Menuju Sosialisme Abad 21: Dari Jackson hingga Jakarta

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: BPS


AKSI MASSA yang merebak sejak Agustus 2025 menunjukkan bahwa kesabaran rakyat hampir habis. Protes terhadap kenaikan pajak, penolakan atas beban pajak bumi dan bangunan, kemarahan terhadap pernyataan pejabat publik, hingga tuntutan untuk membubarkan lembaga perwakilan, semuanya mencerminkan gelombang perlawanan yang semakin menguat. Namun, gerakan sosial kiri dan rakyat kerap tersendat oleh fragmentasi, lemahnya kepemimpinan alternatif, serta minimnya program politik yang jelas. Banyak tuntutan muncul secara spontan, tetapi tanpa organisasi yang kokoh, narasi yang mudah dipahami, dan basis sosial yang luas. Agar sosialisme dapat benar-benar hidup dan tidak berhenti sebagai sekadar harapan, ia harus menjelma menjadi kerangka strategi yang nyata, dibangun dari bawah melalui solidaritas, jaringan rakyat, serta kepemimpinan politik yang mampu mengubah kemarahan rakyat menjadi tuntutan demokrasi, keadilan ekonomi, dan pemerintahan yang sungguh lahir dari rakyat.

Refleksi mengenai sosialisme sebagai alternatif dunia hari ini dapat diibaratkan lewat representasi budaya populer. Dalam gim dan serial The Last of Us, misalnya, kisah Joel dan Ellie memperlihatkan kerasnya bertahan hidup di dunia pasca kiamat. Setelah wabah jamur Cordyceps melanda dan mengubah manusia menjadi zombie, dua tokoh yang awalnya tidak saling kenal ini dipertemukan oleh keadaan. Joel, seorang penyintas yang kehilangan keluarganya, harus mengantarkan Ellie, seorang remaja yang kebal terhadap infeksi, ke kelompok Fireflies demi mencari obat bagi umat manusia. Perjalanan mereka melewati reruntuhan kota, kelompok milisi, dan ancaman zombie memperlihatkan bagaimana dunia lama runtuh tanpa menyisakan tatanan yang adil dan aman bagi manusia.

Namun, di tengah kehancuran itu, terdapat Jackson, sebuah kota kecil di Wyoming yang justru berhasil membangun kehidupan baru. Dikelilingi hutan, sungai, dan tembok kayu tinggi, komunitas ini dijalankan secara gotong-royong. Warganya berbagi tugas, mengelola fasilitas bersama, dan mengambil keputusan melalui dewan perwakilan. Fasilitas kota dimiliki kolektif, hasil panen dibagikan untuk semua, dan kehidupan sehari-hari berlangsung normal seakan kiamat zombie tidak pernah ada. Saat Maria menjelaskan kepada Joel dan Ellie bahwa semua yang mereka lihat adalah milik bersama, muncul pengakuan bahwa Jackson adalah sebuah komune, bahkan komunisme. Joel merespons dengan ragu, memperlihatkan betapa kata itu masih sarat stigma, tetapi kenyataannya kehidupan mereka menunjukkan bahwa solidaritas dan kepemilikan bersama bisa menjadi fondasi peradaban baru.

Adegan singkat ini mengandung refleksi mendalam. Seakan menegaskan bahwa di tengah kehancuran, pilihan untuk membangun dunia lebih adil selalu ada, meski sering diabaikan karena trauma sejarah atau propaganda. Pertanyaan yang tersisa sederhana tetapi sulit dijawab: mungkinkah sebuah tatanan pasca kapitalisme, sebagaimana tergambar di Jackson, benar-benar lahir dari pengorganisasian rakyat yang setara dan kolektif? Pertanyaan ini pula yang menjadikan sosialisme abad ke-21 bukan sekadar nostalgia masa lalu, melainkan kebutuhan mendesak untuk masa depan.


Jejak Panjang Komune dan Revolusi

Kata “komunis” berasal dari bahasa Latin communis yang berarti umum atau bersama. Gagasan tentang masyarakat komunis sudah muncul jauh sebelum para pemikir sosialis hadir. Plato dalam Republic (375 SM) menulis tentang Socrates yang membayangkan sebuah kota yang dijalankan oleh para penjaga atau abdi kota. Mereka didedikasikan sepenuhnya untuk kepentingan umum dengan tidak memiliki properti pribadi. Umat Kristen awal pada akhir abad pertama juga mempraktikkan semacam komunisme dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tercatat dalam Acts of the Apostles 4:32 yang menyebutkan bahwa harta benda mereka dijual, lalu hasilnya dibagikan untuk kepentingan bersama. Sepanjang sejarah manusia, kehidupan komunal telah menjadi cara bertahan hidup menghadapi kerasnya alam. Bukti antropologis menunjukkan bahwa praktik ini masih berlangsung hingga kini pada sejumlah masyarakat sederhana, misalnya orang Hadza di Lembah Retakan, orang !Kung di Gurun Kalahari, orang Iban di Borneo, orang Mentawai di Siberut, dan berbagai komunitas adat lainnya.

Pada abad ke-18 dan ke-19, gagasan komunisme kembali diangkat oleh sejumlah pemikir yang berusaha mendefinisikan cita-citanya, bahkan sempat mencoba merealisasikannya. Salah satunya adalah Charles Fourier (1772–1837), pemikir Prancis yang juga dikenal sebagai pencetus istilah feminisme. Ia termasuk yang pertama menyadari bahwa sistem patriarki mustahil diruntuhkan tanpa sosialisme. Fourier kerap memiliki pemikiran jauh melampaui zamannya. Ia membayangkan komunitas kecil berbasis pertanian dan koperasi yang bersifat komunal, di mana setiap anggota bekerja dengan penuh kesadaran dan sukacita. Baginya, sosialisme seharusnya mampu memenuhi kebutuhan dan kesenangan manusia dalam bekerja, bersahabat, menikmati seks, makanan, maupun kenikmatan lainnya. Karena itu, ia menyebut slogan Revolusi Prancis liberté, égalité, fraternité hanyalah lelucon selama orang masih hidup dalam ketidakpastian ekonomi, kelaparan, dan perbudakan upah.

Selain Fourier, ada juga Robert Owen (1771–1858), filantropis asal Wales yang dikenal sebagai pelopor konsep delapan jam kerja, delapan jam rekreasi, dan delapan jam istirahat. Konsep ini, meski tidak sepenuhnya universal, kemudian menjadi standar kerja delapan jam sehari yang kita kenal sekarang. Sebagai pemilik pabrik tekstil, Owen menerapkan kebijakan yang pada masa itu sama sekali tak terpikirkan. Di New Lanark, Skotlandia, ia melakukan eksperimen dengan memberikan pendidikan gratis bagi pekerja dan anak-anak, menghapus hukuman fisik, melarang pekerja anak, bahkan memberi potongan harga di toko khusus pekerja. Ia menggagas visi “New Moral World” dan kemudian pergi ke Amerika Serikat untuk mempromosikan ide sosialismenya. Di sana, ia membeli sebuah kota di Indiana bernama New Harmony dan mencoba mewujudkan kota utopis dengan prinsip egaliter: kesetaraan hak dan kewajiban, kepemilikan bersama atas properti, serta pendidikan universal. Owen meyakini bahwa komunitas kooperatif semacam ini dapat menyelamatkan masyarakat industri dari kehancuran akibat kapitalisme sekaligus memberi teladan kehidupan yang lebih baik. Sayangnya, eksperimen Owen hanya bertahan beberapa tahun karena skala kecil komunitasnya terisolasi dan tak mampu bertahan menghadapi hegemoni kapitalisme.

Sesudah Fourier dan Owen, masih banyak pemikir lain yang menggagas bahkan menguji coba ide masyarakat berbasis sosialisme atau komunisme. Salah satunya adalah Mikhail Bakunin (1814–1876), revolusioner sosialis anarkis asal Rusia. Dalam beberapa tulisannya, antara lain Our Program (1868), ia menguraikan esensi masyarakat baru yang dicita-citakannya dengan menyerukan tiga program utama sosialisme, yaitu:

  1. Emansipasi intelektual, yang menurut Bakunin penting untuk mendorong kebebasan berpikir rakyat pada umumnya. Kebebasan ini harus ditopang oleh pemikiran saintifik, materialisme humanis, dan ateisme, yang dipandangnya sebagai cara untuk melawan takhayul idealis agama. Selama ini, agama dianggapnya sebagai alat kekuasaan untuk menindas rakyat lemah.
  2. Emansipasi sosial ekonomi, yang ia simpulkan dengan kalimat yang mungkin sering kita dengar: tanah hanya boleh dimiliki oleh mereka yang mengolahnya dengan tangan mereka sendiri. Karena semua kerja manusia hanya produktif sejauh ia dilakukan dalam asosiasi, Bakunin menyatakan bahwa tanah seharusnya menjadi milik komune atau asosiasi perdesaan. Hal yang sama berlaku bagi kapital dan instrumen kerja lain, yang harus menjadi milik asosiasi industri. Keduanya didasarkan pada kebebasan yang penuh serta kesetaraan ekonomi-politik yang sempurna di antara para pekerja.
  3. Emansipasi sosial politik, yang menurut Bakunin berarti bahwa di masa depan tidak boleh ada organisasi politik yang berdiri selain federasi bebas dari asosiasi-asosiasi mandiri di bidang pertanian maupun industri. Karena itu ia menyerukan penghapusan negara secara menyeluruh, termasuk semua institusinya, ide-idenya, pendidikan, hukum, keuangan, militer, hingga birokrasinya. Ia menginginkan kebebasan bagi setiap orang, tanpa memandang asal-usul, dengan hak mutlak untuk mengatur urusan serta relasinya sendiri sesuai kebutuhan dan keinginannya.

Selanjutnya, dalam Socialism, the State and Revolutionary Tactics (1871), Bakunin memaparkan pemikirannya tentang masyarakat sosialis. Baginya, masyarakat ideal hanya dapat terwujud ketika setiap manusia memiliki sarana material dan moral untuk mengembangkan seluruh sisi kemanusiaannya. Untuk itu, eksploitasi tenaga kerja harus dihapuskan melalui penataan masyarakat demi kemaslahatan dan kekayaan bersama yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang berkontribusi menciptakannya. Dalam tulisan ini pula Bakunin menyampaikan pandangan yang penting dicatat: kebebasan, keadilan, dan kedamaian tidak akan pernah terwujud selama mayoritas warga belum memiliki kebutuhan dasar, pendidikan, atau akses politik. Ia menambahkan, kebebasan tanpa sosialisme hanyalah hak istimewa dan ketidakadilan, sedangkan sosialisme tanpa kebebasan sama dengan perbudakan dan kebrutalan.

Selain Bakunin, dua sahabat seperjuangannya, Karl Marx (1818–1883) dan Friedrich Engels (1820–1895), melalui Manifesto of the Communist Party (1848), menjelaskan tujuan komunisme, yaitu pembentukan proletariat sebagai sebuah kelas, penggulingan supremasi borjuasi, dan perebutan kekuasaan politik oleh proletariat yang pada akhirnya bermuara pada penghapusan kepemilikan pribadi atas alat produksi. Bagaimana cara merealisasikannya? Marx dan Engels menekankan bahwa salah satunya adalah melalui revolusi, yang memungkinkan proletariat berkuasa untuk memenangkan pertempuran demokrasi sekaligus mengubah corak produksi. Dalam tulisan yang sama, Marx dan Engels juga menguraikan sepuluh poin utama sebagai langkah praktis menuju cita-cita tersebut.

  1. Penghapusan kepemilikan tanah serta penerapan semua sewa tanah untuk kepentingan umum.
  2. Penerapan pajak penghasilan progresif atau bertahap dengan tarif tinggi.
  3. Penghapusan seluruh hak warisan.
  4. Penyitaan properti milik emigran dan pemberontak.
  5. Pemusatan kredit di tangan negara melalui bank nasional dengan modal negara serta monopoli eksklusif.
  6. Pemusatan sarana komunikasi dan transportasi di tangan negara.
  7. Perluasan pabrik dan instrumen produksi milik negara, penanaman lahan terlantar, serta perbaikan tanah secara umum sesuai rencana bersama.
  8. Kewajiban bekerja bagi semua orang, termasuk pembentukan angkatan bersenjata industri, terutama untuk sektor pertanian.
  9. Kombinasi antara pertanian dan industri manufaktur, diiringi penghapusan bertahap perbedaan antara kota dan desa melalui distribusi penduduk yang lebih merata.
  10. Pendidikan gratis bagi semua anak di sekolah umum, penghapusan pekerja anak di pabrik, serta penggabungan pendidikan dengan produksi industri, dan lain sebagainya.

Di atas reruntuhan kapitalisme, corak produksi dengan garis besar itulah yang kelak dibangun. Engels dalam The Principles of Communism (1847) menjelaskan bahwa industri dan seluruh cabang produksi yang sebelumnya dikuasai individu yang saling bersaing akan digantikan oleh suatu lembaga dan sistem yang dikelola bersama untuk kepentingan kolektif, menurut rencana bersama, dan dengan partisipasi semua warga. Persaingan akan digantikan oleh asosiasi. Hal yang serupa ditulis Marx dalam Capital Vol. 1: kita dapat membayangkan suatu perkumpulan orang-orang bebas yang bekerja dengan alat produksi yang dimiliki bersama, dan mengerahkan tenaga kerjanya dengan penuh kesadaran sebagai satu kesatuan tenaga sosial.

Cita-cita masyarakat sosialis dan komunis hampir terwujud dalam revolusi sosial 1848–1849, ketika pekerja berkoalisi sementara dengan borjuasi reformis dan mengguncang lebih dari 50 negara di Eropa. Walau akhirnya dipadamkan, revolusi ini tetap berpengaruh terhadap perubahan ekonomi-politik, mulai dari penghapusan perhambaan hingga peralihan menuju pemerintahan demokratis di sejumlah negara. Namun, revolusi berakhir dengan pengkhianatan borjuasi dan kekalahan kelas pekerja, yang pada saat itu memang belum cukup siap untuk mengubah dunia.

Harapan akan masyarakat komunis kembali bersemi di Paris setelah kekalahan Prancis dalam perang melawan Prusia pada awal 1871. Warga kota yang sebagian besar revolusioner, bersama tentara yang sadar kelas, mengambil alih kota dan membentuk pemerintahan sendiri yang dikenal sebagai Komune Paris. Mereka merancang sistem pemerintahan merdeka dengan kebijakan progresif dan sekuler, dipengaruhi pemikiran revolusioner abad ke-18 dan ke-19. Kebijakan yang mereka terapkan antara lain hak pekerja untuk mengatur manajemen tempat kerjanya, penghapusan pekerja anak, pengembalian alat kerja yang disita pegadaian, hingga pemberian pensiun bagi warga belum menikah dan anak-anak tentara yang gugur. Meski hanya bertahan sekitar dua bulan sebelum dihancurkan oleh tentara Republik Prancis Ketiga, Komune Paris membuktikan bahwa seluruh spektrum revolusioner kiri—dari kaum Anarkis hingga Blanquis—dapat bekerja sama. Sistem masyarakat yang dibangun, dikelola, dan dinikmati oleh kelas pekerja ternyata sangat mungkin diwujudkan, meskipun masih memerlukan banyak evaluasi.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Sepanjang abad ke-20, Komune Paris menjadi inspirasi bagi banyak gerakan kelas pekerja. Salah satu warisannya tampak dalam Revolusi Rusia 1905 setelah kekalahan Rusia dalam perang melawan Jepang, dan kembali dalam Revolusi Februari 1917 setelah Rusia kalah dalam Perang Dunia I. Pada saat itu lahirlah Petrograd Soviet, dewan yang terdiri dari perwakilan pekerja dari berbagai tempat kerja, tentara dari resimen prajurit, serta petani yang membentuk komite di ladang mereka. Meski sempat berbagi kekuasaan dengan pemerintahan sementara dari kalangan intelektual dan politisi Duma, Petrograd Soviet memiliki pengaruh dominan karena menguasai persenjataan, jalur kereta api, kantor pos, telegraf, dan sejumlah pusat produksi. Sistem demokrasi langsung yang dijalankan dewan ini terbukti relevan, terutama dalam pengorganisasian distribusi pangan dan perencanaan. Walaupun akhirnya didominasi oleh kaum Bolshevik dan diintegrasikan ke dalam Uni Soviet, Petrograd Soviet menunjukkan bahwa dunia yang lebih adil, dengan pengorganisasian langsung dari bawah oleh rakyat biasa melalui sosialisme-komunisme, selalu mungkin diwujudkan.

Pengaruh ide-ide komunisme kemudian menyebar melampaui Eropa, termasuk ke Asia Tenggara dan Indonesia. Kedatangan komunisme ke Indonesia erat kaitannya dengan hubungan transnasional antara para pelaut, buruh pelabuhan, serta jaringan kader internasional yang terhubung dengan Komintern atau Internasional Ketiga. Pada awal abad ke-20, gagasan komunisme menawarkan penjelasan radikal mengenai eksploitasi kolonial dan sekaligus jalan pembebasan bagi kaum tertindas. Tidak mengherankan jika banyak buruh perkebunan, pekerja kereta api, serta intelektual pergerakan mulai menerima komunisme sebagai ideologi perlawanan terhadap sistem kapitalisme kolonial Hindia Belanda. Partai Komunis Indonesia (PKI), yang didirikan pada 1920, merupakan salah satu partai komunis pertama di Asia dan segera menjadi wadah penting bagi perlawanan rakyat terhadap penjajahan.

Bersamaan dengan itu, gagasan republikanisme dan Islam juga memainkan peran penting dalam membentuk arah perjuangan nasional. Republikanisme yang diilhami Revolusi Prancis dan perjuangan kemerdekaan Amerika Serikat menekankan cita-cita kesetaraan politik dan pemerintahan rakyat tanpa monarki. Islam di sisi lain menawarkan etika persaudaraan, keadilan sosial, serta tradisi perlawanan terhadap penindasan. Perpaduan ketiga arus pemikiran ini, yakni komunisme dengan kritiknya terhadap kapitalisme, republikanisme dengan tuntutannya atas pemerintahan rakyat, dan Islam dengan nilai moral serta jaringannya yang luas, menciptakan fondasi ideologis yang kaya bagi perlawanan nasional Indonesia. Inilah yang kemudian mewarnai dinamika politik abad ke-20, dari perlawanan bersenjata hingga perdebatan tentang bentuk negara setelah kemerdekaan.


Sosialisme ala Luxemburg, Pannekoek, dan Castoriadis

Sepanjang abad ke-20, banyak revolusi berusaha mewujudkan sosialisme-komunisme, seperti Revolusi Jerman 1918 dan Revolusi Hongaria 1956. Namun, esensi masyarakat baru yang hendak dicapai serta cara mencapainya dapat lebih realistis dipetik dari tiga pemikir besar yang akan saya bahas secara singkat.

Tokoh pertama adalah Rosa Luxemburg (1871–1919), revolusioner Polandia yang dikenal lewat The Accumulation of Capital (1913) dan pidatonya On the Spartacus Programme (1918). Ia menegaskan bahwa sosialisme tidak pernah, dan tidak mungkin, lahir dari dekrit pemerintah. Sosialisme hanya dapat diciptakan oleh massa proletar sendiri. Rantai kapitalisme hanya dapat diputus pada titik di mana pekerja terikat padanya, dan hanya dengan cara itu sosialisme dapat diwujudkan. Luxemburg juga menilai Revolusi Jerman 9 November 1918 masih sebatas revolusi politik, belum revolusi ekonomi. Gerakan pun masih terkonsentrasi di perkotaan, padahal kesatuan dengan perdesaan sangat penting agar dukungan agraria menjamin masa depan sosialisme sekaligus mencegah kontra-revolusi tuan tanah.

Karena itu, ia menyerukan pembentukan workers’ council atau dewan pekerja, yang terdiri dari buruh, tentara, dan kemudian petani. Menurutnya, kekuasaan sejati harus lahir dari bawah, bukan dari atas, melalui penyatuan kekuatan warga dan pengalihan legislasi serta administrasi ke tangan dewan pekerja. Luxemburg menyadari tidak semua buruh, petani, dan tentara langsung memahami maksud sistem ini, tetapi dengan sosialisasi dan praktik, setiap orang akan belajar dan berpartisipasi. Meski perjuangannya terhenti ketika ia dan Karl Liebknecht dieksekusi pada Januari 1919 oleh paramiliter sayap kanan (cikal bakal Nazi), warisan gagasannya tentang kekuatan dari bawah, pengorganisiran massa, dan penyatuan lintas kelas tetap menjadi pesan penting bagi gerakan revolusioner.

Tokoh kedua adalah Anton Pannekoek (1873–1960), astronom Belanda dan penggagas ide council communism. Bersama Herman Gorter, Paul Mattick, Otto Rühle, dan Sylvia Pankhurst, ia menentang sosialisme-negara ala Lenin dan Uni Soviet. Menurutnya, sosialisme sejati tidak dapat diwujudkan lewat kediktatoran partai atau dominasi negara, karena alat produksi tetap berada di tangan elite penguasa baru. Bagi Pannekoek, hanya kelas pekerja sendiri yang dapat menentukan arah kerja, mengelola alat produksinya, dan mengatur organisasinya secara langsung dari bawah.

Dalam Workers’ Council (1947), Pannekoek merumuskan strateginya menghadapi kapitalisme pasca Perang Dunia II. Baginya, dewan pekerja adalah bentuk organisasi transisi yang memungkinkan kelas pekerja menegakkan dominasinya sembari menghancurkan kapitalisme. Dewan ini menjadi sarana self-government, di mana kehidupan sehari-hari dan kerja manusia diorganisir secara kolektif, sehingga lahirlah cara hidup baru yang sepenuhnya berbeda dari dunia lama.

Pannekoek menjelaskan bahwa dewan pekerja mengorganisir kegiatan dasar ekonomi dan politik. Berbeda dari sistem borjuis yang memisahkan dan mengasingkan ranah sosial, dewan ini menjalankan council democracy—delegasi dari pabrik, kelompok kerja, toko, hingga komunitas tani berkumpul untuk merumuskan keputusan bersama. Para delegasi bersifat rotasi dan dapat diganti kapan saja bila tidak amanah, sehingga mencegah lahirnya elite politik baru. Prinsip demokrasi dewan ini berlaku bukan hanya di ranah politik, melainkan juga ekonomi. Produksi dan konsumsi dikelola secara kooperatif, bukan kompetitif. Barang dan jasa diproduksi sesuai kebutuhan, dan setiap pekerja berhak ikut menentukan tujuan serta arah kerjanya.

Walaupun ide-ide Pannekoek tenggelam setelah kegagalan Revolusi Jerman 1918–1919, lalu makin terdesak oleh kediktatoran Nazi dan dominasi Uni Soviet selama Perang Dingin, gagasannya tentang masyarakat tanpa eksploitasi tetap memberi gambaran konkret dan rinci mengenai masyarakat tanpa eksploitasi.

Ketiga, Cornelius Castoriadis (1922–1997), filsuf dan sosiolog Yunani yang konon pernah berkorespondensi dengan Anton Pannekoek, juga mengemukakan gagasan penting tentang masyarakat sosialis. Untuk mendefinisikan pengorganisiran masyarakat sosialis secara konkret, ia merumuskan dua gagasan dasar: manajemen produksi oleh buruh dan kendali penuh oleh dewan atau council. Namun menurutnya, gagasan tersebut perlu dideskripsikan secara lebih rinci, yaitu bagaimana kita memvisualisasikan institusi-institusi serta cara kerjanya, agar tidak sekadar menjadi utopia. Dalam salah satu karyanya, Workers’ Council and the Economics of a Self-Managed Society (1972), Castoriadis menjelaskan prinsip-prinsip dasar masyarakat sosialis sebagai berikut.

  1. Institusi yang dapat dimengerti dan dikendalikan oleh rakyat. Menurut Castoriadis, institusi atau organisasi sosial hanya dapat dipahami oleh banyak orang apabila menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan bersifat transparan, sehingga maksud dan tujuannya mudah diketahui. Demokrasi sejati bagi Castoriadis bukan sekadar hak suara atau mekanisme voting, bukan pula tindakan memilih pemimpin lalu melepaskan semua pengawasan kepada mereka. Demokrasi sejati juga bukan sekadar mendorong orang untuk mempertanyakan hal-hal yang tidak mereka pahami, melainkan kemampuan warga untuk mengambil keputusan sendiri atas persoalan penting dengan kesadaran penuh tentang fakta-fakta yang relevan.
  2. Demokrasi langsung dan sentralisasi. Castoriadis berpendapat bahwa demokrasi langsung harus dibangun secara organik dari kolektif-kolektif lokal yang paling memahami kondisi sehari-hari. Pada masa kini, basis kolektif itu dapat muncul bukan hanya dari kesamaan geografis, tetapi juga dari kesamaan pekerjaan. Inilah fondasi masyarakat sosialis masa depan. Meskipun setiap organisasi lokal dan dewan setempat memiliki otoritas dan bersifat terdesentralisasi, tetap diperlukan bentuk sentralisasi berupa penggabungan terintegrasi dari semua organisasi tersebut ke dalam dewan besar bersama.
  3. Aliran informasi dan keputusan. Castoriadis menekankan pentingnya membongkar monopoli otoritas pengambilan keputusan yang selama ini bersifat satu arah dari pusat ke daerah. Dalam masyarakat sosialis, relasi harus setara dan dua arah, karena setiap dewan lokal memiliki otoritas dan suara yang sama pentingnya. Tugas dewan pusat adalah mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi yang datang dari kelompok-kelompok lokal. Setiap kebijakan penting diputuskan di akar rumput, kemudian dikomunikasikan ke dewan pusat untuk dikoordinasikan dan disebarluaskan ke dewan atau kelompok lainnya.

Castoriadis tidak hanya merangkum tiga prinsip dasarnya, tetapi juga mengemas gagasannya secara lebih konkret melalui struktur dan bagan mengenai workers’ council serta workers’ management atau manajemen pekerja, termasuk cara kerjanya. Ia menegaskan bahwa antara kapitalisme dan komunisme tidak terdapat yang disebutnya tiga puluh enam jenis masyarakat transisi, melainkan hanya ada satu bentuk, yaitu sosialisme. Karakteristik utama sosialisme, menurut Castoriadis, bukanlah perkembangan kekuatan produksi, peningkatan kepuasan kebutuhan konsumen, ataupun perluasan kebebasan politik. Ciri khas sosialisme terletak pada perubahan sifat dan isi pekerjaan melalui kesadaran serta pemanfaatan warisan teknologi yang ditransformasi sesuai kebutuhan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, teknologi akan tunduk pada kebutuhan manusia, tidak hanya sebagai konsumen tetapi juga sebagai produsen.

Masih banyak tokoh yang memberikan definisi tentang sosialisme. Namun jika seluruhnya dijabarkan di sini, pembahasan akan menjadi terlalu panjang. Detail pemikiran Luxemburg, Pannekoek, dan Castoriadis mungkin lebih tepat disampaikan pada kesempatan lain. Walaupun saat ini gagasan-gagasan revolusioner tersebut seolah tersisihkan oleh hiruk-pikuk janji kapitalisme, bukan berarti cita-cita itu telah mati. Sebaliknya, kemajuan zaman justru membuat sosialisme semakin mungkin diwujudkan. Pertanyaannya, dari mana kita bisa memulainya?


