Resensi Buku
Judul buku: “If You Leave Us Here, We Will Die” : How Genocide Was Stopped in East-Timor
Penulis : Geoffrey Robinson
Penerbit : Princeton University Press, 2010.
Tebal : 344 pp.
MANTAN Panglima F-FDTL (Angkatan Bersenjata Timor-Leste) Taur Matan Ruak, di sela-sela memberikan kesaksiannya di depan Komisi Kebenaran dan Persahabatan di Dili pada 2007, dengan lugas mengatakan ‘kita bisa memilih siapa musuh kita, tetapi kita tidak bisa memilih dengan siapa kita bertetangga.’
Pernyataan ini sekaligus mengabsahkan bahwa — dan terlepas dari invasi serta pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh militer Indonesia di masa lalu — hubungan bilateral di antara kedua bangsa tidak bisa dihindari. Hubungan ini bahkan ditindaklanjuti dengan pengiriman beberapa perwira Polisi Nasional Timor-Leste, untuk meningkatkan kemampuan mereka di berbagai akademi kepolisian di Indonesia.
Bertetangga baik dan menjalin relasi bilateral dengan bekas negeri penjajah, bukanlah baru bagi bangsa-bangsa bekas jajahan. Pengalaman negeri bekas jajahan Portugis di belahan Afrika (Angola, Mozambique, Guinnea Bissau dan Cape Verde), telah menunjukkan bahwa peristiwa kelam di masa lalu tidak serta merta menjauhkan mereka atau bahkan membuat mereka ‘membenci’ bekas penjajah mereka. Dari relasi ini, ketergantungan politik dan ekonomi pun tercipta. Penjajahanpun terus berlanjut, walaupun dalam bentuk lain, yaitu secara politik dan ekonomi.
Begitu juga Indonesia. Secara politis Belanda tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Pertimbangannya bahwa kemerdekaan itu tidak sah karena Belanda masih bercokol di Indonesia sampai tahun 1949 dan terus melancarkan agresi militer I dan II. Namun relasi politik ekonomi telah menyebabkan sang bekas penjajah tersebut luruh dan akhirnya mengakui eksistensi Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Paska kemerdekaan, Indonesia di bawah Presiden populis Soekarno, terus melanjutkan proyek anti kolonialisme dan imperialisme di Asia serta memainkan peranan penting dengan membentuk Organisasi Negara-Negara Non-Blok, yang mengadakan konfrensinya yang pertama di Bandung pada 1955. Organisasi inipun terus eksis sampai hari ini. Tetapi, di bawah kekuasaan Mayor Jenderal Soeharto, yang naik ke tampuk kekuasaan setelah melakukan pembantaian besar-besaran terhadap sekitar satu juta orang pemimpin, pengikut, militan dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965, proyek anti kolonialisme dan anti imperialisme ini dibatalkan. Di bawah rejim orde baru, Indonesia berubah menjadi anak manis di hadapan kekuatan imperialisme.
Perang Dingin yang meluas di Asia Pasifik pasca ditaklukkannya pasukan Amerika Serikat oleh para petani Komunis di Vietnam Selatan pada 1975, semakin kuatnya pemberontakan kaum komunis di Thailand dan Burma, dan semakin meluasnya gerakan kiri progresif di negeri-negeri bekas jajahan Portugis, turut berpengaruh pada kebijakan politik luar negeri pemerintah Amerika Serikat terutama di Asia. Sindrom ini jugalah yang mendorong Presiden Amerika Serikat Gerard Ford, untuk memberikan dukungan kepada Soeharto dan militer Indonesia guna melakukan invasi ke Timor-Leste pada 7 Desember 1975.
Mayor Jenderal Soeharto, yang oleh pers barat disebut-sebut sebagai ‘our golden boy,’ merupakan seorang jenderal sayap kanan anti komunis, yang tidak ingin sebuah gerakan nasionalis tumbuh dan berkembang di ‘belakang rumahnya sendiri.’ Soeharto pun memainkan kartu ‘anti kolonialisme’ dengan logika terbalik.
Dalam percakapannya dengan Presiden Amerika Serikat Gerard Ford di Jakarta pada tanggal 6 Desember 1975 (kurang dari 24 jam sebelum invasi besar-besaran terhadap Timor-Leste), Soeharto mengutarakan niatnya untuk menyerang Timor-Leste :‘Saya ingin menyampaikan kepada anda, Tuan Presiden, mengenai persoalan lain, Timor….sekarang sangatlah penting untuk menentukan apa yang akan kita lakukan dalam menciptakan perdamaian dan ketertiban untuk saat ini dan di masa yang akan datang dalam kaitannya dengan keamanan di wilayah itu dan Indonesia. Ini adalah sebagian dari pertimbangan yang telah lama kami pikirkan. Kami mengharapkan pengertian anda jika kami menggangap penting untuk memutuskan dengan segera tindakan yang drastis dan cepat,’ (Hal. 59).
Pada saat itu logika keamanan regional lebih dikedepankan ketimbang persaingan antara Blok Barat dan Timur. Kata komunispun jauh panggang dari api, alias tidak terlintas di bibir ke dua pemimpin negara itu. Seperti ditegaskan oleh menteri luar negeri AS Henry Kissinger pada tahun 1995, ‘Timor tidak pernah didiskusikan dengan kami pada saat kami berada di Indonesia….di bandara pada saat kami berangkat, Indonesia mengatakan kepada kami bahwa mereka akan menduduki koloni Timor Portugis. Bagi kami, hal itu tidak menjadi sebuah peristiwa yang sangat signifikan’ (Hal. 59).
Setelah beberapa kali melakukan peyeberangan di perbatasan secara ilegal dan terlibat dalam pertempuran skala kecil dengan para pasukan Falintil di perbatasan, dan setelah mendapatkan persetujuan verbal dari President Ford pada tanggal 6 Desember 1975, militer Indonesia pun akhirnya melakukan invasi besar-besaran ke Timor-Leste pada tanggal 7 Desember 1975.
Segera setelahnya, yang terjadi adalah aneksasi dan usaha untuk memusnahkan sebuah bangsa (genocide), yang terus berlangsung selama 24 tahun sampai jajak pendapat di tahun 1999. Tidak bisa dipungkiri kalau pendudukan Indonesia di negeri tetangganya itu berlangsung lama karena dukungan dari aktor-aktor luar, yang dalam hal ini didominasi oleh negara-negara besar yang memiliki kepentingan politik-ekonomi dengan rezim Soeharto.
Paska kejatuhan Soekarno, yang kemudian dilanjutkan dengan Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat pada tahun 1969, Indonesia seolah mengabsahkan dirinya sebagai ‘anak manis’ bagi negeri Paman Sam. Relasi ini semakin diperkuat dengan beroperasinya perusahaan tambang terkemuka Freeport Mcmoran di Papua Barat.
Timor-Leste yang tidak terlalu penting dari letak geografis (diapit oleh Indonesian dan Australia), serta tidak terlalu menonjol dalam hal sumberdaya alam — selain cadangan minyak di celah Timor — dianggap tidak layak untuk menentukan nasib sendiri dalam benak pemerintah Australia, Amerika Serikat, dan bahkan Portugal sendiri yang memperjuangkan dekolonisasi dengan ‘setengah hati.’ Meskipun dalam kenyataanya, dunia internasional terutama Dewan Keamanan PBB tidak tinggal diam dalam menyikapi invasi militer Indonesia atas Timor-Leste. Terbukti sejak dikeluarkannya 10 resolusi oleh Dewan Keamanan dari 1975 sampai 1980an, resolusi-resolusi itu tidak pernah ditaati oleh pemerintah Indonesia. Hal ini terjadi karena negara-negara adikuasa mencoba menempatkan isu Timor-Leste dalam kotak tersendiri sambil terus membangun dan memperkuat relasi ekonomi dengan pemerintahan Soeharto.
Dalam buku ini, Geoffrey Robinson mengajukan beberapa pertanyaan menarik, yang sampai saat ini pun belum memperoleh jawaban yang sahih. Mengapa para pemimpin Indonesia memutuskan untuk menginvasi Timor-Leste pada Desember 1975? Dan mengapa invasi ini mengakibatkan genosida? Dalam berbagai literatur yang telah diterbitkan dan beredar luas di Timor-Leste pasca kemerdekaan — yang kebanyakan merupakan karya dari para ilmuwan politik dan sejarawan barat — banyak dalih diajukan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Laporan anyar yang baru-baru ini diluncurkan oleh Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsilisiasi Timor-Leste mengungkapkan, ada atau tidaknya perang saudara yang singkat antara UDT dan Fretilin, Indonesia tetap akan menginvasi Timor-Leste, karena para penasehat Presiden Soeharto dan jenderal-jenderalnya telah mempersiapkan cetak biru untuk ‘menyatukan si anak hilang’ ke dalam pangkuan ibu pertiwi. Setelah Fretilin menguasai keadaan dan para pemimpin dan pendukung UDT menyingkir ke perbatasan Timor-Barat, kejadian ini semakin memerkuat dalih para pembuat kebijakan di Jakarta untuk menginvasi Timor-Leste.
Versi lain mengatakan, Timor-Leste, sebuah negara kecil yang merdeka akan bergantung secara ekonomi terhadap negara-negara lain. Kekhawatiran Australia, Amerika Serikat dan Indonesia bahwa Timor-Leste yang baru akan menjadi mangsa dan lebih bersandar pada negara-negara blok komunis (China, Uni Sovyet dan Vietnam), serta akan menjadi Kuba dan Vietnam baru di pekarangan mereka telah menjadi kekhwatiran tersendiri. Dalam karyanya ini, Robinson sendiri mengungkapkan bahwa invasi dan genosida yang menyertainya bukan merupakan konsekuensi dari konflik politik lama atau kesenjangan ekonomi di antara rakyat Timor-Leste dan rakyat Indonesia (hal. 40). Fakta menunjukkan bahwa sampai 1973-1975, hubungan politik antara Indonesia dan Timor Portugis sangat bersahabat, dan berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan relasi ekonomi dan budaya antara dua negara tetangga itu. Konflik itu juga bukan karena mengakarnya budaya atau antagonisme religius antara orang Timor dan Indonesia. Walaupun perbedaan yang diciptakan sebagai akibat dari kekuasaan kolonial, tidak ada sejarah pertentangan atau kebencian antara rakyat ke dua bangsa (hal. 41).
Tidak adanya persoalan antara rakyat ke dua bangsa ini, bisa dibuktikan dengan tidak adanya reaksi yang berlebihan dari rakyat Indonesia, ketika Presiden Habibie mengumumkan dua opsi (tetap bergabung dengan Indonesian atau memilih menentukan nasib sendiri) pada Mei 1998. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa media-media di Indonesia cukup berperan aktif dalam menutup dan memanipulasi informasi mengenai keberadaan militar Indonesia di Timor-Leste pada tahun-tahun awal pendudukan.
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini — setelah membaca beberapa karya tentang perisitiwa ini — Robinson mencoba menarik benang merah antara invasi dan genosida yang dilakukan oleh militer Indonesia, dengan karakter utama bangsa Indonesia, dan dari pendekatan strategis dalam menghancurkan oposisi yang diadopsi oleh para pemimpin militer terhadap pemberontakan regional di Indonesia (hal. 41). Pendekatan yang sama juga secara simultan diterapkan di Timor-Leste selama 24 tahun masa pendudukan dan membangkitkan tuntutan terhadap kemerdekaan, serta memperdalam perpecahan antara orang-orang Timor yang mendukung kemerdekaan dan yang memilih untuk bekerja sama dengan kekuatan pendudukan.
Dari pernyataan di atas, kita bisa membayangkan bahwa Robinson mencoba membandingkan berbagai pemberontakan daerah di Indonesia pasca kemerdekaan (PRRI-Permesta, Sumatera 1958, DII/TII Aceh 1953, pemberontakan PKI di Madiun 1948) dengan invasi dan okupasi atas Timor-Leste. Dalam sejarahnya, tentara Indonesia berhasil menumpas pemberontakan-pemberontakan yang disebutkan sebelumnya sekaligus mengembalikan stabilitas nasional.
Tetapi, membandingkan pemberontakan berbasis kedaerahan di Indonesia dengan ambisi teritorial untuk menduduki Timor-Leste, kelihatan terlalu menyederhakan persoalan dan terjebak dalam narasi tunggal pemerintah Indonesia dan kelompok pro-integrasi, yang selalu mengatakan bahwa pada dasarnya Timor-Leste tidak diduduki oleh Indonesia tetapi, militer Indonesia berusaha menyatukan kembali rakyat Timor-Leste yang telah lama terpisah dari Indonesia akibat kolonialisme Portugis. Terlebih ada dukungan dari negara-negara besar terhadap Indonesia, untuk mengintegrasikan wilayah itu agar tidak menjadi beban bagi negara-negara lain, serta menjadi satelit bagi blok-komunis.
Kolonialisme dan budaya kekerasan
Dalam karyanya ini, Robinson secara gamblang mengungkapkan pengaruh kolonialisme terhadap kekerasan yang merebak di Timor-Leste, baik sebelum penjajahan Portugis, pasca penjajahan, periode perang saudara singkat antara UDT-Fretilin serta ketika invasi dan pendudukan militer Indonesia.
Memang kekerasan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan rakyat Timor-Leste. Kolonialisme Portugis yang berlangsung selama 450 tahun tentu sangat berpengaruh membentuk budaya kekerasan itu. Demikian juga kehadiran pasukan Jepang di Timor-Leste dalam melakukan pengejaran terhadap pasukan Komando Australia pada 1942-1945, yang menelan nyawa orang Timor-Leste sekitar 40.000 orang. Perang saudara yang singkat antara UDT-Fretilin, telah menelan korban sekitar 3000 orang lebih, serta invasi militer Indonesia pada tanggal 7 Desember sampai pada berakhirnya masa pendudukan, menyebabkan 250.000 orang Timor-Leste atau lebih kehilangan nyawa mereka.
Namun, kekerasan yang paling banyak disoroti dalam buku ini adalah pada masa pendudukan Indonesia. Rezim kolonial menyebarkan kekerasan di tengah-tengah rakyat Timor-Leste, melalui kelompok-kelompok milisi yang dibentuknya. Kedekatan antara milisi dan militer Indonesia, bisa dirunut ke sejarah sebelum terjadinya invasi. Pada awal 1975, militer Indonesia merekrut orang-orang di perbatasan (dalam hal ini terutama para pendiri dan pendukung Apodeti, sebuah partai yang sangat pro-Indonesia pada saat itu) untuk dilatih secara militer dan diberi persenjataan standar militer. Maka muncullah kelompok milisi sipil Halilintar dan Partisan (hal. 100-104).
Pada tahun 1980an dan 90an, muncul kelompok-kelompok pemuda rekrutan Gadapaksi (Garda Pemuda Penegak Integrasi) dimana Eurico Guterres, yang kemudian muncul sebagai pemimpinya. Eurico juga ditunjuk sebagai Wakil Panglima Pasukan pro-integrasi pada tahun 1999. Militer Indonesia juga membentuk kelompok ninja untuk memuluskan praktek teror di dalam masyarat Timor-Leste, menciptakan budaya ketakutan dan saling mencurigai, (hal. 75).
Kelompok-kelompok milisi ini tidak bertahan dalam waktu yang lama. Ini bisa terjadi, karena mungkin kemunculanya lebih pada untuk menjawab tuntutan militer Indonesia pada saat itu yang menginginkan orang Timor-Leste lebih ‘berperan’ dalam mempertahankan integrasi. Pada akhirnya, milisi-milisi ini dinonaktifkan sebagai jawaban terhadap tuntutan komunitas internasional yang terus bergema pada saat itu. Tetapi yang jelas, milisi-milisi dan para aktornya ini muncul kembali ke permukaan pada tahun 1999, pasca diumumkannya dua opsi politik oleh Presiden Habibie. Perbedaannya adalah angka yang cukup masif, yakni meliputi 13 distrik di seluruh Timor-Leste (hal. 100).
Tetapi yang tak boleh dilupakan, ‘peran’ aktor internasional dalam pembentukan milisi ini. Kesepakatan 5 Mei yang memberikan tanggungjawab keamanan kepada pemerintah Indonesia, ibarat ‘membiarkan beruang untuk menjaga anak ayam.’ Walaupun beberapa negara mengritisi pembentukan milisi di Timor-Leste, tetapi mereka tidak pernah mengambil aksi nyata untuk menghentikan tindakan militer Indonesia. Sikap pasif dari komunitas internasional kembali terlihat ketika bukti menunjukkan bahwa pemerintah Indonesian menggunakan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS), sebagai program pengentasan kemiskinan dari Bank Dunia untuk membiayai kegiatan para milisi dalam melakukan kekerasan terhadap kelompok pro-kemerdekaan (hal. 112).
Dengan tindakan ini, pemerintah Indonesia jelas-jelas telah mengabaikan kritik dunia internasional atas kekerasan yang dilakukan oleh TNI dan milisi bentukannya. Bahkan tindak kekerasan itu terus berlangsung sampai jajak pendapat diumumkan dan kloter terakhir militer Indonesia meninggalkan Timor-Leste bersamaan dengan kedatangan ISF (International Stabilization Force) yang dipimpin Australia.
Apakah Genosida benar-benar dihentikan?
Yang menjadi muara dari buku Geoffrey Robinson adalah keputusan tingkat tinggi di PBB, serta peranan negara-negara besar dalam mendukung pengiriman Pasukan Penjaga Perdamaian ke Timor-Leste, dan bagaimana rantai genosida bisa diputus dengan dukungan dan intervensi para aktor dari luar (baca: komunitas internasional).
Terlalu dini untuk mengatakan bahwa negara-negara kapitalis maju yang memiliki hubungan politik-ekonomi dengan Indonesia, berperan besar dalam menghentikan pembantaian dalam skala luas yang terjadi baik sebelum dan sesudah jajak pendapat. Satu hal yang patut dikritisi dalam buku ini, Robinson terlalu memfokuskan genosida yang berlangsung pada tahun 1999, tanpa merunut kembali — meskipun sempat disingung dalam beberapa bab, tetapi tidaklah detail — sejarah pembantaian yang telah terjadi mulai masa awal pendudukan militer Indonesia pada tahun 1975 sampai 1980an. Pertanyaannya kemudian, dimana peranan komunitas internasional dan PBB ketika terjadi genosida besar-besaran pada tahun-tahun itu? Meskipun 10 resolusi telah dilayangkan oleh PBB 1975 sampai 1980an, tetapi tindakan nyata tetap saja tidak pernah diambil.
Sebagai contoh, pada tanggal 8 September 1999, Dewan Keamanan dan negara-negara adidaya mulai melakukan tekanan serius terhadap pemerintah Indonesia. Ketika terjadi penjarahan harta benda, pembumihangusan, dan penghilangan nyawa para pendukung kemerdekaan telah memasuki kategori genosida, ironisnya Dewan Keamanan masih sempat berdialektika dengan mengatakan bahwa kekerasan dan pemindahan paksa ‘kemungkinan telah mencapai titik genosida,’ (hal. 238).
Kesimpulan utama dari buku ini, adalah ‘membongkar ketidakmampuan’ dari para aktor internasional (Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat dan negara-negara lainnya) dalam menekan pemerintah Indonesia untuk mengadili para jenderal dan bawahannya yang terlibat dalam genosida di Timor-Leste sejak 1975-1999. Karena itu, untuk menjawab tuntutan para korban akan keadilan maka mekanisme umum yang berlaku di negara-negara post-konflik maupun post-kediktatoran pun ditempuh, yakni pembentukan komisi kebenaran dan keadilan. Dengan harapan bahwa pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi merupakan dasar penting untuk proses penyembuhan dan membangun masyarakat post-konflik yang sehat (hal. 246).
Namun, dalam banyak kasus, komisi-komisi seperti ini tidak mampu menjawab tuntutan para korban. Karena setelah terjadinya pengakuan melalui kesaksian publik, penguasa cenderung memberikan perhatian lebih terhadap para pelaku ketimbang para korban dengan alasan keamanan. Hal-hal semacam ini sering menimbulkan kecemburuan antara pelaku dan korban.
Bagaimanapun, dari kaca mata masyarakat awam Timor-leste, sampai hari ini PBB dan komunitas internasional tetap dianggap gagal dalam menghentikan genosida di Timor-Leste, maupun menghadapkan para pelaku genosida ke mahkamah internasional. Berbagai laporan tentang pelanggaran telah dipublikasikan, mulai dari investigasi yang dilakukan oleh KPP-HAM, Commission of Expert, Unit Kejahatan Serius dibawah naungan PBB serta Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi. Semuanya berhenti pada laporan di atas kertas, dan rekomendasinya tidak pernah ditindaklanjuti. Tetapi, demi penulisan sejarah yang memungkinkan setiap orang untuk memeroleh ruang yang memadai untuk mengungkapkan narasinya, maka peranan komisi dalam hal tertentu dianggap penting.
Tentu saja, ke depannya sangat dibutuhkan sebuah karya dengan perspektif yang lebih memadai, berdasarkan analisis dan fakta-fakta baru agar bisa membongkar gurita kepentingan politik-ekonomi, peranan negara-negara adikuasa dan Dewan Keamanan PBB dalam menghentikan pembantaian di negara-negara yang berjuang untuk kemerdekaan maupun pasca-keditaktoran. Untuk itu sebuah studi berskala luas harus dilakukan demi terciptanya obyektivas sejarah dan menghindari terulangnya kejadian yang sama di masa depan.***
Marco Mateus Goncalves, Peneliti Sejarah Sosial, tinggal di Dili, Timor-Leste.