Aktivisme Antirealis, Neoliberalisme Pendidikan, dan Fetisisme Sektoral

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Ilustruth


TULISAN ini adalah tanggapan terhadap kritik yang dilayangkan kepada tulisan saya yang bertajuk “Agar Gerakan di Kampus Tidak Mampus” oleh Izam Komaruzaman dalam artikel berjudul “Masa Paceklik Gerakan Mahasiswa”. Saya berterima kasih untuk itu. Akan tetapi, saya menemukan beberapa ketidaksesuaian yang mencolok antara muatan kritik Izam dengan gagasan utama yang saya coba usung. Oleh karena itu saya merasa wajib untuk meluruskan sekaligus mengungkap kelemahan fundamental dalam cara berpikirnya.

Izam mempersoalkan tulisan saya yang katanya membawa agenda politik kelas pekerja yang, dalam bahasanya sendiri, “indah di kepala.” Selain itu, menurut Izam, mahasiswa seharusnya fokus ke basis sektoralnya sendiri tanpa menjadi “kantong massa” bagi sektor lain. Ia bahkan mengatakan bahwa mahasiswa bisa saja menjadi “pionir awal revolusi” dengan mengambil contoh revolusi Cile yang melawan otoritarianisme dan neoliberalisme. Pada paragraf selanjutnya, Izam kemudian menawarkan jalan yang mungkin merupakan grand solution: “arah politik baru gerakan mahasiswa harus diarahkan pada prinsip mahasiswa sebagai korban tersendiri dalam sistem neoliberalisme pendidikan.”

Sampai titik ini, saya sudah memafhumi inti kritik Izam: mahasiswa adalah korban dari neoliberalisme pendidikan dan harus melawan sistem ini dengan cara memperkuat sektornya sendiri sembari menyebar api ke sektor lain. Bagi saya, tawaran Izam tidak kalah indahnya di kepala. Akan tetapi, saya hendak bertanya: dari manakah akar neoliberalisme pendidikan itu? Bukankah neoliberalisme pendidikan adalah bagian integral dari sebuah sistem yang lebih kompleks? Bukankah mahasiswa sebagai “korban” justru menunjukkan ketidakmampuan untuk memahami posisi objektif mereka dalam kompleksitas sistem tersebut?

Izam tampak melihat realitas di sekitarnya sebagai sesuatu yang terberi begitu saja. Ia tidak secara objektif menganalisis hal-hal yang dia kritik. Seolah-olah beberapa kasus yang ia problematisasi itu tidak terkoneksi dengan kondisi-kondisi struktural tertentu. Agaknya tidak keliru jika mengatakan bahwa watak Izam yang, dalam tulisannya sendiri, cenderung menyasar pada “persoalan konkret” justru menghalanginya untuk berpikir secara fundamental. Izam mengira bahwa yang tampak sama dengan yang esensi. Oleh karena itu, ia berhenti pada penampakan, berhenti pada kejadian-kejadian. Ia tidak mencoba menarik lebih jauh sebab-sebab objektif dari kejadian-kejadian yang mengaktual. 

Pada titik inilah saya merekomendasikan agar Izam mulai mempelajari tentang realisme kritis terutama dari filsuf marxis Roy Bhaskar. Dari sana, Izam akan belajar membedakan antara penampakan dan kenyataan; antara gejala yang muncul di permukaan dan mekanisme yang menjadi prasyarat kemunculannya. Singkatnya, untuk melihat realitas secara lebih jernih dan objektif. Karena berbagai keterbatasan, baik itu bahasa hingga sumber daya untuk mengakses karya asli Bhaskar, penjelasan di bagian selanjutnya akan bertumpu pada tulisan lama Martin Suryajaya, “Warisan Pemikiran Roy Bhaskar”.


Selayang Pandang Stratifikasi Ontologi Bhaskar

Apa yang tampak tidak dapat diterima begitu saja sebagai kenyataan. Inilah inti dari apa yang pernah dikemukakan oleh Marx, kemudian dibakukan secara metodologis oleh Bhaskar. Dalam buah pikir Bhaskar, kenyataan ini terstratifikasi dalam beberapa tingkatan yang saling mensyaratkan. Bhaskar memulai dari pertanyaan mendasar tentang apa syarat kemungkinan bagi adanya sains. Pertanyaan inilah yang kemudian coba dijawab Bhaskar dengan menstratifikasi kenyataan menjadi tiga domain: empiris, aktual, dan riil.

Domain empiris bagi Bhaskar merupakan tingkatan yang paling bawah, yakni yang bersentuhan langsung dengan kesadaran manusia melalui penginderaan. Di sinilah sains hadir dalam dimensi transitifnya. Dimensi transitif berarti sains merupakan produk sosial-historis kesadaran manusia. Mengapa ditempatkan paling bawah? Dalam kerangka stratifikasi ontologis, domain empiris merujuk pada wilayah realitas yang terbatas pada apa yang dapat diamati dan dialami oleh subjek, yakni peristiwa-peristiwa yang terekam oleh pancaindra atau instrumen ilmiah. Domain ini menjadi pijakan utama dalam tradisi positivisme —menganggap kebenaran ilmiah hanya sah jika dapat diverifikasi secara empiris. Namun, Bhaskar mengkritik pendekatan ini sebagai bentuk reduksionisme yang menyamakan realitas dengan pengalaman. Baginya, sains sejati tidak berhenti pada apa yang tampak, tetapi harus menyingkap struktur kausal dan mekanisme mendalam yang mungkin tidak teramati namun tetap bekerja dalam mengatur peristiwa. Dengan demikian, eksplanasi ilmiah mesti melampaui domain empiris menuju domain aktual dan domain riil, agar tidak terjebak dalam deskripsi fenomena yang dangkal dan ilusif. 

Beranjak dari domain empiris, Bhaskar memperkenalkan domain aktual sebagai lapisan realitas yang mencakup seluruh peristiwa yang benar-benar terjadi, terlepas dari apakah ia diamati atau tidak. Di sinilah Bhaskar mulai menggugat asumsi bahwa keberadaan suatu fenomena ditentukan oleh keteramatiannya. Sebuah gempa bumi tetap terjadi meski tak satu pun manusia merasakannya; itulah kenyataan dalam domain aktual. Dengan memisahkan domain ini dari yang empiris, Bhaskar ingin menegaskan bahwa realitas tidak bergantung pada pengalaman manusia, dan oleh karena itu, eksplanasi ilmiah tidak boleh semata-mata bersandar pada data observasional. 

Akan tetapi, domain aktual pun belum cukup bagi sains kritis. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan manifestasi dari kekuatan atau mekanisme yang lebih dalam dan bersemayam di wilayah paling dasar dari struktur realitas: domain riil. Maka, pemahaman terhadap domain aktual menjadi jembatan penting untuk menelusuri sebab-sebab struktural yang tak kasatmata namun menentukan.

Kekuatan pemikiran Bhaskar terletak pada kemampuannya menjembatani dua kutub pemikiran yang tampak saling bertentangan: antara konstruksi pengetahuan oleh subjek dan keberadaan realitas yang independen dari subjek. Ia menyusun suatu sintesis dengan cara mendasarkan epistemologi pada ontologi. Artinya, kemampuan manusia untuk mengetahui (pengetahuan yang transitif) hanya mungkin jika ada realitas yang eksis secara independen dari kesadaran manusia (intransitif). Sebelum sesuatu menjadi objek pengetahuan, ia harus terlebih dahulu ada secara ontologis, terlepas dari apakah ia telah dipahami atau belum. Di sinilah Bhaskar memperkenalkan gagasan realisme transendental, yakni sebuah pandangan yang mengakui peran aktif kesadaran manusia dalam memahami dunia, namun tetap menegaskan bahwa pengetahuan tidak bisa berdiri tanpa fondasi ontologis yang mendahuluinya. Kesadaran memang penting, tetapi bukan sumber tunggal dari realitas. Ia hanya mungkin bekerja karena adanya dunia yang telah-ada (pre-existent) yang menyediakan syarat-syarat bagi munculnya pengetahuan.

Dalam pandangan Bhaskar, kenyataan yang paling esensial dan fundamental bagi pengetahuan manusia terletak pada domain riil, yakni lapisan terdalam dari struktur ontologis realitas yang menjadi fondasi bagi terjadinya peristiwa dan pengalaman. Berbeda dengan domain empiris yang hanya mencakup apa yang dapat diamati, dan domain aktual yang mencakup apa yang benar-benar terjadi, domain riil menyimpan struktur, relasi, dan mekanisme kausal yang bekerja di balik permukaan peristiwa. Mekanisme-mekanisme ini tidak selalu tampak atau teraktualkan, tetapi tetap eksis dan memiliki daya kerja objektif. Misalnya, struktur kelas dalam masyarakat kapitalis dapat tetap beroperasi dan memproduksi ketimpangan meski tidak selalu tampak dalam setiap peristiwa sehari-hari. Bhaskar menyebut bahwa inilah wilayah dari penjelasan ilmiah sejati. Hanya dengan memahami mekanisme yang berada di domain riil, manusia dapat merumuskan intervensi yang transformatif. Sebuah kebijakan sosial, misalnya, tidak akan efektif bila hanya merespons gejala empiris seperti kemiskinan yang teramati; ia harus menelusuri struktur yang menghadirkan prasyarat bagi kemiskinan tersebut. Dengan kata lain, intervensi yang bersifat kritis dan emansipatoris hanya mungkin terjadi jika diarahkan pada domain riil, bukan sekadar mengutak-atik permukaan gejala. Bhaskar menggali kedalaman realitas untuk menemukan kekuatan-kekuatan yang konstitutif atas realitas yang tak selalu hadir di hadapan mata, tetapi justru paling menentukan apa yang terjadi di dunia.

Ketidakmampuan Izam untuk menembus domain riil ini menunjukkan watak yang saya sebut aktivisme antirealis, yakni aktivisme yang sibuk merespons gejala, tetapi abai terhadap struktur yang melahirkannya. Aktivisme semacam ini mudah terjebak dalam reaksi instan dan slogan-slogan moralistik. Bahayanya bukan hanya kegagalan untuk menciptakan perubahan, melainkan juga memperkuat ilusi seolah-olah perubahan telah terjadi padahal yang berganti hanyalah bentuk luar. Reformasi ‘98, misalnya, hanya menumbangkan Soeharto, bukan Orde Baru. Dalam jangka panjang, aktivisme antirealis dapat menjadi sekutu tak sadar dari status-quo karena ketidakmampuan membaca struktur justru membuatnya terserap dalam logika sistem yang hendak dilawan. Untuk menguji pandangan ini, kita bisa bercermin dari para aktivis ‘98. Di mana sebagian besar dari mereka sekarang? Di mana Budiman? Di mana Nezar? Di mana Fahri?


Menarik Akar Neoliberalisme Pendidikan 

Masalah dari pandangan Izam adalah melihat persoalan neoliberalisme pendidikan sebatas pada domain empirik dan aktual. Ia tidak mencoba mengungkap struktur dan mekanisme yang menjadi akar penyebabnya. Neoliberalisme bukan sekadar uang kuliah mahal dan pelitnya negara memberi subsidi. Kegagalan Izam untuk menarik akar dari neoliberalisme pendidikan ini mungkin terjadi karena kecenderungan Izam untuk, saya kutip dari pernyataannya sendiri, “menyentuh persoalan konkret.” Padahal, hal-hal yang sifatnya esensi dan sejati, hal-hal yang seharusnya kita intervensi, justru berada di domain yang abstrak.

Agar tidak mengulangi kesalahan Izam, kita akan berangkat dari persoalan paling abstrak terlebih dahulu. Kita akan menilik struktur dasar yang menjadi prasyarat bagi kenyataan yang selama ini kita hidupi. Dalam hal ini, kita akan diantar oleh buah pikiran Aidit (1962) mengenai ekonomi-politik. Lebih daripada itu, untuk mengontekskan antara struktur dasar masyarakat dengan realitas pendidikan, saya akan mengelaborasi salah satu tulisan dari Anju Gerald (2023) yang mencoba membedah sebuah totalitas yang di dalamnya menghadirkan prakondisi bagi lahirnya neoliberalisme pendidikan.

Kita melihat krisis sehari-hari; dalam berbagai sektor mulai dari politik, sosial, budaya, pendidikan, hingga sektor paling privat seperti kejiwaan. Di sinilah, apabila Izam hendak merumuskan strategi heroiknya, ia mesti melihat secara realis sekaligus transendentalis. Krisis yang menampak dalam berbagai sektor ini sebenarnya berhulu pada mekanisme apa? Syarat apa yang mengkondisikan hadirnya krisis-krisis ini? Dengan menjawab pertanyaan inilah kita dapat melihat apa yang tampak jauh di dasar kenyataan.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita mesti mengungkap struktur yang paling konstitutif terhadap keberadaan manusia. Apa yang menjadi syarat paling mendasar bagi keberadaan manusia? Tentu, syarat-syarat material berupa sandang, pangan, papan. Itu yang utama. Untuk berpolitik, beragama, bahkan berbudaya, manusia pertama-tama harus berekonomi. Bahkan, aspek-aspek tersebut hadir justru untuk menunjang manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya alias berekonomi. Politik adalah ilmu tentang kekuasaan atas apa? Tentu, sumber-sumber daya ekonomi yang sifatnya terbatas. Hukum pada mulanya berfungsi mencatat kepemilikan sumber-sumber daya ekonomi. Agama pada mulanya hadir karena manusia berintensi untuk menjelaskan dan menundukkan alam dalam rangka memenuhi kebutuhan materialnya. Teknologi hadir untuk menunjang pemenuhan kebutuhan hidup. Tak lupa pula pendidikan yang hadir sebagai panduan tentang bagaimana manusia mengintegrasikan seluruh sektor yang ia ciptakan dalam rangka mempertahankan keberlangsungan eksistensinya. Jadi yang paling fundamental adalah ekonomi. Pendidikan pun sejatinya dilandasi oleh ekonomi. Yang bermasalah dari pendidikan bukanlah DPR-nya yang serampangan, bukan pula individu-individunya yang serakah, tetapi ada struktur atau mekanisme ekonomi tertentu yang mengondisikan krisis itu.

Pada mulanya ekonomi selalu berbicara mengenai kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan hidup; tentang bagaimana manusia melakukan aktivitas produksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, dalam periode tertentu, cara berproduksi yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup beralih menjadi akumulasi dan ekspansi kekayaan. Di periode inilah terjadi pemisahan antara manusia sebagai pelaku produksi dengan sarana produksinya. Akhirnya hadir dua kelas, antara mereka yang memegang kekuasaan atas sarana produksi dengan mereka yang tidak memiliki sarana produksi sehingga harus menjual tenaga kerja—sebab hanya itu yang mereka punya—demi terus bertahan hidup: borjuasi dan proletar. Corak berproduksi yang berorientasi pada akumulasi dan ekspansi kekayaan sekaligus mengondisikan terjadinya antagonisme kelas inilah yang menjadi struktur dasar yang melahirkan kejadian-kejadian krisis multisektoral yang hari ini kita saksikan secara empirik.

Neoliberalisme pendidikan merupakan salah satu manifestasi aktual dari mekanisme tersebut. Membahas neoliberalisme pendidikan tidak bisa dilepaskan dari mekanisme-mekanisme ekonomi yang melandasinya. 

Di sinilah kita perlu membedah konfigurasi pendidikan kontemporer, dengan melihat ketidakterpisahan antara sektor pendidikan dengan sektor lain sebagai derivasi dari corak ekonomi yang sedang berlangsung. Dalam hal ini kita akan berfokus ke negara. Karena berlangsung dalam fase sejarah di mana terdapat pemisahan antara pekerja dan pemberi kerja, negara terkondisikan untuk menjadi institusi yang menjamin relasi ini. Selain itu, melalui instrumennya seperti hukum dan kebudayaan, negara juga hadir untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi dengan memastikan kekayaan untuk terus terakumulasi dan terekspansi.

Neoliberalisme hadir sebagai mekanisme self-defense kapitalisme dari krisis. Mekanisme ini diterjemahkan oleh negara melalui stabilisasi ekonomi makro yang melibatkan penghapusan subsidi barang publik, pemangkasan pekerjaan publik, dan pemotongan belanja sosial seperti pendidikan. Juga melalui penyesuaian struktural yang melibatkan liberalisasi perdagangan dan keuangan, deregulasi, dan privatisasi badan-badan ekonomi publik. 

Pendidikan merupakan salah satu sektor yang terkena dampaknya. Akibat krisis kapitalisme, subsidi untuk barang publik seperti pendidikan mulai dipangkas. Akibatnya pendidikan tidak bisa tidak bergantung pada “konsumen”-nya untuk mengisi pos-pos pembiayaan yang ditinggalkan oleh negara. Di sinilah pangkal kebijakan biaya kuliah mahal. Di sinilah domain riil dari masalah yang dikemukakan oleh Izam.

Jadi, neoliberalisme pendidikan tinggi itu tidak jatuh dari langit. Ia merupakan derivasi dari sebuah mekanisme ekonomi yang berorientasi pada akumulasi dan ekspansi kekayaan alih-alih pemenuhan kebutuhan. Oleh karena itu, syarat utama untuk menjawab problem neoliberalisasi pendidikan adalah mematikan struktur yang menghadirkannya. Dalam kata lain, mematikan kapitalisme. Dan karena masalah utamanya adalah kapitalisme, ia bukan menjadi persoalan mahasiswa saja. Kapitalisme adalah persoalan universal bagi seluruh umat manusia. Inilah yang tidak dipahami oleh Izam ketika ia mereduksi perjuangan anti-neoliberalisme pendidikan menjadi urusan sektoral mahasiswa semata. Perjuangan melawan neoliberalisme pendidikan sejatinya adalah perjuangan melawan kapitalisme itu sendiri, dan perjuangan ini menuntut solidaritas lintas kelas, bukan isolasi sektoral yang naif.


Ihwal Kerja, Kelas Pekerja, dan Mahasiswa

Sampai titik ini, kita telah membedah kecacatan ontologis dan epistemologis dari gagasan Izam. Apabila kita menyadari kenyataan sebagai sesuatu yang terstratifikasi dan menemukan bahwa struktur dasar masyarakat adalah ekonomi, maka kita bisa mengantisipasi dan membongkar argumen semacam Izam.

Selanjutnya, saya akan meluruskan bagian di mana Izam mengkritik argumen saya yang mengusung integrasi arah politik gerakan mahasiswa dengan politik kelas pekerja sebagai solusi yang “plek-ketiplek”. Di sini, Izam masih melihat secara sektoral dengan pembagian kaku sektor A, sektor B, sektor C. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan praksisnya, “apa yang sejatinya kita perjuangkan?”, kita mesti lebih jauh melihat struktur dasar dari kenyataan. Apa yang terjadi di ranah paling abstrak tersebut? Lebih jauh lagi, bagaimana praksis di ranah abstrak tersebut sebenarnya berkesinambungan dengan apa yang kita hadapi di dunia pendidikan? Menurut saya, salah satu tulisan Hizkia Yosie dalam Majalah Balairung edisi 59 yang berjudul “Neoliberalisme Pendidikan Tinggi? Buruh Akademik?” akan membantu kita menguraikan persoalan ini.

Di jantung aktivitas ekonomi, terdapat produksi. Tidak akan ada distribusi dan konsumsi apabila tidak ada yang diproduksi terlebih dahulu. Aktivitas produksi adalah aktivitas menciptakan nilai yang dilakukan dengan kerja manusia. Oleh karena itu, aktivitas produksi disebut juga dengan kerja, dan aktor yang menciptakan nilai disebut pekerja. Itulah jantung aktivitas ekonomi. Di domain inilah aktivitas ekonomi sehari-hari berdetak dan mengambil wujud dalam berbagai bentuk. Siapa pun yang terlibat dalam proses penciptaan nilai, ia adalah pekerja, terlepas dari label sektoral yang disematkan padanya.

Yang menjadi persoalan dalam corak produksi kapitalisme adalah terdapat keterpisahan antara pekerja dengan nilai yang ia ciptakan. Hal ini terjadi karena pekerja tidak memiliki kuasa langsung atas sarana produksinya. Oleh karena itu, nilai yang dihasilkan akan terlebih dahulu diapropriasi oleh mereka yang memegang kendali atas sarana produksi. Lantas apa yang diterima oleh pekerja? Sebagian kecil dari nilai yang mereka telah produksi dalam bentuk upah. Mengapa demikian? Karena apabila keseluruhan nilai dikembalikan oleh pemberi kerja kepada pekerja, maka tidak akan ada akumulasi dan ekspansi kekayaan. Relasi eksploitatif inilah, sistem kerja upahan, yang menjadi jantung dari kapitalisme. Oleh karena itu, mendobrak kapitalisme adalah dengan mengubah relasi ini. Pekerja pertama-tama harus merebut kekuasaan politik atas sarana produksinya. Perjuangan melawan kapitalisme adalah perjuangannya para pekerja, bukan urusan sektoral yang terfragmentasi.

Pertanyaan selanjutnya adalah siapa itu pekerja? Siapa itu buruh? Sederhananya, buruh adalah siapa saja yang bekerja, menghasilkan nilai, dan kadang menerima upah. Mengapa saya menuliskan “kadang”? Karena ada buruh yang tidak menerima upah. Ya, mahasiswa. Mahasiswa adalah buruh yang tidak menerima upah dan inilah yang luput dari analisis Izam.

Mari kita analisis secara materialistis. Dalam konfigurasi negara kapitalis, universitas adalah sarana produksi dengan komoditas yang diproduksi berupa pendidikan. Sedangkan nilai yang dihasilkan bersifat relatif. Sebelum diselenggarakan sebagai sarana produksi, universitas mesti memenuhi beberapa kriteria wajib yang ditentukan oleh negara yang disebut akreditasi. Salah satu komponen akreditasi adalah kurikulum yang berpatokan pada seberapa mampu universitas melahirkan individu-individu yang sesuai dengan ketentuan ideal yang ditetapkan oleh negara. Hal ini diindikatori, misalnya, melalui periode kelulusan yang cepat, memenangi kompetisi-kompetisi, pelaksanaan tridarma perguruan tinggi, dan seterusnya. Universitas yang menunjukkan akreditasi sesuai harapan negara akan tetap ada dan melanjutkan proses produksi komoditas pendidikan. Pertanyaannya, siapa yang diindikatori? Siapa yang dinilai? Tidak lain adalah mahasiswa itu sendiri. Jadi, selain posisinya sebagai konsumen pendidikan, mahasiswa memegang peran ganda sebagai produsen. Dalam ekosistem pendidikan di bawah realitas kapitalisme, mahasiswa adalah pekerja yang memproduksi nilai bagi universitas. Sebab logika dasar dari kapitalisme adalah semua kerja harus diupah, tetapi di mana upah dari kerja mahasiswa dalam memproduksi akreditasi? Oleh karena itu, cita-cita kuliah gratis itu merupakan bare minimum. Mahasiswa juga seharusnya dibayar karena mereka adalah pekerja yang nilai kerjanya diapropriasi.

Sampai titik ini, semoga Izam dapat menangkap poinnya dan keluar dari kubangan pemikiran sektoral. Jadi, adalah rasional bahwa mahasiswa tidak boleh dipandang terpisah dari sektor pekerja karena memang sejatinya mahasiswa adalah pekerja. Mahasiswa menghasilkan nilai, dalam hal ini akreditasi, bagi kampus sebagai prasyarat untuk berdiri dan bertahannya. Adapun argumen “mahasiswa sebagai calon tenaga kerja” pada tulisan pertama hanya merupakan simplifikasi karena tulisan tersebut memang seharusnya sederhana dan mudah dipahami sebab ia adalah media propaganda. Namun, tulisan ini mengungkap rasionalisasi yang lebih objektif karena bukan lagi tulisan propaganda, melainkan kritik atas kritik yang menuntut elaborasi teoretis yang mendalam. Inilah yang seharusnya dipahami oleh Izam sebelum ia terjebak dalam fetisisme sektoral.


Simpulan

Izam telah membuktikan diri sebagai tipikal aktivis yang terjebak dalam ilusi sektoralnya sendiri (Fetisisme Sektoral). Ia mengkritik tanpa memahami struktur fundamental yang mengondisikan realitas yang ia hidupi. Seperti Plato yang terpenjara dalam gua, Izam mengira bayangan di dinding adalah kenyataan sesungguhnya. 

Gerakan mahasiswa tidak akan pernah transformatif selama masih dipimpin oleh pemikiran-pemikiran yang mereduksi perjuangan anti-kapitalisme menjadi urusan sektoral yang steril. Mahasiswa sejatinya adalah pekerja yang perlu menyadari posisi objektifnya dalam antagonisme kelas. Revolusi dimulai dari kesadaran kelas. Dan kesadaran sejati hanya lahir dari analisis yang menembus hingga domain riil kenyataan, bukan berhenti di permukaan empiris.

Kritik Izam bukan hanya tidak tepat sasaran, tetapi berbahaya karena melanggengkan fragmentasi yang justru menguntungkan kapitalisme. Inilah mengapa gerakan mahasiswa hari ini mandek: karena gerakan dipimpin oleh mereka yang mengira dirinya revolusioner padahal sejatinya konservatif.


A. Fadhil Aprilyandi Sultan, pekerja

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.