Ilustrasi: illustruth
Rumah Kaca dan seorang realis Pram
Komisaris Polisi Jacques Pangemanann sangat berarti bagi rezim kolonial Belanda. Menurut atasannya, seorang komisaris besar, tangan Pangemanann yang lembut efektif untuk melumpuhkan pergerakan revolusi rakyat Indonesia. Ia bukan Belanda, tetapi pribumi. Ia diasuh oleh keluarga Prancis, dididik secara Eropa, dengan nilai-nilai liberal dan moral Kristen. Kecerdasannya menyertai otot, bahkan jauh lebih hebat. Ia giat belajar, tekun membaca arsip. Memang bukan otot dan senjata yang pada akhirnya memenangkan kekuasaan; bukan hanya politik, namun juga kuasa kapital atas alam Hindia Belanda.
Jika bukan Pangemanann, tentu akan ada pribumi lain yang bakal mengisi peran komisaris polisi. Walau latar belakang mungkin tak sama persis, yang lain pun dapat mengisi posisi itu. Peran itu diciptakan, dirawat, dan direproduksi oleh negara kolonial.
Melalui sosok Pangemanann, Pram bertutur tentang institusi kepolisian dan relasinya dengan kapital. Pangemanann adalah sosok yang berpikir, bukan robot. Buah dari tangannya bukanlah fotokopi instruksi komisaris besar. Sosok yang satu ini merasakan, mampu merefleksikan, dan memilah apa yang dirasa baik atau buruk.
Pram adalah seorang realis. Tepatnya, bagi saya, seorang realis kritis. Ia bertutur tentang struktur dan agensi. Ia bercerita tentang struktur dan agensi dengan merujuk pada peran mediasi yang menghubungkan keduanya, dalam dimensi waktu. Struktur dan agensi tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan: struktur memiliki dimensi ruang dan waktu yang lebih luas dari agensi. Kemunculan berbagai bentuk agensi dimungkinkan dalam sebuah struktur. Kemunculan agensi bersifat kontingensi, bergantung kepada kondisi material pada penggal waktu tertentu. Agensi yang satu dapat bertahan lebih lama daripada yang lain atau bertransformasi dalam pengaruh struktur tertentu. Walau demikian, agensi dan perannya untuk menopang struktur lahir lebih dulu dari individu atau person yang mengisinya. Agensi relatif lebih stabil dari karakter individu atau aktor sebagai animatornya.
Realisme kritis sangat berbeda dari pendekatan Anthony Giddens yang meratakan kontur antara struktur dan agensi. Bagi Giddens dan pengikutnya, struktur ada hanya jika ada agensi yang memanifestasikannya dalam sebuah proses instan (instantiation).
Dalam tulisan ini, narasi peran yang diisi person Pangemanann bukanlah polisi, namun teknokrat. Teknokrat berbagai bidang pembangunan yang menjadikan persoalan kehidupan menjadi semata perkara teknis, memisahkannya dari hal yang politis: akses rakyat pekerja atas sumber daya.
Mengapa saya menulis artikel ini, dan mengapa sekarang?
Pada 1980-an, terjadi perdebatan di bidang ilmu geografi antara para geografer marxis dengan kaum realis kritis. Isu utama yang dibahas adalah peran ruang dalam kapitalisme dan pasar, sebagai konstelasi tambahan (contingent) dalam merawat ikatan relasi yang lebih pokok (necessary). Para realis kritis seperti Andrew Sayer (1985) mengkritik kecenderungan fetisisme terhadap ruang (space) dan spesifikasi tempat (place) sebagai faktor analisis yang utama. Fetisisme demikian mengabaikan relasi komoditas, uang, dan pasar yang mekanismenya tidak melulu termanifestasikan dalam konstelasi ruang. Para geografer marxis sering dituduh memberikan penjelasan totalitas, bahwa fungsi pertama dan terakhir ruang adalah medium kapitalisme; barangkali mereka yang terlibat dalam debat tidak menangkap maksud para realis kritis yang berupaya memberikan penjelasan lengkap, tidak menyederhanakan proses sebab akibat terkait dimensi ruang dan kapitalisme (Cox, 2013). Para marxis mungkin tidak sabar dengan metode penjelasan panjang dan dalam yang diusung para realis kritis, dan menilai bahwa mereka mengaburkan perkara kelas.
Perdebatan ini sesungguhnya tidak perlu mengingat bahwa kedua kubu sama-sama memandang perlunya transisi kapitalisme, menawarkan agenda riset yang saling melengkapi, walau secara praktis tidak semua punya waktu untuk mendalami realisme kritis (Katz, 2013).
Hampir sama dengan kasus di atas, ditambah sedikit banyak bergaul dengan aktivisme dalam berbagai konteks, saya mengamati bahwa dengan absennya penjelasan yang lengkap para aktivis kerap menghasilkan imajinasi buntu dalam gerakan sosial, padahal tugas akademisi adalah memberikan penjelasan yang rapi sehingga celah–retak sistem dapat terpetakan untuk kemudian diisi gagasan dan praktik yang secara radikal berbeda. Tulisan ini mempromosikan metodologi penjelasan bertingkat (stratified) yang merujuk pada kontur kenyataan dengan kompleksitas tinggi (lihat bagian selanjutnya). Namun demikian, perhatian saya kali ini sangat terbatas terutama pada persoalan peran teknokrat, mekanisme produksi dan reproduksinya, serta personifikasinya.
Saya memilih persoalan teknokrat sebab IndoProgress baru saja merilis artikel tentang itu, berawal dari pendapat Saudara Iqra Anugrah lalu disusul dengan tanggapan/sanggahan dari Saudara Abdil Mughis. Keduanya sama-sama melihat seberapa besar pengaruh dan peran ekonom dalam kemunculan dan perkembangan Orde Baru. Dengan menaruh hormat pada karya-karya penelitian mereka sebelumnya, berikut adalah kegusaran utama saya terhadap argumen Saudara Iqra dan Mughis. Saya akan tunjukkan kesalahan mereka tanpa mengulas kembali apa yang sudah tertulis.
Bagi saya, kerangka berpikir Saudara Iqra terlalu sederhana, bahwa karakter teknokrat ekonomi Orde Baru—yang diwakili oleh tiga Mafia Berkeley Ali Wardhana (1928-2015), Widjojo Nitisastro (1927-2012), dan Emil Salim (lahir 1930)—sangat berbeda dari para ekonom liberal di Amerika Serikat, tempat mereka menempuh pendidikan.
Kategori ide, transmisi ide, dan kondisi material yang mengubah ide menjadi bentuk material, termasuk medan-medan aktivitas dan arena para aktornya, harus dipisahkan. Lihat saja fordisme yang tidak pernah mewujud persis sebagaimana yang awalnya dipikirkan oleh Ford, dan karena itu kemudian sulit juga untuk mengevaluasi apa itu pasca-fordisme (Jessop, 2005; Itoh, 2005). Apa yang kemudian menjadi pokok dalam agenda riset bukan semata debat soal definisi, tapi proses transisi dari kondisi fordisme A menjadi pasca-fordisme B, apa yang memungkinkannya, dan apa konsekuensinya. Demikian halnya dengan keynesianisme dan apa yang pernah dipikirkan oleh Keynes adalah dua hal berbeda (Peck, 2016). Neoliberalisme lebih abu-abu lagi secara konsep sehingga kategorisasi wujudnya menjadi perdebatan luas (Peck, 2013; Jessop, 2019).
Singkatnya, tidak mengejutkan bahwa Mafia Berkeley memiliki pandangan ideologis yang berbeda dengan para pemikir dunia Utara, sebab mereka pun memiliki sejarah person yang khas sementara berhadapan dengan sistem pasca-Perang Dingin yang khas pula. Hal yang terakhir ini sudah dijelaskan dengan baik oleh Saudara Iqra dalam tulisan asli dan juga tersampaikan dalam versi terjemahannya. Agenda utama Saudara Iqra adalah, menurut saya, menunjukkan bagaimana ide liberal selalu ada sementara proses transmisinya (serta transformasinya) tidak pernah putus. Saya sepakat bahwa agenda ini perlu, dan saya memaparkan hal ini sedikit lebih jauh pada bagian terakhir.
Karena resonansi agenda riset dengan Saudara Iqra, maka keberatan saya sudah dapat ditebak. Bagaimana dengan sanggahan dari Saudara Mughis?
Saudara Mughis terlalu mengecilkan peran teknokrat ekonomi, dan itu sangat berbahaya. Kritiknya atas penjelasan yang berpusat pada agensi para ekonom dibalas dengan penjabaran yang terlalu berpusat pada sosok Soeharto yang dimungkinkan oleh, dan sekaligus mempertebal, fondasi tatanan kekacauan. Mengapa sosok seperti Jokowi mungkin ada hari ini? Bagi saya ini bukan karena tatanan kekacauan, namun sebaliknya: ada mekanisme yang relatif sangat teratur dan stabil. Dalam tulisan lain (Mudhoffir & A’yun, 2021), Saudara Mughis telah mengartikulasikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan tatanan kekacauan.
Apakah dari pandangan ini kemudian situasi yang lebih didambakan adalah kerapihan demokrasi liberal dengan dua domain ekonomi dan politik yang jelas terpisah? Demokrasi liberal adalah konsep dan juga praksis yang tercipta dari partisi tebal antara domain ekonomi (dengan kategori kelas pekerja di dalamnya) dan domain politik (dengan kategori citizen atau warga negara sebagai landasan keadilan bagi semua anggota masyarakat, bukan hanya kelas tertindas). Pemisahan tegas antara domain ini sejatinya adalah ilusi konsep, dengan kecenderungan praksis yang tidak mungkin memisahkannya secara tegas, sehingga menimbulkan krisis di atas krisis, atau krisis manajemen dari krisis kapitalisme (Jessop, 2012, 2013).
Realisme kritis: pengantar singkat
Critical realism atau realisme kritis, yang kerap disebut sebagai metode Marx, adalah pendekatan filsafat ilmu yang berupaya memahami bentuk mekanisme dan menjelaskan apa di balik mekanisme ini. Penjelasan baik yang relatif mudah ditulis oleh Andrew Sayer (2012) melalui kritik terhadap Michel Foucault atau Andrew Collier (1994) mengenai prinsip dasar realisme kritis dan pemikiran Roy Bhaskar.
Salah satu prinsip dasar realisme kritis adalah pembedaan apa yang disebut real, aktual, dan empirikal. Tidak semua mekanisme dalam ranah atau domain real mengalami aktualisasi, dan tidak semua yang teraktualisasi dialami oleh subjek secara empiris. Kontur kenyataan ini harus dapat diperhitungkan dengan rinci oleh analis atau peneliti, terutama untuk melihat relasi sebab-akibat (power and causal power).
Meski dibangun atas pemikiran Roy Bhaskar (2008 [1975], 2015 [1979]), realisme kritis memiliki perkembangan sendiri. Dengan kata lain, realisme kritis tidak identik dengan Bhaskar sebagai individu pemikir. Sebagai pohon filsafat ilmu, realisme kritis juga punya banyak cabang, misalnya ekonomi politik yang dikembangkan oleh mereka yang secara eksplisit marxis untuk menjelaskan struktur kapitalisme dan lapisan operasionalnya (Andrew Sayer, Bob Jessop, Karim Knio, Andrew Collier, Doug Porpora dan Tony Lawson), atau cabang lain yang merujuk pada sektor tertentu tanpa harus menjadi pasca-marxis (Priscilla Alderson dalam ilmu kesehatan atau Leigh Price dalam pedagogi dan pedagogi perubahan iklim).
Ada pula nama Margaret Archer, seorang sosiolog yang menyelamatkan Bhaskar dari kosakata strukturasi Anthony Giddens (Archer, 1982; Archer & Morgan, 2020). Ia membangun teori yang lebih umum dari riset sepanjang hidup tentang sistem pendidikan dan birokrasi negara dengan membandingkan Inggris, Prancis, dan Denmark (sejarah intelektualnya dirangkum oleh Vandenberghe, 2005). Archer adalah analis yang rinci. Ia membedakan dengan ketat kategori struktur material (disebutnya sebagai structure) dengan struktur ideasional (disebutnya sebagai culture) (Archer, 1995, 1996). Pembedaan ini penting dalam analisis. Apa yang tidak atau belum tampak, seperti ide yang tidak berwujud dalam era waktu tertentu, mungkin berada dalam ranah real ataupun sudah tercatat dalam ranah aktual (seperti dalam bentuk arsip). Ia hanya belum dialami secara empiris oleh generasi yang lebih muda.
Struktur (termasuk juga ide/kultur) terus hidup karena ada institusi dan agensi. Struktur memiliki berbagai dimensi aktualisasi dalam keragaman institusi. Institusi adalah term ilmu sosiologi yang merujuk pada norma, aturan, dan kebiasaan. Dalam institusi tertentu ada peran yang diciptakan, misalnya pendeta, guru, atau pedagang. Organisasi sebagai agensi kolektif atau individu person dapat mengisi peran ini. Tentu organisasi atau individu memiliki sejarahnya sendiri, secara umum memiliki posisi tertentu terhadap sumber daya dan memiliki vested interests karenanya (jika punya akses berlebih, maka akan cenderung mempertahankannya, jika tidak atau kurang akan berusaha keluar dari posisi ini). Ukuran kestabilan dan lingkup ruang waktunya dapat disederhanakan sebagai berikut: struktur>institusi>agensi (“>” artinya lebih luas, kuat, dan sebagainya).
Jika paragraf sebelumnya menjelaskan bagaimana mekanisme struktur beroperasi secara bertingkat-tingkat, agensi pun memiliki stratifikasi: biological and social self, person yang terikat pada posisi (kelas) tertentu dan aktor yang terikat dengan dan mengaktualisasikan peran tertentu. Saya kurang dan belum banyak waktu untuk mendalami self dan kemampuan reflektifnya (lihat Archer, 2003, 2010), tapi singkatnya, kemampuan reflektif bukan hanya kondisi psikis dan psikologis namun juga ditempa oleh rutinitas, habit, dan habitat (habitat pendidikan, organisasi revolusioner, atau habitat bekerja). Kemampuan reflektif ini sering kali kalah dengan rutinitas yang dipaksakan oleh peran tertentu. Sebagai contoh, mari kita undang kembali Komisaris Polisi Jacques Pangemanann. Dalam Rumah Kaca, diceritakan bahwa ia sering kali membatin bahwa Minke dan Pitung adalah orang baik bagi komunitas dan bangsanya, namun peran yang diaktualkannya sebagai polisi telah menumpas keduanya, baik sebagai person maupun sebagai aktor perubahan sosial.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Teknokrat dengan dua “N”: Nasi dan Negara
Meski bukan spesialis Indonesia era Orde Baru sebagaimana Saudara Iqra dan Mughis, namun berkat studi tentang infrastruktur air dan sanitasi, saya mencatat kemunculan teknokrat kebijakan utang pasca-krisis finansial Asia. Finansialisasi dan utang adalah medan penyatu antara World Bank dan teknokrat dalam negeri (dahulu terwakili oleh tiga Mafia Berkeley yang telah dibahas Saudara Iqra). Relasi pokok antara organisasi finansial dunia dan teknokrat dalam negeri tidak dapat dipisahkan; walau Saudara Mughis telah membedakannya dalam relasi masing-masing dengan Orde Baru, namun belum menjelaskan hubungannya. Peran teknokrasi pembangunan ini melampaui konstelasi geografis dan penggal sejarah tertentu.
Catatan yang saya kumpulkan bersama Sigit Budiono, rekan Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRUHA), berisi peran besar negara ASEAN bersama Jepang, Cina, dan Korea Selatan dalam visi pembangunan infrastruktur sebagai pilar ekonomi untuk mengintegrasikan Asia ke dalam pasar global. Krisis finansial Asia pada 1997-1999 memang momentum untuk mereorganisasi pasar Asia. ASEAN plus 3 ini membentuk institusi baru bernama East Asian Summit (EAS) pada 2005, lalu juga mengajak Australia, Selandia Baru, dan India. Pada 2010, Amerika Serikat dan Rusia pun bergabung.
Dari rahim EAS lahir organisasi yang disebut Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) pada 2007, sebuah think tank yang meresepkan apa yang disebut Comprehensive Asia Development Plan (CADP). Dokumen yang diluncurkan pada 2010 ini disebut sebagai Asian Marshall Plan oleh Sekjen ASEAN dan mendikte terbitnya Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada era SBY, yang kemudian diadopsi juga oleh Jokowi lewat Proyek Strategis Nasional (PSN). Kritik dan pemaparan atas lahirnya MP3EI telah diulas dalam buku terbitan Sajogyo Institute (Rachman & Yanuardy, 2014).
ERIA melalui dokumen CADP merumuskan bidang infrastruktur sebagai penjahit koridor produksi dan distribusi baik pada skala regional dan lokal sesuai tuntutan pembagian struktur kerja internasional (international labour division). Pembagian ini kerap disebut sebagai Unbundling pertama (memisahkan letak unit produksi dari lokasi konsumsi, yang dimungkinkan oleh turunnya ongkos transportasi) dan Unbundling kedua (memisahkan lokasi unit rantai produksi yang tidak lagi perlu berdekatan satu sama lain, bahkan memisahkan unit produksi dari unit koordinasi atau pabrik dari kantor cabang dan kantor cabang utama, akibat kemajuan teknologi komunikasi) (Baldwin, 2006). Fragmentasi spasial dari pemisahan fungsi produksi dan distribusi ini perlu diatur, dan inilah fungsi pembangunan infrastruktur (Kimura & Ueki, 2015). Untuk menurunkan ide Unbundling sistem ekonomi sampai operasionalnya inilah dibutuhkan banyak teknokrat. Periode Unbundling ini sudah dimulai sejak kejatuhan harga minyak, dan Indonesia mulai membangun industri manufaktur, seperti sudah dituliskan oleh Robison (2009 [1986].
Barangkali peran langsung teknokrat pada kejayaan Orde Baru dapat dikatakan kecil, namun apa yang mereka lakukan berpengaruh besar dalam memperparah hidup rakyat, juga menekan dan menghancurkan gerakan sosial dengan tangan yang halus. Sementara itu ilmu ekonomi terus berkembang, dengan warta bahwa ilmu tersebut objektif, tidak bias, dan dapat dibuktikan presisinya, sekalipun harus melibatkan peran institusi ekstra pasar (new institutionalism, yang apolitis itu) (Booth, 1998; Dick et al., 2002; Thee, 2012). Kini, setelah Mafia Berkeley, kampus ekonomi dan kampus teknologi telah melahirkan tiga generasi teknokrat.
Berbeda dengan tiga besar teknokrat Orde Baru yang masih mengalami masa revolusi, mereka kini sangat apolitis. Teknokrat Nasi menjawab tuntutan reproduksi keluarga, sebab semakin mahalnya ongkos sekolah dan rumah. Bagi mereka, negara adalah institusi yang harus ada demi mengawal proyek besar yang menyejahterakan keluarga sendiri dan kelompok.
Lihat saja apa yang terjadi pada World Water Forum Mei 2024 di Bali. Saat itu tidak ada yang menentang utang baru di sektor air, termasuk konsesi penyediaan air di IKN, ibu kota pengganti Jakarta. Diskursus yang bergulir tidak lain dan tidak bukan: pasar sebagai penyedia dan pengatur pemenuhan kebutuhan hidup. Sementara akademisi yang merapat ke Forum Rakyat untuk Keadilan Air, atau PWF sebagai forum oposisi WWF, tidak dapat berbuat banyak setelah forum dibubarkan dan aktivisnya diintimidasi. Hal mirip terjadi dengan para arsitek dan perencana kota yang mendukung pembangunan kampung susun alternatif (Putri, 2020; Batubara et al., 2024). Setelah proyek ini belum ada langkah berarti dalam perubahan sistem, walau semakin banyak muncul teknokrat yang sedikit berbeda cara bekerjanya. Sayangnya, para teknokrat alternatif ini masih bergerak sendiri-sendiri. Seperti bakau muda yang akan habis diterpa gelombang besar: hari ini ada mungkin besok lenyap ceritanya.
Saya akan menutup tulisan ini dengan sedikit propagandis, sebagai pemantik diskusi selanjutnya. Apakah teknokrat dengan dua “N” (Nasi dan Negara) punya ideologi? Yang jelas, teknokrat tandingan perlu berpijak pada dua “P”: Publik dan Pembebasan. Bukan hanya bekerja demi nasi, teknokrat publik berpikir bagaimana perhitungan yang lebih baik untuk mengatasi ongkos sosial dan ongkos ekologi. Secara kolektif, mereka bekerja untuk pembebasan (melalui negara atau dalam keseharian). Karenanya mereka perlu ideologi, barangkali ekososialisme. Kalaupun kerja-kerja demi pembebasan rakyat pekerja akan tetap marjinal, peran mereka berpengaruh untuk memperpanjang napas perjuangan. Jikalau air murah, sekolah murah, pangan murah, rumah murah, dan alam lestari, maka uang dan energi setiap keluarga pekerja dapat dipakai untuk menciptakan seni pembebasan, memainkan musik perjuangan, menuliskan sejarah dan sastranya sendiri, dan tentu saja hidup lebih lama dengan sehat.
Referensi
Archer, M. S. (1982). Morphogenesis versus Structuration: On Combining Structure and Action. The British Journal of Sociology, 33(4), 455–483.
Archer, M. S. (1995). Realist social theory: the morphogenetic approach. Cambridge University Press.
Archer, M. S. (1996). Culture and agency: The place of culture in social theory (Rev. ed.). Cambridge University Press.
Archer, M. S. (2003). Structure, Agency and the Internal Conversation. Cambridge University Press.
Archer, M. S. (2010). Routine, Reflexivity, and Realism. Sociological Theory, 28(3), 272–303.
Archer, M. S., & Morgan, J. (2020). Contributions to realist social theory: an interview with Margaret S. Archer. Journal of Critical Realism, 19(2), 179–200.
Baldwin, R. (2006). Globalisation: the great unbundling(s). Globalisation Challenges for Europe and Finland/ Finland’s EU Presidency. Geneva, Switzerland. Secretariat of the Economic Council. repository.graduateinstitute.ch
Batubara, B., Guntoro, Rachman, N. F., Herlily, & Adianto, J. (2024). Land Occupation, Re-occupation, and Housing Cooperative: Commune Formation by Jakarta’s Urban Poor. Agrarian South: Journal of Political Economy: A Triannual Journal of Agrarian South Network and CARES, 13(1), 89–109. https://doi.org/10.1177/22779760241226816
Bhaskar, R. (2008 [1975]. A Realist Theory of Science. Routledge.
Bhaskar, R. (2015 [1979]. The Possibility of Naturalism. A philosophical critique of the contemporary human sciences. Routledge.
Booth, A. (1998). The Indonesian economy in the nineteenth and twentieth centuries: A history of missed opportunities (Vol. 36). Palgrave Macmillan. https://doi.org/10.5860/choice.36-0439
Collier, A. (1994). An Introduction to Roy Bhaskar’s Philosophy. Verso.
Cox, K. R. (2013). Notes on a brief encounter. Dialogues in Human Geography, 3(1), 3–21. https://doi.org/10.1177/2043820613485041
Dick, H., Houben, V. J., Linblad, J. T., & Thee, K. W. (2002). Emergence of a national economy: An economic history of Indonesia, 1800-2000. University of Hawaii Press.
Fakih, F. (2020). Authoritarian modernization in Indonesia’s early independence period: The foundation of the New Order State (1950-1965). Brill.
Itoh, M. (2005). The Japanese Model of Post-Fordism. In M. Storper & A. J. Scott (Eds.), Pathways to Industrialization and Regional Development (pp. 116–135). Routledge.
Jessop, B. (2005). Fordism and post-Fordism: A critical reformulation. In M. Storper & A. J. Scott (Eds.), Pathways to Industrialization and Regional Development (pp. 54–74). Routledge.
Jessop, B. (2012). Narratives of Crisis and Crisis Response: Perspectives from North and South. In P. Utting, S. Razavi, & R. V. Buchholz (Eds.), International Political Economy Series. The Global Crisis and Transformative Social Change (pp. 23–42). Palgrave Macmillan.
Jessop, B. (2013). Finance-Dominated Accumulation and Post-Democratic Capitalism. In S. Fadda & P. Tridico (Eds.), Institutions and Economic Development after the Financial Crisis (pp. 83–105). Routledge.
Jessop, B. (2019). Authoritarian Neoliberalism: Periodization and Critique. South Atlantic Quarterly, 118(2), 343–361. https://doi.org/10.1215/00382876-7381182
Katz, C. (2013). Missing subjects. Dialogues in Human Geography, 3(1), 30–33. https://doi.org/10.1177/2043820613485046
Kimura, F., & Ueki, Y. (2015). The Comprehensive Asia Development Plan 2.0 (CADP 2.0): Infrastructure for Connectivity and Innovation. ERIA Research Project Report 2014, No.4. Jakarta. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA).
Mudhoffir, A. M., & A’yun, R. Q. (2021). Doing business under the framework of disorder: illiberal legalism in Indonesia. Third World Quarterly, 42(11), 2651–2668.
Peck, J. (2013). Explaining (with) Neoliberalism. Territory, Politics, Governance, 1(2), 132–157.
Peck, J. (2016). We are all Keynesians again…and always? Dialogues in Human Geography, 6(2), 135–145.
Prabaharyaka, I. (2014). Institutional Pathologies and Urban Water Access: A Case Study of Jakarta, Indonesia [Master Thesis]. Monash University South Africa, Johannesburg.
Putri, P. W. (2020). Insurgent planner: Transgressing the technocratic state of postcolonial Jakarta. Urban Studies, 57(9), 1845–1865. https://doi.org/10.1177/0042098019853499
Rachman, N. F., & Yanuardy, D. (Eds.). (2014). MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia. Tanah Air Beta.
Robison, R. (2009 [1986]. Indonesia: The rise of capital. Equinox Publishing.
Sayer, A. (1985). The Difference that Space Makes. In D. Gregory & J. Urry (Eds.), Social Relations and Spatial Structures (pp. 49–66). Macmillan. https://doi.org/10.1007/978-1-349-27935-7_4
Sayer, A. (2012). Power, causality and normativity: a critical realist critique of Foucault. Journal of Political Power, 5(2), 179–194.
Thee, K. W. (2012). Indonesia’s Economy since Independence. Institute of Southeast Asian Studies.
Vandenberghe, F. (2005). The Archers. A Tale of Folk (Final Episode?). European Journal of Social Theory, 8(2), 227–237.
Prathiwi Widyatmi Putri, bekerja dan tinggal di Kassel, Provinsi Hessen, Jerman