MUNGKIN kita harus memulai dari suatu afirmasi, bahwa perilaku korup elit politik borjuasi sekarang sudah mencapai pada tahap yang sangat menjijikan. Penetapan Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, terkait kasus korupsi Hambalang, penangkapan eks-Presiden PKS Luthfi Hasan Ishak dalam kasus korupsi impor daging sapi Departemen Pertanian, diciduknya Andi Mallarangeng, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga sekaligus kader Partai Demokrat, karena kasus korupsi Hambalang; serta berbagai kasus korupsi lainnya baik dalam skala besar maupun kecil di Indonesia, menunjukkan bahwa perilaku korup elit adalah suatu wabah yang sudah sangat meluas. Kondisi yang tentu saja harus direspon segera dalam rangka pemberantasan masalah elit korup ini.
Akan tetapi di tengah urgensi ini, upaya yang dilakukan masih terasa belum mencukupi. Salah satunya dapat dilihat pada bagaimana korupsi dikonstruksikan dalam pemahaman publik. Narasi umum yang menyeruak di masyarakat adalah korupsi dipahami sebagai problem moral dalam politik. Semenjak politik dengan para elit politik bukanlah tidak bermoral, maka tindakan politik mereka pasti akan korup. Dengan sedikit mengutip adagium popular (sekaligus menyesatkan) dari Lord Acton tentang kekuasaan yang korup, narasi ini hendak menyatakan bahwa hubungan politik dengan korupsi sangatlah erat, sehingga konsekuensi dari narasi ini adalah menganjurkan sebuah laku politik yang bermoral untuk mengatasi korupsi.
Narasi lain yang tidak kalah populernya dengan narasi pertama, adalah pemahaman bahwa korupsi dilihat sebagai devian atau penyimpangan dalam sistem politik. Sistem politik yang ada dilihat sebagai sistem yang dengan sendirinya sudah baik, namun keberadaan beberapa oknum yang bertindak dil uar kerangka sistem membuat terjadinya korupsi. Di sini kemudian dapat dilihat bahwa korupsi bersifat eksternal dari sistem politik, karena korupsi dilihat sebagai penyimpangan dari sistem itu sendiri.
Walau terdengar berbeda, namun pada dasarnya dua narasi popular ini merupakan dua sisi dari keping koin yang sama. Keduanya memistifikasi korupsi sebagai fenomena yang terpisah dari relasi kekuasaan. Padahal jika diperiksa secara seksama, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Dalam hal ini dapat ditemukan bahwa ada dimensi relasi kekuasan ketika korupsi dilakukan sebagai praktik. Korupsi selalu mensyaratkan adanya pola hubungan sosial yang tidak setara. Itu sebabnya korupsi selalu bersifat politis, karena tindakan ini selalu dilakukan oleh mereka yang lebih berkuasa dibanding posisi sosial lainnya.
Mistifikasi atas korupsi berimplikasi pada tawaran-tawaran semu mengenai pemberantasan korupsi, yang jika diperhatikan, sama sekali tidak menyentuh akar masalah dari korupsi itu sendiri. Solusi-solusi seperti, ‘jadikan orang baik sebagai pemimpin,’ ‘hukum mati koruptor,’ ‘perbaiki sistem pengawasan,’ dan lain-lain. Tanpa menyentuh problem relasi kekuasaan, tawaran-tawaran tersebut hanya menciptakan, apa yang disebut Zizek sebagai upaya ‘pseudo-konkrit,’ dimana upaya konkrit yang dilakukan tidak akan menciptakan perubahan konkrit apapun.
Keterbatasan ini tentu saja harus diatasi. Artikel ini berupaya untuk memberikan penjelasan lain sekaligus radikal mengenai korupsi dan upaya mengatasinya. Korupsi harus dilihat dalam konteks ekonomi politik kapitalisme yang berproses di Indonesia. Penjelasan alternatif ini, menurut saya, akan memperluas ruang berpikir kita sekaligus membuka kemungkinan baru mengenai praktik-praktik politik yang baru pula dalam rangka mengatasi korupsi yang semakin memperburuk kehidupan rakyat pekerja Indonesia.
Fungsi korupsi dalam Kapitalisme
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, posisi analitis yang sangat krusial adalah bagaimana menempatkan korupsi dalam konteks relasi kekuasaan masyarakat Indonesia dimana korupsi beroperasi. Untuk itu, terlebih dahulu kita harus menjawab satu pertanyaan penting, apa relasi kekuasaan yang melingkupi operasionalisasi korupsi sekarang? jawaban yang paling jelas, namun seringkali diabaikan oleh banyak orang sekarang, adalah kita kini berada dalam batasan relasi kekuasaan modus produksi kapitalisme. Kapitalisme sebagai relasi, dalam arti suatu relasi sosial yang berlandaskan pada hukum nilai dan pertukaran komoditas dalam rangka akumulasi keuntungan. Tidak ada satupun bentuk relasi sosial sekarang yang luput dari prinsip kerja kapitalisme. Manifestasi upah, primasi uang dan terbentuknya kelas-kelas sosial antara pengusaha dan pekerja berikut dengan ‘kelas menengah,’ adalah bukti bahwa kapitalisme adalah epos relasi sosial dan politik yang berlaku di Indonesia sekarang ini.
Akan tetapi pengakuan korupsi dalam kapitalisme tidak dengan sendirinya menjadi mencukupi. Masalah utama dalam proposisi ini adalah kapitalisme tidak selalu membutuhkan korupsi dalam mekanisme kerja utamanya. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, korupsi bisa menjadi parasit bagi kapitalisme dimana ia akan mengurangi tingkat keuntungan yang sudah diakumulasi dalam kapitalisme. Hal ini setidaknya dapat dilihat pada bagaimana keberadaan Negara kapitalis maju, dimana mereka sanggup menekan tingkat korupsi di Negara mereka untuk memastikan bahwa akumulasi yang dilakukan berjalan secara efektif dan efisien.
Untuk itu kita harus memproblematisasi lebih lanjut mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan kapitalisme yang berlaku di Indonesia. Hal ini harus ditarik pada bagaimana kapitalisme berkembang di Indonesia. Kapitalisme di Indonesia tidak berkembang dalam trajektori organik masyarakat Indonesia itu sendiri, namun perkembangan kapitalisme Indonesia selalu terkait dengan perkembangan kapitalisme yang bergerak dalam skala internasional. Dalam hal ini secara historis perkenalan kapitalisme di Indonesia dilakukan dalam rupa imperialismenya. Ketika introduksi kapitalisme di Indonesia harus dilakukan melalui imperialisme, maka Implikasi struktural dari proses kapitalisme ini adalah terjadinya suatu pembangungan yang tidak setara (uneven development) dalam kapitalisme Indonesia. Premis utama dari ketidaksetaraan pembangunan dalam kapitalisme adalah adanya perbedaan atau diferensiasi relasi sosial dalam masyarakat yang membuat perkembangan masyarakat dalam kapitalisme juga memiliki karakteristik yang berbeda. Dalam kasus Indonesia, misalnya, relasi sosial yang berlaku sebelumnya dalam masyarakat Indonesia tidak bersifat kapitalis atau non-kapitalis, karena tidak mendasarkan hubungan masyarakatnya pada pertukaran komoditas. Ketika imperialisme masuk dan bercokol di bumi Indonesia, maka relasi sosial kapitalis tersebut berkeliat-kelindan dengan relasi sosial masyarakat Indonesia yang sebelumnya non-kapitalis.
Dalam konteks perkembangan kapitalisme Indonesia yang tidak setara inilah kita dapat menempatkan bagaimana korupsi beroperasi dan fungsional dalam kondisi kekinian masyarakat Indonesia sekarang. Korupsi harus dilihat dalam posisinya yang kontradiktif, karena korupsi adalah perilaku sosial yang eksternal terhadap kapitalisme; karena ia dapat bersifat parasitik terhadap keuntungan, namun juga bersifat internal karena secara struktural korupsi sangat fungsional dalam mendorong terjadinya akumulasi keuntungan lebih lanjut, karena dihadapkan pada kondisi perkembangan kapitalisme yang tidak setara tersebut. Fungsionalitas korupsi sebenarnya terkait dengan bagaimana agar akumulasi kapital dapat dimungkinkan di tengah keberadaan relasi sosial non-kapitalis. Sumber utama kapitalisme dalam rangka penciptaan keuntungan dilakukan oleh eksploitasi atas relasi kapitalis, yakni relasi pekerja upahan. Namun karena relasi sosial kapitalis ini berkeliat-kelindan dengan keberadaan relasi sosial non-kapitalis lainnya, seperti misalnya masih berlakunya kohesivitas masyarakat tradisional, masih adanya pranata nilai lama dalam masyarakat indonesia, dll, maka proses ini tidak dapat berlangsung dengan umumnya eksploitasi kapital pada umumnya. Dalam hal ini maka dibutuhkan satu mekanisme ekstra-ekonomi yang dapat mendisiplinkan relasi sosial non-kapitalis agar dapat terinklusi dalam proses umum akumulasi kapital. Korupsi menjadi modus tambahan dalam proses akumulasi, karena korupsi menciptakan suatu prakondisi penting dalam proses akumulasi. Dalam hal ini kemudian korupsi mengisi celah kontradiktif dari perkembangan kapitalisme Indonesia, sekaligus menjadi ‘oli’ agar mesin akumulasi kapital dapat berjalan.
Penjelasan ini sangat logis mengingat ketika korupsi dilakukan maka akumulasi kapital dimungkinkan untuk terjadi di Indonesia. Sudah sering kita temukan dalam pengalaman keseharian kita, ketika para penguasa berhasil untuk disuap atau bertindak korup, kebijakan politik yang dihasilkan selalu berpihak untuk akumulasi kapital lebih lanjut (misalnya, penyuapan yang dilakukan perusahaan X ke pejabat publik tertentu agar proyek perusahaan tersebut bisa jalan). Di sini akumulasi kapital dimungkinkan karena otoritas korup tersebut kemudian akan menggunakan instrumen kekuasaan mereka guna memastikan bahwa proses akumulasi keuntungan bisa dilakukan. Tidak heran jika banyak kasus perlawanan rakyat pekerja terhadap kebijakan politik yang mendukung akumulasi kapital pasti akan menemukan adanya keterlibatan penguasa yang korup tersebut ketika menelurkan kebijakannya.
Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa korupsi adalah elemen penting bagi terbentuknya kelas kapitalis Indonesia. Walau banyak ‘rengekan-rengekan’ tentang korupsi yang merugikan Indonesia, namun secara nyata kerja kapitalisme Indonesia tidak terganggu sama sekali. Indonesia masih mencatat angka pertumbuhan yang relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang lain. Fakta ini dapat mengatakan bahwa masifnya prilaku korupsi yang berlaku di Indonesia pasti memiliki kontribusi yang sangat penting bagi mekanisme kerja kapitalisme yang ada di Indonesia sekarang.
Perjuangan kelas pekerja sebagai agenda politik anti korupsi
Fungsionalitas korupsi dalam kapitalisme di Indonesia menunjukan bahwa korupsi bersifat internal dalam kapitalisme Indonesia itu sendiri. Korupsi menjadi penting untuk memperlancar akumulasi kapital Indonesia yang tersendat karena masih adanya keberadaan relasi sosial non-kapitalis. Pemahaman ini dapat membantu kita untuk membangun perspektif bahwa upaya untuk mengatasi korupsi adalah bagian penting dalam perjuangan kelas rakyat pekerja untuk menumbangkan kapitalisme itu sendiri. Dalam hal ini dialektika antara anti korupsi dan perjuangan kelas harus dilakukan. Perjuangan anti korupsi yang ada sekarang harus mulai memiliki dimensi kelas di dalamnya, dalam artian perjuangan anti-korupsi merupakan bagian untuk pengorganisasian secara politik rakyat pekerja yang ditindas sekaligus dieksploitasi oleh kapitalisme. Di sisi yang lain, organisasi politik rakyat pekerja sekarang harus memiliki penjelasan yang strategis sekaligus taktis mengenai anti korupsi itu sendiri dalam rangka menumbangkan kapitalisme.
Perspektif ini penting untuk memandu kita bukan hanya ketika menghadapi musuh nyata perjuangan kelas pekerja itu sendiri, tapi sekaligus juga melawan ‘kawan semu’ rakyat pekerja yang banyak bermunculan karena kontradiksi yang muncul oleh korupsi itu sendiri. Salah satu bentuk proposal yang banyak diajukan oleh ‘kawan semu’ ini adalah pentingnya rakyat pekerja ikut berkontestasi dalam ruang politik yang tersedia. Rakyat pekerja, dengan para wakil-wakilnya, harus masuk dalam proses politik yang tersedia untuk menjamin adanya keseimbangan kekuasaan kelas (balance of class power) dalam rangka mengatasi akar kuasa korupsi itu sendiri, yakni ketimpangan relasi kuasa. Di sini kita bisa melihat bahwa representasi yang lebih baik dengan keterlibatan mereka yang diekslusi secara sistemik akan membantu mengatasi problem sistemik korupsi. Masalah utama yang dilupakan oleh ‘kawan semu’ ini adalah ruang politik yang tersedia adalah ruang politik yang sepenuhnya didefinisikan oleh kapitalisme. Ruang politik dalam kapitalisme selalu memiliki keterbatasan untuk menghadapi kapitalisme serta korupsi yang merupakan elemen fungsional dari kapitalisme itu sendiri.
Keterbatasan proposal politik para ‘kawan semu’ ini memiliki presedennya dalam pengalaman politik Filipina. Pasca kejatuhan Marcos, kelompok-kelompok progresif di negara itu mengajukan proposal politik ‘alternatif’ yang kemudian diadopsi menjadi apa yang disebut sebagai sistem Daftar-Partai (Party-List System). Sistem ini pada dasarnya berupaya untuk mengubah relasi kekuasaan yang ada semenjak kekuasaan Marcos. Ide dari sistem ini adalah sederhana, bagaimana untuk mengikutsertakan seluas mungkin kelompok-kelompok sosial yang selama ini tidak dapat masuk dalam ruang politik yang ada (atau kelompok marjinal) yang ditenggarai menjadi penyebab tidak adanya kontrol publik atas perilaku korupsi rezim. Kelompok-kelompok ini diperkenankan untuk mengikuti kontestasi politik dengan membangun organisasi yang kemudian diikutsertakan dalam daftar partai peserta pemilu. Walau terlihat maju ditingkatan praktis, namun secara prinsip ideologis model akomodasi politik seperti ini memiliki kelemahan mendasar. Semenjak upaya ini memperlakukan relasi kekuasaan politik diperlakukan otonom dari kapitalisme, maka yang terjadi adalah relasi kekuasaan mengalami perubahan namun masih memiliki karakter relasi kuasa kapitalis dengan akumulasi kapital sebagai prinsip utamanya. Ini, misalnya bisa dilihat dari adanya relasi kekuasaan korup yang tadinya hendak diubah justru bertransformasi menjadi bentuknya yang lain. Bentuk relasi kekuasaan memang berubah. Aktor politik dominan bukan lagi orang-orang dekat Marcos. Walau begitu, relasi politik yang muncul kemudian tidak berbeda dengan relasi politik yang ada pada masa Marcos, dimana aktor-aktor politik baru ini mereproduksi kembali relasi kekuasaan politik yang korup ala Rezim Marcos. Tidak heran jika kemudian dalam pengalaman sistem Daftar-partai, kekuatan politik baru yang korup (yang dimanifestasikan dalam pengalaman Filipina sebagai para tuan-tuan tanah) ini kemudian dapat mengkooptasi ide ‘inklusi kelompok marjinal’ melalui pembentukan organisasi kelompok marjinal yang kemudian menjadi kendaraan politik bagi para aktor politik korup ini.
Anti-korupsi sebagai agenda politik kelas dalam rangka perjuangan kelas menempatkan relasi kekuasaan dalam kapitalisme sebagai problem yang harus diatasi dalam rangka mengatasi korupsi. Dalam artian, harus ada upaya untuk mengalahkan/menundukkan/menghancurkan kepentingan politik kelas kapitalis dalam proses politik yang. Inilah kunci jika memang korupsi hendak diberantas. Dalam hal ini, tentu saja tidak dengan menjaga jarak dengan ruang politik yang tersedia dalam kapitalisme, namun dengan melakukan demistifikasi ruang politik kapitalisme itu sendiri melalui perluasan ruang politik dalam rangka mendefinisikan ulang ruang politik yang ada sebagai sepenuhnya ruang politik rakyat pekerja.
Berdasarkan argumen ini, maka menurut saya, perjuangan kelas sebagai bahasa politik rakyat pekerja Indonesia harus terus dimunculkan dalam wacana publik keseharian. Dalam pandangan saya, perjuangan kelas merupakan solusi politik struktural yang paling mungkin dan rasional dalam menjawab problem korupsi saat ini.***
Muhammad Ridha, anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP) dan pemimpin redaksi Left Book Review (LBR)