Ekhjopas Uktolseja dan Mathijs Sapija: Komunis Kristen dari Indonesia

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Konstituante.Net


TULISAN INI merupakan lanjutan dari tulisan penulis yang berjudul Mereka yang Janggal: Para Pendeta Merah Indonesia dan kembali membahas salah satu tokoh yang disinggung dalam artikel tersebut: Pdt. Ekhjopas Uktolseja. Di samping itu, penulis juga menambah satu tokoh baru, seorang awam Kristen yang beken karena tulisannya tentang Kapitan Pattimura: Mathijs Sapija. Keduanya sama-sama dicalonkan PKI pada Pemilu 1955 dan duduk menjadi anggota Dewan Konstituante. Bedanya, Ekhjopas duduk mewakili partai, sedangkan Mathijs mewakili Fraksi Republik Proklamasi yang terdiri dari para calon PKI yang bukan anggota partai.

Sebagai calon dari PKI, tak heran mereka menulis ajakan untuk memilih partai tersebut dalam pemilihan umum. Namun, ajakan dari kedua tokoh ini bukanlah ajakan biasa yang hanya menyinggung kesukaran akibat kapitalisme, KMB, atau kebijakan kabinet sebelumnya. Mereka mencoba, dalam ajakan mereka, menunjukkan keselarasan antara komunisme dengan ajaran Kristen. Tulisan mereka membuktikan bahwa tak hanya “komunis Islam” yang ada di Indonesia, tetapi juga “komunis Kristen”. 


Ekhjopas Uktolseja: Suatu Tinjauan Kritis

Seperti yang telah disinggung dalam “Mereka yang Janggal: Para Pendeta Merah Indonesia”, salah satu inti pemikiran Pdt. Ekhjopas adalah bahwa hanya pemerintahan komunis, baik di Indonesia maupun di dunia, yang mampu mewujudkan hukum Allah di muka bumi. Dalam seruannya yang berjudul “Pilihlah Palu Arit” yang dimuat dalam Harian Rakjat edisi 24 September 1955, ia menulis,

Sebagai seorang beragama, saya doakan kekuasaan pekuasaan pemerintah dengan kaum komunis, karena hanya oleh pemerintah sedemikian, maka segala hukum-hukum Tuhan dapat dilaksanakan oleh segala bangsa, dalam damai dan hidup persaudaraan, sebelum datang kedalam dunia, hari Tuhan jang Maha Dahsyat itu.

Pendeta Ekhjopas benar-benar meyakininya. Ia menutup seruannya dengan kalimat, “Saudara-saudara suka berselamat, tubuh jiwa, dunia akhirat? Pilihan (sic) P.K.I.! Tusuklah tanda gambar Palu Arit. Ciptakanlah pemerintah dengan kaum komunis untuk negaramu dan bangsamu!!”

Ini bukan satu-satunya seruan yang ia tulis. Dua tahun kemudian, dalam rangka kampanye pemilihan umum legislatif Provinsi Jakarta Raya (kini DKI Jakarta), ia kembali menulis ajakan untuk memilih partai tersebut dalam kotak suara.

Ajakannya yang kedua berjudul “Saja pilih ‘PKI’ dan tusuk tanda gambar ‘Palu Arit” dan dimuat di Harian Rakjat edisi 3 Juli 1957. Berbeda dengan ajakannya yang pertama, di sini sang pendeta lebih banyak membahas dari segi keagamaan. Hal pertama yang disinggung oleh Pdt. Ekhjopas adalah sikap bermusuhan yang ditunjukkan oleh Gereja Katolik terhadap komunisme. Ia merasa bangga bahwa Marxisme berhasil berkembang di Italia “mengelilingi kursi irsali Paus-Rum” dan mengesalkan Gereja Katolik yang, menurut pandangannya, “sudah mempergunakan pelbagai aksi dan reaksi, dengan mengirimkan dan menjebarkan bukan sedikit spion Gereja-Rum, menduduki pojok-pojok penting dari semua negara”.

Pdt. Ekhjopas melanjutkan kecamannya terhadap sikap para imam Katolik di Tual (Kepulauan Kei) yang banyak menyebarkan pamflet-pamflet anti komunis. Ia juga mengeluhkan sikap guru-guru sekolah Katolik, khususnya di Jakarta, yang mengajarkan sikap anti komunis kepada murid-murid mereka khususnya ketika kunjungan “Jang Mulia Tamu Agung U.S.” ke ibu kota. Kemungkinan besar kunjungan yang dimaksud adalah kunjungan John Foster Dulles ke Jakarta pada 12-13 Maret 1956. Selaku menteri luar negeri (secretary of state), ia bertemu dengan Presiden Sukarno dan beberapa pejabat tinggi lainnya (United States Department of State, 2025).

Mengenai hal tersebut, ia menulis “Tetapi di Indonesia kita sekarang, bukan lagi mendjadi soal, kalau imam Rum di Tual-Kei menjebarkan begitu banjak pamflet anti komunis, begitu pula sampai pada guru-guru sekolah Katolik di Jakarta, tidak segan-segan mempengaruhi murid-murid mereka dengan politik Geredja Rum, sewaktu Jang Mulia Tamu Agung U.S. berkundjung ke negara kita”. 

Sang pendeta melanjutkan tulisannya dengan memaparkan (apa yang ia anggap) kondisi di Prancis, khususnya jasa-jasa Yohanes Calvin dalam gerakan Reformasi Gereja. 

Kita tahu, bagaimana Reformator Calvyn meletakkan dasar-dasar Protestanisme-Calvynistis untuk negara dan rakyat Perancis. Sebagai rakyat Italia, rakyat Perancis selalu tampil kedepan memperkembangkan panji-panji Komunis, karena sebagai orang beragama dan kaum Christen mereka tahu bagaimana kaum Komprador Kapitalis mau membendung sejarah Reformasi, dengan berkedokkan Gereja yang tidak pada tempatnya.

Sampai di sini, tampak bahwa selain ingin membela komunisme, ia juga berniat membela Gereja Calvinis di hadapan Gereja Katolik. Bagi Ekhjopas, Gereja Calvinis sejatinya adalah gereja yang benar dan Gereja Katolik adalah ‘salah’, terutama karena sikapnya yang cenderung antikomunis. Pandangannya mengenai keadaan di Prancis dan Italia boleh dikatakan naif. Bagi sang putra Ambon, kaum komunis di Prancis dan Italia menganut ideologi tersebut karena mereka “orang beragama”. Walau memang ada kaum komunis Kristen di kedua negara itu, mayoritas dari mereka adalah orang-orang yang tidak religius dan sudah pasti bukan menjadi komunis karena mereka ‘beragama’, apalagi ‘Kristen’.

Ekhjopas lalu menggelontorkan beberapa pernyataan para rohaniwan Kristen yang membenarkan komunisme atau tampak demikian. Pertama, ia mengutip dari Dr. Hewlett Johnson, dekan (kepala) Katedral Canterbury yang dikenal karena ideologi komunis yang ia anut. “Apakah yang Dr. Hewlett Johnson bersaksi tentang pemimpin-pemimpin Komunis dan Stalin?,” tanya Ekhjopas. “Mereka ada orang-orang sederhana dan pembesar-pembesar yang rendah hati dan sabar”. Ia lalu mengutip nubuat Louis Adriën Bähler, seorang pendeta Gereja Reformed Belanda yang juga seorang anarkis Kristen. “Jika Yesus muncul pada hari kiamat, maka Yesus akan berdiri bukan dalam rombongan orang-orang yang namakan dirinya Christen, tetapi justru dirombongan orang-orang Komunis yang selalu kita tuduh bukan Christen”. 

Selanjutnya, ia mengutip perkataan Elmer George Homrighausen, seorang pendeta dan teolog terkemuka dari Amerika Serikat dalam acara konferensi studi di Sukabumi pada tahun 1954. 

