Prolog
Marx, tentang Emansipasi (On The Jewish Question, 1844):
But, the completion of the idealism of the state was at the same time the completion of the materialism of civil society. Throwing off the political yoke meant at the same time throwing off the bonds which restrained the egoistic spirit of civil society. Political emancipation was, at the same time, the emancipation of civil society from politics, from having even the semblance of a universal content.
…
Hence, man was not freed from religion, he received religious freedom. He was not freed from property, he received freedom to own property. He was not freed from the egoism of business, he received freedom to engage in business.
…
Every emancipation is a restoration of the human world and of human relationships to man himself.
Political emancipation is a reduction of man, on the one hand to a member of civil society, an independent and egoistic individual, and on the other hand, to a citizen, to a moral person.
Human emancipation will only be complete when the real, individual man has absorbed into himself the abstract citizen; when as an individual man, in his everyday life, in his work, and in his relationships, be has become a species-being; and when he has recognized and organized his own powers (forces propres) as social powers so that he no longer separates this social power from himself as political power.
Emansipasi dalam Perspektif Marx
Sedini tahun 1844, beberapa tahun sebelum ditulisnya Manifesto Komunis yang terkenal itu, Karl Marx telah membedakan antara Emansipasi Politik dan Emansipasi Manusia. Dalam polemiknya melawan Bruno Bauer mengenai ‘emansipasi Yahudi,’ secara ringkas, Marx menempatkan Emansipasi Politik sebagai pemenuhan hak sebagai individu warga negara: hak kebebasan beragama, hak menguasai barang kepemilikan, dll. Sementara Emansipasi Manusia didefinisikan sebagai keadaan di mana seorang manusia telah berhasil meleburkan kekuasaan sosial dan kekuasaan politik di dalam dirinya, melalui pengenalan dan pengorganisasian kekuasaan-kekuasaan tersebut.
Namun, dari tulisan yang dikutip di atas termaktub pula bahwa Marx menganggap Emansipasi Politik sebagai sebuah tahap separuh jalan belaka. Tujuan perjuangan kita tidaklah berhenti pada Emansipasi Politik, melainkan pada Emansipasi Manusia. Dia mengatakan,
Emansipasi politik niscaya merepresentasikan kemajuan besar. Tentu saja, itu bukan bentuk final dari emansipasi manusia, tapi itu tetaplah bentuk emansipas manusia dalam kerangka kerja tata sosial sedang berlangsung. Tak usah disebutkan lagi, bahwa di sini kita berbicara tentang emansipasi yang nyata, yang praktikal.
Dalam konteks bahwa On the Jewish Question ditulis dalam masa-masa pra-Manifesto Komunis, di mana Marx masih menempuh proses peralihan dari posisi politiknya sebagai seorang demokrat radikal, kita dapat memahami pandangannya yang masih menaruh harapan besar pada Emansipasi Politik, yang disebutnya sebagai ‘lompatan jauh ke depan.’ Namun, pada masa-masa berikutnya, Marx nyaris tidak pernah (jika tidak dapat disebut ‘tidak pernah’) lagi menyebut-nyebut tentang Emansipasi Politik ini; dia memilih untuk memusatkan perhatiannya pada persoalan bagaimana meraih Emansipasi Manusia.
Salah satu titik balik Marx adalah kalimat berikut, yang dapat ditemukan dalam Manifesto Komunis: ‘Seluruh gerakan historis sebelumnya merupakan gerakan kaum minoritas, atau merupakan kepentingannya kaum minoritas. Gerakan proletarian adalah gerakan sadar-diri, gerakan independen dari mayoritas yang melimpah, untuk kepentingan mayoritas yang melimpah,’ dan ‘untuk itu proletariat pertama-tama harus merebut kekuasaan politik, harus menempatkan dirinya sebagai kelas yang memimpin dari bangsa, harus mengangkat dirinya sebagai bangsa.’
Inilah perumusan pertama mengenai bagaimana Marx membangun visinya mengenai pengorganisiran kekuasaan sosial dan politik yang diperlukan bagi tercapainya Emansipasi Manusia tersebut.
Sangat menarik bila diperhatikan bahwasanya, dalam bagian terakhir dalam Manifesto Komunis, Marx menyatakan bagaimana ‘kaum komunis dimanapun harus mendukung seluruh gerakan revolusioner yang menentang tata sosial dan politik yang ada. Di salam keseluruhan gerakan ini, mereka memajukan ke depan, sebagai pertanyaan utama pada semua, adalah masalah kepemilikan, tidak peduli seperti apa tahap pekemmbangannya saat itu. Pada akhirnya, mereka bekerja di mana-mana untuk persatuan dan kerukunan n partai-partai demokratik di seluruh dunia.’
Di sini Marx kembali menegaskan posisi perjuangan kaum Komunis yang tidak menafikan ‘perjuangan demokrasi’ ataupun ‘perjuangan hak’ sebagai upaya mencapai Emansipasi Politik; sembari meletakkannya dalam konteks perjuangan mencapai kekuasaan politik bagi proletariat.
Batu penjuru terakhir diletakkan Marx dalam the General Rules of the First Workingmen’s Association (1864): ‘pembebasan (emansipasi) kelas pekerja haruslah merupakan hasil karya kelas pekerja sendiri, dimana perjuangan untuk pembebasan kelas pekerja berarti bukan perjuangan untuk keistimewaan dan monopoli kelas proletariat, tetapi untuk persamaan hak dan kewajiban, dan penghapusan seluruh kekuasaan kelas.’
Inilah prinsip Swa-Emansipasi yang kemudian menjadi salah satu prinsip Marx yang paling terkenal; namun juga yang paling banyak disalahmengerti.
Lengkaplah kita mendapatkan ketiga sokoguru dari konsepsi Marx tentang Emansipasi:
1) Emansipasi Politik adalah tahapan perjuangan awal menuju Emansipasi Manusia;
2) Emansipasi Manusia akan tercapai apabila kekuasaan sosial dan politik diorganisasikan di tangan kelas proletariat;
3) Emansipasi proletariat itu tidak akan tercapai apabila bukan merupakan hasil perjuangan kelas proletariat itu sendiri.
Emansipasi Politik di Indonesia
Perjuangan untuk emansipasi politik telah menjadi bentuk utama perjuangan di bawah kediktatoran Orde Baru. Kediktatoran militer telah menjadi satu faktor pemaksa utama untuk diambilnya bentuk perjuangan yang memberi titik tekan nyaris eksklusif pada emansipasi politik ini. Kediktatoran militer ini mengunci mati seluruh hak sosial-ekonomi dan politik rakyat, lalu memasang jaring-jaring polisi rahasia dan pusat-pusat penahanan dan penyiksaan untuk mencegah upaya penegakan hak-hak tersebut. Perjuangan untuk mencapai emansipasi politik di bawah rejim militer Orde Baru mengandung resiko besar. Demikian besar resiko ini sehingga kita dapat memahami apabila orang tidak berpikir untuk melangkah lebih maju daripada sekedar emansipasi politik.
Bahkan, sebagaiman yang juga dialami Marx beberapa abad lalu, perjuangan untuk emansipasi politik ini, pada awalnya, lebih ditekankan pada ‘mengetuk hati’ para penguasa agar mau mereformasi diri dan tidak bertindak sewenang-wenang. Baru pada awal tahun 1990-an perdebatan mengenai penggulingan kekuasaan Suharto mulai mendapat porsi yang luas. Dan, setelah itu barulah muncul perdebatan mengenai sumber asli kekuasaan Suharto itu: Dwi Fungsi ABRI.
Dan keruntuhan Orde Baru telah memberi rakyat Indonesia emansipasi politik tersebut, sampai derajat tertentu. Tidak dapat disangkal bahwa jatuhnya Suharto memberi begitu banyak ruang dan hak baru bagi rakyat Indonesia. Pemilu langsung, kebebasan mendirikan partai dan ikut pemilu merupakan hal yang belum pernah dilihat oleh generasi yang lahir setelah Orde Baru berdiri, generasi yang berdiri paling depan berhadapan dengan pertahanan terakhir kediktatoran militer itu. Kebebasan berorganisasi dan berserikat juga terbuka luas, seiring dengan diakuinya banyak segi dari hak asasi manusia; bahkan langsung dalam Konstitusi Negara. Para tahanan politik juga dibebaskan, setidaknya sebagian besar di antara mereka. Demonstrasi, dalam sebutan legal sebagai ‘unjuk rasa’ juga menjadi satu hal yang dibenarkan secara hukum; demikian pula dengan pemogokan. Nyaris semua bentuk kebebasan yang pernah didambakan ketika rakyat Indonesia berada di bawah injakan sepatu bot kediktatoran Orde Baru terwujud setelah Suharto mengundurkan diri.
