Ilustrasi: : Ilustruth
PERESMIAN status Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI membuat banyak orang menerka-nerka. Tidak ada yang tahu pasti wajah ekonomi, juga kesehatan, politik luar negeri, dan banyak hal lain hendak dibentuk konturnya dan di bawa ke mana. Kendati begitu, hemat saya, hukum menjadi salah satu bidang yang enteng untuk disingkap wajahnya selama lima tahun ke depan dengan satu tarikan saja.
Kadar benci Prabowo dengan hukum-yang-baik telah terjalin cukup lama, setidaknya sejak Orde Baru memasuki masa hamil tua. Ia harus vis-à-vis dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua dan Timor Timur, memerintahkan penculikan aktivis pro-demokrasi —13 di antaranya tidak diketahui jejaknya sampai sekarang.[1] Kemudian, pasca-Reformasi, partai milik Prabowo, Partai Gerindra, selalu menganjurkan kembalinya sistem hukum yang berteraskan Undang-Undang Dasar 1945 asli keluaran 18 Agustus 1945 —tanpa polesan amendemen.[2] Hal itu bermakna UUD otoriter yang tidak mendukung pemilihan umum (pemilu) demokratis, perlindungan dan pemenuhan HAM, serta pembatasan masa jabatan presiden.
Riwayat pertautan Gibran dengan hukum pun sangat kotor. Ingatan kita masih segar tentang Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menetapkan soal batasan usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan itu menjadikannya sebagai konfigurasi dasar hukum-jahat[3] dengan melanggengkan nirindependenitas dan nirintegritas; merusak republikanisme dan konstitusionalisme yang sudah dibangun oleh begawan-begawan hukum kita.
Sekarang mari kita lihat sedikit apa yang terjadi ketika kabinet Prabowo-Gibran terformulasi. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) diurai menjadi dua kementerian: Kemenko Politik dan Keamanan serta Kemenko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Kemasyarakatan. Lembaga kementerian terakhir tersebut dinakhodai oleh Yusril Ihza Mahendra. Baru sehari setelah pelantikan Prabowo-Gibran, Yusril langsung menggegerkan publik dengan pernyataan bahwa “pelanggaran HAM berpuluh-puluh tahun terakhir di tanah air itu tidak ada.”
Dengan titik pernyataan bodoh —atau tolol— dari Yusril itu, dan berbagai rekam historis dari Prabowo dan Gibran, sebetulnya sketsa awal wajah hukum Indonesia untuk lima tahun ke depan dapat ditorehkan. Mari kita gambar sketsa wajah itu.
Legalisme Otokratis
Kontur wajah hukum rezim Prabowo-Gibran dapat mulai ditelusuri dari segala dasar hukum yang digunakan untuk menopang pemerintahannya. Salah satunya Undang-Undang (UU) Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Semula UU itu membatasi jumlah kementerian sebanyak 34. UU kemudian direvisi sehingga melancarkan jalan agar Prabowo-Gibran dapat menambah jumlah kementerian sesuka hati atas nama “kebutuhan”. Dalam keterangan Penjelasan Pasal 5, kebutuhan itu tercakup makna sebagai bentuk “sesuai dengan kebijakan Presiden.”[4]
Perhatian perlu dipusatkan pada aspek durabilitas penyusunan revisi UU tersebut yang terhitung kilat. Hal ini bertentangan dengan prinsip konstitusionalitas pembentukan undang-undang yang harus memenuhi partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) sesuai dengan Putusan MK Nomor 91/2020.
Selain revisi UU Kementerian, penopang lainnya berupa RUU tentang perubahan atas UU Wantimpres (selanjutnya RUU Wantimpres). Secara normatif, ada benang merah antara RUU Wantimpres dengan UU Kementerian hasil revisi: menghapus ketentuan jumlah anggota. Awalnya anggota Wantimpres delapan orang, kemudian menjadi tak menentu, lagi-lagi karena disesuaikan dengan kebutuhan presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1). Waktu yang dibutuhkan untuk menetapkan RUU Wantimpres juga linear dengan revisi UU Kementerian: tergolong cepat dan ugal-ugalan.
Pernyataan dua dasar hukum normatif tersebut menyingkap intensi yang sebenarnya. Tujuan itu dapat diketahui ketika bersentuhan dengan dimensi ekonomi-politik. Kekuatan elastisitas interpretasi hukum itu dapat secara luas digunakan untuk mengakomodasi kepentingan Koalisi Indonesia Maju yang gemuk bin banyak itu ke dalam struktur pemerintahan.
Dengan demikian, dua dasar hukum yang menjadi legitimasi penopang rezim Prabowo-Gibran justru melumrahkan praktik abusive law-making demi kepentingan penguasa.[5] Akan menjadi sangat besar probabilitasnya bila rezim hukum ke depan akan menormalisasi praktik nirpartisipasi dalam law-making. Dalam kata kunci politik hukum, praktik ini diberi stempel sebagai legalisme otokratis.
Tidak ada definisi rigid mengenai legalisme otokratis. Secara konseptual, ia merupakan berbagai fitur praktik-praktik hukum yang melanggar hukum itu sendiri. Salah satu fitur yang prominen mendasarkan pada legalitas baru yang merusak konstitusionalisme.[6] Perusakan tersebut tentu dapat terjadi sebab legalitas baru (baca: UU baru) telah menggantikan nilai-nilai konstitusionalisme yang inkonstitusional. Obat untuk UU yang melanggar nilai-nilai konstitusional adalah dengan meniadakan mereka sebagai inkonstitusional. Dengan kata lain, kalangan otokrat —seperti Jokowi dan Prabowo— memanfaatkan kekuatan normatif konstitusional formal untuk menjustifikasi tindakan mereka. Dalam derajat tertentu, perubahan serta revisi atas berbagai UU yang pernah dibentuk sebelumnya dijadikan indikator oleh Scheppele sebagai salah satu cara otokrat untuk mencapai dominasi terpadu dari semua lembaga negara yang ada.
Konsekuensi paling besar dari gejala-gejala legalisme otokratis ini adalah absennya kemampuan masyarakat untuk menggunakan hak-hak konstitusional mereka, salah satu contohnya adalah partisipasi. Bila mengangkat asumsi publik menggunakan hak-hak konstitusional, tentu otokrat tidak bisa bertindak sewenang-wenang untuk mendayagunakan hukum sesuai dengan kepentingan mereka.
Negara Hukum Otoritarian
Proyeksi kondisi hukum paling kuat di bawah rezim Prabowo-Gibran selama lima tahun ke depan adalah menguatnya negara hukum otoritarian. Meskipun negara hukum dan otoritarianisme cenderung diartikan saling bertentangan, sebenarnya dua konsep tersebut dapat diikat menjadi satu.[7]
Umumnya terdapat tiga pilar yang harus dijadikan penyangga dalam suatu negara hukum.[8] Pertama, elemen prosedural yang membidangi urusan menjalankan pemerintahan yang berdasarkan hukum; tunduk pada hukum. Kedua, elemen substantif yang menyasar pada aspek prinsip keadilan, kelayakan, hingga moralitas. Ketiga, elemen pengawasan yang meliputi pengawasan kekuasaan secara internal dan eksternal.
Koneksitas antara otoritarianisme dengan negara hukum bersandar pada kepatuhan terhadap otoritas yang dibentuk oleh hukum. Kepatuhan demikian menandakan kekuatan kontrol yang besar oleh negara. Artinya, aparat penegak hukum dan lembaga-lembaga hukum memiliki kekuatan untuk memaksa ketaatan dengan kekerasan dan menghukum ketidaktaatan berdasarkan interpretasi negara. Dengan begitu, pilar-pilar dalam negara hukum yang berwajah otoritarianisme menjadi bersifat formalistik dan berujung normatif saja yang mampu ditafsirkan oleh negara otoriter. Negara berusaha untuk mengendalikan hukum sebagai sarana kontrol sosial sebagian melalui monopoli.
Apa yang dapat memberikan bukti empiris dari proposisi negara hukum otoritarian di atas di antaranya adalah revisi UU Polri, UU TNI, dan UU MK —merupakan buah tangan rezim Joko Widodo pada rezim baru. Dua revisi pertama telah masuk pada tahap harmonisasi di Badan Legislasi DPR; kemungkinan besar akan segera disahkan pada awal periode rezim. Revisi UU Polri dan UU TNI dalam derajat tertentu mampu mencederai demokrasi dan kebebasan sipil dan dapat menghidupkan lagi Dwifungsi ABRI —bahkan sekarang sudah nyata. Ada beberapa pasal problematik, salah satunya Pasal 47 ayat 2 RUU TNI yang “memperbolehkan prajurit aktif untuk dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga lain … sesuai dengan kebijakan Presiden.”[9] Di sisi lain, revisi UU MK mampu menyebabkan hakim konstitusi diliput oleh konflik kepentingan dari lembaga pengusul dengan munculnya proses evaluasi setiap lima tahun sekali.[10]
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Fitur kunci lain dari negara hukum otoritarian —yang juga paradoks— terletak pada upaya rezim yang secara sistematis melemahkan hukum dalam negara hukum. Paradoks tersebut, menurut Rajah, diakui oleh rezim bersangkutan secara tersirat atau tersurat.[11] Aturan hukum otoritarian secara teliti dan telaten menjalankan hukum dalam lapisan terluarnya, sementara pada saat yang bersamaan sedang membongkar hak-hak sipil dan politik, serta pembatasan —dapat pula pelemahan— substansial dan pengawasan kekuasaan negara.
Bukti konkret dari berbagai corak negara hukum otoritarian mulai terlihat dengan pembentukan koalisi partai politik (parpol) gemuk pendukung pemerintah.[12] Ada delapan partai yang lolos ke parlemen hasil Pemilu 2024: PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Gerindra, PKB, PKS, PAN, dan Partai Demokrat. Awalnya PDI-P menyatakan berada di luar, namun kini mereka memutuskan masuk mendukung pemerintahan. Walhasil, tidak ada oposisi. Konsekuensi logis dari rezim tanpa oposisi tentu menguatkan corak negara hukum otoritarian dengan kondisi pelemahan lembaga-lembaga negara yang memiliki mekanisme pengawasan dan penyalahgunaan kekuasaan secara sistematis.
Selain yang tersebut, ranah kekuasaan kehakiman yang menjadi corong negara hukum dalam kondisi otoritarianisme memunculkan dua wujud kemungkinan. Pertama, hakim dapat mempromosikan otoritarianisme substantif melalui prosedur tata acara, baik dengan menegaskan kekuasaan mereka sendiri untuk menghukum dan dengan menangguhkan kekerasan negara.[13] Hakim dapat menggunakan ratio decidendi berupa “mengganggu kekuasaan dan hak istimewa negara” dalam suatu perkara. Kedua, netralitas dan kemandirian kekuasaan kehakiman dapat dengan mudah dikooptasi oleh kekuasaan eksekutif mengingat tidak adanya mekanisme checks and balances yang proporsional.
What Is to Be Done?
Uraian-uraian dalam tulisan ini tampak suram; seakan awan kelabu hukum akan menyerang dalam jangka waktu yang lama. Meski begitu, memang proyeksi risiko terbesar akan terjadi demikian. What is to be done? Apa yang harus kita kerjakan? Tumpuan harapan kita pantas disematkan kepada kekuatan masyarakat sipil. Ada dua peran yang mampu dikerjakan oleh kita: mengawasi dan beroposisi.***
[1] Lihat, Tim Lindsey, “Indonesia’s new president, Prabowo Subianto, finds democracy ‘very tiring’. Are darker days ahead for the country?”, dalam The Conversation, 20 Oktober 2024, https://theconversation.com/indonesias-new-president-prabowo-subianto-finds-democracy-very-tiring-are-darker-days-ahead-for-the-country-241256 (diakses 26 Oktober 2024).
[2] Lihat, Ian Wilson, “An Election to End All Elections?”, dalam Fulcrum, 30 Januari 2024, https://fulcrum.sg/an-election-to-end-all-elections/ (diakses 26 Oktober 2024).
[3] Evil law diartikulasikan sebagai hukum yang berbahaya dan dapat menimbulkan “kengerian dan kerusakan”. Lihat, Anna Lukina, “Making Sense of Evil Law”, University of Cambridge Faculty of Law Research Paper No. 14/2022, 6 Agustus 2022, https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=4180729 (diakses 26 Oktober 2024).
[4] Lihat, Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6994.
[5] Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial, “Pendapat Hukum: DPR dan Presiden Langgengkan Praktik Abusive Law-Making Pula Melanggar Hak Konstitusional Warga Negara, 22 September 2024 bit.ly/PandanganLSJ (diakses 26 Oktober 2024).
[6] Kim Lane Scheppele, “Autocratic Legalism”, The University of Chicago Law Review, Vol. 85, No. 2 (March 2018).
[7] Lihat, Lynne Henderson, “Authoritarianism and the Rule of Law”, Indiana Law Journal, Vol. 66 (2), 1991, hlm. 400
[8] Adriaan Bedner, “An Elementary Approach to the Rule of Law”, Hague Journal on The Rule Of Law, 2(1), hlm. 48-74 https://hdl.handle.net/1887/18070 (diakses 27 Oktober 2024).
[9] IMPARSIAL, Kertas Kebijakan: Mengawal Reformasi Tentara Nasional Indonesia Melalui Penolakan Usulan Perubahan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Jakarta: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan), 2023.
[10] TEMPO, “Legislasi Buruk di Pengujung Jabatan”, dalam Koran Tempo, 13 Juni 2024.
[11] Jothie Rajah, “Normalising Authoritarianism: Authoritarian Rule of Law in Singapore and Hong Kong”, dalam The Palgrave Handbook of Poliical Norms in Southeast Asia (Singapore: Palgrave MacMIillan), 2024.
[12] “Pemerintahan Prabowo berpotensi koalisi gemuk: apa jadinya negara tanpa oposisi?”, dalam The Conversation, 21 September 2024, https://theconversation.com/pemerintahan-prabowo-berpotensi-koalisi-gemuk-apa-jadinya-negara-tanpa-oposisi-232926 (diakses 27 Oktober 2024).
[13] Lynne Henderson, “Authoritarianism…”, hlm. 404.
Alvino Kusumabrata, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Associate Research Fellow pada Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM.