SETIAP materialisme yang konsekuen dan murni, yang hendak menegaskan suatu objektivitas secara absolut, selalu menghadapi apa yang dapat disebut ‘problem makna.’ Problem tersebut dapat dirumuskan kurang-lebih sebagai problem “subjektivitas”: sejauh mana seorang subjek materialis dapat melibatkan diri dalam kesejarahan yang objektif, sambil di sisi lain, tetap memungkinkannya memaknai keterlibatan tersebut secara subjektif, dalam totalitas kediriannya yang terdalam, dengan segala denyut dan keringat pengalamannya?
Sejak Althusser menggambarkan sejarah sebagai ‘proses tanpa subjek,’ ‘subjek’ seolah menjadi kata terlarang yang berasal dari masa silam yang usang. Digantikan oleh ‘struktur’—yang kemudian mengental dalam sintesis antara Marxisme dan strukturalisme—’subjek’ menghilang, bersama dengan sisa-sisa humanisme yang memuja keotentikan manusia, suatu pemikiran yang menempatkan ‘manusia’ sebagai ‘esensi metafisis’ abstrak. Dalam hal ini, Althusser melakukan pembalikan seperti yang dilakukan Marx terhadap Feuerbach: menjelaskan “manusia” bukan suatu entitas metafisis, tapi sebagai suatu entitas bentukan sejarah yang imanen yang dapat dijelaskan seturut kondisi-kondisi materialnya yang objektif. Namun bersama pembalikan ini pula, terjadi sesuatu yang saat itu tampak menjadi keniscayaan tapi kini dapat dipertanyakan ulang, yakni pemutusan materialisme Marxis dari warisannya yang kaya tentang pemikiran subjek yang terdapat misalnya—untuk menyebut beberapa yang menonjol—dalam eksistensialisme Sartrean dan Mazhab Frankfurt awal (Marcuse, Adorno, Horkheimer, Benjamin).
Pemutusan ini membawa suatu perubahan yang tidak sederhana. Tuntutan untuk mengejar objektivitas, dengan menjadikan Marxisme suatu sains yang didasarkan pada ekonomi-politik, di satu sisi, mentransformasikan Marxisme ke dalam medan yang sama sekali baru, yakni medan teoretik dan praktik yang tertuju secara khusus pada analisis (atau ‘kritik imanen’) atas watak kapitalisme itu sendiri dan penyediaan perkakas teoretis bagi perjuangan anti-kapitalisme—sesuatu yang ironisnya kurang mendapat perhatian memadai, dan bahkan nyaris absen, dari pemikiran para Marxis-eksistensialis. Pendasaran, atau refondasionalisasi, Althusser terhadap Marxisme yang didefinisikan dengan memformalkan diamat dan histomat sebagai dua aksiomanya (melalui pembacaannya yang sama sekali baru atas teks-teks akhir Marx dan Lenin) mengubah konfigurasi Marxisme ke dalam wajah yang, sekali lagi, sama sekali baru. Kebaruan Althusser terletak terutama pada metodenya: Marxisme sebagai suatu metode. Dengan metode ini, secara langsung muncul suatu proses diskriminasi dan seleksi tentang keabsahan teoretik materialis-tidaknya suatu pemikiran. Sejauh mana sebuah pemikiran konsisten disebut materialis, dan karenanya Marxis, diukur dari konsistensinya pada dua sumbu diamat dan histomat. Diskriminasi dan seleksi ini hanya menyediakan dua kemungkinan bagi Marxisme pasca-Althusserian yang selalu bekerja dengan logika disjungtif: ideologi atau sains; sebagai ideologi, dan karenanya bukan sains, atau sebagai sains, dan karenanya bukan ideologi.