Namun, pengalaman memperjuangkan emansipasi politik ini pula yang memberi kita pelajaran bahwa penunjukan emansipasi politik sebagai sasaran akhir tunggal mengandung bahaya besar: bahwa emansipasi yang dimenangkan itu sifatnya hanya sementara. Karena emansipasi politik hanya memberikan kebebasan dan hak. Sementara kekuasaan untuk membuka kebebasan dan mengabulkan hak itu tetap berada di tangan kelas penindas.
Di masa hidup Marx, sebagaimana dituangkannya dalam The Civil War in France, kelas borjuasi akan jauh lebih menyukai untuk segera menjalin kembali kerja sama dengan kelas feudal yang baru saja digulingkannya daripada melihat kelas proletariat menikmati emansipasinya. Adolphe Thiers, yang dalam dekade 1860-an merupakan salah satu penentang ambisi imperial Kekaisaran Kedua, sampai berhasil menjatuhkannya di tahun 1870, kemudian berbalik menjalin kerja sama dengan kekuatan imperial Eropa untuk menjatuhkan Komune Paris di tahun 1871.
Demikian pula kelas borjuasi Indonesia yang lebih suka melihat prikehidupan abad ke-7 diterapkan kembali di negeri ini ketimbang membiarkan kebebasan politik berlaku dalam waktu lebih panjang. Di sinilah kita memahami mengapa penguasa borjuasi memberi angin pada berkembang suburnya fundamentalisme agama di negeri ini. Kita melihat bagaimana unsur yang menjadi pilar utama Orde Baru, kekuasaan teritorial Angkatan Darat, berbalik dari memusuhi kelompok-kelompok Islam Radikal menjadi penggerak utama konflik-konflik berbasis agama di negeri ini—sebagaimana telah dibongkar oleh Wikileaks.
Dan kelas borjuasi Indonesia, yang tadinya sangat takut pada radikalisme Islam, berbalik memeluk radikalisme itu dengan bersemangat, membantu kelompok-kelompok Islam radikal meraih kemenangan demi kemenangan dalam pemilu lokal; kemenangan yang menjadi tiket untuk diterapkannya aturan-aturan ‘syariah’—satu istilah baru yang pada faktanya berarti “aturan anti demokrasi dan anti kebebasan.”
Jadi, ketika kita menghadapi pertanyaan: ‘Apakah di Indonesia terdapat emansipasi politik?’ Jawaban yang dapat kita ajukan tidaklah terlalu rumit. Ya, di negeri ini kita telah mendapati sebuah emansipasi politik; namun kita masih berhadapan dengan utuhnya struktur kekuasaan yang dahulu menjadi tulang punggung kediktatoran Orde Baru. Gerakan demokratik yang berhasil memaksa Suharto turun panggung tidak berhasil mengubah struktur yang selama tiga dasawarsa menopang kekuasaan itu.
Kegagalan ini lebih disebabkan karena gerakan demokratik di masa itu nyaris tidak memiliki wawasan mengenai struktur kekuasaan kelas yang berada di belakang Orde Baru. Mundurnya Suharto telah secara praktis menghentikan gelombang pasang perlawanan terhadap kediktatoran. Sebagian besar kelompok yang terlibat dalam perlawanan di hari-hari terakhir Orde Baru menarik mundur kekuatannya. Sementara mereka yang berniat meneruskan perlawanan itu juga terpecah antara yang bertahan di jalur perlawanan radikal (yang entah tepat atau tidak, waktu itu disebut ‘jalan insureksi’) dan yang berkehendak menempuh jalan parlementer.
Kekuasaan Kelas dan Swa-Emansipasi
Satu hal krusial mengenai struktur kekuasaan kelas, yang hanya disinggung sekilas dalam sekian ribu kalimat yang pernah dituliskan Marx semasa hidupnya, namun belakangan menjadi salah satu faktor serius yang harus diperhatikan setiap gerakan emansipatoris, adalah hegemoni.
Sedini 1845, dalam The German Ideology, Marx telah mengatakan, ‘gagasan yang berkuasa (ruling ideas) pada setiap epos adalah gagasannya kelas berkuasa (the ideas of the ruling class), yakni kelas yang memiliki kekuasaan material dalam masyarakat, yang pada saat bersamaan merupakan kekuatan intelektul yang berkuasa. Kelas yang memiliki alat-alat produksi material yang nyata pada saat yang sama mengontrol alat-alat produksi mental, dengan demikian, secara umum bisa dikatakan, gagasan dari mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi mental tunduk pada mereka yang menguasai alat-alat produksi material.’
Dari kutipan di atas, kita tahu bahwa Marx telah menyadari bahwa kekuasaan kelas tidak hanya mencengkeram susunan dunia material, melainkan juga struktur produksi dan reproduksi pikiran dan kesadaran. Sungguh sayang memang, Marx tidak menindaklanjuti bahasan ini dalam tulisan-tulisannya yang berikutnya. Sejarah harus menunggu sampai Louis Althusser mengeluarkan tulisannya, ‘Ideology and Ideological State Apparatuses’ (dalam Lenin and Philosophy and Other Essays, 1970) untuk mendapatkan kerangka yang sistematik atas ‘produksi mental’ ini.
Althusser menyampaikan bahwa selain aparatus represi (tentara, polisi, pengadilan), kelas berkuasa juga menggenggam kendali atas aparatus ideologis: agama, pendidikan, keluarga, sistem hukum, sistem politik, serikat buruh, komunikasi dan budaya. Inilah alat-alat kendali mental dari kelas berkuasa, yang musti pula dirubuhkan apabila satu kekuasaan kelas akan digulingkan.
Dan gerakan demokratik di negeri ini lupa (atau abai) mengarahkan pukulan atas aparatus ideologi yang menyokong kekuasaan Orde Baru. Kita lupa bicara tentang agama, misalnya. Terlalu sering kita dapati orang-orang di tengah gerakan demokratik yang bicara dengan nada meremehkan, menyebut agama sebagai candu tanpa melihat konteks dikeluarkannya pernyataan tersebut oleh Marx dan realitas sosial di sekitarnya. Kegagalan gerakan demokratik merangkul lembaga-lembaga agama yang ada di komunitas akar rumput inilah salah satu biang keladi direbutnya banyak komunitas tersebut saat ini oleh kelompok-kelompok agama garis keras yang disponsori oleh tentara.
Kita juga lupa bicara tentang sistem pendidikan dan keluarga, terutama mengenai persoalan ‘reproduksi sosial.’ Tentu, salah satu hal yang dimenangkan oleh emansipasi politik pasca 1998 adalah gerakan anti kekerasan dalam rumah tangga. Namun, gerakan ini masih juga belum menyentuh secara substantif persoalan struktur reproduksi sosial: bagaimana keluarga digunakan sebagai mesin untuk mendidik anak-anak dalam kerangka nilai-nilai dan moral borjuasi.
Dalam segi budaya, kita juga mengalami pukulan cukup berat. Di era 1990-an, kesusasteraan pembebasan mendapat ruang untuk berkibar deras. Karya-karya Pramudya Ananta Toer menjadi rujukan banyak orang dan menancapkan diri sebagai sokoguru gerakan demokratik secara luas. Saat ini, dunia susastera kita dikuasai oleh novel-novel ‘religius’ (demikian pula dengan dunia tarik suara dan dramatika). Sungguhpun karya-karya ini telah lebih dekat dengan realitas (tidak lagi menggambarkan kondisi dunia religi secara idealistik), pada analisis terakhir, mereka tidak menawarkan solusi apapun kecuali kembali pada konservatisme.
Ketidakpahaman gerakan demokratik mengenai struktur Aparatus Ideologi Negara ini, dan bagaimana aparatus ideologi ini berkelindan dengan aparatus represi, sekarang telah mulai kita bayar mahal dengan kemenangan kelompok-kelompok konservatif dalam sekian banyak pemilu lokal. Apa yang terjadi dengan Gereja Taman Yasmin dan Walikota Bogor adalah salah satu denda yang harus kita tanggung karena kelalaian kita berkenaan dengan aparatus ideologi ini.
Lalu, bagaimana kelas-kelas tertindas harus bertindak agar struktur kekuasaan kelas borjuasi dapat ditaklukkannya? Syarat-syarat apa yang harus mereka penuhi untuk itu?
Marx tidak memberi definisi yang ringkas mengenai syarat-syarat ‘kekuasaan kelas’ ini. Definisi yang paling saya sukai berasal dari Lukacs (History and Class Consciousness, 1920): ‘Sebuah kelas telah mencapai hegemoni, jika kepentingan dan kesadarannya telah memungkinkannya untuk mengorganisasi seluruh masyarakat sesuai dengan kepentingannya tersebut.’ Inilah kunci kekuasaan kelas yang sekarang ini berlaku. Sebuah kelas akan berkuasa atas kelas lain apabila berhasil mengorganisasikan masyarakat sesuai dengan kepentingannya sendiri.
Masalahnya, kelas proletar tidak akan mencoba meraih kekuasaan agar dapat berkuasa atas kelas lain; Seperti ditegaskannya dalam Manifesto Komunis, ‘Kaum proletarian tidak akan menjadi tuan dari kekuatan-kekuatan produktif dalam masyarakat, kecuali melalui penghapusan modus perampokan terhadap mereka sebelumnya, dan dengan demikian juga seluruh modus perampokan lain.’ Ini jelas adalah antitesa dari bentuk kekuasaan kelas yang sekarang ini berlaku. Dengan demikian, bentuk pengorganisiran kekuasaan kelas proletar juga merupakan antitesa dari bentuk kekuasaan kelas yang ada; yakni organisasi yang sesuai dengan kepentingan seluruh kelas tertindas.
Inilah yang tidak kita temui sampai hari ini di negeri ini. Belum ada satu pun organisasi kelas yang diorganisasi untuk memanggul kepentingan seluruh kelas dan sektor tertindas dalam masyarakat. Organisasi-organisasi kelas yang ada masih sibuk dengan urusan emansipasi politiknya sendiri, dengan urusan haknya sendiri; paling jauh hanya bersolidaritas dengan kelas atau sektor lain yang juga tertindas. Bahkan sebuah gerakan nasional yang terorganisasi rapi dan sungguh-sungguh berwatak nasional (bukan hanya dalam slogan) masih berada di luar kemampuan organisasi-organisasi kelas di negeri ini.
Sampai hari ini, belum pernah kita temui satu pemogokan yang sungguh-sungguh berskala nasional. Bahkan kejadian luar biasa, seperti tewasnya buruh PT Freeport di tangan kebrutalan polisi, gagal menggerakkan sebuah pemogokan nasional sebagai solidaritas. Yang muncul hanyalah aksi dalam bentuk perwakilan. Sungguhpun ini sudah lebih baik daripada tidak sama sekali, jelas sangat tidak memadai ketika kita paham bahwa yang dituntut dari organisasi kelas tertindas untuk memenangkan perjuangan kelas masih berkali-kali lipat daripada itu.
Organisasi-organisasi kelas juga tidak memberi tanggapan yang cukup bersemangat mengenai sebuah gerakan yang kini telah menjadi gerakan internasional: gerakan Occupy. Dari apa yang terjadi pada titik start gerakan ini, Occupy Wall Street, kita tahu bahwa tidak mungkin gerakan ini bertahan, apalagi membesar, tanpa dukungan gerakan buruh. Gerakan Occupy ini telah menjadi sebuah gerakan yang sungguh berskala internasional, dan mengandung benih-benih bagi sebuah kerja sama yang sungguh berwatak internasionalis bagi gerakan kelas tertindas. Namun di sini, gerakan buruh masih sibuk dengan tuntutan upah. Tentu bukan hal yang buruk terkait dengan soal emansipasi politik, namun menunjukkan pada kita masih betapa jauhnya kita dari titik start perjuangan merebut kekuasaan kelas.
Walau demikian, kita masih harus tetap menaruh harapan. Bahkan di dalam kegelapan pekat, kita masih dapat melihat titik terang, walau masih samar-samar.
Satu harapan terbersit akhir-akhir ini, ketika KSN berhasil mendorong maju tuntutan anti-privatisasi, yang memiliki karakter lintas kelas dalam perjuangannya; atau ikut sertanya para guru desa dalam aksi tani nasional tahun ini, di mana para guru tersebut merasa kepentingannya terwakili oleh organisasi kelas tani. Saya belum tahu sejauh mana benih ini dapat berkembang, namun inilah jalan yang seharusnya ditempuh: membangun organisasi kelas tertindas agar mampu memanggul beban seluruh kelas tertindas lainnya.
Tentunya saya berharap bahwa benih ini akan berkembang sehingga serikat buruh bukan saja menaruh perhatian pada masalah-masalah upah dan keamanan kerja; melainkan juga pada persoalan biaya pendidikan dan nasib para guru/dosen, misalnya. Merebut kepemimpinan di tengah gerakan mahasiswa dan gerakan sivitas akademika akan membuka jalan bagi gerakan buruh untuk menegakkan aparatus ideologinya, menggeser aparatus ideologi kelas borjuasi yang kini bercokol di tengah lembaga pendidikan.
Saya juga berharap bahwa benih ini akan berkembang sehingga serikat tani juga mulai bicara mengenai reproduksi sosial dan pembebasan perempuan, sesuatu yang tentunya merupakan problematika keseharian di tengah rumah tangga pertanian. Dengan demikian, patriarki, yang berakar pada peradaban pertanian, akan dihancurkan justru oleh serikat-serikat tani.
Salah satu jalan masuk untuk bicara tentang isu bersama yang memungkinkan organisasi-organisasi kelas tertindas menyatukan langkah untuk mulai memanggul persoalan-persoalan masyarakat secara luas adalah isu ‘industrialisasi sosial’—satu bentuk industrialisasi nasional yang dibangun dari bawah, di bawah kepemimpinan dan mengabdi pada kepentingan organisasi-organisasi kelas tertindas. Sebuah proses industrialisasi sosial semacam ini akan menuntut reorganisasi sistem pendidikan, sistem pembagian kerja sosial (termasuk pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan), sistem komunikasi dan transportasi antara desa dan kota, ketrampilan manajerial, dll.
Dengan kata lain, organisasi kelas tertindas akan mulai dipaksa belajar mengatur masyarakat sesuai dengan kepentingan emansipasi. Karena hanya dengan jalan ini, pengalaman berjuang memanggul beban seluruh masyarakat, kelas-kelas tertindas akan mempelajari sendiri bagaimana kekuasaan mereka harus diorganisasi kelak.
Kesimpulan
Jika pertanyaan yang diajukan adalah ‘apakah di Indonesia ada emansipasi politik?’ jawabannya mudah: ada. Persoalan kita adalah bahwa tiap emansipasi politik akan bersifat sementara apabila struktur kekuasaan kelas yang menjadi latar-belakangnya tidaklah berubah. Dan karena kita lalai, karena kita mengisolasi emansipasi politik dari emansipasi manusia secara penuh, kelas berkuasa perlahan mendapat kesempatan untuk kembali menutup pintu bagi emansipasi politik ini.
Namun demikian, harapan masih terbuka bagi kita. Jika gerakan demokratik berkenan memperhatikan dan mengarahkan perjuangan untuk merubuhkan struktur kekuasaan kelas borjuasi, terutama struktur aparatus ideologinya, dan organisasi-organisasi kelas tertindas bersedia memperhatikan persoalan masyarakat luas di luar persoalan ekonomi-sosialnya yang bersifat segera, kita akan menapaki jalan yang benar menuju emansipasi manusia. Emansipasi yang sejati.***
Jakarta, 7 November 2011
Artikel ini sebelumnya adalah makalah yang dipresentasikan pada diskusi Salihara, 16 November 2011. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
Ken Buddha Kussumandaru, anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)