Kita tidak usah malu berterima kasih pada Pemerintah-Pemerintah Komunis, karena Sosial-Ekonomi yang menjadi tugas Gereja, untuk masyarakat dunia sebagai yang dipesankan oleh Injil, Gereja tidak dapat melaksanakannya, tetapi Pemerintah di negara-negara Komunis dapat mewujudkan semua ini, untuk kepentingan rakyat banyak. Di Amerika sebagai juga di Soviet Uni, Negara tinggal Negara dan Gereja tinggal Gereja, tetapi di Cekoslowakia, Pemerintah Komunis disana, membelanjakan segenap Gereja, menurut kemauan Rakyat.

Apa yang dikatakan Homrighausen memang benar, tetapi kebijakan itu tidak lahir dari kebaikan hati. Keputusan pemerintah komunis di Cekoslowakia untuk menggaji para imam Katolik melalui UU No. 218/49 dan Peraturan Pemerintah No. 219/49, keduanya tertanggal 14 Oktober 1949, sejatinya bertujuan untuk mengendalikan Gereja Katolik. Selain menggaji para imam, pemerintah juga menentukan di paroki atau keuskupan mana seorang imam akan bertugas. Alhasil, dari ketiga belas keuskupan yang ada di Cekoslowakia, hanya tiga yang mempunyai uskupnya sendiri: Praha, Nitra, dan Banska Bystrica (Reban, 1990, hlm. 147).

 Ekhjopas melanjutkan tulisannya dengan sebuah kecaman yang ditujukan kepada para pemuka agama yang bergabung dengan front-front anti komunis yang marak kala itu. Ia menulis bahwa rakyat yang “berkemauan baik dan yang merindu akan hari depan yang berbahagia” akan turun tangan dan menjadi “imam-imam” bagi mereka. Dengan mengutip Matius 18:3, ia menulis bahwa rakyat akan mengajari para pemuka agama ini sebagaimana Yesus memanggil seorang anak untuk mengajari para muridnya seraya berkata “Jikalau kamu tidak jadi sebagai anak-anak ini, maka kamu tidak akan masuk kedalam kerajaan surga.”

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Ia secara keliru mengira dan menjadikan Karl Marx dan Josef Stalin sebagai contoh Kristen yang komunis. “Semua orang beragama tahu bahwa Stalin adalah seorang pendeta dan Marx adalah seorang Yahudi, seorang Christen dan seorang Protestant,” tulisnya. Ia meneruskan, “bukan gampang dan mudah untuk seorang muda asal Yahudi dan berdarah Yahudi, dapat menerima Yesus sebagai juru selamatnya”. Bahkan, ia menganggap Marx sebagai seorang pahlawan dari Allah sebagaimana Martin Luther, Yohanes Calvin, dan Ulrich Zwingli karena afiliasi gerejanya dulu. Ini semua kurang tepat. 

Walau Stalin mengenyam pendidikan di seminari dan Marx dibesarkan di tengah keluarga Kristen, keduanya sama-sama menjadi ateis saat mereka sudah dewasa. Pembaptisan Marx dan keluarganya ke dalam Gereja Lutheran juga bukan karena alasan spiritual, melainkan pragmatis. Ayah Marx, Heinrich (awalnya bernama Herschel), adalah seorang pengacara beragama Yahudi. Setelah kekalahan Napoleon, Trier menjadi wilayah kekuasaan Prusia. 

Tak seperti Prancis, Prusia sama sekali tidak mengizinkan orang-orang Yahudi untuk menjadi pegawai negeri. Dihadapkan pada pilihan kehilangan pekerjaan atau agamanya, Herschel memutuskan untuk dibaptis sekitar tahun 1816 atau 1817. Ia kemudian mengubah namanya menjadi Heinrich. Pada 24 Agustus 1824, anak-anaknya (termasuk Karl) dibaptis, sedang istrinya baru dibaptis pada 20 November 1825 (Nicolaievsky dan Helfen, 1936, hlm. 4-6). Baik Karl muda maupun ayahnya sama-sama bukan Kristen taat. Ayahnya seorang Kristen liberal dan banyak terpengaruh oleh Voltaire (Nicolaievsky dan Helfen, 1936, hlm. 5).

Pada bagian selanjutnya, Ekhjopas mengklaim bahwa 2/3 umat manusia cinta pada Injil dan Marxisme. Pernyataan ini bukan berarti mereka semua beragama Kristen. Kriteria “cinta pada Injil” ditafsirkannya sesuai Roma 2:14 dan Matius 7:21. Bukan karena agamanya mereka dikatakan cinta pada Injil, melainkan karena perbuatan dan isi hatinya yang sesuai Hukum Taurat dan Injil. Dengan demikian, perbuatan mereka sudah sesuai dengan kehendak Bapa, meski mereka tidak semuanya beragama Kristen.

Ekhjopas menutup tulisannya dengan ajakan yang serupa dengan yang ia tulis untuk Pemilu 1955. Ia memandang Marxisme sebagai sarana untuk menciptakan dunia di bawah satu kekuasaan yang menjamin hak-hak asasi manusia. Dengan kata lain, Marxisme adalah jalan untuk mewujudkan Kerajaan Allah di bumi. Ia menulis,

Oleh Marx dan partai komunis, dengan programnya yang kongkrit dalam lapangan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan, maka hak-hak asasi saudara dan segenap bangsa didunia dapat hidup dan berkembang untuk menciptakan satu bangsa untuk semua, satu negara untuk sekalian, satu Tuhan dan satu raja untuk segenap dunia, karena firman Tuhan harus digenapi: ‘segala kuasa dalam surga dan atas bumi telah diserahkan Bapa padaKu.


Mathijs Sapija: Kapten Kristen yang Komunis

Sebelum membahas gagasan Mathijs, ada baiknya dipaparkan terlebih dahulu kisah hidupnya. Menurut profil Konstituantenya, Mathijs Sapija lahir di Wahai, Seram Utara, pada 6 Juli 1911. Profil dirinya yang dimuat dalam Harian Rakjat edisi 26 September 1955 menyebut Mathijs lulusan sekolah guru (kweekschool). 

Tamat dari kweekschool, Mathijs masuk Angkatan Laut Kerajaan Belanda (Koninklijke Marine/KM) dan bergabung dengan serikat pelaut. Saat dinas di Angkatan Laut, ia menjadi juru meriam kapal sekaligus editor surat kabar Pedoman Kita yang menjadi corong serikat pelaut. Mathijs menulis artikel-artikel yang membela pemberontakan awak kapal De Zeven Provinciën, sehingga ia dipecat dari Angkatan Laut dan dijebloskan ke penjara selama enam bulan. Setelah bebas dari bui, Mathijs memulai kariernya sebagai guru (Minggu Pagi, 5 Juli 1959; Peer, 1995).

Ia tinggal di Surabaya dan mengajar di dua sekolah dasar partikelir milik bumiputra: Instituut voor Lager Onderwijs (selanjutnya disingkat ILO) yang beralamat di Simolawang, Gang 3, No. 45 & 54 dan ILO Sidokapasan, Gang 8, No. 1 & 2 (De Indische Courant, 19 November 1936; 14 Desember 1938). Ia menjadi kepala sekolah ILO Simolawang sejak 1 Februari 1934 hingga 1 Mei 1942 (De Indische Courant, 19 November 1936; 14 Desember 1938).

Selain mengajar, Mathijs juga aktif di kepanduan. Ia mendirikan Kepanduan Anak Indonesia (KAI) dan menjadi anggota Partai Indonesia (Partindo). Selain itu, ia gemar menulis untuk berbagai surat kabar. Salah satunya adalah riwayat hidup Wage Rudolf Supratman yang dimuat dalam surat kabar Politiek en Cultuur yang terbit di Amsterdam. Pada masa fasis Jepang, ia menjadi guru Bahasa Jepang di Sekolah Pedoman Timur yang berstatus partikelir (Notosusanto, 1985, hlm. 110). 

Semasa Revolusi Agustus 45, Mathijs menjadi pemimpin umum Pemuda Republik Indonesia (PRI) Daerah Maluku di Surabaya. Beberapa rekannya adalah Mohamad Padang dan Herman Pieters (Minggu Pagi, 5 Juli 1955). Padang kelak menjadi Gubernur Maluku sedangkan Pieters menjadi Pangdam XV/Pattimura dan anggota MPR pada masa rezim Soeharto. Mathijs ikut dalam Pertempuran Surabaya (Kecik, 2009, hlm. 38).

Pada 10 November 1945, PRI kemudian berfusi dengan enam organisasi pemuda lainnya untuk membentuk Pesindo dalam Kongres Pemuda yang diselenggarakan di Yogyakarta (Soelias, 2016, hlm. 40). Dengan begitu, Mathijs otomatis menjadi anggota Pesindo. Ia pernah memimpin majalah Keadilan yang diterbitkan oleh Pesindo Mojokerto (Harian Rakjat, 26 September 1955). Mulai 1 September 1946, ia masuk TNI dengan pangkat kapten.

Saat Agresi Militer Belanda I, ia pernah dicurigai sebagai mata-mata Belanda dan ditangkap. Mathijs dijatuhi vonis hukuman mati. Namun, ia dibebaskan dari segala tuduhan dan kembali bergerilya. Selama Agresi Militer Belanda II, Mathijs menjadi koordinator Jawatan Penerangan di kawasan gerilya Gunung Kawi. Selain itu, ia juga mengajar di berbagai SMP dan SMA di Surabaya. Setelah KMB, ia menjabat Wakil Kepala Penerangan Tentara KMK (Komando Militer Kota) Surabaya. 

Di saat yang sama, Mathijs menulis beberapa artikel untuk surat kabar berbahasa Belanda, seperti “Wij kunnen omdat wij willen!” yang dimuat dalam De Vrije Pers edisi 11 Januari 1950. Artikel itu bertujuan untuk menjelaskan bagaimana RIS dan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) dapat bertahan dengan memaparkan pelbagai bukti kemajuan bangsa-bangsa Timur. Artikelnya yang lain, berjudul “Vrijheid, veiligheid en Volkswelvaart” yang dimuat di De Vrije Pers edisi 17 Januari 1950 dan Nieuwe Courant edisi 18 Januari 1950 ditulis untuk menepis keraguan mengenai kemerdekaan dan kedaulatan RIS di kalangan orang Belanda. Tulisan-tulisannya mencerminkan pemahaman yang baik mengenai sejarah dunia, terutama Sejarah Belanda. 

Pada tahun 1950, Mathijs dikirim ke Balangnipa, Sulawesi Selatan, untuk menumpas pemberontakan Andi Azis. Ia menjadi bagian dari Brigade 18 Divisi I pimpinan Letkol S. Sokowati yang mendarat di Balangnipa dan Sinjai (Poesponegoro, 2019, hlm. 354). Di Balangnipa, Mathijs menjadi Kepala Penerangan Tentara (Harian Rakjat, 26 September 1955). Setelah itu, ia dipindahtugaskan ke Manado dan terakhir di Ambon pada tahun 1951 dengan jabatan yang sama. 

Mulai 29 Maret 1952, Mathijs diangkat menjadi hakim perwira di Pengadilan Tentara Ambon berdasarkan Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1952 (Harian Rakjat, 26 September 1955). Ia menjadi hakim hingga berhenti pada 23 Juli 1956. Selain menjabat hakim, Mathijs juga menjadi guru tidak tetap pada SMA Negeri Ambon dari 1 Agustus 1951 hingga 19 Juli 1956. Dari tahun 1952 hingga 1954, ia kuliah di Fakultas Ilmu Politik dan Kemasyarakatan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Jakarta. Pada tahun 1953, bukunya yang termasyhur terbit: Sedjarah Perdjuangan Pattimura, Pahlawan Indonesia.

Pada Pemilu 1955, ia dicalonkan oleh PKI sebagai calon tak berpartai untuk kursi Konstituante dan DPR. Meski gagal lolos ke DPR, Mathijs berhasil lolos ke Dewan Konstituante. Saat berkampanye untuk pemilihan Konstituante, ia menulis sebuah artikel berjudul “Pilihlah Palu Arit & partai2 demokratis lainnja” yang dimuat dalam Harian Rakjat edisi 9 Desember 1955. Isinya mengajak umat Kristen untuk memilih PKI dan ‘partai-partai demokratis lainnya’ (selain Masyumi dan PSI–pen) dalam pemilihan Konstituante mendatang. Tulisan inilah yang akan dibahas pada bagian berikutnya.

