Ilustrasi: jonpey
WAKIL GUBERNUR Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Paku Alam X, beberapa bulan lalu menyatakan bahwa indikator kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) yang berdasarkan pengeluaran perkapita tak sesuai dengan kondisi masyarakat tempat dia memerintah. Ia menambahkan, kemiskinan di DIY tak dapat dibandingkan dengan daerah lain karena wilayahnya memiliki “kearifan lokal” berupa masyarakat tak konsumtif dan saling peduli. Klaim tersebut belum tentu teruji dalam realitas karena rakyat masih harus bertahan hidup sendiri-sendiri. Indikator ketimpangan agraria dapat menjadi salah satu patokan untuk melihat masalah tersebut dan kondisi di Sleman adalah gambaran yang baik tentang hal itu.
Perubahan Agraria dan Kemiskinan Struktural
Studi yang dilakukan IRE Yogyakarta (2017) menunjukkan keterbatasan kepemilikan aset lahan produktif telah mendorong kesenjangan pendapatan antara kelas atas dan kaum miskin di wilayah rural Sleman. Hanya kelas atas saja yang mampu mengalokasikan pendapatannya untuk asuransi dan investasi. Dalam konteks desa perkotaan, ketiadaan aset produktif telah membuat petani miskin dan buruh tani terlempar ke sektor informal dan harus bergantung hidup dari utang.
Sumber masalah ketimpangan agraria ini adalah kuasa eksklusi dalam bentuk yang berbeda-beda, yang mendorong konversi lahan pertanian tanpa diikuti perlindungan sosial bagi rakyat kecil terdampak. Studi saya pada tahun 2019 menunjukkan bahwa kegagalan reforma agraria pada tahun 1960-an, spekulasi lahan yang melibatkan elite akar rumput dan spekulan serta proses peri-urbanisasi sejak tahun 1980-an adalah biang keladi konversi lahan pertanian yang menciptakan problem ketimpangan agraria.
Percobaan pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten Sleman pada tahun 1960-an bermula di Kecamatan Gamping. Praktik ini gagal karena banyak hal. Hambatan pertama adalah panitia reforma agraria diisi oleh berbagai pihak dari kelompok sosial yang berbeda sehingga memicu kontestasi yang kuat. Percobaan reforma agraria di Gamping bahkan tak lepas dari persaingan antar kader kelompok sosial politik dalam pemilihan kepala desa. Pudjosentono, yang saat itu menjabat Kepala Desa Trihanggo, adalah kader PKI pendukung reforma agraria pada lahan yang dikuasai oleh Lamiri yang merupakan kader PNI serta rival kepala desa pada saat pemilihan sebelumnya (Sudrajat, 2014).
Hambatan selanjutnya adalah ketidakjelasan sumber pendanaan. Masalah tersebut menyebabkan panitia tak dapat bekerja secara maksimal dan menyulitkan ganti rugi lahan milik Lamiri (Bakri, 1968). Keterbatasan dana juga menyebabkan terhambatnya penelitian mengenai tanah-tanah objek reforma agraria di Sleman dan baru terbatas pada pendataan tanah yang memiliki kelebihan dari batas maksimum dan minimum.
Hambatan ketiga adalah terjadinya peristiwa Gestok yang menyebabkan perubahan politik secara nasional. Panitia reforma agraria Sleman awalnya berasal dari kader Barisan Tani Indonesia (BTI), tetapi pasca Gestok digantikan oleh tentara bernama Mayor Semin (Sudrajat, 2014). Mereka yang dianggap sebagai bagian dari “gerakan komunis” kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Anehnya, pasca Gestok, tanah yang dikuasai Lamiri justru tak dinyatakan sebagai objek reforma agraria.
Panitia reforma agraria Kabupaten Sleman, melalui surat No. 81/X/67/1967, menyerahkan lahan yang dikuasai Lamiri kepada Komandan Pembantu Pelaksana Kuasa Perang (Pepekuper) yang diangkat oleh Pangdam (Sudrajat, 2014). Surat perintah Komandan Kodim 0732 selaku Pepekuper Kabupaten Sleman tanggal 24 Oktober 1967 No. PRIN/PPKP/0250/10/1967 memerintahkan Danramil Gamping untuk memperlakukan lahan tersebut di bawah kuasa Pepekuper Kabupaten Sleman (Sudrajat, 2014). Hasil pertanian kemudian disetorkan kepada Kodim 0732. Pepekuper Sleman pada 20 Juni 1970 justru mengembalikan kembali lahan kepada keluarga Lamiri.
Reforma agraria oleh rezim Orde Baru justru dicap sebagai “agenda kelompok komunis”. Pemerintah pusat di bawah Orba hanya berupaya menggenjot produksi pangan melalui program Bimas/Inmas tanpa peduli dengan problem ketimpangan agraria. Sejalan dengan pelaksanaan Bimas, dibentuk pula Badan Usaha Unit Desa di Sleman untuk bersama dinas pertanian menggenjot produksi pertanian (Nanarubessy, 1974). Rezim Orba juga berupaya memberangus gerakan petani dan memastikan berjalannya agenda pengenjotan produksi pangan dengan membentuk Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pirsawan atau Kelompencapir (Widyaningsih, 2008).
Kaum tani yang berani menentang agenda pengenjotan produksi direpresi rezim Orba. Hal ini misalnya dialami oleh petani di Desa Sumberarum, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman pada 1976, bersamaan dengan kejadian gagal panen (Hasanah, 2016). Dorongan rezim Orba untuk menggunakan pupuk kimia, bibit dari luar dan pestisida telah membuat kerusakan lahan yang memicu protes petani di Sumberarum. Hanya 20-30 petani kaya yang diuntungkan dari pelaksanaan Bimas. Penderitaan bagi petani kecil dan buruh tani muncul, sementara mereka yang memiliki lahan luas menikmati subsidi dan perlindungan dari rezim Orba. Petani di Sumberarum sempat kembali menggunakan pupuk organik, pestisida alami, dan bibit lokal pada tahun 1974, tetapi terjadi insiden pencabutan bibit lokal dan tindakan intimidasi pada 1975 (Hasanah, 2016).
Pasca kemacetan reforma agraria, administrasi pertanahan sendiri sangat bergantung pada sikap ewuh pakewuh kepada kepala desa. Akibatnya, penyelesaian masalah konsentrasi penguasaan tanah di Sleman sulit dilakukan (Sudjito, 1986). Permainan antara elite desa dengan spekulan tanah dalam spekulasi penjualan lahan turut pula menghambat reforma agraria. Posisi Sleman yang menjadi bagian perluasan spasial dari Kota Yogyakarta menjadi incaran para spekulan untuk melakukan pemindahan hak atas tanah. Sudjito (1986) menemukan indikasi camat maupun kepala desa sendirilah yang bertindak sebagai spekulan, ditandai dengan terbongkarnya masalah penjualan lahan di bawah tangan.
Ada beberapa faktor peri-urbanisasi yang menjadi kuasa eksklusi pendorong ketimpangan agraria sejak tahun 1980-an. Pertama, pertumbuhan penduduk di perkotaan tumbuh lebih cepat di pinggiran dibandingkan pusat. Hal tersebut dapat dilihat dari konversi lahan di Sleman sejak 1987-2006 yang bergeser dari wilayah pertanian menjadi perumahan, pekarangan dan bangunan lainnya (Harini et al., 2013). Kedua, ekspansi modal dan lokal telah memicu tumbuhnya desa perkotaan yang menjadi tempat tinggal para migran. Sepanjang 1990-2000 saja di Sleman berkembang 32 desa perkotaan di 13 kecamatan, dan periode 2000-2010 berkembang 60 desa perkotaan di 17 kecamatan (Subkhi, 2019). Ketiga, kebijakan pemerintah justru cenderung memfasilitasi konversi lahan lantaran memprioritaskan pengembangan sektor tersier. Pemda memang telah mengatur lahan pertanian tertentu yang tak boleh dikonversi, tetapi kebijakan sektoral dan parsial seperti itu tak akan mampu mengatasi tumpang tindih peruntukan lahan, desakan rakyat untuk menjual lahan dan lain-lain (Firdaus, 2012; Habibatussolikhah et al., 2016; Supratikno et al., 2016).
