Ilustrasi: Illustruth
DALAM beberapa tahun terakhir, muncul geliat kebangkitan gerakan protes jalanan yang pada umumnya bersifat spontan untuk merespons kebijakan dan regulasi yang anti-demokratis, mulai dari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2019 hingga yang belum lama berselang soal pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Banyak peserta aksi adalah anak-anak muda dari kalangan mahasiswa dan pelajar, serta sering kali diorkestrasi bersama generasi aktivis yang lebih tua yang tergabung dalam sejumlah organisasi masyarakat sipil. Aksi-aksi spontan ini menjalar dengan cepat di berbagai kota, terkoneksi lewat selebaran-selebaran dan pamflet-pamflet di berbagai platform media sosial.
Banyak pengamat dan aktivis berhaluan liberal merayakan geliat ini, melihatnya sebagai harapan karena gelora perlawanan dan kesadaran politik warga, terutama di kalangan muda, tidak pupus di tengah kekuasaan negara yang semakin menindas. Sebagian menyebut model perlawanan ini sebagai gerakan rizomatik (atau akar rimpang) karena sifatnya yang menjalar secara horizontal dengan cepat, tanpa struktur organisasi dan pemimpin. Bagi mereka, cara melawan seperti ini adalah bentuk resiliensi masyarakat sipil, fondasi demokrasi. Selama ada perlawanan sehari-hari yang akan terus tumbuh merespons isu-isu ketidakadilan sosial, selama itu pula demokrasi dipercaya akan dapat dipertahankan.
Tapi kenyataan berkata lain. Kita tahu, tak satu pun tuntutan yang disuarakan oleh gerakan-gerakan itu sejak 2019 dapat dimenangkan. KPK menjadi semakin mirip dengan lembaga penegak hukum lainnya, sekadar instrumen politik dan alat untuk memeras, sementara desakan mencabut UU TNI baru tetap tak digubris. Gerakan-gerakan itu saat ini bahkan kembali lesu, tak ada lagi geliatnya. Konsolidasi-konsolidasi tak lagi bergairah. Anak-anak muda dan para aktivis yang dulu berteriak lantang anti-militerisme disibukkan kembali dengan aktivitas individual keseharian mereka. Namun memang seperti itu polanya. Ketika ada kebijakan anti-demokratis lain yang memicu kemarahan publik, geliat perlawanan akan muncul kembali, menjalar dengan cepat di berbagai kota, tersebar lewat berbagai platform media sosial. Tapi tak lama, ia akan lesu kembali, bukan karena kemenangan telah dicapai melainkan sudah lelah, dan mereka yang bergerak merasa telah menggugurkan kewajiban. “We are on the right side of history,” teriak aktivis-aktivis selebriti di akun-akun media sosial.
Tapi justru di sinilah letak persoalan gerakan rimpang yang reaktif. Ia mudah menjalar tapi juga gampang layu, bahkan sebelum kemenangan dicapai. Secara tidak langsung, terus mempertahankan dan bergantung pada model gerakan ini sebenarnya sama seperti melegitimasi penindasan itu sendiri. Sebab, meromantisasi perlawanan, melawan sekadar untuk melawan (bukan dengan strategi yang tertata untuk mencapai kemenangan), adalah bagian dari mekanisme hegemoni kekuasaan. Para akademisi dan aktivis yang terus-menerus mengglorifikasi gerakan rizomatik sambil menolak model tradisional yang terpimpin, memiliki struktur, organisasi serta ideologi tak lain adalah operator hegemoni kekuasaan itu.
Ahistoris
Tulisan Fildzah Izzati dan Rio Apinino di Indoprogress sudah menegaskan bahwa selain dari aspek penggunaan media sosial, tidak ada kebaruan dalam gerakan rimpang. Karena itu pula, tak cukup beralasan menyematkan harapan baru pada model gerakan ini. Sejak 1965 saat politik kelas telah dipinggirkan, gerakan sosial di Indonesia sudah cenderung berwatak rizomatik. Di tulisan yang lain, saya menyebutnya sebagai aktivisme borjuis. Terus dominannya aktivisme borjuis dan gerakan rimpang, sementara kondisi sosial dan politik semakin memburuk, menunjukkan korelasi negatif di antaranya keduanya; bahwa model gerakan rimpang tak cukup berpengaruh dalam mengubah perimbangan kekuasaan. Bukan seperti yang kerap diromantisasi para pengamat dan aktivis liberal; bahwa hal itu adalah bentuk ketahanan masyarakat menghadapi gempuran elite dan bukti geliat perlawanan yang terus tumbuh.
Kecenderungan gerakan rizomatik juga bukan khas Indonesia. Sejak 1970-an, gerakan-gerakan sektoral yang cair sudah mengemuka di berbagai tempat, di Eropa Barat dan Amerika Utara, dengan mengusung isu-isu lingkungan, anti-nuklir, dan hak asasi manusia. Mereka meninggalkan tradisi gerakan berbasis kelas yang lebih terstruktur, memiliki pemimpin, dan ideologi. Ini sebenarnya juga seturut dengan menguatnya pengaruh ideologi humanisme dan libertarianisme serta filsafat post-marxisme dan post-modernisme, termasuk yang dicetuskan oleh Gilles Delueze dan Felix Guattari, di mana konsep gerakan rizomatik berasal. Tradisi filsafat ini menegaskan bahwa agensi transformatif kelas pekerja yang terorganisir sudah berakhir, dan segala bentuk dehumanisasi hanya bisa direspons lewat perlawanan sehari-hari yang lebih spontan, cair, dan lebih bersifat individual.
Sosiolog marxis asal Turki, Cihan Tugal, mengemukakan bahwa kecenderungan atomisasi gerakan, dengan demikian, sudah bermula jauh sebelum hadirnya neoliberalisme. Ironisnya, menurut Tugal, perubahan pola gerakan itu oleh banyak pengamat tidak disebut sebagai momen krisis, melainkan sebagai bentuk kreativitas gerakan menuju revolusi. Padahal, hal itu adalah gejala semakin merosotnya pengaruh gerakan dan partai kiri yang sebelumnya setidaknya telah menghasilkan kompromi-kompromi kelas dalam bentuk negara-negara kesejahteraan.
Dengan kata lain, lahirnya gerakan sosial baru yang lintas kelas, fokus pada isu-isu non-ekonomi serta tidak memiliki struktur, pemimpin dan ideologi adalah konsekuensi dari keterbatasan gerakan kiri. Model gerakan ini makin meluas, ditandai dengan menjamurnya organisasi-organisasi non-pemerintah (NGO) sejak 1980-an. Ini juga seturut dengan lahirnya neoliberalisme, yang merupakan respons tahap lanjut kapitalisme atas kemenangan-kemenangan gerakan kiri di tahun-tahun sebelumnya. Neoliberalisme mengubah pola hubungan kerja menjadi lebih “cair” dan fleksibel yang menjadi pukulan telak bagi pengorganisasian gerakan buruh. Sebagaimana dikemukakan di muka, tendensi neoliberal ini juga memperoleh landasan epistemologisnya lewat pemikiran-pemikiran bercorak post-modernis yang menolak totalitas, sistem, dan struktur sembari merayakan keragaman, fragmentasi, dan individualisasi.
Di tengah makin buntunya gerakan yang terstruktur, krisis-krisis kapitalisme berikutnya di tahun 2000-an akhir terus melahirkan respons-respons perlawanan yang rizomatik, seperti pada kasus Arab Springs di Afrika Utara dan Timur Tengah, dan gerakan-gerakan occupy di berbagai negara. Masa-masa itu adalah era digital awal, dan banyak yang optimistis atas peran progresif media sosial sebagai instrumen dan arena baru yang dapat memfasilitasi meluasnya konsolidasi perlawanan dengan cepat, dengan ciri yang cair, tanpa pemimpin, dan organisasi.
Langgam serupa yang mengandalkan pengorganisasian lewat tanda pagar di media sosial juga dengan cepat menjalar di berbagai tempat di Asia Tenggara, seperti serial gerakan Bersih di Malaysia, gerakan kaus berwarna di Thailand, #MilkTeaAlliance di Hongkong, Taiwan, Thailand dan Myanmar, serta gerakan-gerakan #ReformasiDikorupsi, #DaruratDemokrasi, #IndonesiaGelap di Indonesia. Namun demikian, selain hanya menghasilkan kemeriahan di media sosial, sebagian besar gerakan-gerakan rimpang itu tak berdampak mengubah struktur kekuasaan. Sebaliknya, struktur kekuasaan yang ada justru semakin mudah mengatasi dan bahkan membajak metode gerakan ini, seperti menggunakan media sosial secara lebih terstruktur dan masif melakukan perlawanan balik.
Ilusif
Tidak hanya buta sejarah model gerakan yang cair, para advokat gerakan rimpang juga bertendensi ilusif karena cenderung mengabaikan capaian-capaian gerakan yang lebih terorganisir. Sebagaimana disinggung di atas, gerakan berbasis kelas pekerja, dengan struktur organisasi dan kepemimpinan yang terhubung dengan partai-partai kiri, adalah kekuatan sosial yang telah terbukti dalam sejarah dapat mengubah perimbangan kekuatan dalam masyarakat kapitalis. Meski tak mampu menggantikan tata produksi kapitalisme seperti di negara-negara komunis, kasus-kasus di Eropa Barat dan Amerika Utara menunjukkan bahwa kekuatan kolektif gerakan buruh yang terorganisir berhasil menekan para pengusaha memberi upah yang tinggi dan memenuhi hak-hak dasar lainnya. Mereka juga berhasil memegang kendali politik negara untuk memajaki kapitalis dan orang-orang kaya yang hasilnya kemudian didistribusikan dalam bentuk program-program jaminan sosial untuk seluruh warga, seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan jaminan hari tua.
Bentuk perimbangan kekuatan antara kelas buruh dan kapitalis semacam ini terinstitusionalisasi sebagai negara kesejahteraan. Dan, hal ini dimungkinkan dalam konteks pasca-perang saat kekuasaan politik negara melemah. Di sisi lain, meluasnya industri berat yang labour intensive dalam rangka rekonstruksi pasca-perang juga memudahkan pengorganisasian gerakan buruh untuk memberi tekanan besar kepada kapitalis.
Adanya jaminan-jaminan sosial serta perlindungan-perlindungan hak asasi manusia, dengan demikian, bukan hasil budi baik pemimpin politik atau wujud tahapan negara yang sudah modern dan maju. Namun, ia adalah produk perjuangan gerakan sosial yang terstruktur, terpimpin, dan memiliki ideologi; bukan hasil dari gerakan rizomatik yang cair, tak memiliki struktur dan pemimpin. Derajat kekuatan dan konsolidasi organisasi gerakan buruh dan partai kiri menentukan sejauh apa perimbangan dapat dicapai dan seluas apa jaminan-jaminan sosial dapat dinikmati seluruh warga.
Namun demikian, babak sejarah ini cenderung disisihkan dalam narasi gerakan sosial. Peran gerakan buruh yang terorganisir sebagai agen transformatif dikaburkan lewat mitos-mitos gerakan masyarakat sipil berbasis kelas menengah terdidik sebagai penopang demokrasi. Asumsinya, aspirasi politik mereka yang liberal tak akan memberi ruang bagi kekuasaan yang merenggut kebebasan. Dari sinilah mekanisme akuntabilitas diagonal kekuasaan dijalankan, lewat berbagai sarana protes termasuk media sosial, serta jalur-jalur litigasi dan lobi-lobi kekuasaan.
Masalahnya, tidak ada rujukan sejarah yang meyakinkan bagaimana gerakan rizomatik semacam itu dapat menjalankan fungsi akuntabilitas diagonal yang efektif di negara-negara yang institusi demokrasi dan hukumnya tidak lahir secara organik sebagai hasil dari pertarungan kelas seperti di Indonesia. Patut dicatat, demokrasi di Indonesia pasca-1998 adalah produk rekonfigurasi kekuasaan antara kapital dan negara, bukan hasil pertarungan kelas antara buruh atau elemen gerakan sosial lainnya dan kapital.
Sementara itu, meski gerakan kiri yang terorganisir di negara-negara Utara terus mengalami kemunduran sejak 1970-an, yang berakibat merosotnya fungsi institusi-institusi demokrasi, hukum dan jaminan-jaminan sosial, ruang untuk memenangkan agenda gerakan-gerakan rizomatik masih sedikit terbuka. Namun, hal ini bukan karena model gerakan rizomatik yang berpengaruh. Faktor penentunya ada pada institusi-institusi politik yang lebih bisa menjamin hak-hak warga, dan ini adalah hasil kondensasi perimbangan kekuatan antara kapital dan gerakan buruh yang terorganisir dan terpimpin sejak pasca-perang. Akan tetapi, sejarah institusi ini juga cenderung diabaikan dan ini yang kemudian melahirkan ilusi bahwa gerakan yang cair dan tanpa pemimpin dapat secara efektif menjalankan fungsi akuntabilitas diagonal.
Mekanisme hegemoni
Diakui atau tidak, tren penyempitan ruang sipil dan memburuknya kondisi demokrasi dalam beberapa tahun terakhir adalah manifestasi keterbatasan gerakan rizomatik. Namun, meski banyak bukti dan kajian menunjukkan keterbatasan gerakan rimpang dan aktivisme borjuis, banyak pengamat dan aktivis terus mengglorifikasi dan mempertahankannya, bukannya mengevaluasi dan berusaha melampaui keterbatasannya. Tapi persis di sinilah mekanisme hegemoni kekuasaan bekerja.
Para akademisi, aktivis-aktivis tua, dan NGO yang turut mengorkestrasi dan merayakan model gerakan rimpang secara tidak langsung menjadi operator ideologis negara yang berfungsi menetralisasi perlawanan yang lebih terstruktur, terpimpin dan terorganisir. Keengganan mengorganisasikan basis-basis kelas pekerja dalam struktur organisasi terpimpin, serta penolakan terhadap gerakan-gerakan politik progresif dalam bentuk partai politik adalah bagian dari mekanisme yang melanggengkan struktur kekuasaan yang menindas. Ketimbang merefleksikan kegagalannya, berpikir serius tentang strategi jangka panjang, serta bersabar mengorganisir gerakan dan kekuatan politik yang lebih terstruktur, para advokat gerakan rimpang lebih suka menjadi simbol perlawanan yang populer, yang terekspos luas di muka publik. Mereka mengira dengan itu dampak perubahan akan lebih nyata dan lantas membuat mereka merasa sebagai militan pejuang kemanusiaan.
Pada kenyataannya, sikap politik aktivis-aktivis tua pembela gerakan rimpang lebih menunjukkan sebagai seorang hipokrit yang menempatkan gerakan semata perayaan pesta perlawanan atau sekadar menggugurkan kewajiban moral tanpa tujuan dan strategi mencapai kemenangan. Romantisasi perlawanan, melawan sekadar untuk melawan, dengan demikian, adalah wujud ideologi paling sempurna yang menderadikalisasi gerakan sosial dan memperkuat legitimasi kekuasaan yang menindas. []
Abdil Mughis Mudhoffir, Ketua Departemen Pendidikan Serikat Pekerja Kampus (SPK). Tulisan ini adalah opini pribadi, tidak merefleksikan pandangan organisasi.