Setelah Dewan Konstituante dibubarkan pada 5 Juli 1959, Mathijs melanjutkan kariernya sebagai penulis. Bukunya tentang pemberontakan awak kapal De Zeven Provinciën, Sedjarah pemberontakan di-Kapal Tudjuh (Zeven Provinciën), terbit pada tahun 1960. Tidak diketahui secara jelas nasibnya setelah peristiwa G-30-S, namun ia selamat dari huru-hara yang terjadi sebab pada tahun 1968, ia dianugerahi status Perintis Kemerdekaan oleh Menteri Sosial melalui SK Menteri Sosial RI No Pol. 106/68/PK. Pada masa ini, ia tinggal di Jalan Jatinegara Timur No. 89. Mathijs juga sudah bergelar doktor (Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan: Seri Pemberontakan di atas Kapal Hr. Ms. De Zeven Provinciën, 1980, hlm. 121). Mengenai kehidupan pribadinya, ia menikah dengan seorang perempuan Jawa dan memiliki empat orang anak (Minggu Pagi, 5 Juli 1959).


Marxisme dan Kristen Menurut Sang Kapten

Kembali ke artikel “Pilihlah Palu Arit & partai2 demokratis lainnja”, di awal tulisan Mathijs menyebut bahwa tulisan tersebut ia buat sebagai ‘surat terbuka’ atas ajakan Pdt. Ekhjopas Uktolseja yang dimuat dalam Harian Rakjat edisi 24 September 1955. Ia sadar bahwa akan ada pihak yang menudingnya memakai ayat-ayat Alkitab untuk kepentingan pribadi, sehingga ia langsung menepis kemungkinan tuduhan tersebut. Di saat yang sama, Mathijs terang-terangan mengungkapkan niatnya untuk mencari kesesuaian antara Alkitab dengan komunisme. 

Kalau saudara-saudara jumpai ayat-ayat kitab suci (Bijbel) didalamnya, maka itu bukan sekali-kali maksud kami untuk memakai ayat-ayat tersebut sebagai kedok seperti yang dilakukan oleh orang-orang kakitangan Belanda (baca: kapitalis) dan golongan-golongan tertentu dinegeri kita ini, akan tetapi itu hanya semata-mata sebagai suatu perbandingan untuk menguji sampai dimana persesuaian bisa terdapat antara pelajaran komunisme.

Bagi Mathijs, pendekatan semacam itu tidak menyalahi ajaran Kristen. Ia mengutip 1 Tesalonika 5:21 sebagai dalilnya. “Hendaklah segala perkara kamu uji, dan yang baik kamu pegang”. Ia melanjutkan tulisannya dengan menelaah persamaan antara cita-cita kaum komunis dengan ayat-ayat Alkitab. Pertama, ia meninjau tentang kepemilikan bersama atas alat-alat produksi. Secara khusus, ia meninjau mengenai kampanye nasionalisasi yang gencar saat itu. Mathijs menemui persamaannya dengan kisah seorang pemuda yang hendak menjadi murid Yesus, tetapi ditolak oleh Yesus kecuali ia menjual segala harta bendanya dan memberikan hasilnya kepada orang miskin sebagaimana tertulis dalam Matius 19:16-21.

Mathijs mengajak pembaca untuk tidak menafsirkan kata “jualkan” secara harfiah, melainkan secara kiasan. Menurutnya, yang diminta oleh Yesus adalah agar pemuda tadi menjadikan harta yang ia miliki sebagai kepunyaan bersama. Kesimpulan ini ia peroleh dengan berkaca pada praktik umat Kristen awal yang mempraktikkan kepemilikan bersama, mengutip Kisah Para Rasul 4:32. Ia menyamakan hal tersebut dengan praktik nasionalisasi yang tengah berlangsung. Ia mengecam kaum kapitalis yang bertindak seperti pemuda tersebut: mengaku telah mengerjakan semua perintah Tuhan tetapi tidak mampu menjadikan milik mereka menjadi milik bersama. “Jadi dalam hal ini moral mereka masih kalah dengan moral kaum komunis!,” tulisnya.

Selanjutnya, Mathijs memaparkan bahwa kaum komunis menggenapi kehendak Allah dengan berbuat apa yang ia kehendaki tanpa menyeru “ya Tuhan, ya Tuhan”. Dalam hal ini, ia serupa dengan Pdt. Ekhjopas. Mathijs menyinggung salah satu asas hukum kasih: mencintai sesama. Kaum komunis menjalankan kehendak Allah dengan mencintai sesama manusia dan memperjuangkan pembebasan umat manusia dari kemelaratan yang disebabkan oleh kapitalisme. Dengan mengutip Roma 13:8-10, Mathijs menulis bahwa rasa cinta kaum komunis terhadap sesama hanya bisa muncul jika mereka melakukan apa yang dikehendaki Tuhan.

Di bagian berikutnya, Mathijs menggunakan perumpamaan orang Samaria yang baik untuk menyampaikan gagasannya. Kaum kapitalis disamakan dengan ahli taurat dan seorang Lewi, sebab keduanya sering menyebut nama Tuhan tetapi enggan membantu orang yang terluka itu. Kaum komunis disamakan dengan orang Samaria yang, meskipun sering kali dihina oleh kedua golongan tadi, justru bermurah hati membantu orang yang terluka tadi. 

Kami ulangi: kaum komunis tidak menyeru ‘ya Tuhan, ya Tuhan’ atau memakai agama sebagai kedok tetapi mereka berbuat seperti orang Samaria yang murah hati itu: mereka memperhatikan nasib orang-orang miskin ialah orang-orang yang menderita luka ekonomi! Jadi perbuatan mereka sesuai dengan petunjuk Bijbel!

Tuntutan kaum komunis agar setiap orang terpenuhi sandang, pangan, dan papannya mengingatkan Mathijs pada kecaman Yesus terhadap orang-orang munafik. “Mereka ini melihat Tuhan lapar tetapi tidak memberi Tuhan makanan, melihat Tuhan telanjang tetapi tidak memberi Tuhan pakaian, melihat Tuhan orang asing tetapi tidak memberi Tuhan tempat penginapan (rumah),” tulisnya mengutip Matius 25:41-42. Dalam Matius 25:45, Yesus berkata bahwa jika seseorang tidak mau berbuat kebaikan untuk saudaranya yang hina, dia pasti tidak akan berbuat kebaikan untuk Allah. Bagi Mathijs, amal bakti kaum komunis terhadap orang-orang miskin, lapar, dan hina adalah sama dengan amal bakti kepada Allah.

Kisah Yesus yang membagi-bagikan lima roti dan dua ikan kepada lima ribu orang sebagaimana diceritakan dalam Markus 6:39-42 bagi Mathijs adalah bukti bahwa tuntutan kaum komunis agar setiap orang memperoleh makanan selaras dengan apa yang dilakukan oleh Yesus. “Kaum komunis menuntut supaya roti atau sesuap nasi itu dimiliki oleh sekalian manusia. Bijbel mengajar bahwa Tuhan Yesus membagi roti bukan untuk segolongan kecil manusia tetapi untuk sekalian!,” tulisnya.

Prinsip “siapa yang tidak bekerja, ia tidak berhak untuk makan” yang dianut orang-orang komunis mendapat padanannya dalam 2 Tesalonika 3:10 yang berbunyi “Barang siapa yang tidak mau bekerja, jangan dia makan”. Perbandingan terakhir antara Alkitab dengan komunisme yang ia sajikan adalah sikap keduanya yang menentang ketamakan. Dengan mengutip Timotius 6:10, Mathijs menulis, “orang komunis mengajar bahwa kapitalisme itu sumber semua kejahatan. Bijbel mengajar bahwa tama (loba) akan uang adalah akar segala kejahatan”. Menentang kapitalisme sama saja dengan menentang sistem yang melahirkan sikap tamak atas harta benda.

Pada bagian penutup, Mathijs menulis, “kiranya uraian singkat ini menjadi bukti bahwa tuntutan dan pelajaran kaum komunis adalah sesuai dengan petunjuk Bijbel. Dan sebab itu memilih PKI, memilih palu arit dan partai-partai demokratis lainnya berarti mempraktekkan petunjuk-petunjuk Bijbel dalam praktek yang nyata dan bukan dalam kata-kata kosong yang hanya merupakan topeng belaka!”


Rintisan yang Mulia

Apa yang dilakukan Pdt. Ekhjopas dan Mathijs sejatinya bukanlah hal yang baru. Tidak jarang kaum komunis mencari persamaan antara ayat-ayat Alkitab dengan ideologi mereka, entah untuk menarik simpati massa atau berdasar pada keyakinan pribadi akan adanya persamaan itu. Sang pendeta dan kapten dari Maluku cenderung pada kemungkinan yang kedua. Sebagai pengikut Yesus Kristus, mereka benar-benar meyakini bahwa ideologi mereka bukannya bertentangan melainkan selaras dengan iman mereka. Mereka juga menjadi bukti bahwa tidak hanya umat Islam saja yang mencoba menelaah relasi antara Marxisme dengan agama di Indonesia, umat Kristen pun melakukan hal yang sama.


Daftar Pustaka

Surat Kabar

“Instituut voor L.O. Soerabaia: Onverwachte inspectie”, De Indische Courant, 19 November 1936.

“Inspectie Inlandsch Onderwijs”, De Indische Courant, 14 Desember 1938.

“Pemimpin berbagai golongan”, Harian Rakjat, 26 September 1955.

Sapija, Mathijs. “Wij kunnen omdat wij willen!”, De Vrije Pers, 11 Januari 1950.

____________. “Vrijheid, veiligheid en Volkswelvaart”, De Vrije Pers, 17 Januari 1950. Juga dimuat dalam Nieuwe Courant, 18 Januari 1950.

____________. “Pilihlah Palu Arit & partai2 demokratis lainnja”, Harian Rakjat, 9 Desember 1955.

Uktolseja, Ekhjopas. “Pilihlah Palu Arit”, Harian Rakjat, 24 September 1955.

________________. “Saja pilih ‘PKI’ dan tusuk tanda gambar ‘Palu Arit’ ”, Harian Rakjat, 3 Juli 1957.

Buku dan Majalah

Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan: Seri Pemberontakan di atas Kapal Hr. Ms. De Zeven Provinciën. 1980. Jakarta: Direktorat Jenderal Bantuan Sosial, Departemen Sosial.

Kecik, Hario. 2009. Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Minggu Pagi, Vol. 12, No. 14, 5 Juli 1959.

Nicolaievsky, Boris; Otto Maenchen-Helfen. 1936. Karl Marx: Man and Fighter. London: Methuen & Co. Ltd.

Notosusanto, Nugroho. 1985. Pertempuran Surabaya. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.

Peer, Harry. “De Muiterij op de Zeven Provinciën”, Solidariteit, No. 66, April 1995. 

Poesponegoro, Marwati Djoened; Nugroho Notosusanto. 2019. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (±1942-1998). Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.

Reban, Milan J. 1990. “The Catholic Church in Czechoslovakia”. Dalam Pedro Ramet (ed.), Catholicism and Politics in Communist Societies, hlm. 142-155.

Soelias, Norman Joshua. 2016. Pesindo, Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950. Tangerang Selatan: Marjin Kiri. 

Sumber Internet

Almazani, M. Jaris. “Mereka yang Janggal: Para Pendeta Merah Indonesia”, IndoPROGRESS, 12 Februari 2025. Diakses pada tanggal 3 April 2025.

Hidayat, Syahrul, dan Kevin W. Fogg. “Profil Anggota: Mathijs Sapija”, Konstituante.Net, 1 Januari 2018. Diakses pada tanggal 3 April 2025. 

United States Department of State. “Indonesia”, Office of the Historian, Foreign Service Institute, 2025. Diakses pada tanggal 3 April 2025.


M. Jaris Almazani adalah mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menaruh minat besar pada sejarah gerakan kiri di Indonesia

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.