sayang organisasi-organisasi yang dahulu terkena dampak langsung dari UU no 8 tahun 1985 justru seperti PMKRI, GMNI dari berbagai organisasi lain) justru tak bersuara. Padahal, sekali lagi, mereka akan kembali merasakan dampaknya secara langsung, seperti pasal yang menjustifikasi pemerintah untuk masuk ke dalam konflik yang tak berhasil diselesaikan oleh ormas yang diatur dalam pasal 57 UU ini.
IP: Bagaimana masa depan dari perjuangan HAM dan upaya-upaya pengungkapan kebenaran bagi pelanggaran HAM di masa lalu dengan disahkannya UU ini?
IDS: Saya rasa ini bukan melulu kekhawatiran saya sendiri. Perjuangan HAM itu bersifat lintas negara, merepresentasikan gagasan kosmopolitanisme dimana masalah ham disatu tempat merupakan tanggung jawab bagi semua masyarakat lintas batas negara. Ironisnya, hal ini akan dengan mudah mendapat serangan balik karena diangap sebagai intervensi asing. Sangat paradoks bahwa negara perlu mengontrol dan terganggu dengan elemen asing, sementara seluruh kebijakan pembangunan sendiri dilandaskan pada ketergantungan pada elemen asing, mulai dari utang, liberalisasi pasar, dan entitas bisnis asing. Dengan rumusan yang sangat lentur di UU ormas, niat baik mempromosikan hak asasi manusia bisa jadi dipersepsi sebagai ancaman hanya karena implementasinya melibatkan dan dipromosikan oleh organisasi yang berbadan hukum asing.
Secara khusus untuk pengungkapan kebenaran, jelas buat kami lahirnya UU ini akan membuat kami harus waspada, jika upaya pengungkapan kebenaran dengan sepihak bisa dipersepsi sebagai kegiatan yang menjadi ancaman bagi kesatuan negara. Apalagi bila kemudian atas laporan satu dua orang dengan mempergunakan celah diUU ini, kerja-kerja pengungkapan kebenaran yang dilakukan oleh baik NGO, organisasi korban maupun institusi lain yang diinisiasi masyarakat, harus mengalami kriminalisasi. Tentu saya tidak berharap ini benar-benar terjadi, tapi contoh penerapan UU informasi dan transaksi elektronik memberi kami pengalaman lain, dimana sekali menjadi UU pasal-pasal tersebut bisa dipergunakan sebagai instrumen efektif untuk menghentikan insiatif-insiatif masyarakat sipil.
IP: Respon apa yang kira-kira bisa dilakukan oleh gerakan pro-demokrasi dan HAM paska disahkannya UU Ormas ini?
IDS: Saya rasa ada berbagai kemungkinan yang sedang digagas dan akan segera ditawarkan sebagai agenda bersama berbagai organisasi masyarakat sipil. Pertama dari jalur konstitusional, jelas Uji konstitusional di depan MK menjadi alternatif konkrit yang segera bisa di lakukan.
Di luar itu, ada berbagai langkah yang sedang dikonsolidasikan oleh beberapa gerakan masyarakat sipil saat ini, seperti gagasan pembangkangan sipil untuk menunjukkan perlawanan bersama di luar jalur hukum yang ada. Meskipun demikian, saya rasa masih dibutuhkan perbincangan yang cukup mendalam untuk melihat berbagai kemungkinan tersebut. Yang jelas saya percaya perlawanan masyarakat tidak akan berhenti.***
——–
Ted Spraque: Tujuan UU Ormas ini Akumulasi Profit
IndoPROGRESS (IP): Apa dampak dari disahkannya UU Ormas tersebut bagi pembangunan gerakan anti kapitalisme-neoliberal di Indonesia?
Ted Spraque (TS): Disahkannya UU Ormas merupakan satu pukulan terhadap gerakan rakyat, karena ini memberikan satu lagi senjata legal bagi kelas penguasa untuk mengekang gerakan rakyat. Ruang demokrasi bagi rakyat pekerja yang berjuang untuk perbaikan nasib mereka dipersempit dengan undang-undang yang draconian dan semi-diktatorial ini. Namun, bukan berarti akan terjadi kemunduran di dalam gerakan. Sebaliknya, ini akan menciptakan situasi yang semakin tak tertanggungkan bagi rakyat. Ini akan menambahkan bahan peledak ke dalam masyarakat yang sekarang tidaklah kekurangan percikan-percikan. Rakyat yang sudah terampas hak ekonominya, sekarang juga terampas hak demokratisnya.
Sejumlah orang, melihat disahkannya UU Ormas ini, lantas menjadi panik dan berteriak gelisah mengenai bahaya fasisme dan kembalinya Orba. Menurut saya, ini adalah kepanikan yang tidak beralasan dan terlalu dini disiarkan. Pemerintah mencanangkan UU ini bukan dalam situasi dimana gerakan telah mengalami keletihan dan kekalahan besar berturut-turut. Gerakan, terutama gerakan buruh, justru secara umum sedang mengalami kebangkitan dan mencetak kemenangan-kemenangan materiil maupun spiritual dalam bentuk menguatnya rasa percaya diri mereka. Dalam skala dunia, gerakan juga sedang mengalami naik pasang, sementara krisis dunia tidak kunjung reda. Pendeknya, momentum dalam gerakan tidak ditentukan oleh ada tidaknya undang-undang yang represif, tetapi ditentukan oleh situasi objektif yang ada. Selain itu, tidak kalah pentingnya, adalah situasi subjektif, yakni kesiapan organisasi dan kepemimpinan revolusioner dalam memenuhi tugas-tugas yang ada di depannya.
Kepanikan tidak beralasan hanya akan mendorong kita ke kebijakan-kebijakan yang oportunis. Apa-yang-disebut ‘bahaya fasisme’ lalu dijadikan pembenaran tak-terbantahkan untuk membentuk front dengan elemen-elemen borjuasi ‘progresif.’ Perjuangan kelas lalu ditumpulkan atau ditunda demi perjuangan demokrasi yang katanya mendesak, karena kita tidak ingin menakut-nakuti sekutu borjuasi demokrat kita dengan tuntutan-tuntutan kelas. Rakyat pekerja hanya bisa percaya pada kekuatannya sendiri. Dalam berbagai kesempatan, elemen-elemen borjuasi demokrat dan liberal telah menunjukkan bahwa mereka tidak punya tulang punggung, tidak konsisten, dan tidak serius dalam memperjuangkan hak-hak demokratis rakyat. Dalam peperangan, seorang jendral yang baik tidak akan mencampuradukkan pasukannya yang kuat dengan pasukan sekutu yang lemah. Dengan elemen-eleman lain yang juga menentang UU Ormas ini, dan undang-undang draconian lainnya, kita dapat ‘berbaris terpisah memukul bersama,’ tidak menggadaikan prinsip kita dan tidak mencampur aduk panji.
IP: Menurut Anda mengapa Parlemen mensahkan UU Ormas itu?
TS: Profit. Inilah alasan disahkannya UU Ormas. Pemilik modal memerlukan iklim investasi yang kondusif, dan salah satu syarat untuk ini adalah kestabilan sosial. Negara harus dapat memberikan jaminan kepada pemilik modal kalau bisnisnya akan berjalan lancar. UU Ormas dan undang-undang serupa lainnya adalah jaminan yang dituntut oleh pemilik modal ini. Yang dikorbankan adalah kebebasan rakyat pekerja demi kebebasan pemilik modal untuk meraup laba.
Dalam periode krisis kapitalis hari ini, jaminan akan kestabilan iklim investasi menjadi semakin diperlukan. Untuk keluar dari krisis ini, kapitalis harus menginjak punggung rakyat pekerja sampai remuk. Rakyat pekerja dipaksa membayar untuk krisis ini, dan ini tidak bisa tidak menghasilkan reaksi. Kita telah saksikan gelombang demonstrasi dan pemogokan yang menyapu dunia dalam lima tahun terakhir, yang merupakan respon rakyat pekerja terhadap program penghematan yang dipaksakan terhadapnya dan intensifikasi penindasan dan eksploitasi. Kapitalis harus menyeimbangkan kekacauan ekonomi ini, dan dalam usahanya tersebut ia merusak keseimbangan sosial dan politik. Ledakan-ledakan telah terjadi dalam frekuensi dan skala yang menyentakkan semua orang, tidak hanya kelas penguasa tetapi bahkan rakyat pekerja juga. Dalam kurang dari satu bulan saja pemberontakan massa terjadi di Turki, Brasil, Portugal, dan Mesir.
Tidak hanya di Indonesia, di seluruh dunia berbagai UU dan kebijakan anti-demokrasi mulai galak diimplementasikan. Di Amerika, baru saja terungkap skandal spionase PRISM, dimana pemerintah AS menyadap komunikasi tidak hanya warga negaranya sendiri tetapi juga Eropa. Penyadapan ini bukanlah untuk menangkap teroris, tetapi untuk persiapan pertempuran-pertempuran kelas yang akan segera datang. Tidak lama kemudian, terkuak bahwa pemerintahan Kanada juga melakukan hal yang sama. Beberapa hari yang lalu, Prancis, negeri yang dikenal dengan Revolusi Prancis yang menyalakan obor kebebasan di dunia, juga ketahuan mengumpulkan data-data komunikasi warganya. Facebook, Google, Yahoo dan semua perusahaan komunikasi raksasa terlibat dalam spionase terhadap rakyat pekerja. Ini semua adalah persiapan untuk perjuangan kelas yang akan semakin menajam di hari depan. UU Ormas di Indonesia adalah bagian dari serangan umum terhadap kebebasan demokrasi rakyat pekerja, bagian dari menajamnya perjuangan kelas antara kapital dan buruh.
IP: Yang menarik, dua dari tiga partai yang menolak pengesahan UU Ormas tersebut, adalah Partai Hanura dan Partai Gerindra, yang dipimpin oleh dua mantan jenderal. Sementara mayoritas partai politik, kecuali PAN, yang mengesahkan UU tersebut dipimpin oleh politisi sipil. Apa penjelasan Anda soal ini?
TS: Tidak ada skema kaku dan abadi kalau politisi sipil akan cenderung lebih demokratis, dan politisi militer akan lebih cenderung diktatorial. Pembagian politik menjadi sipil dan militer yang dilakukan oleh ahli-ahli ilmu politik adalah sebuah kekeliruan yang justru dapat menyebabkan kebingungan seperti ini: mengapa partai-partai militer justru tampak lebih demokratis?
Semua partai yang ada hari ini melayani kepentingan kapitalis, tetapi mereka tidak selalu setuju apa cara terbaik untuk melayani kepentingan kapitalis ini. Inilah mengapa dalam situasi krisis kita biasanya dapat saksikan para politisi borjuasi pecah dan bertengkar mengenai bagaimana cara terbaik untuk menyelamatkan kapitalisme. Namun dalam situasi yang bukan krisis pun kita dapat melihat perpecahan sementara antara para politisi borjuasi. Jarang sekali kita akan melihat seluruh politisi borjuasi bergerak dalam satu blok yang homogen, seiya dan sekata.
Ketiga partai yang menolak UU Ormas ini tidak menolaknya secara prinsipil, tetapi hanya meminta penundaan saja agar UU ini dapat digodok dengan lebih baik. Mereka tidak percaya kalau UU ini akan melayani kepentingan kapitalis dengan cara yang terbaik, tetapi mereka juga tidak menolaknya secara prinsipil. Bahkan sebenarnya UU Ormas ini dalam tingkatan tertentu adalah provokasi yang tidak diperlukan. Tanpa UU ini saja kelas penguasa dan aparatus pemerintaha sudah bisa merepresi berbagai organisasi pergerakan dengan cara-cara legal, semi-legal, sampai ekstra-legal – seperti yang memang telah biasa dilakukan. Namun tampaknya pemilik modal dan investor menginginkan jaminan pasti dalam bentuk formal dari pemerintahan.
Kalau kebetulan dua dari tiga partai yang menolak adalah partai yang dibina tokoh militer seperti Prabowo dan Wiranto, kita mungkin bisa melempar beberapa spekulasi. Mungkin mereka telah menimbang-nimbang berbagai hal, salah satunya adalah citra partai mereka – yang sudah terkaitkan dengan militer – akan menjadi lebih buruk bila mereka kelihatan mendukung undang-undang yang anti demokratis. Selain itu mereka pikir oposisi lemah mereka juga tidak akan menghentikan disahkannya UU tersebut, sehingga ketidaksetujuan mereka tidak akan mengubah apapun. Atau sebagai militer, mereka lebih paham bahwa Negara sebenarnya tidak memerlukan formalitas undang-undang untuk merepresi organisasi-organisasi pergerakan, yakni UU Ormas ini hanya menciptakan provokasi yang tidak diperlukan. Apapun alasan mereka, ini tidak mengubah kenyataan bahwa partai-partai oposisi ini akan siap sedia menumpas perjuangan kelas bila dibutuhkan, bahwa basis kelas mereka adalah kapitalis.
IP: Respon apa yang kira-kira bisa dilakukan oleh gerakan anti Kapitalisme-neoliberal paska disahkannya UU Ormas ini?
TS: Propaganda luas harus dilakukan oleh gerakan untuk mengekspos basis sesungguhnya dari UU Ormas ini, yakni kepentingan modal. Setiap perjuangan demokrasi harus dihubungkan dengan kepentingan kelas, dan hanya dengan demikian ia akan menjadi lebih konsisten dan punya kekuatan yang riil. Serikat-serikat buruh telah mulai melakukan mobilisasi untuk melawan UU Ormas ini, dan ini adalah respon yang tepat. Pemogokan umum harus disiapkan tidak hanya untuk tuntutan ekonomis tetapi juga untuk tuntutan demokratis menolak RUU Ormas.
Sekali lagi, yang perlu dijauhi adalah kepanikan tidak beralasan, yang lalu jadi pembenaran untuk pendekatan oportunis dimana kemandirian kelas digadaikan untuk front demokratis luas. Kemandirian kelas harus jadi semboyan utama yang tidak terbantahkan dalam gerakan rakyat pekerja.***
———
Justinus Prastowo: UU Ormas menjadi Lonceng Kematian Bagi Reformasi
IndoPROGRESS (IP): Apa ancaman yang paling nyata dan berbahaya dari disahkannya UU Ormas tersebut?
Justinus Prastowo (JP): Menurut saya, yang paling berbahaya justru dari sisi konteksnya. UU Ormas ini lahir dari rahim Reformasi, sebuah upaya mengoreksi rezim Orde Baru yang identik dengan otoritarianisme termasuk pemilik ide menertibkan masyarakat melalui UU Ormas ini. Ini ironi terbesar, bahkan menurut saya puncak dari konsolidasi anasir Orde Baru yang telah semakin mantap dan matang dalam membajak proyek Reformasi. 15 tahun Reformasi yang terjadi bukannya tata masyarakat yang bebas membentuk asosiasi atau perkumpulan berdasarkan motif partisipatif, melainkan keterusterangan kubu anti-demokrasi menihilkan esensi demokrasi itu sendiri. Asumsi-asumsi yang dibangun pembuat UU jelas mengandung kesesatan nalar dan cacat logika yang akut. Pengesahan UU Ormas hemat saya menjadi lonceng kematian bagi gerakan Reformasi. Logika yang digunakan masih sama: pendisiplinan. Padahal konteks sosio-politik sudah jauh lebih maju, yaitu masuk ke era kontrol melalui teknologi. Dan celakanya, teknologi adalah arena yang licin, sehingga pendekatan yang tepat bukan formalisasi regulatif melainkan intervensi kontestatif via pertarungan gagasan, keterlibatan, dll. Bagaimana kita bisa berharap pada paradigma usang yang justru anti-demokrasi kan? Kita seolah hidup di dua dunia: situasi yang meniscayakan demokrasi tapi aktor-aktornya tidak paham bahkan membajaknya. Demokrasi tanpa ruang deliberasi.
IP: Dengan banyaknya kekerasan sektarian yang dilakukan oleh ormas-ormas seperti FPI atau FUI, bukankah kehadiran UU Ormas terebut tampak relevan? Pendapat Anda?
JP: Betul sekali. Inilah kelihaian pemerintah dan anasir Orde Baru memainkan psikologi massa. Maraknya kekerasan oleh ormas tertentu itu dijadikan prakondisi dan rationale UU ini. Jika dicermati konstruksi konsideran RUU Ormas, tampak ada lompatan logika yang luar biasa berbahaya. Bagaimana tiba-tiba dari penghormatan hak asasi – salah satunya berserikat atau berkumpul yang dijamin konstisusi – tiba-tiba bisa menjadi mandat bagi Negara untuk mengatur dan menertibkan warganya yang secara asasi memiliki kebebasan berserikat? UU Ormas tidak akan menyelesaikan maraknya ormas yang ‘tidak tertib’ ini. Pelanggaran terjadi justru karena mereka cukup paham bahwa Negara ini lemah berhadapan dengan kekerasan komunal. Pemerintah kita butuh legitimasi untuk menertibkan Ormas di satu sisi, tapi di sisi lain selama ini tak pernah berani melakukan penegakan hukum, hal yang justru lebih mendasar dan penting. UU Ormas hanya akan mempercepat lunturnya legitimasi pemerintah, karena praktis mereka akan mendapat antipati dari kubu pro-demokrasi dan akan selalu diolok-olok oleh Ormas-ormas yang gemar melakukan aksi kekerasan dan main hakim sendiri itu.
IP: Ketimbang mengesahkan UU Ormas itu, seharusnya apa yang lebih penting dilakukan pemerintah untuk mengatasi aksi-aksi vigilantisme yang marak selama ini?
JP: Jelas sekali yang absen dari sistem pemerintahan dan politik kita adalah penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu. Negara tampak begitu lemah dan lunglai di hadapan aksi-aksi vigilantisme. Terlebih jika aksi ini dibumbui isu agama atau suku. Ini jelas memprihatinkan. Raison d’etre perlunya pemerintah – entah paling minimal sebagai penjaga malam pun – tak bisa dihadirkan di sini. Sejatinya tanpa penegakan hukum yang baik, demokrasi telah menjadi formalisasi arena praktik predatorik entah berbasis modal, kuasa primordial, maupun kebencian primitif. Presiden sendiri tak pernah menyadari legitimasinya yang kuat, selalu diam seribu bahasa terhadap kekerasan, tak pernah (mau) menginstruksikan aparat koersif Negara untuk bertindak. Dalam perspektif Gramscian, Negara sudah selalu mengandung kekuatan persuasi dan koersi, mekanisme persetujuan dan paksaan. Perwujudannya, Negara harus mampu menjalankan kekuatannya secara efektif dengan mempraktikkan instrument-instrumen hegemonik yang dimilikinya. Ini privilege Negara yang sejauh ini disia-siakan.
IP: Respon apa yang kira-kira bisa dilakukan oleh gerakan penentang UU pasca disahkannya UU Ormas ini?
JP: Secara formal kita dapat melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Saya melihat ada peluang besar di sana jika kita berangkat dari visi hakim MK yang cukup progresif. Langkah berikutnya, saya kira, aksi politik. Kita harus bertarung menguliti hingga tuntas siapa saja aktor di balik lolosnya UU Ormas ini. Mereka pengkhianatan Reformasi, sudah sepantasnya dihukum secara politik. Karena terlalu fokus pada pemberantasan korupsi, bahkan mungkin terlampau higienis terhadap kekumuhan politik, kita lupa UU Ormas ini sebagai ranah yang paling berbahaya bagi masa depan demokrasi. Jika upaya di MK gagal, konsolidasi harus dilakukan untuk memastikan pencabutan UU Ormas sebagai program aksi calon legislator dan kampanye partai politik.***