Ilustrasi: Illustruth
PADA mulanya Wadas, Kecamatan Bener, Provinsi Jawa Tengah, adalah sebuah desa biasa yang menyimpan banyak berkah. Tanahnya subur dan produktif. Ada banyak mata air yang menjadi sumber penghidupan masyarakat, juga beragam tumbuhan dan tanaman rempah mulai dari durian, kopi, petai, sengon, kemukus, vanili, dan lain-lain.
Menurut survei yang dilakukan oleh Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, dan Perpustakaan Jalanan, pendapatan dari berbagai komoditas tersebut mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah per tahun. Angka tersebut cukup besar jika dibandingkan dengan upah minimum setempat–tahun 2022 hanya Rp 1,9 juta. Angka tersebut juga menggambarkan bahwa warga mungkin untuk menggantungkan hidup hanya dari apa yang dihasilkan oleh alam.
Karena itulah dapat dipahami betapa warga Desa Wadas memiliki hubungan yang sangat dekat dengan tanah–melebihi orang-orang kota.
Tetapi semuanya terancam sejak adanya wacana pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo. Bendungan tersebut sebenarnya terletak di Desa Guntur yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Wadas, namun material yang akan dipakai, yaitu andesit, ditambang di tempat tersebut.
Keputusan ini didasari oleh Izin Penetapan Lokasi (IPL) yang diterbitkan oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 590/41/2018–yang kemudian diperpanjang melalui Surat Keputusan Gubernur No 539/29 Tahun 2020 tentang Perpanjangan atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Wonosobo. Selain sebagai tempat pengambilan andesit, surat itu juga menyatakan Wadas adalah tempat yang akan dibebaskan lahannya.
Warga yang sebagian besar menggantungkan hidupnya kepada hasil pertanian dan perkebunan menjadi gusar. Kehadiran tambang akan berpotensi menciptakan kerusakan ekologis sekaligus juga menghilangkan banyak hal: sejarah kampung, tempat tinggal beserta relasi sosial yang telah dibentuk, dan lahan-lahan produktif pertanian yang menjadi sumber penghidupan. Ringkasnya, proyek Bendungan Bener yang mensyaratkan pertambangan andesit di Wadas berpotensi membuat warga kehilangan ruang hidupnya.
Bendungan Bener adalah salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Sebetulnya, jika mengacu putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PUU-XVIII/2020 yang juga menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja bersifat inkonstitusional bersyarat, segala proyek strategis nasional harus dihentikan. Namun itu tidak terjadi. Polisi bahkan mengepung desa pada awal Februari lalu.
Bendungan yang memiliki kapasitas sebesar 100,94 m3 ini semula dikatakan akan berfungsi mengairi sawah, mengurangi debit banjir, menjadi sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan menyuplai kebutuhan air di Jateng, khususnya Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Purworejo. Namun ada rencana lain yang membuat proyek terus diupayakan meski harus mengorbankan banyak hal dan mengesampingkan penolakan-penolakan warga.
Dalam laporan tahunan 2019, LBH Yogyakarta mengatakan bahwa proyek Bendungan Bener terkait dengan keberlangsungan industri pariwisata di Jateng. Melalui dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo, pemerintah menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan prioritas (leading sector) yang tujuannya tidak lain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dokumen tersebut pada gilirannya memungkinkan terciptanya peraturan-peraturan yang berorientasi kepada proyek pembangunan infrastruktur berbasis eksploitasi sumber daya alam.
Melalui Perpres 109/2020, Jokowi mencanangkan 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) atau yang dikenal dengan sebutan “10 Bali Baru”. Wilayah yang ditetapkan menjadi KSPN di sekitaran Jateng dan D. I Yogyakarta adalah Candi Borobudur. Setidaknya ada tiga proyek yang berkelindan untuk menunjang kebutuhan ini, yaitu New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Cilacap, dan, ya, Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo.
PLTU ditujukan untuk memasok kebutuhan listrik di Jateng, khususnya daerah Magelang, tempat di mana Candi Borobudur berdiri. Lalu keberadaan NYIA menjadi penting, tentu saja, untuk memudahkan orang-orang berwisata ke tempat tersebut.
Tapi tidak hanya itu fungsi NYIA. Dalam ekonomi neoliberal, bandara merupakan salah satu penunjang untuk menghubungkan sektor-sektor industri sekaligus melakukan eksploitasi alam dalam waktu bersamaan.[1] “Fungsi” eksploitasi tampak dalam kaitannya dengan Bendungan Bener. Untuk tetap bisa beroperasi dengan maksimal, bandara perlu didukung oleh air yang mencukupi. Masalahnya pengelola NYIA tidak boleh mengambil langsung air dari Kulon Progo. Bendungan Bener, yang lokasinya paling dekat, ditujukan untuk menunjang kebutuhan air di tempat tersebut.
Latar belakang tersebutlah yang menjadi titik awal konflik tanah di Wadas. Berbagai izin terbit sebagai pembenaran untuk melakukan perampasan. Pemberian konsesi tanah dan sumber daya alam untuk menghasilkan komoditas-komoditas global memang merupakan alat yang sering digunakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perolehan rente bagi mereka.[2] Melalui berbagai mekanisme dan relasi kuasa yang timpang, masyarakat Wadas kehilangan kontrol dan kuasa atas tanahnya.
Dalam Marxisme, apa yang terjadi di sana disebut sebagai akumulasi primitif, prakondisi untuk akumulasi modal, yakni proses pemisahan para produsen independen dari alat produksinya, penciptaan hak milik pribadi yang kapitalistik, dan pembentukan kelas buruh upahan bebas.[3] Dengan demikian, pembangunan Bendungan Bener beserta praktik pertambangannya bukan hanya menggambarkan bahwa proyek tersebut sarat akan kepentingan elite alih-alih masyarakat, melainkan juga menandakan adanya proses pemisahan masyarakat dengan alat produksinya, dalam hal ini tanah, yang pada gilirannya akan mengakibatkan hilangnya akses mereka terhadap sumber penghidupan.
Legitimasi Hukum dan Akal-akalan “Kepentingan Umum”
Pemerintah menyebut apa yang mereka lakukan, baik pembangunan bendungan di Purworejo maupun pertambangan di Wadas, adalah demi “kepentingan umum”. Narasi kepentingan umum adalah pola yang sering digunakan untuk memuluskan skema perampasan tanah masyarakat. Ini selalu diproduksi sebagai alasan untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi yang berbasis pada eksploitasi sumber daya alam.
Wadas bukanlah satu-satunya. Hal-hal demikian pernah mewujud dalam berbagai program seperti MP3EI dan terjadi di banyak tempat, mulai dari MIFEE di Papua sampai food estate di Kalimantan.
Narasi tersebut mewujud dalam bentuk kebijakan yang memberikan peluang bagi konsentrasi lahan, pemberian konsesi-konsesi tanah, dan segala perizinan pada kekuatan modal. Maka tidak heran bahwa banyak kasus perampasan tanah dimungkinkan terjadi karena prosesnya dilegitimasi oleh undang-undang yang berlaku. Singkatnya: hukum melegitimasi proses perampasan tanah yang dilakukan oleh negara.
Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang 2021 terjadi 207 konflik yang bersifat struktural.[4] Dalam hal ini maksud “struktural” merujuk pada konflik yang diakibatkan oleh kebijakan atau keputusan pejabat publik dan melibatkan banyak korban serta menimbulkan dampak yang meluas– mencakup dimensi sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Konflik tersebut berlangsung merata di 32 provinsi yang tersebar di 507 desa dan kota serta melibatkan 198.895 keluarga (KK) sebagai korban terdampak. Sementara luasan tanah konflik seluas 500.062,58 hektare.
Dalam kasus Wadas, kebijakan yang memungkinkan konflik struktural terjadi adalah peraturan tentang pengadaan tanah yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Undang-Undang Cipta Kerja yang mengubah beberapa pasal tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Sejak awal penggunaan regulasi tersebut sebenarnya tidak relevan sebab apa yang dilakukan di Wadas adalah praktik pertambangan. Dalam UU Pengadaan Tanah, pertambangan bukanlah kegiatan yang dikategorikan sebagai kepentingan umum. Namun, dalam konteks yang lebih luas, motif yang kerap dilakukan dengan menggunakan undang-undang tersebut memang ditujukan untuk memudahkan merampas tanah masyarakat dengan skema yang dianggap legal.
Narasi kepentingan umum tidak hanya menjadi propaganda yang membuat warga terpaksa melepas tanahnya, melainkan juga banyak memengaruhi pandangan publik. Mereka yang memandang tidak ada masalah dari kasus ini menganggap orang-orang Wadas hanya mementingkan diri sendiri.
Definisi kepentingan umum yang diproduksi oleh pemerintah sangat problematik. Maka menjadi penting untuk mempertanyakan ulang maksud dari itu. Kalau memang pertambangan yang dilakukan di Wadas adalah kepentingan umum, pertanyaannya: Kepentingan umum yang seperti apa? Dilakukan untuk siapa? Dan, yang paling penting dan mendasar untuk membuktikannya adalah, apakah kepentingan umum itu mampu menjawab permasalahan-permasalahan masyarakat? Jika tidak, maka bisa dikatakan bahwa narasi kepentingan umum dalam pembangunan proyek Bendungan Bener maupun praktik pertambangan di Wadas merupakan akal-akalan pemerintah untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam, merampas hak-hak warga, dan dilakukan hanya untuk memfasilitasi kepentingan oligarki.
Sejak awal, pertambangan di Wadas ditolak oleh banyak pihak, mulai dari gerakan warga di akar rumput hingga para akademisi di berbagai kampus. Alasannya jelas: berpotensi merusak lingkungan dan tatanan sosial, menerabas berbagai prosedur hukum yang berlaku, dan tidak merepresentasikan kepentingan masyarakat. Namun, penolakan tersebut justru dijawab dengan berbagai represi dari aparat. Tidak sedikit warga yang berusaha mempertahankan tanahnya justru mengalami penangkapan dengan disertai cara-cara kekerasan.
Cara-cara tersebut memperlihatkan bagaimana hukum yang represif bekerja. Dalam buku Law and Society in Transition: Toward Responsive Law (2001), Philippe Nonet dan Philip Selznick menjabarkan ciri utama hukum represif, yaitu: (i) kekuasaan politik mengatasi institusi hukum sehingga kekuasaan negara menjadi dasar legitimasi; (ii) penyelenggaraan hukum dijalankan menurut perspektif penguasa dan pejabat (menempatkan ketertiban menjadi tujuan utama hukum serta mementingkan kemudahan administratif); (iii) peraturan-peraturan yang diskriminatif (bersifat keras/represif mengikat rakyat, tapi lunak terhadap penguasa);
(iv) alasan pembuatannya bersifat ad hoc sesuai keinginan arbiter penguasa; (v) kesempatan bertindak bersifat serba meresap sesuai kesempatan; (vi) pemaksaan serba mencakupi tanpa batas yang jelas; (vii) moralitas dituntut dari masyarakat adalah pengendalian diri; (viii) kekuasaan menempati posisi di atas hukum; (ix) kepatuhan masyarakat harus tanpa syarat dan ketidakpatuhan dihukum sebagai kejahatan; (x) partisipasi masyarakat diizinkan lewat penundukan diri, sedangkan kritik dipahami sebagai pembangkangan.
Produksi hukum yang tidak demokratis pada gilirannya melahirkan hukum yang represif, hukum yang menindas, dan hukum yang mengarah kepada kepentingan pihak-pihak tertentu alih-alih menjamin dan melindungi hak-hak masyarakat.
UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum beserta kebijakan lainnya menunjukkan ciri-ciri tersebut. Produk hukum tersebut menjadi pelayan bagi pihak-pihak yang punya kuasa agar mudah untuk memperoleh tanah. Keberadaannya melegitimasi pengadaan tanah secara besar-besaran, juga yang dalam konteks Wadas mencakup kegiatan pertambangan. Sementara aparat penegak hukum melakukan berbagai cara untuk memastikan bahwa proyek tersebut dapat berjalan dengan baik.
Ketidakrelevanan penggunaan regulasi dalam proyek tersebut, juga penggunaan peran aparat negara dengan cara-cara yang represif, menegaskan bahwa narasi pembangunan bagi kepentingan umum bertolak belakang dari tujuan yang sebenarnya. Apa yang terjadi di Wadas dengan agenda pembangunan dan penggunaan instrumen hukum bukan hanya bentuk dari upaya-upaya menyingkirkan masyarakat dari tanahnya, melainkan juga, sekali lagi, menjadi legitimasi bagi kepentingan oligarki.
Critical Legal Studies (CLS) melihat hukum selalu diintervensi oleh kepentingan-kepentingan di luar dirinya sendiri sehingga ia tidak pernah netral dan objektif.[5] Dan memang demikian adanya. Hukum tidak dapat dipisahkan dari kepentingan politik karena sejak awal tidak terbentuk dalam suatu ruang hampa yang bebas nilai. Karena itulah regulasi yang berlaku saat ini tidak hanya dapat dipahami sebagai produk hukum, melainkan lebih dari itu: sebagai produk ekonomi-politik yang kemudian dapat mengondisikan segala bentuk kepentingan pihak yang memiliki kekuasaan.
Pada akhirnya, dari kasus Wadas, kita melihat bahwa cara kerja perampasan tanah merupakan rantai panjang yang didukung oleh beragam model investasi, berbagai peraturan yang represif, dan perencanaan pembangunan yang tidak partisipatif.***
Kepustakaan
[1] Noer Fauzi Rachman, Panggilan Tanah Air, Yogyakarta: Insist Press, 2017
[2] Noer Fauzi Rachman dalam kata pengantar “Interaksi Gerakan-Gerakan Agraria dan Gerakan-Gerakan Lingkungan di Indonesia Awal Abad XXI”, Wacana: Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, edisi 28 tahun 2012
[3] Arianto Sangadji, Akumulasi Primitif: Pengalaman Industri Pertambangan, Prisma: Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi, Vol. 38 No. 3, 2019
[4] Catatan Akhir Tahun 2021 Konsorsium Pembaruan Agraria: Penggusuran Skala Nasional (PSN)
[5] Indra Rahmatullah, Filsafat Hukum Aliran Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies): Konsep dan Aktualisasinya Dalam Hukum Indonesia, Adalah: Buletin Hukum dan Keadilan, Vol.5, No. 3, 2021, hlm. 3.
Ilham Hermansyah, mahasiswa semester 9 Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta