Dekolonisasi Gerakan Sosial

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Heinrich Böll Stiftung


Sebelum aksi protes merebak sejak Agustus, beredar luas di kalangan aktivis dan donor sebuah artikel dalam Foreign Affairs yang berjudul “The End of the Age of NGOs? How Civil Society Lost Its Post–Cold War Power”. Tulisan karya Sarah Bush dan Jennifer Hadden ini membahas bagaimana efektivitas organisasi nonpemerintah (ornop) terus merosot akibat tekanan politik, menurunnya kredibilitas, dan krisis pendanaan. Padahal, ornop memainkan peran penting sebagai penyeimbang kekuasaan, dan itu hanya bisa berjalan jika ia benar-benar punya dampak.

Fenomena tersebut sebetulnya tidak berdiri sendiri. Penurunan serupa juga terjadi pada kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Karena itu, refleksi gerakan yang semakin intensif perlu dilihat kembali dari kacamata geopolitik. Namun, bukan hanya dari konteks pasca-Perang Dingin, perlu juga dilakukan sebuah tinjauan pascakolonial. Tujuannya, agar kita bisa mengidentifikasi sumber daya internal dan membangun agenda perjuangan yang lebih otentik.


Geopolitik Demokrasi Liberal

Saat blok komunis runtuh di akhir 1980-an hingga awal 1990-an, banyak orang, termasuk Francis Fukuyama (1992), percaya bahwa demokrasi liberal adalah pemenang mutlak. Kapitalisme dianggap sebagai sistem ekonomi terbaik dan tak tergantikan. Namun kenyataannya, banyak negara demokrasi liberal seperti di Amerika dan Eropa justru melahirkan pemimpin populis yang otoriter (V-Dem Institute, 2022). Mereka gemar membatasi kebebasan berpendapat, menekan oposisi, dan mendorong kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu. Situasi buruk yang tadinya ingin diperangi oleh demokrasi liberal justru muncul di dalamnya.

Salah satu penjelasannya adalah gelombang neoliberalisme (neolib) yang muncul setelah Perang Dingin. Neolib bukan sekadar paham pasar bebas tanpa campur tangan negara, tetapi justru membutuhkan negara yang kuat untuk memaksakan kapitalisme, baik dengan cara nondemokratis (Madariaga, 2021) maupun dengan memanfaatkan mekanisme demokrasi (Levitsky & Way, 2002).

Neolib adalah proyek politik yang sengaja melemahkan aktor kolektif berupa serikat pekerja, partai politik, maupun ornop agar tidak mengganggu kepentingan modal. Bahkan, pemimpin negara berdaulat dan lembaga demokrasi sengaja “disandera” demi melanggengkan sistem kapitalistik. Sementara itu, minimnya program alternatif dari partai-partai kiri, sosial-demokrat, dan hijau di negara demokrasi liberal membuat situasi semakin memburuk.

Kini, dunia dipenuhi krisis akibat perang, konflik dagang, dan persaingan teknologi seperti perlombaan senjata dan kecerdasan artifisial. Krisis memunculkan kecemasan bahwa dunia “tidak baik-baik saja” sehingga dibutuhkan negara yang tegas demi kepentingan nasional dan keamanan global. Dalam suasana ini, ekstremis dan politisi populis semakin mudah mendapat dukungan—contohnya Bolsonaro di Brasil, Duterte di Filipina, Trump di Amerika Serikat, kebijakan Brexit di Inggris, kemenangan PVV pimpinan Geert Wilders di Belanda, serta terpilihnya Jokowi (2019) dan Prabowo (2024) yang memakai premis serupa. Padahal krisis yang muncul tidak lepas dari upaya negara-negara maju dalam menjaga dominasi geopolitik demi mempertahankan arus kapitalisme global (Polimpung, 2024).


Struktur Sosial Kolonialistik

Jika kita mengira bahwa situasi dunia hari ini merupakan efek Perang Dingin semata, itu tidak menjawab pertanyaan mengapa sebuah bangsa tidak imun terhadap, atau mampu bangkit dari krisis demokrasi yang terus berulang. Jawabannya harus digali lebih jauh ke dalam pembentukan struktur ekonomi dan sosialnya.

Jatuh-bangunnya negara di Selatan dunia sangat dipengaruhi oleh kondisi pascakolonial. Di di wilayah bekas jajahan, kebutuhan untuk menghidupi penduduk yang besar memaksa pemerintah mencari cara untuk menghidupkan perekonomian. Minimnya cadangan devisa dan tipisnya kelas menengah membuat mereka harus bertopang pada utang dan investasi asing, terutama untuk industrialisasi.

Di Indonesia, kegagalan tawaran sistem alternatif Soekarno di era Orde Lama membuat kapitalisme menjadi satu-satunya model pembangunan. Orde Baru membuka pintu lebar-lebar bagi industrialisasi yang terhubung dengan pasar global dengan maksud memenuhi kebutuhan barang di negara-negara maju. Sebaliknya, kapitalisme global diuntungkan dengan bahan baku dan buruh murah, serta sumber daya ekstraktif dari Indonesia.

Proses ini bukan hanya membuat Indonesia terkoneksi dengan negara-negara maju, tetapi juga jadi bergantung pada modal, pasar, dan teknologi mereka. Akibatnya, sektor produksi berbasis masyarakat seperti industri lokal dan usaha rakyat ditinggalkan. Dana yang masuk lebih kecil dibanding keuntungan yang dibawa keluar. Alih-alih makmur, Indonesia justru mengalami eksploitasi yang dilegitimasi oleh negara dan pebisnis, serta memperkuat paradigma ketergantungan.

Politik neolib dan kapitalisme yang tak terbendung menghadirkan ilusi bahwa pemerataan pembangunan akan datang “sendiri” lewat efek tetesan pertumbuhan (trickle-down effect). Kenyataannya, janji Orde Baru berakhir dengan kekerasan, pengekangan, dan pemiskinan. Pendukung neolib lalu menuding korupsi sebagai penyebab, seolah masalahnya bukan pada teori big push (Rostow, 1960) melainkan perilaku aktor.

Faktanya, pembangunan yang gagal menyejahterakan rakyat bukan hanya karena lemahnya institusi dan etika publik. Tapi juga karena berdiri di atas struktur sosial warisan penjajah dan sistem pemerintahan yang feodalistik. Kelas aristokrat didikan Belanda melihat kekuasaan sebagai milik pribadi, bukan amanah rakyat. Akuntabilitas bukan budaya mereka, sementara penyalahgunaan kekuasaan merupakan praktik lumrah.

Indonesia tidak pernah mengalami revolusi sosial yang membongkar struktur demikian. Setelah kemerdekaan, kita fokus pada revolusi fisik melawan Belanda dan diplomasi internasional, lalu terjebak konflik internal yang berpuncak pada tragedi 1965 dan pembunuhan massal yang mensterilkan kelompok kiri dan progresif.

Akhirnya, revolusi fisik hanya mengembalikan kedaulatan politik tanpa mengubah struktur sosial. Pejabat menggantikan penjajah, tetapi membawa mentalitas “tuan” yang sama, membuat nasionalisme berubah menjadi jargon persatuan yang membungkam perbedaan. Lebih dari itu, telah terhenti pula upaya Indonesia untuk menggali jati dirinya melalui proses diskursus yang produktif demi membentuk imajinasi bangsa yang ideal (Anderson, 2006).


Ornop: Dari Kekuatan Kontrol ke Mitra Teknis

Perubahan geopolitik yang membuka pintu modal global memang memberi ruang bagi masyarakat sipil, termasuk ornop, untuk berperan. Di masa awal Reformasi, ornop diuntungkan oleh lingkungan yang mendukung, termasuk dari pemberi pinjaman dan donor pembangunan yang ingin mendengar langsung suara warga terkait proyek besar, seperti pembangunan waduk dan jalan raya.

Namun, kebijakan global pasca-Perang Dingin justru mendorong ornop menjauh dari peran pengawas dan pembela masyarakat. Lanskap ornop menjadi terindustrialisasi dengan menjadikan mereka banyak membantu pemerintah dalam menjalankan kebijakan, bukan lagi mengawalnya secara kritis apalagi mengendalikannya ke arah yang benar.

Di Indonesia, aktivis terjebak pada rutinitas teknokratis dan bekerja dalam logika neolib (Savirani, 2025; dan Savirani et al., 2025). Aktivisme menjadi “pekerjaan” managerial, fokus pada isu sektoral dan keahlian teknis, bukan lagi gerakan pengorganisiran. Akibatnya, banyak ornop teralienasi dari rakyat dan kehilangan agenda transformatif.

Saat berupaya mengatasi hambatan internal, ornop pun menghadapi tantangan penyempitan ruang sipil. Dalam 30 tahun terakhir, setidaknya 130 negara membatasi ornop internasional atau yang didanai asing. Pemerintah otoriter juga menekan aktivis demokrasi lewat regulasi, sementara politisi kanan di negara donor mengubah bantuan luar negeri menjadi instrumen politik-ekonomi (Bush dan Hadden, 2025). Contoh ekstremnya adalah Amerika Serikat yang membekukan USAID.

Dengan partai politik yang dilumpuhkan dalam koalisi besar, tanggung jawab oposisi justru jatuh pada masyarakat sipil. Padahal modal sosial untuk perubahan yang mengandalkan kaum reformis dalam pemerintahan tidak memadai tanpa pernah terjadi revolusi sosial yang membongkar struktur feodalistik dan menghalau oligarki. Akibatnya, daya tawar ornop terus melemah dan sulit diperbaiki hanya dengan meningkatkan legitimasi publik.


Meniti Jalur Ganda Perlawanan

Perbincangan tentang gerakan sosial sebagaimana terangkum dalam polemik di IndoProgress banyak bermuara pada perlunya gerakan rimpang dikanalisasi untuk merebut kekuasaan. Betatapun strategisnya langkah tersebut, ada jalur lain yang dapat dijalankan secara paralel dan sama pentingnya: memperkuat basis rakyat sebelum politik elektoral.

Gerakan anak muda yang bersifat spontan, tanpa struktur, tanpa pemimpin, dan cepat daur generasinya dapat diteruskan dengan mereka membaur ke dalam masyarakat dan melakukan kerja-kerja sosial, perawatan, dan penyadaran. Sementara bagi para aktivis, setiap kasus yang dibela ornop harus menjadi pintu masuk untuk mengubah struktur kuasa dalam masyarakat dan mengikis polarisasi holisontal yang menutupi kesenjangan kelas.

Selanjutnya, sangat mungkin bagi gerakan rimpang dan ornop untuk bekerjasama manakala menyadari hulu persoalan yang sama. Keduanya sama-sama menghadapi struktur sosial warisan penjajah dan nilai-nilai feodalistik dalam pemerintahan yang menyuburkan korupsi dan menyebabkan persoalan di berbagai teritori dan sektor perjuangan. Privilise yang dimiliki elit telah membuat anak muda patah arang pada meritokrasi versus gelapnya masa depan. Sementara feodalisme yang didukung oligarki demi melestarikan elit, mendukung dinasti politik, serta melanggengkan oligarki telah membuat lembaga-lembaga pemerintahan dan demokrasi liberal tidak bermakna bagi sebesar-besarnya kepentingan publik.

Strategi semacam ini tidak cukup dengan mengandalkan mantra no viral no justice, bukan juga usaha hit and run seumur proyek. Mobilisasi sosial merupakan kerja berkelanjutan untuk memastikan terwujudnya transformasi sosial (Fakih, 1995) yang mengilusi gerakan berbasis ornop selama ini. Tanpa merevolusi struktur lama dalam masyarakat tidak akan ada daya ungkit yang memadai untuk mendorong transformasi politik dan perubahan watak negara.

Pekerjaan ini berat dan tidak bisa hanya mengandalkan proyek dukungan donor. Aktivis harus belajar hidup dan berkembang dari dukungan rakyat itu sendiri. Langkah ini pun bersifat revolusioner—membebaskan gerakan dari ketergantungan dan memulai dekolonisasi tahap kedua yang bertujuan membongkar warisan kolonial yang masih membelenggu Indonesia.


Daftar Bacaan

Aldo Madariaga, “Neoliberalism Has Always Been a Threat to Democracy,” dalam Jacobin, 2021.

Amalinda Savirani, Antara Civic Making dan Profit Making: Mencari Pembiayaan Alternatif Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia di Era Neoliberal, Yogyakarta: UGM, 2025.

Amalinda Savirani, et al, Mengakar atau Menyebar? Peta Gerakan Masyarakat Sipil Indonesia di Masa Kemunduran Demokrasi, Depok-Yogyakarta: ARC UI dan POLGOV UGM, 2025.

Benedict Anderson, Imagined Communities Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London-New York, Verso, 2006.

Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, New York: Free Press, 1992.

Hizkia Yosias Polimpung, “Apakah Geopolitik Selalu Militeris dan Nasionalis? Krisis Imperialisme dan Politik Internasional Kelas Pekerja,” dalam Indoprogress, 2024.

Mansour Fakih, The Role of Non-Governmental Organizations in Social Transformation: A Participatory Inquiry in Indonesia, Amherst: University of Massachusetts, 1995.

Steven Levitsky dan Lucan A. Way, “Elections Without Democracy: The Rise of Competitive Authoritarianism”, Journal of Democracy Vol. 13, no. 2, April 2002.

V-Dem Institute, Democracy Report 2022: Autocratization Changing Nature?

W. W. Rostow, The stages of economic growth: A non-communist manifesto. Cambridge: Cambridge University Press, 1960.


Ilham B Saenong adalah Pegiat di Humanis untuk Kebebasan Sipil di Era Digital.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.