Sosialisme Abad 21?

Setelah meninjau cita-cita sebagian pemikir sosialis beserta sepak terjang mereka sepanjang abad ke-18 hingga abad ke-20, kita perlu kembali ke abad ke-21 dan bertanya: apakah masih mungkin merealisasikan sebuah gagasan yang lahir hampir dua abad lalu? Apakah pencapaian sosialisme bisa semudah menyeduh mi instan? Sebelum sampai ke pertanyaan itu, ada baiknya kita merangkum terlebih dahulu definisi sosialisme terkini, tantangan yang kita hadapi hari ini, serta apa yang dapat kita lakukan saat ini.

Sosialisme dapat dipahami sebagai cara hidup masyarakat ketika urusan ekonomi dan politiknya diketahui secara transparan, dipahami dengan baik, serta dikelola bersama secara langsung oleh para pekerja atau mereka yang telah berkontribusi melalui kerjanya. Sosialisme merupakan bentuk pengorganisiran kelas pekerja untuk melangsungkan kehidupan sehari-hari dan memenuhi kebutuhannya dengan pola yang bergerak dari bawah ke atas serta berpijak pada kondisi nyata. Ia memanfaatkan ranah produksi beserta seluruh kemajuan zaman untuk kemakmuran kelas pekerja sekaligus kelangsungan hidup manusia dan lingkungannya. Sederhananya, sosialisme adalah kehidupan yang berjalan berdasarkan pengelolaan bersama, sebagaimana dapat kita lihat dalam praktik di Kota Jackson. Namun, untuk mencapainya apakah kita harus menunggu datangnya kiamat zombie?

Jawabannya bisa ya dan bisa tidak. Bisa ya, karena eksploitasi terus meningkat sementara harga kebutuhan hidup semakin melambung. Membicarakan kesadaran kelas atau revolusi pun terasa jauh, sebab bahkan untuk sekadar bertahan hidup para pekerja sudah kesulitan. Belum lagi hegemoni kapitalisme yang membentuk pikiran dan perilaku kita setiap hari, baik secara langsung maupun tidak langsung. Janji-janji manis tentang kebebasan, kemajuan, dan kemakmuran membuat kita terbuai dalam kenikmatan palsu, padahal tidak hanya manusia tetapi juga alam sedang tereksploitasi dan generasi homo sapiens selanjutnya menghadapi ancaman nyata. Kondisi inilah yang dapat disebut sebagai sindrom stockholm, yang membuat kita tidak menyadari adanya cara hidup yang lebih baik dan lebih lestari. Maka, bahkan sebelum wabah zombie benar-benar merebak, sebagian besar dari kita sebenarnya telah menjadi zombie.

Meskipun memprihatinkan, keadaan ini bukan berarti tidak ada harapan untuk menemukan obat atau vaksinnya. Jawabannya bisa juga tidak, sebab hingga tahun 2025 ini, meskipun ditindas negara dan dihimpit modal, kesadaran kritis serta keinginan untuk bersatu dan mengorganisir diri tetap tumbuh subur di berbagai belahan dunia. Di Indonesia khususnya, meskipun Reformasi 1998 hanya berakhir sebagai selebrasi pergantian penguasa dan kini Orde Baru bangkit kembali, rakyat yang sebelumnya didiamkan mulai tersadar, bersuara, dan melawan dengan segala kesanggupannya. Kita dapat menyaksikan berbagai gerakan yang tumbuh secara organik dan terus beregenerasi untuk menepis kerasnya kehidupan akibat eksploitasi. Perdebatan mengenai gerakan rimpang dan non-rimpang yang belakangan muncul sebenarnya kurang relevan, sebab keduanya justru akan lebih kuat jika saling bergandengan, berjejaring, dan berkolaborasi. Tantangan yang sesungguhnya sudah jelas terpampang, yaitu jalan menuju kiamat antroposen dengan empat penunggang kudanya: kapitalis baik nasional maupun internasional, negara adikuasa maupun negara zalim, kelas pekerja serta warga sipil yang terjangkit sindrom stockholm, dan alam yang tidak lagi sanggup menolerir eksploitasi. Alternatifnya, sosialisme abad ke-21 harus diwujudkan dan, untuk mewujudkannya, menafsirkan-kembali tiga pemikir yang disebut di atas bisa menjadi pijakan yang baik.

Pemikiran Rosa Luxemburg memiliki relevansi besar bagi konteks Indonesia, terutama dalam hal membangun kesadaran massa dari bawah. Gerakan sosial di negeri ini kerap menghadapi tantangan berupa keterputusan antara buruh industri dan petani, antara gerakan mahasiswa dan rakyat pekerja, serta antara gerakan perkotaan dan perdesaan. Luxemburg mengingatkan bahwa tanpa kesatuan lintas kelas, perjuangan hanya akan menjadi revolusi politik yang dangkal dan mudah dipatahkan. Seruannya mengenai workers’ council dapat menginspirasi pembentukan ruang-ruang demokrasi rakyat yang nyata, di mana keputusan kolektif lahir dari rapat-rapat komunitas, serikat pekerja, dan organisasi tani. Partisipasi aktif seluruh anggota menjadi kunci, sehingga sosialisme di Indonesia dapat berakar pada kekuatan rakyat sendiri, bukan sekadar pada elite politik yang mengklaim berbicara atas nama mereka.

Gagasan Anton Pannekoek tentang council communism juga memberi pelajaran penting bagi gerakan sosial di Indonesia yang kerap dilumpuhkan oleh kooptasi negara dan oligarki politik. Penolakannya terhadap sosialisme-negara menegaskan bahwa perubahan sejati tidak akan lahir dari sekadar mengganti penguasa, melainkan dari pengambilalihan kendali produksi dan distribusi oleh kelas pekerja itu sendiri. Dalam situasi di mana koperasi sering dijadikan jargon tanpa makna dan serikat pekerja dibatasi ruang geraknya, ide council democracy dapat membuka jalan bagi eksperimen demokrasi langsung dalam pengelolaan ekonomi rakyat, baik melalui pertanian kolektif maupun koperasi pekerja modern. Prinsip rotasi delegasi yang sewaktu-waktu dapat diganti juga menjadi model penting untuk mencegah korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan, penyakit lama yang masih menjerat politik Indonesia hingga hari ini.

Cornelius Castoriadis melengkapi gagasan tersebut dengan penekanan pada institusi yang transparan, dapat dipahami, dan dikelola langsung oleh rakyat. Kritiknya terhadap monopoli informasi sangat relevan di Indonesia, di mana jurang informasi dan dominasi media arus utama kerap memutus suara rakyat kecil. Dalam konteks gerakan sosial, idenya dapat diterapkan melalui pemanfaatan teknologi digital yang membuka ruang partisipasi luas, mulai dari musyawarah daring, transparansi anggaran komunitas, hingga sistem distribusi berbasis koperasi yang dikelola bersama. Prinsip aliran informasi dua arah yang ia ajukan menjadi fondasi bagi gerakan yang tidak hanya reaktif terhadap ketidakadilan, tetapi juga proaktif dalam menghadirkan alternatif konkret untuk kehidupan sehari-hari. Dengan menggabungkan warisan Luxemburg, Pannekoek, dan Castoriadis, gerakan sosial di Indonesia memiliki bekal untuk menempuh jalan menuju masyarakat yang lebih adil dan demokratis, lahir dari bawah dan dikelola oleh rakyat itu sendiri.

Lalu, apa yang dapat kita lakukan dan dari mana harus memulai? Tentu saja dimulai dari apa yang bisa dilakukan sendiri maupun bersama kawan-kawan terdekat. Tidak perlu berambisi muluk untuk langsung mengubah dunia, cukup dengan berjejaring dan berkolaborasi dengan mereka yang memiliki tujuan serupa. Agenda-agenda kecil yang bermanfaat bagi warga, terutama kelompok yang tertindas, termarjinalkan, dan kelas pekerja, dapat menjadi titik awal. Selanjutnya, penting membangun wadah lintas organisasi dan kolektif untuk menyatukan kekuatan di bidang politik, sekaligus menginisiasi jaringan koperasi lintas sektor guna memperkuat kemandirian ekonomi. Intinya adalah menjadi bagian langsung dari masyarakat dalam praktik sehari-hari serta mengikutsertakan sebanyak mungkin orang lintas komunitas agar dapat berkolaborasi dan berkontribusi secara nyata.

Indonesia sebagai negara kepulauan menghadirkan keragaman masalah yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Di Papua, isu perampasan tanah dan sumber daya masih berlangsung; di Kalimantan, perusakan lingkungan akibat tambang dan perkebunan skala besar semakin parah; di Sulawesi, nelayan kecil menghadapi ancaman dari industri nikel dan reklamasi; sementara di Jawa dan Sumatra, buruh pabrik serta petani terus bergulat dengan upah murah, alih fungsi lahan, dan tekanan harga. Semua ini memperlihatkan bahwa tidak ada isu pusat dan isu daerah, karena setiap persoalan rakyat sama pentingnya dan saling terkait. Prinsip sosialisme justru mengajarkan bahwa perjuangan harus berakar di setiap wilayah, dengan menghargai pengalaman lokal sekaligus membangun solidaritas lintas daerah agar kekuatan rakyat tidak tercerai-berai.

Penting juga dicatat bahwa kita sebaiknya mengenalkan sosialisme bukan dengan fafifu wasweswos, melainkan melalui contoh tindakan nyata. Sosialisme perlu diperkenalkan dengan cara yang relevan dengan kondisi hari ini agar mudah dipahami dan dapat diterapkan dalam berbagai situasi. Seseorang tidak harus mengerti secara mendetail bagaimana membuat atau bagaimana cara kerja teknologi seperti smartphone, laptop, TikTok, atau Discord, melainkan cukup memahami cara menggunakannya dan apa manfaat yang dapat diperoleh. Demikian pula dengan sosialisme, ia harus hadir sebagai alat yang dapat digunakan dengan mudah untuk membantu kehidupan menjadi lebih baik. Dengan memenangkan pengaruh mayoritas di masyarakat, sosialisme niscaya dapat mengimbangi hegemoni kapitalisme, mulai dari hal sederhana berupa harapan hingga perubahan besar yang mengubah tatanan.

Pengalaman Zohran Mamdani di New York memperlihatkan bagaimana sosialisme dapat dikenalkan dengan cara yang sederhana, konkret, dan relevan dengan kebutuhan warga sehari-hari. Alih-alih terjebak dalam jargon yang sulit dipahami, ia menawarkan kebijakan nyata yang bisa langsung dirasakan manfaatnya, seperti perumahan umum yang diperbaiki dan diperluas, transportasi publik gratis dan lebih baik, toko pangan milik publik, serta penitipan anak universal. Semua itu membuat gagasan sosialisme tidak lagi tampak sebagai teori jauh di awang-awang, melainkan hadir sebagai jawaban praktis atas masalah yang dihadapi masyarakat. Keberhasilannya memenangkan hati banyak orang menunjukkan bahwa ide besar akan lebih mudah diterima jika diwujudkan dalam bentuk pelayanan publik yang menyentuh kebutuhan paling mendasar.

Pelajaran ini penting bagi Indonesia, di mana rakyat kecil, buruh, petani, dan warga miskin kota kesulitan mengakses perumahan, transportasi murah, bahan pangan yang terjangkau, serta layanan sosial yang memadai. Jika pendekatan seperti yang dilakukan Mamdani diadaptasi, gerakan sosial di Indonesia bisa tampil lebih dekat dengan kehidupan nyata rakyat. Program koperasi pangan di lingkungan padat penduduk, transportasi lokal yang dikelola komunitas dengan tarif murah, hingga layanan penitipan anak publik berbasis warga dapat menjadi contoh awal. Lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan mendesak, kebijakan-kebijakan ini akan membangun kepercayaan bahwa sosialisme abad ke-21 bukanlah mimpi, melainkan jalan yang nyata untuk menciptakan kehidupan yang lebih adil dan bermartabat.

Sebagaimana digambarkan dalam lirik lagu The Internationale bahwa dunia telah berganti rupa, demikian pula strategi dan taktik untuk mewujudkan sosialisme hari ini harus menyesuaikan diri. Kita tidak cukup hanya membongkar kebobrokan kapitalisme dan mewartakannya, melainkan juga memperkenalkan kepada khalayak bahwa terdapat cara hidup baru yang lebih baik serta menunjukkan bagaimana jalan untuk mencapainya. Pengenalan itu harus dilakukan dengan cara yang mudah diterima, relevan dengan situasi masyarakat hari ini, dan jelas kebermanfaatannya. Semoga mimpi ini dapat terwujud tanpa harus melalui kiamat zombie, sebab pada kenyataannya sebagian besar dari kita saat ini telah menjadi zombie. Sosialisme abad ke-21 merupakan vaksin yang dapat menyembuhkan masyarakat dari wabah kapitalisme untuk selamanya.

Pilihan ada di tangan kita: apakah ingin menjadi Joel atau Ellie. Tidak ada yang lebih baik di antara keduanya, tetapi kita dapat mulai berkomunikasi dengan jujur, saling mengenal lebih dekat, memahami maksud dan tujuan masing-masing, sehingga menghapus kesalahpahaman dan dapat segera bahu-membahu melawan musuh besar yang sesungguhnya.

Karena itu, kawan-kawan pekerja di seluruh Indonesia, bersatulah!


Daftar Pustaka

Bakunin, M. (1868). Our Program (Program of the Russian Socialist Democracy, 1868). The Anarchist Library. https://theanarchistlibrary.org/library/mikhail-bakunin-our-program

Bakunin, M. (1871). Socialism, the State and Revolutionary Tactics. The Anarchist Library. https://theanarchistlibrary.org/library/mikhail-bakunin-socialism-the-state-and-revolutionary-tactics

Castoriadis, C. (1959). The Working Class and Organisation. libcom.org. https://libcom.org/article/working-class-and-organisation-cornelius-castoriadis

Castoriadis, C. (1972). Workers’ Councils and the Economics of a Self-Managed Society. Marxist Internet Archive. https://www.marxists.org/archive/castoriadis/1972/workers-councils.htm

Costello, T. (2021, 22 Juni). Robert Owen and Utopian Socialism. Socialist Alternative. https://www.socialistalternative.org/2021/06/22/robert-owen-and-utopian-socialism/

Engels, F. (1847). The Principles of Communism. Marxist Internet Archive. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1847/11/prin-com.htm

Featherstone, L. (2022, 4 November). At the Dawn of Capitalism, Charles Fourier Imagined a Socialist-Feminist Utopia. Jacobin. https://jacobin.com/2022/04/socialist-feminist-utopia-charles-fourier-philosophy-marx-engels

Grams, F. (2021, 4 Maret). A Short History of the Paris Commune. Rosa Luxemburg Stiftung. https://www.rosalux.de/en/news/id/43896/a-short-history-of-the-paris-commune

Luxemburg, R. (1918). On the Spartacus Programme. Marxist Internet Archive. https://www.marxists.org/archive/luxemburg/1918/12/30.htm

Luxemburg, R. (1918). Our Program and the Political Situation. Rosa Luxemburg Stiftung. https://www.rosalux.de/stiftung/historisches-zentrum/rosa-luxemburg/our-program-and-the-political-situation

Marx, K. (1976). Capital Volume I. London: Pelican Books.

Marx, K., & Engels, F. (1848). Manifesto of the Communist Party. Marxist Internet Archive. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1848/communist-manifesto/index.htm

Muldoon, J. (2018). Council Democracy. New York: Routledge.

Pannekoek, A. (1952). On the Workers’ Council. libcom.org. https://libcom.org/article/workers-council

Pete. (2024, 14 Mei). A World in Miniature: Robert Owen’s Socialist Utopia. Radical Tea Towel. https://radicalteatowel.co.uk/radical-history-blog/a-world-in-miniature-robert-owens-socialist-utopia/

Popp-Madsen, B. A. (2021). Visions of Council Democracy. Edinburgh: Edinburgh University Press.


Francesco Hugo, Asisten Redaksi Jurnal IndoPROGRESS, adalah buruh ibu kota yang ikut terlibat di Klub Belajar Filsebat dan Suara Muda Kelas Pekerja. Ismail Al-’Alam Editor Harian IndoPROGRESS, adalah buruh ibu kota yang ikut terlibat di gerakan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.