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY (2021) memaparkan, luasan lahan yang dikuasai keluarga petani terbilang kecil, yakni sebesar 0,5 hektare per keluarga. Itu tak bisa memenuhi kebutuhan hidup dan memaksa mereka melepaskan lahannya alias menyebabkan terjadinya konversi. Hukum waris yang membagi luasan lahan pertanian menjadi semakin terfragmentasi juga mendorong moda produksi tersebut tak mampu menghidupi rakyat. Survei pertanian antarsensus tahun 2018 menunjukkan bahwa 89,6% rumah tangga tani di DIY hanya memiliki lahan seluas 0,5 ha ke bawah (Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY, 2021).
Konversi yang terus terjadi memicu kenaikan harga tanah, termasuk yang berada di sekitar fasilitas jalan usaha tani (JUT) (Suminar, 2018). Harga tanah yang terus beranjak naik berdampak terhadap akses masyarakat terhadap perumahan. Real Estate Indonesia (REI) DIY (2021) bahkan menyampaikan bahwa harga lahan menyumbangkan porsi sebesar 30-40 persen dari harga rumah. REI DIY memandang rata-rata pendapatan warga, antara 2-4 juta, akan sulit untuk mengakses hunian 200 juta–rumah nonsubsidi termurah.
Kondisi seperti ini menguntungkan petani kaya maupun tuan tanah yang memiliki “kelebihan lahan”. Mereka dapat menjual sebagian lahan tanpa kehilangan sumber pendapatan dari sektor pertanian dengan mengusahakan lahan yang lain. Uang hasil penjualan lahan kepada pengembang perumahan menjadi jalan bagi mereka untuk melakukan ekspansi usaha seperti dengan membuka bengkel (Ardhityatama, 2014). Di sisi lain, petani penggarap dan buruh tani kehilangan sumber pendapatan karena semakin sedikit lahan yang bisa menghidupi mereka. Akibatnya, mereka harus mencari sumber penghidupan lain di sektor informal perkotaan.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Penyakit Rumah Tapak
Orang-orang kini bergantung pada rumah tapak. Ketergantungan pada rumah tapak itulah yang menyebabkan liberalisasi tanah, ketidakjelasan tata ruang serta tata kuasa desa-kota sejak tahun 1980-an terus terjadi. Ketergantungan pada rumah tapak telah membuat kuatnya spekulasi lahan yang melibatkan pebisnis perumahan, masyarakat setempat, pemerintah serta spekulan. Studi yang dilakukan oleh Widiyantoro, Marsoyo dan Sugiana (2020) menunjukkan bahwa hanya rakyat pemegang hak atas tanah yang dilibatkan dalam konsultasi publik pemberian izin lokasi perumahan. Pemilik tanah terpaksa melepaskan lahannya karena tak memiliki dukungan kuat dari rakyat umum yang sengaja tak dilibatkan.
Kontrol publik atas tanah nihil. Pengawasan hanya dilakukan Kantor Pertanahan di tingkat kabupaten/kota dan Kantor Wilayah BPN di tingkat provinsi. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2015 tentang Izin Lokasi juga membuat semakin hilangnya kontrol publik dalam mencegah konversi lahan. Izin hanya dilakukan melalui sistem yang terintegrasi secara elektronik. Negosiasi personal dengan pemegang hak atas tanah juga menjadi jalan untuk mendapatkan harga tanah serendah mungkin dan meminimalkan konflik dengan lagi-lagi mengabaikan kontrol publik (Widiyantoro et al., 2020).
Roitman dan Recio (2019) menjelaskan bahwa perkembangan bisnis perumahan dalam wujud rumah tapak semakin bergeliat di DIY sejak 2000-an atau setelah pulih dari krisis ekonomi 1997-1998. Proyek rumah tapak di berbagai kluster perumahan semakin bergeliat sejak 2010. Perluasan rumah tapak terjadi di daerah peri-urban dan biasa memanfaatkan areal sawah karena di situlah harga tanah yang relatif terjangkau dan calon penghuni ingin tinggal di wilayah yang masih terjaga lingkungannya (Roitman & Recio, 2019).
Pandangan yang menempatkan rumah sebagai investasi keluarga juga menjadi pemicu ekspansi rumah tapak di Sleman sejak krisis ekonomi 1997. Investasi properti dianggap lebih aman dan menarik dibandingkan investasi keuangan lain. Kelas atas menganggap rumah tapak di Yogyakarta memiliki pangsa pasar tersendiri, yaitu pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah bahkan luar negeri. Kelas atas juga sengaja membelikan anaknya rumah tapak saat belajar di DIY dan setelah anaknya lulus dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi.
Menurut Roitman dan Recio (2019), hal inilah yang menyebabkan terjadinya fenomena banyak rumah tapak tanpa penghuni di DIY. Sayangnya, tak ada data jumlah rumah tapak yang penghuninya tidak berdomisili di DIY. Sejak 2010, setidaknya terdapat 350 kompleks perumahan meskipun beberapa di antaranya memiliki unit hunian yang tidak lebih dari sepuluh rumah (Handoko, 2011).
Menjamurnya perumahan sama sekali tidak mendorong perbaikan dan peningkatan fasilitas umum. Sebaliknya, pengembang dan warga perumahan justru memanfaatkan fasilitas sosial dari luar permukimannya (Widhyharto, 2009). Apalagi, dari segi kemampuan ekonomi, warga yang tinggal di perumahan memiliki akses untuk memanfaatkan fasilitas di tempat lain menggunakan kendaraan bermotor. Para pengembang tetap menamai properti yang dijualnya sebagai “perumahan” meskipun unit yang dijual kurang dari sepuluh. Hal tersebut menjadi salah satu strategi mereka.
Penyediaan hunian vertikal yang diharapkan dapat mengatasi laju konversi lahan sekaligus memecahkan kebuntuan akses perumahan juga banyak masalah. Pembangunan rumah susun di DIY dimulai pada 2004 di Cokrodirjan, Kota Yogyakarta. Swasto (2018) mencatat bahwa dari 2004 sampai 2012 terdapat 26 blok rusun di DIY yang terdiri dari 13 blok bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan 13 blok bagi mahasiswa, PNS dan tentara. Rumah susun di DIY adalah rumah susun sederhana sewa (rusunawa) dengan harga sewa bervariasi. Selain itu maksimal hanya dapat disewa selama enam tahun. Akibatnya, setelah itu, penghuni harus mencari tempat tinggal lain. Ketiadaan akses rumah susun lain pada akhirnya membuat rakyat kembali bergantung pada rumah tapak. Hal inilah yang membuat rumah tapak masih terus berkembang secara masif (Swasto, 2018).
Situasi semakin sulit karena pembiayaan perumahan bagi masyarakat miskin tidak jelas dan kontradiktif. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menegaskan bahwa tanggung jawab pembiayaan ada di tangan pusat, tapi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur urusan perumahan didelegasikan kepada daerah (Kusumawati et al., 2018). Menurut Kusumawati dkk. (2018), meskipun terdapat penegasan bahwa pusat akan tetap bertanggung jawab mengembangkan skema keuangan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sampai saat ini tak ada penjelasan lebih lanjut. UU 1/2011 mendorong Pemda aktif dalam penyediaan perumahan bagi masyarakat miskin, tetapi kenyataannya mereka cenderung pasif menunggu bantuan keuangan dari pusat daripada menggunakan APBD ataupun mencari dukungan pihak ketiga. Hal tersebut telah menyebabkan kebijakan perumahan di tingkat lokal berbeda-beda, padahal pemda kota/kabupaten itulah yang memberikan izin lokasi perumahan.
Ketimpangan agraria ini dapat kita jadikan sebagai indikator penting untuk terus memantau ketidakadilan yang masih terjadi di daerah ini. Indikator ini dapat mendorong kita untuk menelaah lebih jauh kondisi penghidupan rakyat kecil yang belum mendapatkan perlindungan sosial memadai. Sudah semestinya upaya penataan struktural menjadi agenda penting penyelesaian masalah penghidupan rakyat.
Reforma agraria pada dasarnya menjadi pijakan utama yang harus dilakukan dan harus memperhatikan ikatan kuat antara desa-kota. Reforma agraria juga tak sekadar penyediaan sumber penghidupan kaum tani semata, tetapi juga harus memperhatikan kebutuhan mendasar lain seperti akses perumahan bagi rakyat. Apalagi ketergantungan pada rumah tapak juga berkontribusi terhadap memburuknya penghidupan petani yang harus terhempas ke sektor informal dan dapat menambah problem ketimpangan.
Daftar Pustaka
Ardhityatama, B. I. (2014). Livelihood Change as Impact of Rural-Urban Transformation in Sleman Regency (Perubahan Mata Pencaharian sebagai Dampak Transformasi Desa-Kota di Kabupaten Sleman). Jurnal Wilayah Dan Lingkungan, 2(3), 209–220.
Bakri, A. M. (1968). Efek Landreform Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Para Petani Bekas Pemilik Tanah dan Petani Penerima Redistribusi Tanah di Daerah Kabupaten Sleman (Djawa Tengah). Akademi Agraria Jogjakarta.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY. (2021). Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2020. http://dlhk.jogjaprov.go.id/storage/DIKPLHD DIY 2020 FINAL.pdf
Firdaus, A. Z. (2012). Implementasi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) Dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang (Studi Kasus Kecamatan Godean Kabupaten Sleman). Universitas Negeri Yogyakarta.
Habibatussolikhah, A. T., Darsono, & Ani, S. W. (2016). Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah Ke Non Sawah Di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. SEPA, 13(1), 22–27.
Handoko, J. P. S. (2011). Pertumbuhan Permukiman Gated Community Di Yogyakarta Studi Kasus : Perumahan-Perumahan di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Seminar Nasional Life Style And Architecture (SCAN#2:2011), 414–421.
Harini, R., Yunus, H. S., Kasto, & Hartono, S. (2013). Nilai Ekonomi Total Konversi Lahan Pertanian Di Kabupaten Sleman. J. Manusia Dan Lingkungan, 20(1), 34–46.
Hasanah, U. (2016). Protes Petani Desa Sumberarum Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman Terhadap Kebijakan Revolusi Hijau Tahun 1970-1980. Universitas Negeri Yogyakarta.
IRE Yogyakarta. (2017). Ketimpangan Perdesaan dan Perkotaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (Mei 2017).
Kusumawati, E. D., de Wolf, A. H., & Brus, M. (2018). Access to Public Housing for Outsiders. Asia Pacific Journal on Human Rights and the Law, 19(2), 238–267.
Nanarubessy, V. (1974). Pengaruh-Pengaruh Pelaksanaan Landreform Terhadap Pembangunan Ekonomi di Daerah Kabupaten Sleman. Akademi Agraria Yogyakarta.
Roitman, S., & Recio, R. B. (2019). Understanding Indonesia’s gated communities and their relationship with inequality. Housing Studies, 1–25.
SKH Kedaulatan Rakyat. (n.d.). Paku Alam: Kearifan Lokal Warga DIY, Kemiskinan Jadi Anomali. SKH Kedaulatan Rakyat.
Subkhi, W. B. (2019). Pertumbuhan dan Perkembangan Kawasan Perkotaan di Kabupaten: Studi Kasus Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Wilayah Dan Lingkungan, 7(2), 105–120.
Sudjito. (1986). Laporan Penelitian Analisis Pelaksanaan Landreform dengan Peningkatan dan Pemerataan Pemilikan Tanah Pertanian di Kabupaten Sleman.
Sudrajat, U. (2014). Merajut Asa Siti Kawula Landreform di Sleman, Yogyakarta 1960-1973. Penerbit Ombak.
Suminar, R. E. (2018). Dampak Pengembangan Jalan Usaha Tani (JUT) Pada Kawasan Pertanian Di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Plano Madani, 7(1), 81–88.
Supratikno, S. I., Armawi, A., & Marwasta, D. (2016). Pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah Dalam Mendukung Penyusunan Sistem Informasi Ketahanan Pangan Pokok Wilayah (Studi Di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta). Jurnal Ketahanan Nasional, 22(1), 31.
Swasto, D. F. (2018). Vertical Living Opportunities and Challenges for Low-income People in Southeast Asia Case of Indonesia. The 1st International Conference on South East Asia Studies, 2016, KnE Social Sciences, 130–147.
Widhyharto, D. S. (2009). Komunitas Berpagar: Antara Inovasi Sosial dan Ketegangan Sosial (Studi Kasus Komunitas Berpagar di Propinsi D.I Yogyakarta, Indonesia). Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 13(2), 204–230.
Widiyantoro, S., Marsoyo, A., & Sugiana, K. (2020). Hubungan Antara Pengendalian Lahan Pertanian Dan Penyediaan Tanah Untuk Perumahan Di Yogyakarta. Bhumi, Jurnal Agraria Dan Pertanahan, 6(2), 126–144.
Widyaningsih. (2008). Perkembangan Gerakan Petani di Kabupaten Sleman. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Anggalih Bayu Muh Kamim, alumnus Departemen Politik & Pemerintahan Fisipol UGM