Secara teoretik, dengan proses saintifikasi Marxisme ini, kita mendapatkan suatu suasana baru di mana militansi pada tingkat teoretik menyatu dengan militansi pada tingkat praktik—kerja Althusser tidak lain adalah kerja penyatuan ini. Karena itu, Marxisme menjadi sesuatu yang integral sebagai pola pikir dan gerak, sebagai teori dan strategi, sebagai suatu intelektualisme dan aktivisme. Kerja-kerja Marxis sejak itu identik dengan kerja distingsiasi dan pemilahan antara sains dan ideologi, dengan kritik dan kecurigaan yang permanen terhadap ideologi sebagai sesuatu yang berpotensial menyusup masuk ke dalam cara berpikir saintifik—pada tingkat teoretik, itu berarti tak lain adalah pembersihan terus-menerus Marxisme dari cara berpikir ideologis, yang berpangkal terutama pada cara berpikir yang ‘subjek-sentris’ atau selalu bertolak dari persoalan subjek, dalam berbagai bentuknya. Inti dari sasaran kritik Althusser jelas: berbagai filsafat, konsepsi, atau teori yang memprimasikan subjektivitas daripada objektivitas, yang lebih memprioritaskan kesadaran daripada materi, yang menempatkan hal-hal yang “immaterial” sebagai penentu daripada kondisi-kondisi historis yang objektif. Hal ini menempatkan Marxisme pasca-Althusser secara diametral dan oposisional dengan fenomenologi, sejauh fenomenologi dipandang sebagai kulminasi dari idealisme dalam bentuknya yang paling mutakhir di abad ke-20. Ini menjelaskan mengapa Marxisme eksistensialis tidak lagi mendapat tempat dalam medan teoretik ini, karena mereka masih mendasarkan diri pada problem-problem yang diajukan oleh fenomenologi abad ke-20.
Pendasaran Marxisme pada sains adalah tipikal dari pemikiran Althusser yang berpengaruh terhadap corak materialisme yang kita lihat saat ini. Sebagaimana sains, Marxisme benar karena ia logis, dan karena logis, maka ia benar. ‘Logisisme’—jika boleh kita menyebutnya demikian—adalah cara kerja sains ini. Karena Marxisme adalah sebuah pengetahuan, maka pengetahuan itu harus dibangun di atas logika yang solid. Secara langsung, apa yang tak logis, yang imajiner, yang spekulatif, yang tentatif, yang ambigu, tak dapat menjadi bagian dari pengetahuan ini; atau dengan sendirinya, akan menyerpih dari pengetahuan ini. Sejak Althusser, terjadi pergeseran pada materialisme: karena materialisme adalah konsistensi ilmiah pada faktor-faktor penjelas yang objektif, maka tidak ada ruang bagi narasi dan suara-suara subjektif untuk terlibat dan turut serta di dalamnya.
Bisa dibilang, materialisme Althusserian adalah ‘materialisme tanpa daging dan darah,’ dan karenanya, Marxisme-nya adalah Marxisme tanpa debu dan keringat. Materialisme ini, karena keketatannya yang tanpa kompromi pada metode, mengeksklusi subjek ke luar panggung emansipasi. Di dalam materialisme ini, emansipasi hadir sebagai suatu keniscayaan logis yang dingin. Tidak ada bekas yang digoreskan subjek di dalamnya. Sejarah adalah suatu keniscayaan dialektis, di mana subjek hanya suatu nama—kita bisa menyebut materialisme ini sebagai ‘materialisme nominalis’—yang tidak merujuk kepada suatu figur yang konkret, melainkan suatu nama yang hilang dan muncul digantikan oleh nama-nama lain. Subjek hanya anak-anak bidak di atas catur teori, yang muncul sebagai suatu fungsi tanpa referensi—konsekuensi eksplisit dari strukturalismenya. Meski tak dapat dibilang suatu formalisme, metodologisme Althusserian pada gilirannya memang mementingkan forma daripada materia, yaitu konsistensi logika Marxis daripada progress resistensi di lapangan, verifikasi ilmiah antara aksi dan teori diamat-histomat daripada pergulatan perjuangan, dan seterusnya.
Makna dan Korelasionisme
Pertanyaan tentang subjek diresapi secara mendalam oleh pertanyaan tentang makna. Pertanyaan ini akan berbicara tentang sejauh mana makna, yang korporeal, dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang hidup (lived experiences, Erlebnisse) yang konkret, ragawi, dan ‘berdarah dan berdaging,’ memberikan suatu kebermaknaan pada diri subjek. Pada abad ke-20, pertanyaan ini telah dirumuskan oleh fenomenologi, namun karena fenomenologi kemudian menjadi semakin transendental, subjektivitas fenomenologis justru mengisolasi diri dari dunia. Inilah yang subjektivitas ‘borjuis’ yang melihat dunia secara berjarak, sembari mempertahankan fatamorgana tentang kemurnian ego dari gerak kesejarahan.
Namun, problem makna, dilepaskan dari tradisi fenomenologinya, menemukan artinya yang lain ketika ia berhubungan dengan yang kolektif, dengan proletariat sebagai figur konkret dari pengalaman emansipasi. Kaum proletar bukanlah entitas-entitas abstrak yang digerakkan oleh para teoretikus dan intelektual partai di atas catur dialektika, bukan pula sehimpunan massa padat dalam laboratorium fisika ilmiah emansipasi. Mereka adalah kolektivitas yang konkret, yang bertubuh dan berkeringat, yang hidup dan memiliki pengalaman riil di dalam kerja—suatu pengalaman yang terus-menerus dihapus oleh kapitalisme dengan mengobjektifkan kerja mereka ke dalam sirkulasi produk. Kolektivitas ini, namun demikian, terdiri dari nama diri-nama diri yang berwajah dan singular yang memberikan arti bagi eksistensi mereka sebagai individu maupun bagian dari komunitas atau organisasi proletariat. Dalam hal ini, singularitas eksistensial masing-masing individu proletar dan singularitas kebersamaan mereka sebagai yang kolektif menjadi bermakna hanya ketika makna itu dapat diakui di dalam proses emansipasi. Di sini, terdapat suatu dimensi yang tidak akan tersentuh oleh materialisme yang hanya mengakui objektivitas dan mengejar keilmiahan emansipasi namun menghilangkan subjektivitas dari ontologinya.
Kritik yang baru-baru ini dimunculkan terhadap upaya untuk memikirkan suatu realitas dengan berangkat dari subjek adalah bahwa upaya-upaya ini terjebak ke dalam suatu korelasionisme yang pada prinsipnya tidak mengakui yang objektif di luar subjek (Meillassoux). Korelasionisme secara sederhana dapat diartikan sebagai pemikiran tentang ketidakmungkinan memikirkan sesuatu tanpa subjek; bahwa dunia yang objektif selalu berelasi-bersama (co-relate) dengan subjek. Akibat dari pandangan ini, lanjut kritikus korelasionisme, dunia yang objektif tidak diakui secara objektif, atau hanya diakui sejauh ia menampak kepada subjek. Kritik terhadap korelasionisme bertujuan tak lain adalah menegakkan objektivitas absolut dunia material, dan dengan demikian objektivitas absolut dunia fisik, sebagai realitas yang independen terhadap subjek dan menjadi ‘syarat keberadaan’ (raison d’être) dari subjektivitas apa pun.
Pemunculan kritik terhadap korelasionisme ingin memberikan peringatan bahwa ada ‘basis’ yang tak boleh dilupakan, yaitu basis material ke mana segala eksisensi harus diasalkan. Basis material ini adalah absolut atau bahkan yang absolut itu sendiri. Namun, lebih dari penegasan atas absolusitas dunia materiil, kritik korelasionisme ini sebenarnya tidak memberikan suatu hal yang membantu menjelaskan emansipasi lebih jauh.
Bila dunia material dan fisik adalah absolut, apa yang dapat ditarik dari proposisi ini? Implikasi yang paling implisit dari materialisme ini adalah bahwa dunia material merupakan dunia yang berjarak dengan subjek, bahwa ada dunia di luar sana yang terpisah dari kita, dan ia absolut; ia akan selalu ada tanpa kita, namun kita tidak akan ada tanpanya. Keberjarakan ini mengandaikan dua hal: bahwa dunia material merupakan realitas yang statis (bahwa Alam adalah realitas fisik yang bekerja begitu saja), dan dengan demikian, mengembalikan kita kepada fisika mekanik Newtonian; dan bahwa, pada gilirannya, ada atau tidak adanya kita, sebagai manusia, adalah sama artinya—keberadaan kita tidak memberikan arti apa-apa bagi dunia atau Alam. Lebih jauh ditarik dari implikasi ini, bahwa sejarah pada akhirnya tidak berarti apa-apa, karena sejarah adalah sejarah-bagi-manusia; Alam tidak memiliki sejarah, karena ia absolut. Dengan demikian, maka ada atau tidak ada emansipasi, secara esensial, tidak berpengaruh karena manusia hanya elemen kecil yang tak berarti di tengah keabsolutan realitas materiil yang tak terbatas ini.
Selain temuan fisika mutakhir yang menemukan bahwa Alam tidak pernah benar-benar seterpisah yang dibayangkan (ia bereaksi terhadap reaksi manusia terhadapnya), korelasionisme itu sendiri pada dasarnya bukan hal yang bermasalah bagi emansipasi. Ada sisi yang positif dari setiap korelasionisme, bahwa dunia objektif tidak statis tetapi selalu bermakna bagi subjek; bahwa realitas material tidak seterpisah yang dikira, melainkan ada selalu membentuk tetapi juga dibentuk oleh subjek. Sebuah kayu tidak akan menjadi sebuah kursi tanpa seorang tukang, namun seorang tukang tidak dapat menjadi tukang tanpa sebuah kayu. Keberadaan kayu itu sendiri tidak akan bermakna apa-apa, bila ia tidak dikerjakan oleh seorang tukang. Kayu itu tetap akan menjadi realitas absolut yang soliter, tergeletak begitu saja, dan hancur dimakan rayap. Dengan kata lain, keabsolutan realitas materiil pada akhirnya tidak menjelaskan apa-apa selain dirinya; ia tidak bermakna apa-apa. Sementara, ia jelas bermakna ketika ia terhubung (korelatif) dengan subjek.
Bachelard, dalam Le Matérialisme rationnel (1963), pernah mengkritik bahwa materialisme filosofis—seperti yang kini terlihat dari anti-korelasionisme—selalu menganggap materi sebagai entitas yang beku, pejal, dan melekat-pada-dirinya (le matérialisme inné). Padahal, materi ada, dan bermakna, karena ia diolah dan dikerjakan. Keberadaan subjek-manusia memang tidak menjadi prasyarat absolut keberadaan materi, namun kebermaknaan materi selalu mensyaratkan secara absolut keberadaan manusia yang korelatif terhadapnya. Dengan kata lain, materi atau realitas material secara umum tidak mesti membutuhkan secara ontologis keberadaan subjek-manusia, namun selalu membutuhkan secara aksiologis, dalam kebermaknaannya atau dalam rangka agar ia bermakna, akan subjek-manusia.
Dengan demikian, objektivitas alam tidak mengimplikasikan keterpisahannya dari subjektivitas. Bila alam atau realitas material yang objektif bermakna (secara korelatif bagi subjek), maka ketiadaan makna itu terjadi disebabkan oleh pengabsolutan objektivitas realitas materiil menjadi objektivitas yang terpisah dari subjek yang berelasi dengannya—dan persis inilah yang terus-menerus diciptakan dan dilanggengkan oleh kapitalisme. Kapitalisme merupakan objektivisasi absolut kebermaknaan objektivitas dunia materiil. Kapitalisme mengobjektifkan kebermaknaan yang terjalin di dalam ko-relasi antara subjek dan realitas materiil. Objektivisasi ini membendakan makna, dan dengan demikian, dalam suatu gerak sirkulasi yang rumit, menghilangkannya. Kapitalisme mengobjektifkan keterjalinan antara saya dan baju yang ingin saya pakai menjadi hubungan antara saya sebagai konsumen dengan baju yang ingin saya pakai sebagai komoditas yang harus saya beli. Kebermaknaan antara saya dan baju itu, di dalam kebutuhan yang terbentuk pada diri saya akan fungsi keterpakaian baju itu di tubuh saya, diobjektifkan menjadi hubungan baru yang terbentuk antara saya sebagai calon pembeli dan baju itu sebagai komoditas. Maka, kebermaknaan itu menjadi hilang, berubah, terfetisisasi, menjadi relasi yang objektif—walaupun sebenarnya fiktif—antara konsumen dan komoditas, yang terobjektivisasi lebih jauh dalam kuantifikasi (seberapa banyak konsumen, seberapa banyak komoditas yang terjual) di dalam neraca pertukaran pasar.
Objektivisasi atas yang kolektif—proletariat—dengan demikian merupakan gerak logis yang serupa dari kapitalisme sebagaimana yang bekerja pada komoditas, yang mengobjektifkan eksistensi, pengalaman, dan singularitas masing-masing individu dan nama diri di dalam suatu transformasi sosial yang menganonimkan nama mereka. Dan objektivisasi atas yang kolektif itu pula yang terjadi ketika yang kolektif—proletariat—hanya dianggap sebagai elemen objektif di dalam proses emansipasi yang hadir sebagai pengandaian logis dan saintifik dari teoretisasi dialektika materialis, tanpa teori itu, di sisi lain, memberi ruang bagi kemungkinan yang kolektif memaknai pengalamannya. Dengan kata lain, bagaimana memikirkan suatu emansipasi sebagai suatu pengalaman bermakna bagi proletariat, sebagai suatu kolektivitas, di dalam suatu dialektika yang secara objektif dan logis menempatkan mereka sebagai kelas yang dieksploitasi dan karenanya menentang kapitalisme.
Pertanyaan ini penuh jebakan, karena, dalam memikirkan tentang subjek, kita dapat tergelincir kembali ke dalam idealisme metafisis yang mengagungkan subjek transendental yang terpisah dari dunia dan sejarah, sebagaimana dalam humanisme modern, yang menetralisir subjek dari kemelekatannya dengan ideologi sosial pada zamannya (sebagai feodal, borjuis, proletar, dst.); di sisi lain, kita dapat juga tergelincir ke dalam konsepsi fenomenologi di mana subjek memperoleh maknanya dari penghayatan secara individual dan egosentris atas dunia, dan bukan secara kolektif.
Pemikiran tentang subjek ini merupakan suatu jalan keluar dari kebuntuan yang sering dihadapi ketika materialisme menjadi sangat saintifik, namun tidak mampu memberikan suatu ruang bagi proletariat yang diteorikannya untuk berbicara dan tampil seutuhnya sebagai subjek. Pemikiran ini lebih jauh akan membawa pertanyaan pada hubungan antara Teori dan Narasi: sejauh mana Teori, begitu dirumuskan secara saintifik, mampu memberi ruang, pada saat yang bersamaan, bagi Narasi? Dalam konsepsi ortodoks, Teori merupakan bidang spesialisasi para intelektual dan filsuf Marxis, sementara Narasi, di sisi lain, merupakan ruang bagi pengalaman subjek-subjek proletariat. Namun, Teori selalu lebih dominan daripada Narasi sehingga, dalam rumusan finalnya, Narasi harus mengalah untuk membungkam dirinya, demi memajukan suatu formula objektif: proletariat memilih membungkam dirinya demi memberi podium bagi intelektual proletariat. Jika Narasi adalah nama lain dari sejarah di mana pengalaman konkret subjek proletariat menggoreskan bekas dan memiliki denyut di dalamnya, maka materialisme historis dapat dipahami secara subjektif sebagai ruang di mana proletariat hadir sebagai figur sejarah yang hidup dan memaknai pengalaman kesejarahannya. Dengan kata lain, sejarah bukan semata-mata sejarah objektif dari konjungtur formasi ekonomi-politik, tapi juga sejarah-sebagaimana-dimaknai oleh proletariat sebagai subjek itu sendiri, baik sebagai kelas, dalam kolektivitas mereka, maupun sebagai nama-diri.***
Muhammad Al-Fayyadl, Mahasiswa filsafat Universitas Paris VIII, simpatisan Jeunes Nouveau Parti Anticapitaliste